LOGIN“Apa mungkin kalau Megan itu ….”
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan di pintu kamarnya itu tiba-tiba membuyarkan lamunan Anne. Gadis itu mendongak cepat, dan saat itulah ia melihat pintu terbuka dari luar. Martha masuk dengan langkah berwibawa.
“Nona Anne, Tuan Leon memanggilmu. Bersiaplah!” Suara Martha terdengar tenang dan tegas.
Anne sontak menegakkan tubuhnya. Urat lehernya menegang, setengah terkejut dengan kedatangan Martha yang tiba-tiba.
“Memanggilku? Tapi untuk apa, Martha?” Kening Anne mengernyit.
“Sebaiknya kau ikut saja dan tanyakan langsung pada Tuan Leon. Sekali lagi aku peringatkan, kalau Tuan Leon itu tidak suka dibantah. Dia juga tidak suka menunggu. Jadi kalau kau masih ingin hidup, sebaiknya kau menurut saja dan lakukan perintahnya segera!” Martha memberikan penekanan pada kata-katanya.
“Baik, Martha.” Anne mengangguk singkat.
Martha berjalan lebih dulu keluar dari kamar, sedangkan Anne mengekor di belakangnya. Gadis itu berjalan tanpa ekspresi, tangannya saling meremas. Sepanjang ia berjalan, pikirannya terus berkecamuk. Ia memikirkan setiap kata-kata penekanan yang diucapkan oleh Martha.
Saat mengikuti Martha menyusuri lorong ruangan yang terasa sangat panjang, Anne menunduk, wajahnya datar, seolah-olah ia memang sudah menyerah. Namun di dalam benaknya, ia justru menghitung setiap langkah demi langkah. Setiap belokan di lorong, setiap jendela dengan tirai tipis, bahkan pintu samping yang sempat setengah terbuka, semua itu tak luput dari perhatiannya dan ia catat diam-diam di dalam pikirannya.
"Kalau suatu hari aku kabur dari sini, aku harus tahu jalan mana yang akan aku lalui," bisiknya dalam hati.
Beberapa pelayan lewat sambil membawa baki atau kain pel. Mata mereka langsung menunduk cepat begitu melihat Anne bersama Martha. Namun, Anne terus menatap secara sembunyi-sembunyi ke arah mereka. Ia memperhatikan siapa yang berjalan cepat, siapa yang terlihat gugup, serta siapa yang berani meliriknya sekilas.
Sekecil apa pun, semua itu ia simpan dalam ingatannya.
“Aku pasti akan membutuhkan semua informasi sekecil apapun di rumah ini untuk bisa kabur nanti.” Anne bergumam dalam hatinya.
Martha menoleh sekilas, memastikan bahwa Anne masih mengikutinya.
“Jangan macam-macam. Tuan tidak suka menunggu. Ayo cepat!”
Anne mengangguk dan menunduk lebih dalam.
“Aku tahu itu.”
*
Pintu besar di ruang kerja Leon pun terbuka perlahan. Begitu Anne masuk, aroma harum yang sangat mahal bercampur cerutu segera memenuhi indera penciuman. Leon duduk di kursi kulit hitam di balik meja panjang. Satu tangannya memegang gelas anggur. Ia menoleh ke arah pintu. Tatapannya langsung menusuk begitu melihat kedatangan Anne.
“Duduk!” perintahnya tanpa basa-basi.
Anne mengangguk pelan, dan duduk perlahan. Tangannya ia taruh di pangkuan, wajahnya tetap menunduk, dan hanya sesekali mencuri pandang ke arah Leon.
“Kenapa kau lama sekali?” Suara Leon terdengar menggelegar di telinga Anne.
“Maaf, Tuan, tadi ….”
“Bukankah Martha sudah bilang, kalau aku paling tidak suka menunggu lama? Jadi sebaiknya kau jangan melakukan hal-hal yang tidak aku suka, atau aku tidak segan-segan untuk melenyapkanmu.”
Anne tersentak, bahunya bergetar halus. Namun yang keluar dari bibirnya hanya kata-kata singkat.
“Baik, Tuan.”
“Hahaha, Kau cepat sekali menurut. Apa kau tidak punya kehendak sendiri? Atau kau hanya boneka yang bisa kuperintahkan sesuka hati?” Leon tertawa puas, melihat Anne benar-benar seperti boneka yang bebas ia mainkan begitu saja.
