Share

Bab 4.

Author: UmiPutri
last update Last Updated: 2025-12-05 04:24:18

Pintu kamar tertutup dengan pelan saat Anisa masuk. Begitu tubuhnya menyentuh udara kamarnya sendiri—sebuah ruangan yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya—segala ketahanan yang selama ini ia paksa muncul di depan Alex dan Amara runtuh seketika.

Tanpa kekuatan lagi, Anisa duduk di tepi ranjang.

Lalu tangisnya pecah.

Isak kecil berubah menjadi sesenggukan. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, bahunya bergetar hebat. Perasaan yang ia tahan sejak tadi—marah, kecewa, takut, cemburu, dan merasa dikhianati—sekarang menumpuk menjadi satu.

“Aku… tidak cukup, ya…?” bisiknya di sela tangis.

Ini bukan sekadar soal gadis lain di rumah.

Ini tentang keputusan besar yang diambil Alex tanpa mengajaknya bicara.

Tentang perasaan tidak dianggap…

Tentang takut kehilangan…

Ketukan pintu terdengar pelan.

Tok… tok…

“Anisa.” Suara Alex terdengar berat.

Anisa buru-buru menghapus air mata, tapi tangannya gemetar dan wajahnya masih basah.

Ia menjawab tanpa menoleh, “Masuk saja.”

Pintu terbuka.

Alex melangkah masuk, menutup pintu perlahan, seakan takut membuat suara keras yang bisa melukai hati istrinya lebih dalam.

Saat melihat Anisa duduk dengan mata memerah, dada Alex terasa mencengkeras.

Ia melangkah mendekat.

“Anisa…”

“Jangan dekat-dekat.”

Perintah itu pelan, tapi jelas.

Alex berhenti sejenak, menatap istrinya dengan campuran penyesalan dan bingung.

“Aku tidak mau bicara kalau kamu cuma mau membenarkan dirimu,” ucap Anisa dengan suara parau. “Aku tahu kamu punya alasan… tapi tetap saja sakit, Alex.”

Alex duduk di kursi dekat ranjang, menjaga jarak agar tidak membuat istrinya merasa terpojok.

“Aku tidak bermaksud menyakitimu.”

“Lalu kenapa kamu melakukannya?” Anisa menoleh, menatapnya dengan mata merah berkaca-kaca. “Kenapa kamu tidak bicara dulu padaku? Apa kamu pikir aku ini apa? Perabot?”

Alex meremas rambutnya sendiri, frustasi.

“Aku takut kamu akan salah paham. Takut kamu tersiksa.”

“Tapi kenyataannya aku memang tersiksa!” suara Anisa naik, lalu melemah. “Kamu membawa seorang gadis muda ke rumah ini… dan bilang akan menikahinya. Bagaimana aku tidak tersiksa, Alex?”

Alex menatap istrinya dalam-dalam.

“Aku melakukan itu karena kalau tidak… hidupnya akan hancur. Keluarganya menjebaknya. Kalau aku tidak ikut campur, dia mungkin sudah jatuh ke tangan orang yang jauh lebih buruk.”

Anisa terdiam.

Ia menunduk, suaranya bergetar.

“Lalu aku? Apa aku tidak pantas tahu semua itu lebih dulu?”

Alex menutup mata sebentar. “Kamu pantas tahu. Dan aku seharusnya bicara sejak awal.”

Isak kecil kembali keluar dari bibir Anisa.

“Kamu membuatku merasa tidak cukup…”

Alex cepat-cepat menggeleng.

“Tidak. Kamu salah. Kamu lebih dari cukup. Kamu segalanya untukku.”

Suaranya rendah, namun tulus.

Anisa menggigit bibirnya, menahan tangis yang ingin pecah lagi.

“Kalau aku segalanya untukmu… kenapa aku tahu semua ini paling terakhir?”

Alex tidak punya jawaban.

Ia hanya menatap Anisa dengan wajah bersalah.

Setelah beberapa menit yang berat dan hening, Anisa berdiri perlahan.

“Aku butuh waktu sendiri.”

Anisa menarik selimut, naik ke ranjang, memunggungi Alex.

Alex menatap punggung itu lama… ingin memeluk, ingin menenangkan… tapi tahu itu bukan waktunya.

Ia berdiri pelan, melangkah menuju pintu.

“Anisa…” panggilnya sekali lagi.

Anisa tidak menoleh.

Hanya suara lirih keluar:

“Tolong… jangan buat aku merasa sendirian di rumahku sendiri.”

Kata-kata itu menghancurkan hati Alex.

Ia menutup pintu pelan, dan untuk pertama kalinya malam itu, pria yang dikenal tegas itu tampak lebih kecil dari biasanya.

---

AMARA — MALAM PERTAMA DI RUMAH ITU

Di lantai atas, Amara duduk di atas ranjang mewahnya, memeluk kedua lutut.

Kamar itu sunyi. Terlalu sunyi, sampai ia bisa mendengar detak jam di dinding.

Tidak ada suara TV.

Tidak ada suara saudara-saudara bercanda.

Tidak ada suara ayam kampung bersahutan seperti di rumah.

