Share

Bab 5.

Author: UmiPutri
last update Last Updated: 2025-12-05 04:28:19

Pagi pertama di rumah besar itu terasa sangat asing bagi Amara. Udara masih dingin, embun di taman kecil depan kamar terlihat bergantung pada daun-daun hijau, tapi tidak ada satu pun suasana yang terasa menenangkan. Ia bangun dengan mata berat—bukan karena kurang tidur, tetapi karena semalaman ia hanya memikirkan satu hal: hidupku tidak akan sama lagi.

Dia duduk di tepi ranjang lama, memegang ujung selimut tanpa tahu harus apa. Ketika pintu diketuk pelan, Amara tersentak.

“Non Amara?” suara seorang perempuan terdengar dari luar. Lembut, seperti takut mengganggu. “Sarapan sudah siap. Kalau Non berkenan, saya antar ke bawah.”

Perempuan itu memperkenalkan diri sebagai Maya, salah satu staf rumah yang bertugas di bagian pelayanan pribadi. Usianya sekitar tiga puluhan, tampak ramah dan tidak mengintimidasi seperti bayangan Amara tentang rumah orang kaya. Namun tetap saja, Amara gugup—seolah gerak-geriknya diawasi dari balik tembok.

“Saya… saya ke bawah sendiri saja,” jawab Amara, suaranya sedikit bergetar.

“Baik, Non. Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja.”

Amara mengangguk. Setelah mengganti baju dengan gaun sederhana yang sudah disediakan, ia memberanikan diri keluar dari kamar dan berjalan menyusuri koridor panjang yang tampaknya sengaja dibuat untuk menunjukkan betapa besar kekayaan rumah ini. Langkahnya pelan, takut salah arah, takut bertemu seseorang yang mungkin tidak ingin melihat keberadaannya di situ.

Ketika ia sampai di ruang makan, beberapa staf rumah—koki, pelayan, dan dua orang staf kebersihan—langsung berdiri dan memberi salam sopan.

“Selamat pagi, Non.”

Amara terkejut. “P-pagi…”

Mereka tersenyum, beberapa tampak sungguh-sungguh ingin membuatnya nyaman, tapi ada juga yang melirik dengan rasa penasaran. Tidak mencibir, tidak menghina, hanya bingung: siapa sebenarnya gadis muda berwajah polos ini? Mengapa ia berada di rumah Tuan Alex?

Amara duduk pelan, merasa canggung. Piring porselen putih di depannya tampak terlalu mewah baginya. Ia bahkan tak berani menyentuh sendok sebelum seorang pelayan membimbing, “Silakan, Non.”

Seharusnya sarapan pagi terasa hangat. Tapi bagi Amara, semuanya terasa seperti ritual yang memaksanya menerima kenyataan: Ia akan menikah dengan pria yang bahkan belum pernah ia panggil dengan nada biasa, yang namanya saja membuat perutnya tegang.

---

Sementara itu, di ruang kerja yang pintunya tertutup rapat, Alex dan Anisa masih berdiskusi sejak pagi buta. Anisa duduk memeluk lutut, matanya bengkak karena menangis semalaman. Alex berdiri di dekat jendela, kedua tangannya di saku celana, mencoba menyiapkan kata-kata yang tepat.

Jam makan pagi sudah lewat, tetapi mereka belum keluar karena ada hal yang lebih berat daripada sarapan: keputusan untuk menerima orang ketiga dalam rumah tangga mereka.

“Alex…” suara Anisa pelan, tetapi cukup untuk membuat suaminya menoleh. “Aku ingin kita bicara jujur hari ini. Tidak ada hal yang ditutupi lagi. Semua harus jelas.”

Alex mengangguk. “Aku tahu. Kita perlu membicarakan perjanjian itu dari awal sampai akhir.”

“Perjanjian untuk menikahkanmu dengan Amara,” lanjut Anisa lirih. “Dan perjanjian apa yang akan melindungi aku dari rasa sakit yang lebih besar.”

Itu kalimat yang berhasil menusuk dada Alex.

Ia mendekat, duduk di samping istrinya, namun menjaga jarak kecil agar Anisa tidak merasa terhimpit. “Aku tidak ingin kau terluka lebih dari ini.”

“Sudah terluka,” jawab Anisa jujur. “Tapi setidaknya… beri aku pegangan agar aku nggak hancur.”

Alex menghela napas panjang. “Anisa, aku menikahi Amara hanya untuk urusan anak. Tidak lebih.”