Anne semakin tersudut. Giginya bergemeretak lirih, tapi dalam hati dia justru semakin yakin untuk bermain peran lemah demi mencari celah agar bisa kabur dari tempat ini.
Leon menyandarkan punggung ke kursi, lalu mengangkat dagu tinggi. Ia meneguk anggurnya dengan sangat seksi, membiarkan jakunnya naik turun. Leon juga menjilat bibirnya sendiri, menyeka sisa anggur yang masih menempel.
“Ingat, Anne. Kau masih hidup, karena aku menginginkannya. Kalau aku tidak membelimu di aula lelang itu, mungkin sekarang kau sudah jadi budak nafsu di sana. Bahkan mungkin kau sudah diperjualbelikan sampai di luar negeri, dan kau bisa dibunuh di sana. Jadi jangan pernah lupa itu. Aku yang berjasa besar menyelamatkan hidupmu.”
Anne menelan ludahnya dengan susah payah. Tenggorokannya terasa kering. Jantungnya berdebar keras, tapi ia berusaha menahan diri agar suaranya tidak pecah.
“Apa saya sudah melakukan sesuatu yang salah, Tuan? Saya tidak mengerti kenapa saya di sini. Kenapa harus saya? Kenapa bukan orang yang kau inginkan saja?”
Leon tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Anne lama, lalu bibirnya melengkung sinis.
“Karena kau adalah cerminan dari seseorang yang telah berdosa besar padaku. Dan aku tidak akan pernah berhenti sampai aku puas. Bukan hanya dia, tapi kau juga harus ikut merasakan akibat dari kemarahanku.”
Anne menggigit bibir. Dalam hatinya ia tahu bahwa lagi-lagi itu tentang Elle. Namun, ia masih belum mengerti kenapa Leon bisa sampai semurka itu pada Elle.
Apa dosa yang dia maksud?
Kenapa Leon tidak menangkap Elle saja, dan kenapa harus dirinya?
Suasana ruangan itu pun mulai hening. Anne menunduk makin dalam, tapi sesekali ia memperhatikan apa yang dilakukan oleh Leon. Cara Leon meletakkan gelas, posisi tangannya, dan nada suaranya yang berubah tiap kali bicara. Semuanya ia amati.
Leon tiba-tiba berdiri dan berjalan mengitari meja. Suara sepatunya menghentak lantai marmer, membuat Anne semakin menunduk. Saat Leon berhenti di belakangnya, jantungnya terasa semakin berdetak kencang.
Tiba-tiba jemari Leon menyentuh bahunya ringan, membuat Anne refleks menegang.
“Lihat aku,” ucap Leon pelan tapi menekan.
Anne mengangkat wajah dengan gemetar. Mata mereka bertemu sesaat. Tatapan Leon tajam, mencari sesuatu di dalam mata Anne. Tapi yang ia temukan hanyalah ketakutan dan kepasrahan.
Leon tersenyum miring, seolah puas.
“Begitu lebih baik.”
Tok!
Tiba-tiba saja, Leon meletakkan gelasnya keras di meja. Suara gelas beradu dengan meja, membuat tubuh Anne tersentak kaget.
“Mulai besok kau akan selalu berada di sisiku. Kau harus ikut ke mana pun aku pergi. Aku ingin melihat sejauh mana kau bisa bertahan.”
“Ba … baik, Tuan.” Suara Anne bergetar.
Ia menunduk lebih rendah, berusaha menutupi napasnya yang memburu. Dari luar, ia tampak seperti gadis lemah yang hanya pasrah menerima perlakuan Leon. Akan tetapi di balik wajahnya, pikirannya berputar dengan cepat dan begitu rumit.
"Jika aku ikut ke luar, mungkin aku bisa melihat dunia di luar mansion ini. Dan itu bisa jadi celah untukku kabur dari tempat ini.”
“Walaupun aku akan mengajakmu keluar, tapi jangan pernah berpikir kalau kau bisa kabur dari sini. Kau akan dijaga ketat oleh para pengawal ku. Bahkan untuk sekedar ke toilet saja, kau akan selalu dikawal oleh mereka.” Leon menyeringai menatap Anne.
Sialan!
“Kenapa dia seperti mengetahui apa yang sedang aku pikirkan?” batin Anne terkejut.
