LOGINSore itu, langit mulai berubah warna menjadi jingga. Udara di luar kafe terasa hangat, namun di dalam kafe suasananya jauh lebih tenang.
Lampu-lampu gantung berwarna kuning temaram menggantung rendah, memberikan kesan intim seolah tempat itu sengaja dibuat untuk menyimpan rahasia.Aroma kopi dan pastry baru matang memenuhi ruangan, namun dua gadis berambut pendek di sudut kafe itu tidak terlalu peduli dengan apa pun selain rencana mereka.Mikha duduk dengan punggung tegak namun wajah tetap tenang.Di depannya, sahabatnya terlihat sangat bersemangat sekaligus penuh kebencian. Foto-foto yang berserakan di meja menjadi pusat perhatian mereka.Ada beberapa foto Miko, foto Kayla, dan foto-foto suasana sekolah yang dipotret secara diam-diam.Sahabat Mikha mengetuk salah satu foto Kayla dengan kuku telunjuknya.“Ini, si Kayla. Dari awal dia masuk sekolah, dia udah mulai gatel. Tebar pesona ke Miko. Dan sumpah, gue tuh benci banget sama dia!”Nada bicaranDi sisi sungai, arus air mengalir deras karena hujan semalam. Bebatuan licin, air keruh kecokelatan. “Kaylaaa!” teriak Miko sekuat tenaga begitu tiba di tepi sungai. Tidak ada jawaban. Arion langsung menyusuri pinggiran sungai, matanya bergerak liar mencari tanda apa pun tas, sepatu, atau sekadar bayangan tubuh. “Kay! Jawab aku!” suara Arion bergetar, tangannya mengepal keras. Miko berjongkok di tepi sungai, menatap arus air dengan mata merah. Dadanya naik turun cepat, pikirannya dipenuhi rasa bersalah dan takut yang menyesakkan. “Harusnya gue gak ninggalin lo sendirian…” gumamnya penuh penyesalan. Beberapa guru dan siswa lain mulai berdatangan. Suasana berubah menjadi kepanikan massal. Ada yang langsung menghubungi tim SAR lokal, ada yang membentuk barisan menyusuri sungai. “Arion!” teriak salah satu pembina, “Jangan masuk ke air sendiri!” Tapi Arion sudah melepaskan sepatunya. “Aku
‘’Yess dapet lagi!’’ pekik Kayla saat berhaisl menemukan tanda kedua.‘’Yakin banget sih, kita pasti bakal menang!’’ imbuh temannya.‘’Harus dong!’’“Eh Guys, kalian ngerasa aneh gak sih?’’‘’Iya, kok sepi banget sih?” suara salah satu anggota kelompok mulai panik.Kayla menggenggam peta. Tangannya sedikit bergetar.“Tenang dulu,” ucapnya mencoba menenangkan, meski jantungnya sendiri berdegup kencang. Mereka berbalik arah. Tapi justru semakin jauh.Hutan mulai menurun. Suara gemericik air terdengar.“Sungai ini lagi?” Kayla berbisik.‘’Fiks kita tersesat Kay!’’‘’Sebentar, aku cob acari jalan dulu!’’ kata Kayla.Tanah di sekitar sungai licin. Lumut hijau menempel di batu-batu besar. Kayla melangkah hati-hati di depan, mencoba mencari jalur aman agar kelompoknya bisa menyusul.“Kay, pelan-pelan!” teriak temannya.Kayla mengangguk. Namun semuanya terjadi terlalu cepat.Kakinya menginjak batu licin.“ARrhhhh—!”Tubuh Kay
Mikha terdiam. Dadanya terasa semakin sesak, bukan karena takut, melainkan karena campuran ambisi dan kegelisahan. Di luar tenda, suara tawa para peserta lain terdengar samar, unaware bahwa di salah satu sudut perkemahan itu, sebuah rencana gelap mulai disusun perlahan, diam-diam, dan siap mengguncang semuanya.**Pagi di area perkemahan itu datang dengan udara yang dingin dan lembap. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan tinggi, sementara suara burung hutan bersahutan, seolah menyambut hari baru yang penuh agenda.Para siswa mulai keluar dari tenda masing-masing. Ada yang masih mengucek mata, ada yang sibuk menggulung sleeping bag, dan ada pula yang sudah bersemangat sejak pagi. Panitia OSIS berdiri di tengah lapangan tanah yang dikelilingi pepohonan, membawa pengeras suara dan beberapa bendera kecil berwarna mencolok.“Perhatian semuanya!” suara panitia menggema. “Pagi ini kita akan mengadakan game pencarian bendera. Kalian akan dibagi da