“Aku tahu itu,” balas Anisa, meski ia tak yakin benar-benar percaya. “Tapi setelah akad nanti, dia tetap istrimu secara hukum.”

Alex tak menyela. Ia tahu Anisa benar.

“Aku ingin batas,” lanjut Anisa. “Batas yang jelas. Batas yang tidak bisa kau atau dia langgar.”

“Coba sebutkan,” kata Alex lembut.

Anisa menelan ludah, mengatur napas yang bergetar. “Pertama—aku tidak mau ada hubungan suami-istri kecuali untuk program anak. Itu pun harus dijadwalkan dan aku harus tahu kapan.”

Alex mengangguk, menandai dalam pikirannya, itu bisa dipenuhi.

“Kedua,” suara Anisa melemah, “tidak ada sentuhan atau perhatian romantis. Tidak ada kemesraan. Tidak ada panggilan sayang. Tidak ada… hal-hal yang membuat aku merasa digantikan.”

“Aku bisa lakukan itu,” jawab Alex tanpa ragu.

“Ketiga.” Kali ini Anisa menatap langsung ke mata suaminya. “Aku tetap istrimu yang utama. Itu harus tertulis. Harus jelas.”

Alex mengangguk lagi.

“Keempat… setelah Amara melahirkan, kau harus menceraikannya sesuai kontrak.”

Alex menjawab tegas, “Itu sudah menjadi isi kontrak dari awal.”

Anisa memejamkan mata. “Dan kelima… aku ingin dia tetap menghormatiku. Tidak mencampuri urusan rumah tangga kita. Tidak masuk ke ruang pribadi kita.”

Alex kembali mengiyakan.

“Aku berjanji, semuanya akan berjalan sesuai batas yang kau tentukan.”

Anisa mengusap air mata, berusaha menguatkan diri. “Aku bukan benci dia, Alex. Aku hanya takut… bahwa aku lama-lama akan kehilanganmu.”

Alex menahan napas. Perlahan, ia memegang tangan istrinya — bukan memaksa, hanya mengetuk halus, memberi kesempatan jika Anisa ingin menarik tangannya. Tapi Anisa diam saja.

“Kau tidak akan pernah kehilangan aku,” jawab Alex, suaranya lebih berat dari biasanya. “Ini hanya kewajiban. Bukan pilihan hati.”

---

Tak lama setelah percakapan itu, Alex memutuskan turun ke ruang makan. Anisa memilih tidak ikut, masih butuh waktu menenangkan diri. Begitu sampai, Alex melihat Amara sedang duduk tegak, seperti siswa yang menunggu guru masuk kelas. Semua staf langsung menunduk memberi hormat padanya.

Amara berdiri terburu-buru. “S-selamat pagi, Tuan.”

“Pagi,” jawab Alex singkat, tapi tidak kasar.

Para staf yang lain kemudian berpamitan untuk kembali bekerja, meninggalkan Alex dan Amara sendirian di meja besar itu. Suasana hening, hanya terdengar suara sendok kecil menyentuh porselen.

Amara membuka percakapan dengan suara kecil. “Maaf kalau saya merepotkan staf rumah.”

“Kau tidak merepotkan siapa pun,” jawab Alex dingin tapi teratur. “Mulai hari ini, kau tinggal di sini berdasarkan perjanjian yang akan kita jalani. Jadi sudah seharusnya kau diperlakukan baik.”

Amara mengangguk cepat, masih takut salah. “Saya akan mengikuti semua aturan yang Tuan dan Ny—” Amara berhenti. Ia bahkan tak tahu harus memanggil Anisa apa.

“Panggil Anisa dengan sebutan ‘Bu Anisa’. Dia istri utama,” kata Alex tegas tetapi tidak membentak. “Dan kau harus selalu menghormatinya.”

“Saya mengerti, Tuan.”

“Dan ada beberapa batasan yang harus kau patuhi.”

Amara menunduk. “Apa pun itu, saya akan patuhi. Saya tidak ingin membuat masalah.”

Alex menghela napas. Gadis itu terlihat terlalu muda untuk menanggung beban sebesar ini. “Pertama, hubungan kita hanya sebatas perjanjian. Tidak ada hubungan emosional. Tidak ada keterikatan apa pun di luar kesepakatan.”

Amara menelan ludah, jelas sudah menduganya, tetapi tetap merasa sesak. “Ya, saya paham.”

“Kedua,” lanjut Alex, “peranmu hanya sampai program anak berhasil. Setelah itu, kontrak selesai. Kau bebas.”

Amara mengepalkan jarinya di pangkuan. “Baik.”