Dengan hati-hati, Anne berusaha menyembunyikan rasa gugupnya dan memberanikan diri bertanya lagi pada Leon. Suaranya bahkan terbata-bata.
“Maaf, Tuan. Kalau saya boleh tahu, apa yang sebenarnya sudah Elle lakukan padamu?”
Langkah berat Leon terdengar mendekat. Ia semakin menatap Anne dengan buas. Matanya merah menyala, dan raut wajahnya tak ramah sama sekali.
Anne masih duduk kaku di kursinya. Ia menahan napas ketika pria itu tiba di hadapannya. Leon menunduk begitu dekat, hingga hangat napasnya membelai telinga Anne.
Leon meraih dagu Anne, memaksa gadis itu untuk mendongak menatapnya. Ada rasa jijik dan takut menjalari tubuh Anne. Tapi ia juga sadar, kalau dia menolak atau melawan, maka dia bisa mati saat itu juga.
“Tanyakan itu langsung pada Elle,” bisiknya dengan suara dingin dan tajam.
“Itu pun kalau kau masih bisa menemukannya hidup-hidup.”
Satu detik kemudian, Leon kehilangan kendali. Sisi gelapnya kembali mengambil alih. Tamparan itu mendarat dengan keras dan kasar.Begitu kuatnya tamparan Leon hingga membuat Anne terjerembab. Air matanya seketika jatuh. Ia memegang pipinya yang memerah, dengan rasa terkejut dan tak percaya atas apa yang sudah dilakukan oleh suaminya barusan.“Leon,” lirih Anne dengan suaranya yang pecah.Namun, Leon tak memberi kesempatan sedikit pun pada Anne untuk berkata lebih banyak. Ia mengambil sebuah dress dari lemari, dress tipis yang bahkan Anne tak pernah mengenakannya. Leon melemparkan dress itu ke Anne dengan kasar, membuangnya tepat hingga menampar wajah Anne.“Pakai ini!” Suaranya datar, dingin, mematikan.“Dan setelah itu, keluar kau dari rumahku!” “Leon, tolong dengarkan aku dulu. Aku juga tidak tahu apa yang terjadi. Aku bahkan ….”“Pakai! Sebelum aku melenyapkanmu dengan tanganku sendiri!”“Bukankah aku sudah bilang, kalau aku sangat membenci penghianatan!” sentak Leon lagi, suarany
“Ini … ini tidak mungkin.”Isi dalam kotak itu membuat tubuh Leon rasanya membeku. Di dalamnya terdapat begitu banyak foto-foto, bahkan sangat banyak.“Foto Anne?” ucapnya lirih, suaranya bahkan terdengar bergetar.Ia raih foto-foto itu dan dilihatnya satu per satu.Ya, semua foto-foto Anne itu diambil saat bulan madu mereka di Paris. Tetapi anehnya, hanya ada foto Anne saja di dalamnya. Anne sedang berjalan sendirian di depan villa, Anne sedang memandang ke arah laut, dan masih banyak lagi foto-foto yang lain. Hanya Anne seorang diri, tanpa adanya Leon sama sekali.Dan semua foto itu seolah diambil dari sudut yang mencurigakan. Angle nya bahkan sangat tak tertebak, seperti ada seseorang yang menguntitnya dari jarak jauh.Namun bukan itu yang membuat darah Leon mendidih. Tepat di dekat foto-foto itu, ada sebuah surat yang ditulis dengan tulisan tangan. Leon mengambil kertas itu dengan cepat. Kerta tipis itu beraroma parfum yang asing, dan bukan dari siapa pun yang Leon kenal.Dengan c
Beberapa hari berlalu, tak terasa malam ini merayap dengan pelan, membawa hawa dingin yang menempel di jendela kamar Leon dan Anne. Lampu kamar itu temaram, cukup redup untuk memberi rasa nyaman. Namun cukup terang untuk memperlihatkan betapa lelahnya Anne secara batin.Sejak Valerie ditemukan dalam kondisi mengenaskan, tubuh Anne seperti kehilangan tenaga. Tapi malam ini, Leon tampak berbeda. Ada sesuatu dalam sorot matanya. Sesuatu yang menginginkan kedekatan, kehangatan dan mungkin pelarian dari stres yang menumpuk.Ketika Anne sedang berdiri di depan jendela dan menatap ke luar sana, Leon tiba-tiba saja memeluk pinggang istrinya itu dari belakang.“Sayang,” bisiknya rendah, tepat di telinga Anne.Leon meletakkan dagunya di pundak Anne, dan perlahan bibirnya mulai menjamah tengkuk sang istri, membuat tubuh Anne meremang.Anne menoleh perlahan dengan tak bersemangat. Ia sebenarnya tidak sedang ingin disentuh, karena pikirannya masih kacau oleh kondisi mamanya. Tapi ia juga tahu, ia
