Share

Bab 3

Author: UmiPutri
last update Last Updated: 2025-12-05 03:05:53

Ruang tamu besar itu terasa dua kali lebih sunyi ketika Anisa menoleh ke arah Amara. Tatapan perempuan itu bukan tajam, bukan marah—tetapi kosong, seperti seseorang yang sedang mencoba memahami badai yang tiba-tiba menerjang hidupnya.

“Amara,” panggil Anisa dengan suara yang hampir tidak terdengar.

“Masuklah ke dalam kamar yang sudah disiapkan untukmu.”

Suara itu lembut… namun letih. Seolah Anisa menahan sesuatu yang berat agar tidak pecah di depan siapa pun.

Amara mengangguk cepat. “B—baik, Nyonya.”

Rafa, asisten Alex, memberi isyarat. “Nona Amara, mari saya antar.”

Amara mengikuti Rafa menyusuri lorong panjang dengan jantung yang berdebar tidak wajar. Setiap langkah terasa seperti melangkah ke dunia yang bukan miliknya. Dinding putih bersih, lantai marmer halus, dan pencahayaan elegan—semua terasa asing. Bahkan aroma rumah ini pun berbeda: wangi mahal yang menusuk ketenangan.

Sementara itu, di ruang tamu, Anisa masih berdiri menatap punggung Amara sampai gadis itu hilang di tikungan lorong.

Barulah Anisa menarik napas tajam, memutar tubuhnya untuk menatap Alex.

“Kenapa kamu lakukan semua ini tanpa bicara dulu padaku?” suaranya tenang, tetapi air mata sudah menggenang.

Alex membalas tatapannya dengan rahang mengeras. “Karena aku tidak mau kamu khawatir. Urusan hutang keluarganya terlalu rumit, Nis. Dan aku tidak ingin kamu terlibat.”

Anisa tertawa getir. “Terlambat. Aku sudah terlibat sejak gadis itu menginjakkan kaki di rumah ini.”

Alex terdiam.

Anisa melanjutkan, “Aku bukan masalah dengan kamu membantu orang lain, Alex. Tapi membawa gadis muda dan membuat perjanjian menikah tanpa bicara denganku? Bagaimana menurutmu perasaanku?”

Alex menautkan kedua tangan, berusaha menahan nada suaranya tetap stabil.

“Situasinya tidak sesederhana itu. Keluarga gadis itu… menjebaknya. Kalau aku tidak mengambil tindakan cepat, nasibnya mungkin jauh lebih buruk.”

Anisa menatap suaminya lama.

Ada sesuatu pada kata-kata itu yang membuatnya ingin percaya, namun rasa perih di dada tidak bisa hilang.

“Jadi kamu menyelamatkannya?” tanya Anisa dengan nada ragu.

“Ya,” jawab Alex tanpa keraguan. “Perjanjian itu untuk melindunginya—bukan untuk mengambil keuntungan darinya.”

Anisa menunduk, menggenggam ujung cardigan yang dipakainya. “Lalu perasaanku bagaimana?”

Alex melangkah mendekat, tetapi Anisa mundur setengah langkah.

“Aku tahu aku salah,” ucap Alex lirih. “Tapi aku ingin kamu percaya… Amara bukan ancaman bagimu.”

Anisa menatap Alex dengan mata berkaca-kaca. “Bukan tentang ancaman, Alex… tapi tentang kepercayaan.”

Alex tidak menjawab.

Untuk pertama kalinya sejak gadis itu datang, ia tampak betul-betul kehilangan kata-kata.

---

Sementara itu, di lantai atas, Rafa berhenti di depan sebuah pintu kayu tinggi berwarna coklat muda. Pintu itu tampak lebih mewah daripada seluruh rumah kontrakan yang pernah Amara tinggali bersama keluarganya.

“Ini kamar Anda, Nona Amara.”

Rafa membuka pintu.

Amara terpaku.

Kamar itu… terlalu indah untuk dirinya. Tempat tidur besar dengan sprei lembut, karpet tebal, lemari kaca, sofa kecil, dan balkon kecil yang menghadap taman belakang. Bahkan lampu gantung di atasnya terlihat seperti sesuatu yang hanya bisa ia lihat dari film-film.

