“Pokoknya awas ya, aku bakal buat perhitungan. Aku bakal laporin kamu ke polisi!” Marsha mengancam dengan nada tinggi, wajahnya memerah. Tubuhnya sedikit maju, jari telunjuknya menuding tajam ke arah wajah Rafi seolah ingin menembus kulitnya.Rafi mendengus, bersandar ke dinding dengan tangan bersedekap santai. “Gak takut!” balasnya singkat penuh menyepelekan. “Udah sono pulang! Jangan kebanyakan drama di rumah orang!”“Aku emang udah mau pulang! Gak sudi lama-lama di sini!” Marsha mengibaskan rambutnya kasar, lalu menginjak lantai keras-keras.“Bagus!” sahut Rafi cepat. “Hus! Hus! Hus!” Ia bahkan menggerakkan tangannya ke depan Marsha seperti mengusir hewan.Seketika darah Marsha mendidih. “Rafiiiiii!!!” bentaknya keras, hampir membuat kaca jendela bergetar.“Apa?” Rafi malah menatap polos, wajahnya dibuat sebersih mungkin.“Kamu pikir aku ayam hah?” Marsha melotot, dagunya terangkat.Rafi tersenyum miring, matanya menyipit nakal. “Bukan ayam… tapi kucing!”Marsha sudah tak bisa me
‘’Enggakkk!!’’ teriak Rafi dan Marsha hampir bersamaan. Suara keduanya menggema di ruang tamu, membuat Hamzah spontan menutup telinga.“Om ini serius?!” Marsha menunjuk Hamzah dengan ekspresi tak percaya. “Saya datang ke sini minta keadilan, bukan dilamar paksa!”“Pa!” Rafi ikut protes, berdiri sambil menunjuk dirinya sendiri. “Mana ada hukuman model gitu! Rafi tuh gak salah! Lagian, kalaupun salah, terus hukumannya nikah? Emang aku maling ayam, terus disuruh kawin sama ayamnya?!”Hamzah langsung melotot, “Jangan kurang ajar, Raf!”Marsha mengangkat tangan, dramatis, “Saya lebih baik dipenjara daripada menikah sama orang gila ini!”“Eh! Kamu pikir aku mau nikah sama kamu hah?!” Rafi membalas, tangannya menunjuk Marsha dari ujung kaki sampai kepala. “Denger ya, aku masih punya harga diri! Aku gak butuh nikah sama perempuan yang—”Bug! Bantal sofa melayang, dilempar Marsha tepat ke wajah Rafi.“Diam kamu!” seru Marsha.Hamzah hampir tersedak napasnya m
Rafi menatap bingung botol air mineral 1500 ml yang kini tergenggam erat di tangan Marsha. Kilatan serius di mata gadis itu membuat suasana sesaat seperti adegan film laga murahan. “Kenapa kamu pakai itu?” Rafi menunjuk botol dengan alis terangkat. “Biar gak berdarah!” jawab Marsha polos, ekspresinya penuh keyakinan seolah botol plastik itu adalah senjata pamungkas. Rafi membeku, menatapnya tak percaya. “Apa kamu yakin, air mineral 1500 mili bisa membunuhku?” suaranya datar, tapi wajahnya hampir tidak bisa menahan ekspresi konyol. “Kalau pun gak bisa bunuh,” Marsha mengangkat botol tinggi-tinggi dengan gaya seperti pejuang, “setidaknya bisa bikin kamu sakit!’’ Hamzah yang sedari tadi menonton dari kursi dengan tangan terlipat, berusaha keras menahan tawanya. Bibirnya bergetar, wajahnya menegang, tapi matanya berkaca-kaca. Dalam hati ia berkata, baru kali ini ada orang niat membunuh, tapi senjatanya air mineral k
Ting, tong,Suara bel rumah berbunyi keras, mengiris ketenangan siang itu. Di depan pintu, Marsha berdiri dengan napas ngos-ngosan, rambut acak, mata sembab wajahnya memerah tidak hanya karena tangisan, tapi juga karena kemarahan yang mendidih. Tangannya tak henti menekan bel seperti orang yang nyaris putus asa.Di dalam, suara shower baru saja berhenti. Rafi baru selesai mandi. rambutnya masih basah. Ia hendak melangkah ke dapur, mencari makanan karena dia lapar belum makan sejak kemarin. Tapi tiba tiba bunyi bel itu memecah keheningan.Cklek!Rafi membuka pintu rumahnya, Sontak ia tertegun melihat sosok Marsha berdiri di ambang, mata penuh amarah. Punggung Rafi menegang instingnya memberi tahu ini bukan sekadar tamu biasa.“Ngapain kamu kesini?” suaranya keluar sinis, setengah celingak-celinguk karena keadaan mendadak.Marsha menatap Rafi, suaranya menusuk, “Aku mau bunuh kamu!”Kata-kata itu meledak di ruang tamu seperti petir. Rafi mengejapkan mata, satu langkah mundur. Wajahn
Restoran yang tadinya riuh karena tangisan Marsha mulai mereda, walau beberapa tamu masih melirik dengan rasa penasaran. Ara berdiri dari kursinya dengan wajah jengah, lalu menggandeng tangan Aga erat.Marsha, yang masih duduk di kursi dengan wajah belepotan air mata dan riasan yang luntur, langsung menoleh cepat. Matanya melebar penuh tanda tanya.“Kalian berdua mau kemana?” tanyanya dengan suara tercekat, nadanya penuh heran sekaligus ketakutan ditinggalkan.Ara menoleh sebentar, wajahnya datar, dingin tanpa sedikitpun rasa iba.“Ke kamar!” jawabnya singkat, tanpa basa-basi.Marsha memekik lirih. Tangannya menghantam meja, membuat sendok dan gelas bergetar.“Kok ke kamar sih! Terus aku gimana?” serunya, seperti anak kecil yang merengek tidak mau ditinggal.Ara mendengus. Bahunya terangkat cuek.“Terserah kamu mau gimana!” katanya ketus.Ekspresi Marsha langsung berubah murka. Air matanya yang tadi terus jatuh kini bercampur dengan wajah kesalnya
Setibanya di restauran, Ara dan Aga memilih meja dekat jendela, menikmati suasana hangat sambil bergenggaman tangan. Senyum Ara merekah, ia merasa tenang bersama Aga.Tapi, baru saja sendok Ara menyentuh bibirnya, suara melengking terdengar dari arah pintu restoran."Agaaaa!" panggil seorang gadis dengan nada manja, cukup keras hingga beberapa tamu menoleh.Ara langsung mendesah panjang, memutar bola matanya dengan ekspresi malas."Astaga, biang kerok datang juga," gumamnya ketus, jelas sekali ia tidak suka dengan kedatangan orang itu.Aga menghela napas. Senyum romantis yang tadi menghiasi wajahnya hilang seketika, berganti raut datar. Dia meremas lembut tangan Ara, mencoba menenangkan istrinya."Ngapain kamu di sini?" tanyanya dingin, tanpa basa-basi.Marsha mendengus, matanya berair. Tanpa meminta izin, ia langsung menarik kursi dan duduk di sebelah Aga, membuat beberapa tamu lain berbisik-bisik heran."Huaaa Aga, aku habis diperkosa!" teriaknya sa