“Ma! Mama!” Anne mengguncang tubuh Valerie dengan panik saat ibunya itu tiba-tiba jatuh pingsan.“Megan, ambilkan selimut! Jonathan, ambil air dingin!” seru Leon tegas.Namun tidak ada satu pun tindakan yang mampu menenangkan Anne yang sudah histeris.“Leon, mama kenapa? Apa yang terjadi pada mama kenapa?” tangisnya sudah pecah begitu saja.Leon segera mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menekan nomor dengan cepat. Dengan panik, ia menghubungi seseorang di seberang sana.“Dokter Ethan, datang ke mansion sekarang juga. Ini darurat,” suara Leon tajam dan tergesa, ia tidak memberi ruang untuk pertanyaan sedikit pun.Tak butuh waktu lama. Dalam hitungan menit, dokter pribadi keluarga Dominic itu sudah datang dengan membawa tas medis. Valerie dipindahkan ke kamar utama untuk tamu. Tangannya terpasang infus, dan diletakkan alat monitor kecil di sisi tempat tidur.“Kondisi Nyonya Valerie masih lemah. Dia harus istirahat total,” kata Dokter Ethan setelah semua tugasnya selesai.Anne dudu
Leon menatap kotak hitam itu dengan hati-hati. Pita emasnya sudah ia pegang dan separuh sudah terlepas. Anne berdiri di sampingnya dengan napas tertahan, seolah kotak itu bisa saja berisi sesuatu yang Mengejutkan dan mengubah hidup mereka.Namun sebelum Leon sempat membuka kotak itu sepenuhnya, tiba-tiba saja ….Drttt! Drrtt!Ponselnya bergetar cukup kuat. Nada dering itu memecah keheningan di antara Anne dan Leon yang terlihat tegang. Leon mengurungkan niat untuk membuka kotak itu. Ia meraih ponsel dan melirik layarnya.Anne pun ikut melihat ponsel suaminya tersebut.“Dari Adrian,” ujar Leon sambil melirik pada Anne.“Adrian? Ada apa? Tumben sekali dia menelfon?” Anne bertanya-tanya dengan cemas.“Dia tidak mungkin sampai menelfon kalau tidak ada sesuatu yang penting. Dia tidak akan seberani itu untuk mengganggu bulan madu kita.” Leon setengah bergumam.Secara bersamaan, Anne dan Leon merasakan hal yang sama. Mereka punya firasat buruk yang cukup mengusik pikiran. Leon mengangkat tel
Suasana kamar mandi yang seharusnya dingin, kini perlahan berubah menjadi panas. Leon sudah melucuti seluruh pakaian istrinya, begitu juga Anne yang sudah membuat suaminya itu kini telan*j*ng bulat. Saat Anne duduk di pangkuannya, Leon perlahan mulai mengarahkan juniornya yang sudah tegang itu ke dalam milik sang istri. Jleb! Milik Leon lesap sepenuhnya ditelan oleh kehangatan lembah milik Anne yang membuatnya ketagihan. Leon segera melahap bibir sang istri, sambil tangannya meremas-remas kedua payudara Anne yang besar dan berguncang. “Ahh! Ahh! Ahh.” Anne mendesah-desah sambil menggenjot milik suaminya naik turun. “Ohh, ohh, terus sayang. Mmm, nikmat sekali.” Leon sampai terpejam karena keenakan. Kedua pasangan baru itu terus melakukan percintaan panas tersebut hingga akhirnya mereka mencapai pelepasannya. Dan cairan cinta mereka pun tumpah di mana-mana. Setelah puas dengan adegan mandi bersama, Leon dan Anne pun segera bersiap-siap. Mereka lantas menuju ke ruang makan







