“Ada apa dengan tubuhku?” bisik Anne lirih. Jemarinya menggenggam kuat sisi meja makan.
Panas itu datang begitu tiba-tiba. Anne merasakan tubuhnya bergetar, seolah ada sesuatu yang menyusup dalam darahnya. Hatinya berteriak menolak, tetapi tubuhnya berkhianat, dan menggeliat tanpa bisa ia kendalikan. Nafasnya tersengal, kulitnya seperti terbakar dari dalam.
Peluh menetes di pelipis. Jantungnya berdegup tak beraturan. Ia menatap piring di depannya yang baru berkurang sedikit. Ia menatap Martha yang kini berjalan semakin menjauh, bahkan hilang dari pandangannya. Mata Anne memerah.
Perempuan itu menatapnya samar sebelum pergi, meninggalkannya sendirian di ruang makan besar itu.
“Martha, dia pasti menaruh sesuatu di makananku.” Anne mendesis lirih.
Anne menggigit bibir, menahan sesuatu yang aneh merambat di seluruh tubuhnya. Ia merasa haus, tapi bukan haus akan air, melainkan sebuah sentuhan. Tubuhnya seperti berteriak minta disentuh, sementara pikirannya menolak mentah-mentah.
Dengan tangan gemetar, ia meraba dadanya sendiri dan meremasnya pelan.
“Ahh, kenapa nikmat sekali?” racau Anne, merasakan kenikmatan mengaliri tubuhnya hanya karena sentuhan kecil itu.
Ia mencoba menenangkan detak jantung yang makin menggila. Namun justru rasa itu semakin menjadi, dan membuat tubuhnya bergetar hebat.
“Tidak! Jangan! Aku tidak mau ini.” Suaranya pecah, matanya basah oleh air mata yang tak tertahan.
Tubuh Anne semakin menggeliat seperti cacing kepanasan. Wajahnya sudah kian memerah, dan tangannya tak henti meraba tubuhnya sendiri. Ia sudah benar-benar menangis sekarang.
Saat Anne kian gelisah dan hampir tenggelam dalam rasa aneh itu, langkah kaki terdengar. Ia menoleh cepat, dan melihat Martha yang muncul kembali. Tatapan wanita itu sangat dingin dan tanpa rasa iba.
“Sudah waktunya,” ucapnya singkat, lalu tiba-tiba ia menarik paksa lengan Anne.
“Tidak! Kamu mau bawa aku kemana?” teriak Anne.
“Ikut saja. Nanti kau juga akan tahu.”
“Aku bisa jalan sendiri! Lepaskan aku!”
Anne memberontak, meronta dengan sisa tenaga yang ada. Akan tetapi, tubuhnya terlalu lemah, dan Martha dengan mudah menyeretnya begitu saja.
“Martha, lepaskan aku!” Anne menendang dan mencakar Martha, berusaha melepaskan diri.
“Bawa aku ke kamarku! Aku tidak mau ke sana!”
Namun, Martha tak bergeming. Ia tetap menyeret tubuh Anne hingga berhenti di depan sebuah pintu besar.
Pintu kamar Leon!
“Tidak! Jangan bawa aku ke dalam sana!” Anne menjerit, tapi Martha tetap membuka pintu dan mendorongnya masuk.
Bruk!
Tubuh Anne terhempas ke lantai berkarpet tebal. Nafasnya memburu. Mata sudah basah penuh air mata ketakutan.
“Aku tidak mau di sini! Keluarkan aku dari sini!”
Dan baru saja Anne hendak menghambur keluar, saat itulah suara langkah berat terdengar dari arah luar.
Gadis itu terhenyak, dan tubuhnya membeku sesaat.
“Kau?”
Leon masuk dengan langkah tegas. Tatapannya begitu puas dan menusuk.
“Bagus sekali, Martha,” katanya dingin sambil menatap pelayannya itu.
“Kau boleh pergi sekarang.”
“Baik, Tuan Leon.” Martha menunduk, lalu menutup pintu, meninggalkan Anne yang terperangkap bersama sang majikan di dalam kamar itu.