Perjalanan menuju area camping memakan waktu hampir dua jam. Jalanan berkelok, pemandangan berubah dari gedung-gedung kota menjadi hamparan hijau yang menenangkan. Pohon-pohon tinggi menyambut, udara terasa lebih segar saat bus berhenti di pintu masuk kawasan hutan lindung.Begitu turun, aroma tanah basah langsung tercium. Angin sejuk menyapu wajah, membawa suara dedaunan yang saling bergesekan. \Beberapa siswa bersorak kecil, kagum pada suasana yang jauh dari hiruk-pikuk kota.Guru segera membagi kelompok dan area tenda.Kayla berada satu kelompok dengan Miko, Arion, dan beberapa siswa lain. Mikha tanpa kebetulan berada di kelompok yang sama.Saat itulah, sesuatu di wajah Mikha berubah.Awalnya dia masih memainkan perannya. Tersenyum, berbicara lembut, membantu guru membagikan peralatan. Tapi ketika waktu mendirikan tenda tiba, dan Miko refleks lebih sering berdiri di sisi Kayla mengangkat barang, menyiapkan alas, memastikan Kayla tidak terlalu ca
‘’Jalan!’’Sontak Kayla terkekeh kecil. “Aku gak selemah itu, Mik.”Miko mendengus. “Iya iya, keras kepala.”Namun di balik nada bercandanya, ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tahu betul bagaimana Kayla memaksa dirinya terlihat baik-baik saja. Dan entah kenapa, sejak kejadian fitnah itu, nalurinya semakin kuat untuk melindungi gadis itu bahkan dari hal-hal yang belum terjadi.Setibanya di perpustakaan, mereka memilih buku sebelum akhirnya duduk. Hingga tak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat di lorong perpustakaan.Kayla yang sedang membuka buku catatan refleks mendongak, begitu juga Miko.Arion muncul dengan ransel diselempangkan di satu bahu. Keringat masih terlihat di pelipisnya, menandakan ia baru saja selesai latihan basket. Seragam olahraganya belum diganti sepenuhnya, hanya jaket tipis yang kini menutupi kaos timnya.“Oh… ternyata kalian di sini,” ucap Arion pelan, senyumnya muncul begitu matanya bertemu Kayla.K
Malam itu, rumah terasa jauh lebih sunyi dari biasanya.Meja makan yang biasanya dipenuhi obrolan ringan, kini hanya diisi suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Lampu gantung di atas meja memancarkan cahaya hangat, tapi tidak mampu menghangatkan suasana yang dingin dan tegang.Mikha duduk di sisi Marsha, dengan sikap manis yang nyaris sempurna. Rambut pendeknya tersisir rapi, seragam rumah diganti dengan baju rumahan berwarna lembut. Wajahnya terlihat tenang, bahkan terlalu tenang.Sementara itu, Miko duduk di seberang mereka. Rahangnya mengeras sejak tadi. Tangannya mencengkeram sendok begitu kuat sampai buku-buku jarinya memucat. Nafsu makannya hilang entah ke mana.Marsha beberapa kali melirik Mikha, ragu, lalu menghela napas pelan. Akhirnya, wanita itu meletakkan sendoknya.“Mikha…” panggilnya lembut, nyaris seperti membujuk.Mikha menoleh cepat. Senyumnya muncul senyum yang polos, lugu, dan seolah tidak menyimpan apa pun.“Iya, Ma?”Marsha menatap wajah putrinya la