“Dan yang paling penting,” Alex menatap lurus, “jangan pernah membuat Anisa merasa tergantikan.”

Wajah Amara memucat. “Tuan… saya datang ke sini karena keadaan. Saya tidak akan mengambil apa pun dari Bu Anisa. Bahkan kebahagiaannya pun tidak.”

Alex mengangguk tipis, menghargai jawaban itu.

Hening lagi.

Sampai akhirnya Amara berkata lirih, “Tuan… apa saya boleh tanya satu hal?”

“Tanya.”

“Apakah… Bu Anisa membenci saya?”

Alex menjawab pelan, “Anisa sedang berusaha menerima situasi ini. Itu tidak mudah baginya. Tapi dia tidak membencimu secara pribadi.”

Amara menunduk lebih dalam. “Saya tidak ingin membuat hidupnya semakin sedih.”

“Kalau begitu, patuhi setiap batas dan jaga jarak yang pantas,” kata Alex. “Itu sudah cukup.”

---

Sarapan berakhir tanpa banyak percakapan lain. Tapi pagi itu meninggalkan satu kenyataan penting bagi ketiganya:

Amara sudah masuk ke dalam sistem yang tidak ia inginkan.

Anisa sedang belajar menerima sesuatu yang tidak pernah ia minta.

Dan Alex—terjepit di antara kebutuhan, tanggung jawab, dan perasaan.

Rumah besar itu terlihat tenang dari luar, tapi di dalamnya, hati tiga orang sedang berperang dengan cara masing-masing.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 8

    Malam itu, rumah besar milik Alex Wiranata Kusuma terasa berbeda.Lampu-lampu menyala lebih terang dari biasanya, namun justru membuat bayangan di sudut-sudut ruangan tampak semakin panjang. Udara seolah menekan, sunyi tetapi sarat dengan kegelisahan yang tidak terucap.Di kamar utama, Anisa mondar-mandir tanpa arah.Kadang ia duduk di tepi ranjang, jemarinya saling menggenggam hingga memutih. Beberapa detik kemudian ia berdiri lagi, melangkah menuju jendela, lalu kembali berbalik. Berkali-kali. Seperti singa yang terkurung di kandang emasnya sendiri.“Napas… Anisa, tarik napas,” gumamnya lirih, namun dadanya tetap terasa sesak.Malam ini—Malam ini akan mengubah segalanya.Pernikahan siri itu akan dilakukan di rumah ini. Tanpa pesta. Tanpa gaun megah. Tanpa sorotan publik. Namun dampaknya akan terasa sepanjang hidupnya.Anisa menyentuh dadanya sendiri.Aku istri sahnya, batinnya berusaha menguatkan diri.Namaku tercatat. Posisiku tidak tergeser.Namun kalimat itu tidak mampu menenang

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 7.

    Amara baru saja menutup pintu kamarnya ketika tangannya menyentuh paperbag besar berlogo butik mewah itu. Tas-tas lain sudah disusun rapi oleh para ART sebelumnya, namun satu paperbag masih tergeletak di sudut ranjang—belum sempat ia buka.Dengan ragu, Amara menariknya mendekat.“Kira-kira apa lagi ini…” gumamnya pelan.Ia membuka lipatan kertas tebal itu perlahan. Jantungnya berdegup lebih cepat saat ujung kain terlihat. Bukan gaun biasa. Bukan pakaian rumah.Kebaya.Kebaya pengantin.Amara terdiam.Tangannya gemetar saat mengangkat kain itu. Warna gading lembut dengan bordiran halus keemasan. Sangat anggun. Sangat indah. Dan… sangat tidak seharusnya ada di tangannya.“Nggak mungkin…” bisiknya, napasnya tercekat.Ia mundur selangkah, seperti kebaya itu benda berbahaya. Dadanya terasa sesak. Tenggorokannya kering.Secepat ini?Bahkan tanpa aku siap?Tiba-tiba—KREKK.Pintu kamarnya terbuka.Amara terlonjak, hampir menjatuhkan kebaya itu.Di ambang pintu berdiri Anisa.Wajah perempuan

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 6.

