“Kok kamu marahnya ke aku?” seru Marsha sambil berkacak pinggang. Wajahnya memerah, matanya berkilat, penuh dengan amarah dan rasa tersakiti. Suaranya nyaring hingga membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh.Lalu dengan cepat memeluk lengan Aga, merengek manja sambil menutupi pipinya. “Agaaa, pipi aku sakitt,” rengeknya, seolah-olah baru saja jadi korban besar. Ia bahkan menunduk, berpura-pura terisak, berharap Aga luluh.Namun, tanpa ragu, Aga segera menarik tangannya, melepas pelukan Marsha dengan gerakan kasar. Ia melangkah mundur, rahangnya mengeras, sorot matanya dingin menusuk. “Jangan main drama di depan aku, Marsha,” suaranya tegas, membuat Marsha terdiam dengan wajah yang memucat.“Agaaa!” teriak Marsha lagi, kali ini suaranya lebih pecah, seperti orang yang hampir kehilangan kendali. Tubuhnya gemetar, dadanya naik turun menahan sesak.“Udah deh, mending sekarang kamu pulang!” ucap Rafi dengan nada dingin, berusaha mengakhiri
Aga hendak kembali ke apartemennya. Tangannya sempat meraih gagang pintu mobil, berniat menyalakan mesin dan pulang. Tapi tiba-tiba ponselnya bergetar. Nada dering itu terasa mengganggu, tapi juga membuat hatinya berdebar.Dengan gerakan cepat ia mengambil ponsel dari saku jaketnya. Nama yang muncul di layar membuatnya sempat ragu untuk mengangkat, tapi akhirnya ia tekan tombol hijau.“Marsha balik?” suara di seberang langsung menusuk.Aga terdiam. Napasnya tercekat. Jantungnya serasa jatuh ke dasar perut. Untuk beberapa detik, dunia di sekitarnya mendadak hening, hanya suara detak jantung yang terdengar begitu jelas.“Hemmm,” gumamnya pendek. Suaranya nyaris tak keluar.“Dia di Starklub. Mabuk!”Kata itu menghantam kepalanya seperti palu. Seketika mata Aga membesar, tangannya yang menggenggam ponsel bergetar. Dadanya naik-turun cepat.“Kamu tahu dari mana?” tanyanya dengan suara serak, nyaris seperti tercekik.“Aku gak sengaja lewat tadi. Aku li
“Dia merasa kita berbeda,” ucap Aga pelan, nadanya berat, seperti kata-kata itu menyakitkan untuk keluar dari bibirnya.Ara menoleh dengan dahi berkerut. Ia bisa melihat rahang Aga yang mengeras, menahan emosi. “Berbeda bagaimana, Ga?” tanyanya hati-hati, takut jawaban yang keluar justru membuat hatinya ikut perih.Aga terdiam lama. Pandangannya lurus ke depan, menembus kaca mobil, tapi jelas Ara tahu kalau pikirannya tidak ada di jalanan yang mereka lewati. Ia sedang berjalan di lorong masa lalu.“Dia ngerasa, gak punya apa-apa, Ra,” gumam Aga akhirnya.Ara menahan napas, tak menyela.“Dulu, hidupnya susah banget. Bahkan sekolah SMA aja dia gak lulus karena biaya. Dia harus banting tulang kerja sana-sini buat biayain keluarganya. Aku masih ingat, tangan dia kasar karena kerja dari pagi sampai malam. Tapi dia gak pernah ngeluh. Dia selalu bilang dia kuat. Dan itu yang jadi daya tariknya.’’ Suara Aga bergetar, mengandung sisa kekaguman yang masih tersisa
‘’Lupain aku!’’ ucap Aga lalu día segera menarik tangan Ara, wajahnya gelap dan tegang. Ia hampir menyeret gadis itu keluar dari restoran, tak peduli dengan tatapan orang-orang yang masih berbisik penuh rasa ingin tahu. “Aga tunggu! Aga! Aga jangan tinggalin aku! Agaaa!” jerit Marsha sambil menangis terisak, suaranya pecah bergema di dalam restoran. Ia bahkan sempat berlari kecil mencoba menyusul, namun langkahnya terhenti ketika pintu mobil Aga tertutup dengan keras. Mobil itu melaju kencang, meninggalkan Marsha yang terduduk di depan restoran, tubuhnya goyah, bahunya naik turun menahan sesak. “Kamu jahat, Ga, mana janji kamu dulu,” gumamnya parau, tangannya menutup wajah yang penuh air mata. ** Sementara itu, di dalam mobil, suasana begitu menyesakkan. Hanya suara mesin yang terdengar, bercampur dengan tarikan napas kasar Aga. Kedua tangannya mencengkeram erat setir, urat-urat di lengannya menegang, menunjukkan amarah sekaligus frustrasi yang ia tahan mati-matian.
Aga hanya diam. Tatapannya datar, wajahnya nyaris tak menunjukkan emosi meski pipinya memerah akibat tamparan itu. Sementara di hadapannya, seorang wanita dengan rambut panjang terurai berdiri sambil menangis. Bahunya naik-turun, matanya merah penuh amarah dan luka. “Tega kamu, Ga!” suaranya bergetar, nyaring dan penuh dendam. “Jahat kamu! Aku benci sama kamu, aku benciii!!” Wanita itu menghantam dada bidang Aga dengan kedua tangannya, memukul tanpa henti seolah melampiaskan sakit hati yang menggunung. Ara terperangah. Jantungnya berdegup cepat, pikirannya kosong tak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia segera melangkah maju, mencoba menghentikan tangan wanita itu. “Hei, maaf… kamu siapa ya?” tanyanya hati-hati. Wanita itu tiba-tiba berhenti, lalu menoleh ke arah Ara. Tatapannya berubah semakin tajam, menusuk penuh kebencian. Bibirnya bergetar menahan tangis, lalu tiba-tiba ia berteriak, “Dasar jalang! Ini semua gara-gara kamu!!” Tanpa peringatan, ia mendorong tubuh
Sambil menunggu, Aga tetap menggenggam tangan Ara, tak membiarkan jarinya terlepas. Ara yang semula gugup mulai merasa lebih tenang, meski jantungnya masih berdebar kencang.Hari itu, di Queen Jewelry, mereka tak hanya membeli cincin. Mereka juga diam-diam sedang mematri janji yang lebih dalam janji untuk menapaki jalan baru bersama, meski masih banyak rintangan menanti di depan.Setelah keluar dari toko perhiasan, Aga dan Ara berjalan beriringan menuju restoran yang berada di lantai atas mall. Restoran itu memiliki interior elegan dengan nuansa kayu hangat, dihiasi lampu gantung modern yang menambah suasana nyaman. Dari balik kaca besar yang mendominasi satu sisi ruangan, hamparan gedung pencakar langit tampak jelas, memberikan kesan tenang sekaligus mewah.‘’Selamat siang, untuk berapa orang?’’‘’Dua saja Mbak,”‘’Mari ikut saya,” Pelayan menyambut mereka ramah, lalu mengantarkan ke meja pojok yang agak tersembunyi. ‘’Silahkan,”‘’Terima