Hanya diam.

Diam yang membuatnya semakin takut.

Amara meremas ujung gamisnya.

“Tidak mungkin… ini benar-benar terjadi,” bisiknya dengan suara pecah.

Kepalanya penuh pertanyaan yang mencekik.

Kini ia berada di rumah orang kaya…

Dengan status yang bahkan tidak ia inginkan…

Dengan suami kontrak yang bahkan tidak tersenyum padanya…

Dan seorang istri yang jelas terluka karenanya.

“Aku tidak ingin jadi masalah…”

Air matanya jatuh pelan.

Wajah ibunya muncul di pikiran—senyum palsu, pelukannya yang erat sebelum berangkat, air mata yang menetes tanpa penjelasan… seperti tahu bahwa ia sedang menyerahkan putri sendiri ke jurang.

“Kenapa Ibu tidak bilang apa pun…?”

Hatinya memanas, ingin marah, tapi juga tidak mampu membenci.

Ia hanya bingung.

Kesepian.

Dan ketakutan.

Ia berjalan ke arah balkon, membuka pintu kaca perlahan.

Udara malam menyapa wajahnya, dingin namun menenangkan.

Amara memejamkan mata, mencoba menarik napas panjang.

Namun pikiran gelisah tidak bisa pergi begitu saja.

Apa yang harus ia lakukan besok?

Bagaimana ia bersikap terhadap Anisa?

Bagaimana menghadapi Tuan Alex?

Apakah ia akan benar-benar menikahi pria itu besok?

Atau lusa?

Atau tunggu dokumen selesai?

Tubuhnya bergetar.

“Ya Allah… aku tidak tahu harus bagaimana…”

Amara kembali ke tempat tidur, berbaring, tetapi matanya terpaku pada langit-langit.

Setiap suara kecil membuatnya tersentak.

Bayangan kehidupan yang tiba-tiba berubah membuat tubuhnya sulit rileks.

Ia tidak berani tidur.

Tidak berani tertidur di rumah orang asing.

Dan meski ia sangat lelah…

Matanya tetap terjaga.

Sampai akhirnya, sekitar lewat tengah malam, ia mendengar suara pelan dari bawah—suara pintu kamar dibuka, kemudian ditutup.

Itu pasti Anisa atau Alex.

Atau mungkin keduanya belum bisa tidur—seperti dirinya.

Amara menarik selimut sampai ke dada.

Kamar besar itu tiba-tiba terasa seperti gua gelap yang akan menelan dirinya kapan saja.

“Aku harus kuat…”

Ia membisikkan kata itu lagi dan lagi.

Namun semakin ia mengatakan, semakin hatinya remuk.

Karena ia tahu—

Ini baru awal.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 8

    Malam itu, rumah besar milik Alex Wiranata Kusuma terasa berbeda.Lampu-lampu menyala lebih terang dari biasanya, namun justru membuat bayangan di sudut-sudut ruangan tampak semakin panjang. Udara seolah menekan, sunyi tetapi sarat dengan kegelisahan yang tidak terucap.Di kamar utama, Anisa mondar-mandir tanpa arah.Kadang ia duduk di tepi ranjang, jemarinya saling menggenggam hingga memutih. Beberapa detik kemudian ia berdiri lagi, melangkah menuju jendela, lalu kembali berbalik. Berkali-kali. Seperti singa yang terkurung di kandang emasnya sendiri.“Napas… Anisa, tarik napas,” gumamnya lirih, namun dadanya tetap terasa sesak.Malam ini—Malam ini akan mengubah segalanya.Pernikahan siri itu akan dilakukan di rumah ini. Tanpa pesta. Tanpa gaun megah. Tanpa sorotan publik. Namun dampaknya akan terasa sepanjang hidupnya.Anisa menyentuh dadanya sendiri.Aku istri sahnya, batinnya berusaha menguatkan diri.Namaku tercatat. Posisiku tidak tergeser.Namun kalimat itu tidak mampu menenang

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 7.

    Amara baru saja menutup pintu kamarnya ketika tangannya menyentuh paperbag besar berlogo butik mewah itu. Tas-tas lain sudah disusun rapi oleh para ART sebelumnya, namun satu paperbag masih tergeletak di sudut ranjang—belum sempat ia buka.Dengan ragu, Amara menariknya mendekat.“Kira-kira apa lagi ini…” gumamnya pelan.Ia membuka lipatan kertas tebal itu perlahan. Jantungnya berdegup lebih cepat saat ujung kain terlihat. Bukan gaun biasa. Bukan pakaian rumah.Kebaya.Kebaya pengantin.Amara terdiam.Tangannya gemetar saat mengangkat kain itu. Warna gading lembut dengan bordiran halus keemasan. Sangat anggun. Sangat indah. Dan… sangat tidak seharusnya ada di tangannya.“Nggak mungkin…” bisiknya, napasnya tercekat.Ia mundur selangkah, seperti kebaya itu benda berbahaya. Dadanya terasa sesak. Tenggorokannya kering.Secepat ini?Bahkan tanpa aku siap?Tiba-tiba—KREKK.Pintu kamarnya terbuka.Amara terlonjak, hampir menjatuhkan kebaya itu.Di ambang pintu berdiri Anisa.Wajah perempuan

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 6.