Anne mendongak menatap Leon. Tubuhnya semakin gemetar.
“Kau, apa yang kau lakukan padaku?”
Leon tersenyum miring, lalu berjalan pelan dan mendekat.
“Aku hanya memberimu hadiah kecil. Obat perangsang itu … sudah membuatmu jujur pada tubuhmu sendiri.”
Anne mundur, punggungnya menempel pada ranjang.
“Kurang ajar kau, Leon! Kau sengaja ....”
Leon menunduk, jemarinya menyentuh dagu Anne dengan ringan.
“Lihatlah dirimu. Kau gemetar, panas, dan tubuhmu memohon sesuatu yang mulutmu tolak. Bukankah itu menarik?”
Anne menepis tangannya. Wajahnya merah antara marah dan malu.
“Aku benci kau!”
Namun, tubuhnya justru merespons sebaliknya. Ia semakin bergetar saat Leon dengan sengaja menyusuri bahunya dengan ujung jarinya.
Sentuhan itu terasa ringan dan nyaris tak berarti, tapi bagi Anne yang terjebak dalam efek obat, rasanya seperti api yang membakar. Entah kenapa ia merasa ingin disentuh lebih jauh.
“Argh! Berhenti,” desah Anne dengan suara lemah dan bergetar.
“Aku bisa membuatmu meledak hanya dengan satu sentuhan, tapi aku tidak akan memberimu kepuasan itu. Aku ingin melihatmu tersiksa, Anne. Aku ingin kau merasakan betapa tubuhmu mengkhianati kebencianmu padaku.” Leon menunduk ke telinganya, sembari berbisik lirih.
“Brengsek kau, Leon!”
Anne menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan tangis. Tubuhnya semakin liar, ia bahkan berusaha melawan dengan mencakar dada Leon, dan menendangnya dengan sisa tenaga.
Leon hanya tertawa kecil melihat perlawanan Anne. Namun, tatapannya mulai serius saat merasakan cakar Anne meninggalkan bekas merah di kulitnya.
“Wow, kau benar-benar liar ya?” hina Leon sambil berusaha memeluk Anne.
“Tidak! Menjauh dariku!” Anne menjerit dan mendorong Leon hingga hampir kehilangan keseimbangan.
“Lakukan apapun yang kau bisa.” Leon tersenyum miring.
Pria itu meraih tubuh Anne dengan cepat. Dalam sekali hentakan, Leon berhasil menghempaskan tubuh indah Anne ke atas ranjang.
“Jangan coba-coba melawanku.”
Leon menahan kedua tangannya di atas kepala dan menekannya ke ranjang. Nafasnya berat, matanya menyala penuh gairah sekaligus amarah.
“Jangan pikir kalau aku akan menyerah padamu! Tidak akan pernah!”
Anne tak berhenti melawan. Ia bahkan menggigit lengan Leon dengan keras hingga pria itu meringis.
“Sialan! Berani-beraninya kau?” desis Leon, tapi senyum liciknya tak hilang.
Dugh!
“Argh!” Leon memekik, karena tiba-tiba Anne menendang juniornya dengan sangat keras.
Anne berhasil melepaskan diri dari pelukan Leon, dan berlari ke pintu dengan langkah cepat. Ia berusaha membuka pintu dan berlari keluar kamar. Napasnya terengah, karena tubuhnya masih diguncang oleh panas yang menyiksa.
Gadis itu berlari dengan panik, sambil sesekali menoleh ke belakang. Ia melihat Leon bersama anak buahnya juga sedang berlari mengejarnya.
“Kejar dia!” suara Leon menggelegar di koridor.
Anak buahnya yang berjaga segera berlari untuk mengejar. Anne berlari sekuat tenaga menyusuri lorong panjang mansion itu. Jantungnya berdentum sekeras gendang perang.
“Cepat! Jangan sampai lolos!” teriak salah satu pria.
Anne menoleh ke belakang. Matanya membelalak saat melihat beberapa pria mendekat. Nafasnya makin pendek, dan tubuhnya kian gemetar.