    PERTEMUAN SETELAH SARAPAN. Ruang makan itu belum sepenuhnya sepi ketika Amara masih duduk dengan punggung tegak, kedua tangannya bertumpu di atas pangkuan. Sarapan yang tersaji di depannya tampak utuh, hampir tak tersentuh. Bukan karena ia tidak lapar—perutnya justru melilit sejak pagi—butir nasi dan lauk yang tersaji terasa seperti pasir di lidahnya. Setiap suapan terasa berat. Setiap tarikan napas terasa salah tempat. Amara masih belum beranjak dari kursinya ketika suara langkah kaki bersepatu hak terdengar mendekat dari arah lorong. Bunyi itu tegas, ritmis, dan penuh percaya diri—sangat kontras dengan langkah Amara yang selalu ragu. Ia tahu siapa pemilik langkah itu. Refleks, Amara menunduk lebih dalam. Anisa. Perempuan itu masuk ke ruang makan dengan balutan gaun rumah berwarna krem lembut, rambutnya terurai rapi, riasan wajahnya sederhana namun jelas menunjukkan keanggunan seorang nyonya rumah. Tidak ada sisa tangis semalam di wajahnya—atau setidaknya ia pandai menyembuny

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 5.

    Pagi pertama di rumah besar itu terasa sangat asing bagi Amara. Udara masih dingin, embun di taman kecil depan kamar terlihat bergantung pada daun-daun hijau, tapi tidak ada satu pun suasana yang terasa menenangkan. Ia bangun dengan mata berat—bukan karena kurang tidur, tetapi karena semalaman ia hanya memikirkan satu hal: hidupku tidak akan sama lagi.Dia duduk di tepi ranjang lama, memegang ujung selimut tanpa tahu harus apa. Ketika pintu diketuk pelan, Amara tersentak.“Non Amara?” suara seorang perempuan terdengar dari luar. Lembut, seperti takut mengganggu. “Sarapan sudah siap. Kalau Non berkenan, saya antar ke bawah.”Perempuan itu memperkenalkan diri sebagai Maya, salah satu staf rumah yang bertugas di bagian pelayanan pribadi. Usianya sekitar tiga puluhan, tampak ramah dan tidak mengintimidasi seperti bayangan Amara tentang rumah orang kaya. Namun tetap saja, Amara gugup—seolah gerak-geriknya diawasi dari balik tembok.“Saya… saya ke bawah sendiri saja,” jawab Amara, suaranya

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 4.

    Pintu kamar tertutup dengan pelan saat Anisa masuk. Begitu tubuhnya menyentuh udara kamarnya sendiri—sebuah ruangan yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya—segala ketahanan yang selama ini ia paksa muncul di depan Alex dan Amara runtuh seketika.Tanpa kekuatan lagi, Anisa duduk di tepi ranjang.Lalu tangisnya pecah.Isak kecil berubah menjadi sesenggukan. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, bahunya bergetar hebat. Perasaan yang ia tahan sejak tadi—marah, kecewa, takut, cemburu, dan merasa dikhianati—sekarang menumpuk menjadi satu.“Aku… tidak cukup, ya…?” bisiknya di sela tangis.Ini bukan sekadar soal gadis lain di rumah.Ini tentang keputusan besar yang diambil Alex tanpa mengajaknya bicara.Tentang perasaan tidak dianggap…Tentang takut kehilangan…Ketukan pintu terdengar pelan.Tok… tok…“Anisa.” Suara Alex terdengar berat.Anisa buru-buru menghapus air mata, tapi tangannya gemetar dan wajahnya masih basah.Ia menjawab tanpa menoleh, “Masuk saja.”Pintu terbuka.Alex

  • Sentuhan Panas Suami Cacat    Bab 3

    Ruang tamu besar itu terasa dua kali lebih sunyi ketika Anisa menoleh ke arah Amara. Tatapan perempuan itu bukan tajam, bukan marah—tetapi kosong, seperti seseorang yang sedang mencoba memahami badai yang tiba-tiba menerjang hidupnya.“Amara,” panggil Anisa dengan suara yang hampir tidak terdengar.“Masuklah ke dalam kamar yang sudah disiapkan untukmu.”Suara itu lembut… namun letih. Seolah Anisa menahan sesuatu yang berat agar tidak pecah di depan siapa pun.Amara mengangguk cepat. “B—baik, Nyonya.”Rafa, asisten Alex, memberi isyarat. “Nona Amara, mari saya antar.”Amara mengikuti Rafa menyusuri lorong panjang dengan jantung yang berdebar tidak wajar. Setiap langkah terasa seperti melangkah ke dunia yang bukan miliknya. Dinding putih bersih, lantai marmer halus, dan pencahayaan elegan—semua terasa asing. Bahkan aroma rumah ini pun berbeda: wangi mahal yang menusuk ketenangan.Sementara itu, di ruang tamu, Anisa masih berdiri menatap punggung Amara sampai gadis itu hilang di tikungan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status