“Ini… untuk saya?” suaranya kecil, bergetar.

“Ya,” jawab Rafa singkat. “Tuan Alex tidak ingin Anda kekurangan.”

Amara menggigit bibir, menahan rasa tidak percaya, bercampur perasaan asing yang tidak bisa ia jelaskan. Ia hanya gadis dari keluarga sederhana. Dan hari ini… ia berada di kamar seperti hotel bintang lima.

“Tolong istirahat dulu,” kata Rafa sopan. “Nyonya Anisa mungkin akan mengajak Anda bicara nanti.”

Amara menunduk. “Baik, Pak.”

Rafa menutup pintu setelah memastikan Amara berada di dalam.

Begitu pintu tertutup klik, Amara menghela napas panjang seperti baru bisa bernapas untuk pertama kalinya. Ia berjalan perlahan menuju tempat tidur, menyentuh sprei lembutnya dengan jari gemetar.

“Semuanya terasa seperti mimpi buruk…” bisiknya lirih.

Dirinya yang pagi tadi hanya seorang gadis kampung yang dijanjikan pekerjaan—kini terjebak dalam rumah orang kaya, dengan status calon istri kontrak pria berkuasa yang bahkan menatapnya pun membuat lututnya lemas.

Air mata kembali menggenang.

Ia menutup wajah dengan kedua tangan.

“Bagaimana aku bisa sampai di sini…?”

Namun waktu untuk meratapi nasib tidak lama.

Karena beberapa menit kemudian, langkah kaki pelan terdengar dari luar. Suara sandal rumah menyentuh lantai marmer. Lalu… ketukan halus.

Tok. Tok. Tok.

“Amara?” suara itu suara perempuan—lembut tapi terdengar patah.

Amara refleks berjalan cepat dan membuka pintu.

Anisa berdiri di depannya dengan wajah yang rumit—campuran lelah, sedih, dan pasrah. Riasan tipisnya sedikit luntur, namun ia masih terlihat anggun.

“Nyonya…” Amara menunduk cepat.

Anisa menatap gadis itu lama. “Masuklah… boleh?”

Amara segera mempersilakan. “Tentu, Nyonya. Silakan.”

Anisa melangkah masuk, duduk di tepi tempat tidur, sedangkan Amara berdiri canggung seperti tamu di kamarnya sendiri.

Beberapa detik hening.

Sampai akhirnya Anisa berkata pelan, “Aku ingin minta maaf kalau aku terlihat dingin padamu tadi.”

Amara tersentak. “Tidak… saya yang meminta maaf, Nyonya. Saya tidak berniat… merepotkan keluarga ini.”

Anisa menggeleng. “Kamu tidak salah, Amara. Bukan kamu yang menciptakan semua kekacauan ini.”

Amara menunduk, bibirnya bergetar. “Saya tidak tahu-menahu soal hutang itu, Nyonya. Saya hanya… ingin bekerja.”

“Aku tahu.” Mata Anisa melunak, meski masih ada semburat luka. “Kamu juga korban.”

Kata “korban” itu membuat dada Amara terasa sesak, namun juga menghangat. Ada seseorang yang memahami—meski dari sisi yang berbeda.

Anisa menarik napas panjang dan berkata dengan jujur, “Aku tidak membencimu, Amara. Hanya… aku perlu waktu untuk memahami semuanya.”

Amara mengangguk cepat. “Saya mengerti, Nyonya. Saya tidak ingin mengganggu pernikahanmu.”

Anisa tersenyum tipis—senyum yang lebih banyak pahitnya. “Kamu tidak akan mengganggunya. Alex sudah berjanji semuanya hanya perjanjian. Dan aku…” ia terdiam, sebelum melanjutkan, “…dan aku memilih untuk percaya.”

Amara merasa tenggorokannya mengencang. “Terima kasih, Nyonya.”