“Aku tidak boleh sampai tertangkap oleh mereka.” Ia berlari ke arah ruang besar dengan panik.
Namun, langkahnya mendadak terhenti saat salah satu dari mereka berhasil meraih lengannya.
“Hahaha! Kena juga kau!”
“Lepas! Jangan sentuh aku!” Anne menjerit dan berusaha menendang.
Para pria yang ada di sana justru tertawa puas saat melihat Anne berontak.
“Tuan Leon menyuruh kami untuk menangkapmu. Kalau begitu, mungkin kami bisa bersenang-senang sebentar.”
“Jangan berani sentuh aku, atau kubunuh kalian!” Anne melangkah mundur, tapi tubuhnya sudah ditahan oleh pria yang lain.
Gadis itu semakin menjerit-jerit ketakutan saat para anak buah Leon mendekat, dan hendak meraba-raba tubuhnya.
“Lepaskan dia!”
Tiba-tiba suara keras terdengar membuat para pria itu menoleh dan menghentikan aksinya.
Sosok Leon muncul di sana dengan wajah murka.
“Siapa yang mengizinkan kalian menyentuhnya, hah?” Leon mengayunkan tinjunya ke wajah salah satu anak buahnya hingga pria itu terhempas ke dinding.
Bugh!
“A … ampun, Tuan Leon,” ujar pria itu terbata-bata ketakutan.
“Dia milikku, dan hanya aku yang boleh menyentuhnya!”
Para anak buah saling pandang ketakutan. Mereka mundur dan tak berani mendekat lagi.
Anne terpaku dengan gemetar antara rasa takut dan bingung. Nafasnya tersengal, matanya basah. Sedangkan gejolak panas di tubuhnya semakin menjadi-jadi.
Leon melangkah mendekati gadis itu. Tatapan matanya tajam dan menusuk. Dalam sekejap, ia meraih Anne dan menariknya kembali ke dalam pelukannya dengan kasar.
“Kau pikir bisa kabur dariku?” desisnya.
Anne berusaha meronta sambil memukul dada Leon kuat-kuat.
“Lepaskan aku!”
Namun Leon justru menggendong tubuh Anne dan membawanya masuk kembali ke dalam kamar. Anne terus meronta-ronta di gendongan Leon, tapi tenaga kecilnya tak berarti apa-apa.
Begitu tiba di kamar, Leon segera mendorong tubuh Anne ke dinding dengan keras.
Brak!
Tubuh Anne terhentak, membuat gadis cantik itu meringis kesakitan. Namun, pemandangan itu tampak sangat indah di mata Leon.
Leon menatapnya dalam-dalam. Dengan gerakan kasar, tiba-tiba jemarinya merobek bagian atas baju Anne.
Krak!
“Aaa! Jangan!”
Anne menjerit dan mencoba menutupi tubuhnya dengan tangan. Tapi Leon dengan cepat menahan kedua tangan Anne di dinding.
Pria itu memangkas jarak di antara mereka, hingga kini wajahnya hanya sejengkal dari wajah Anne. Nafas panasnya menyapu kulit leher gadis itu.
“Kau milikku, Anne. Ingat itu,” ucapnya dengan nada rendah dan berbahaya.
Anne memejamkan mata, air mata jatuh tak terbendung. Hatinya menolak keras, tapi tubuhnya justru berhianat karena telah terbius obat perangsang.
“Sekarang aku akan memberimu pelajaran karena sudah coba-coba kabur dari sini.”
Tangan Leon bergerilya, menjamah area belakang tubuh Anne. Dan sebelum Anne menyadari semuanya, tiba-tiba ia merasakan pengait bra nya sudah dilepas paksa oleh Leon.