    PERTEMUAN SETELAH SARAPAN. Ruang makan itu belum sepenuhnya sepi ketika Amara masih duduk dengan punggung tegak, kedua tangannya bertumpu di atas pangkuan. Sarapan yang tersaji di depannya tampak utuh, hampir tak tersentuh. Bukan karena ia tidak lapar—perutnya justru melilit sejak pagi—butir nasi dan lauk yang tersaji terasa seperti pasir di lidahnya. Setiap suapan terasa berat. Setiap tarikan napas terasa salah tempat. Amara masih belum beranjak dari kursinya ketika suara langkah kaki bersepatu hak terdengar mendekat dari arah lorong. Bunyi itu tegas, ritmis, dan penuh percaya diri—sangat kontras dengan langkah Amara yang selalu ragu. Ia tahu siapa pemilik langkah itu. Refleks, Amara menunduk lebih dalam. Anisa. Perempuan itu masuk ke ruang makan dengan balutan gaun rumah berwarna krem lembut, rambutnya terurai rapi, riasan wajahnya sederhana namun jelas menunjukkan keanggunan seorang nyonya rumah. Tidak ada sisa tangis semalam di wajahnya—atau setidaknya ia pandai menyembuny

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 5.

    Pagi pertama di rumah besar itu terasa sangat asing bagi Amara. Udara masih dingin, embun di taman kecil depan kamar terlihat bergantung pada daun-daun hijau, tapi tidak ada satu pun suasana yang terasa menenangkan. Ia bangun dengan mata berat—bukan karena kurang tidur, tetapi karena semalaman ia hanya memikirkan satu hal: hidupku tidak akan sama lagi.Dia duduk di tepi ranjang lama, memegang ujung selimut tanpa tahu harus apa. Ketika pintu diketuk pelan, Amara tersentak.“Non Amara?” suara seorang perempuan terdengar dari luar. Lembut, seperti takut mengganggu. “Sarapan sudah siap. Kalau Non berkenan, saya antar ke bawah.”Perempuan itu memperkenalkan diri sebagai Maya, salah satu staf rumah yang bertugas di bagian pelayanan pribadi. Usianya sekitar tiga puluhan, tampak ramah dan tidak mengintimidasi seperti bayangan Amara tentang rumah orang kaya. Namun tetap saja, Amara gugup—seolah gerak-geriknya diawasi dari balik tembok.“Saya… saya ke bawah sendiri saja,” jawab Amara, suaranya

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 4.

    Pintu kamar tertutup dengan pelan saat Anisa masuk. Begitu tubuhnya menyentuh udara kamarnya sendiri—sebuah ruangan yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya—segala ketahanan yang selama ini ia paksa muncul di depan Alex dan Amara runtuh seketika.Tanpa kekuatan lagi, Anisa duduk di tepi ranjang.Lalu tangisnya pecah.Isak kecil berubah menjadi sesenggukan. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, bahunya bergetar hebat. Perasaan yang ia tahan sejak tadi—marah, kecewa, takut, cemburu, dan merasa dikhianati—sekarang menumpuk menjadi satu.“Aku… tidak cukup, ya…?” bisiknya di sela tangis.Ini bukan sekadar soal gadis lain di rumah.Ini tentang keputusan besar yang diambil Alex tanpa mengajaknya bicara.Tentang perasaan tidak dianggap…Tentang takut kehilangan…Ketukan pintu terdengar pelan.Tok… tok…“Anisa.” Suara Alex terdengar berat.Anisa buru-buru menghapus air mata, tapi tangannya gemetar dan wajahnya masih basah.Ia menjawab tanpa menoleh, “Masuk saja.”Pintu terbuka.Alex

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 3

    Ruang tamu besar itu terasa dua kali lebih sunyi ketika Anisa menoleh ke arah Amara. Tatapan perempuan itu bukan tajam, bukan marah—tetapi kosong, seperti seseorang yang sedang mencoba memahami badai yang tiba-tiba menerjang hidupnya.“Amara,” panggil Anisa dengan suara yang hampir tidak terdengar.“Masuklah ke dalam kamar yang sudah disiapkan untukmu.”Suara itu lembut… namun letih. Seolah Anisa menahan sesuatu yang berat agar tidak pecah di depan siapa pun.Amara mengangguk cepat. “B—baik, Nyonya.”Rafa, asisten Alex, memberi isyarat. “Nona Amara, mari saya antar.”Amara mengikuti Rafa menyusuri lorong panjang dengan jantung yang berdebar tidak wajar. Setiap langkah terasa seperti melangkah ke dunia yang bukan miliknya. Dinding putih bersih, lantai marmer halus, dan pencahayaan elegan—semua terasa asing. Bahkan aroma rumah ini pun berbeda: wangi mahal yang menusuk ketenangan.Sementara itu, di ruang tamu, Anisa masih berdiri menatap punggung Amara sampai gadis itu hilang di tikungan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status