Anisa berdiri perlahan. “Silakan istirahat. Rumah ini… mungkin akan terasa asing. Tapi tidak akan ada yang menyakitimu di sini.”

Kata-kata itu sederhana. Namun bagi Amara, itu seperti selimut hangat di tengah badai.

Saat Anisa hendak keluar, ia berhenti di pintu.

Menatap Amara sekali lagi.

“Mulai malam ini,” katanya pelan, “kita hidup di bawah satu atap… dengan luka masing-masing.”

Lalu pintu tertutup.

Dan Amara berdiri di tengah kamar mewah itu, dengan hati yang masih bergetar… tetapi setidaknya tidak lagi sendirian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 8

    Malam itu, rumah besar milik Alex Wiranata Kusuma terasa berbeda.Lampu-lampu menyala lebih terang dari biasanya, namun justru membuat bayangan di sudut-sudut ruangan tampak semakin panjang. Udara seolah menekan, sunyi tetapi sarat dengan kegelisahan yang tidak terucap.Di kamar utama, Anisa mondar-mandir tanpa arah.Kadang ia duduk di tepi ranjang, jemarinya saling menggenggam hingga memutih. Beberapa detik kemudian ia berdiri lagi, melangkah menuju jendela, lalu kembali berbalik. Berkali-kali. Seperti singa yang terkurung di kandang emasnya sendiri.“Napas… Anisa, tarik napas,” gumamnya lirih, namun dadanya tetap terasa sesak.Malam ini—Malam ini akan mengubah segalanya.Pernikahan siri itu akan dilakukan di rumah ini. Tanpa pesta. Tanpa gaun megah. Tanpa sorotan publik. Namun dampaknya akan terasa sepanjang hidupnya.Anisa menyentuh dadanya sendiri.Aku istri sahnya, batinnya berusaha menguatkan diri.Namaku tercatat. Posisiku tidak tergeser.Namun kalimat itu tidak mampu menenang

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 7.

    Amara baru saja menutup pintu kamarnya ketika tangannya menyentuh paperbag besar berlogo butik mewah itu. Tas-tas lain sudah disusun rapi oleh para ART sebelumnya, namun satu paperbag masih tergeletak di sudut ranjang—belum sempat ia buka.Dengan ragu, Amara menariknya mendekat.“Kira-kira apa lagi ini…” gumamnya pelan.Ia membuka lipatan kertas tebal itu perlahan. Jantungnya berdegup lebih cepat saat ujung kain terlihat. Bukan gaun biasa. Bukan pakaian rumah.Kebaya.Kebaya pengantin.Amara terdiam.Tangannya gemetar saat mengangkat kain itu. Warna gading lembut dengan bordiran halus keemasan. Sangat anggun. Sangat indah. Dan… sangat tidak seharusnya ada di tangannya.“Nggak mungkin…” bisiknya, napasnya tercekat.Ia mundur selangkah, seperti kebaya itu benda berbahaya. Dadanya terasa sesak. Tenggorokannya kering.Secepat ini?Bahkan tanpa aku siap?Tiba-tiba—KREKK.Pintu kamarnya terbuka.Amara terlonjak, hampir menjatuhkan kebaya itu.Di ambang pintu berdiri Anisa.Wajah perempuan

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 6.

    PERTEMUAN SETELAH SARAPAN. Ruang makan itu belum sepenuhnya sepi ketika Amara masih duduk dengan punggung tegak, kedua tangannya bertumpu di atas pangkuan. Sarapan yang tersaji di depannya tampak utuh, hampir tak tersentuh. Bukan karena ia tidak lapar—perutnya justru melilit sejak pagi—butir nasi dan lauk yang tersaji terasa seperti pasir di lidahnya. Setiap suapan terasa berat. Setiap tarikan napas terasa salah tempat. Amara masih belum beranjak dari kursinya ketika suara langkah kaki bersepatu hak terdengar mendekat dari arah lorong. Bunyi itu tegas, ritmis, dan penuh percaya diri—sangat kontras dengan langkah Amara yang selalu ragu. Ia tahu siapa pemilik langkah itu. Refleks, Amara menunduk lebih dalam. Anisa. Perempuan itu masuk ke ruang makan dengan balutan gaun rumah berwarna krem lembut, rambutnya terurai rapi, riasan wajahnya sederhana namun jelas menunjukkan keanggunan seorang nyonya rumah. Tidak ada sisa tangis semalam di wajahnya—atau setidaknya ia pandai menyembuny

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 5.

    Pagi pertama di rumah besar itu terasa sangat asing bagi Amara. Udara masih dingin, embun di taman kecil depan kamar terlihat bergantung pada daun-daun hijau, tapi tidak ada satu pun suasana yang terasa menenangkan. Ia bangun dengan mata berat—bukan karena kurang tidur, tetapi karena semalaman ia hanya memikirkan satu hal: hidupku tidak akan sama lagi.Dia duduk di tepi ranjang lama, memegang ujung selimut tanpa tahu harus apa. Ketika pintu diketuk pelan, Amara tersentak.“Non Amara?” suara seorang perempuan terdengar dari luar. Lembut, seperti takut mengganggu. “Sarapan sudah siap. Kalau Non berkenan, saya antar ke bawah.”Perempuan itu memperkenalkan diri sebagai Maya, salah satu staf rumah yang bertugas di bagian pelayanan pribadi. Usianya sekitar tiga puluhan, tampak ramah dan tidak mengintimidasi seperti bayangan Amara tentang rumah orang kaya. Namun tetap saja, Amara gugup—seolah gerak-geriknya diawasi dari balik tembok.“Saya… saya ke bawah sendiri saja,” jawab Amara, suaranya

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 4.

    Pintu kamar tertutup dengan pelan saat Anisa masuk. Begitu tubuhnya menyentuh udara kamarnya sendiri—sebuah ruangan yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya—segala ketahanan yang selama ini ia paksa muncul di depan Alex dan Amara runtuh seketika.Tanpa kekuatan lagi, Anisa duduk di tepi ranjang.Lalu tangisnya pecah.Isak kecil berubah menjadi sesenggukan. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, bahunya bergetar hebat. Perasaan yang ia tahan sejak tadi—marah, kecewa, takut, cemburu, dan merasa dikhianati—sekarang menumpuk menjadi satu.“Aku… tidak cukup, ya…?” bisiknya di sela tangis.Ini bukan sekadar soal gadis lain di rumah.Ini tentang keputusan besar yang diambil Alex tanpa mengajaknya bicara.Tentang perasaan tidak dianggap…Tentang takut kehilangan…Ketukan pintu terdengar pelan.Tok… tok…“Anisa.” Suara Alex terdengar berat.Anisa buru-buru menghapus air mata, tapi tangannya gemetar dan wajahnya masih basah.Ia menjawab tanpa menoleh, “Masuk saja.”Pintu terbuka.Alex

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 3

    Ruang tamu besar itu terasa dua kali lebih sunyi ketika Anisa menoleh ke arah Amara. Tatapan perempuan itu bukan tajam, bukan marah—tetapi kosong, seperti seseorang yang sedang mencoba memahami badai yang tiba-tiba menerjang hidupnya.“Amara,” panggil Anisa dengan suara yang hampir tidak terdengar.“Masuklah ke dalam kamar yang sudah disiapkan untukmu.”Suara itu lembut… namun letih. Seolah Anisa menahan sesuatu yang berat agar tidak pecah di depan siapa pun.Amara mengangguk cepat. “B—baik, Nyonya.”Rafa, asisten Alex, memberi isyarat. “Nona Amara, mari saya antar.”Amara mengikuti Rafa menyusuri lorong panjang dengan jantung yang berdebar tidak wajar. Setiap langkah terasa seperti melangkah ke dunia yang bukan miliknya. Dinding putih bersih, lantai marmer halus, dan pencahayaan elegan—semua terasa asing. Bahkan aroma rumah ini pun berbeda: wangi mahal yang menusuk ketenangan.Sementara itu, di ruang tamu, Anisa masih berdiri menatap punggung Amara sampai gadis itu hilang di tikungan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status