“Ada apa dengan tubuhku?” bisik Anne lirih. Jemarinya menggenggam kuat sisi meja makan.Panas itu datang begitu tiba-tiba. Anne merasakan tubuhnya bergetar, seolah ada sesuatu yang menyusup dalam darahnya. Hatinya berteriak menolak, tetapi tubuhnya berkhianat, dan menggeliat tanpa bisa ia kendalikan. Nafasnya tersengal, kulitnya seperti terbakar dari dalam.Peluh menetes di pelipis. Jantungnya berdegup tak beraturan. Ia menatap piring di depannya yang baru berkurang sedikit. Ia menatap Martha yang kini berjalan semakin menjauh, bahkan hilang dari pandangannya. Mata Anne memerah.Perempuan itu menatapnya samar sebelum pergi, meninggalkannya sendirian di ruang makan besar itu.“Martha, dia pasti menaruh sesuatu di makananku.” Anne mendesis lirih.Anne menggigit bibir, menahan sesuatu yang aneh merambat di seluruh tubuhnya. Ia merasa haus, tapi bukan haus akan air, melainkan sebuah sentuhan. Tubuhnya seperti berteriak minta disentuh, sementara pikirannya menolak mentah-mentah.Dengan tan
“Mmhh, ahh,” desahan kecil keluar dari bibir Anne tanpa bisa ditahan.Kedua matanya terpejam rapat. Jantungnya berdegup cepat, dan tubuhnya meremang. Ia merasa malu pada dirinya sendiri.Leon bergerak perlahan. Jemarinya yang kokoh itu menyentuh tali tipis di bahu Anne lalu menurunkannya dengan gerakan kasar.Sekejap kemudian, lingerie halus yang menempel di tubuh indah itu melorot, meninggalkan Anne hanya dengan underwear yang membuat kulitnya tampak putih pucat di bawah cahaya lampu. Anne membelalak dan berusaha melepaskan tali yang mengikat tangannya.“Jangan macam-macam, Leon! Lepaskan aku!” Percuma!Ia tak akan bisa lepas dari tali yang kuat itu.Anne menelan ludah susah payah. Matanya berkaca-kaca ketika Leon telah berhasil menarik tali tipis lingerie di tubuhnya. Kain satin itu meluncur pelan dari bahunya, jatuh ke lantai, menyisakan bra dan celana dalam yang nyaris tak memberi perlindungan di area intimnya.“Napasmu bergetar, Anne,” suara Leon terdengar rendah, berat, dan pen
“Hei, apa-apaan ini?” teriak Anne meronta-ronta, tapi Leon hanya mengamati dengan pandangan malas.“Aku tidak butuh budak yang keras kepala,” ucap Leon. “Tapi kalau kamu bisa menghiburku, akan kumaafkan kamu kali ini.”Ia semakin mendekatkan wajahnya dengan wajah Anne. Ujung jarinya menyentuh rahang gadis itu, mengangkat wajahnya agar menatapnya. Tatapan itu membuat napas Anne seolah terhenti.“Takut?”Anne menahan tatapannya. “Tidak. Sama sekali tidak.”Sudut bibir Leon terangkat tipis.“Bagus..”Leon berjalan memutari tubuh Anne. Jarinya menyusuri tali yang mengikat pergelangan tangan gadis itu, lalu berhenti di belakang. Leon menunduk, mendekatkan bibir ke telinga Anne, cukup dekat untuk membuat kulitnya merinding, tapi tidak sampai menyentuh.Anne menggigit bibirnya. Jantungnya berdetak terlalu cepat. Bukan karena suka dengan sentuhan Leon, tapi karena marah dan ada sesuatu yang ia benci untuk akui. Darahnya berdesir hebat, bahkan saat membayangkan jika jemari Leon akan menyentuh
Tanpa bisa ditahan, Anne bergidik.Tiba-tiba tangan Leon terulur, menyentuh dagu Anne dan memaksanya menatap. Anne mencoba menahan napas agar tak menunjukkan rasa takut, tapi denyut jantungnya mengkhianatinya. Ia semakin berdebar saat menatap pria itu.“Kau akan belajar cepat, karena yang lambat biasanya tak bertahan lama. Jadi lakukan tugasmu dengan baik. Ingat, kau milikku.”Leon tersenyum sinis dan melepaskan sentuhannya di dagu Anne. Ia membuang muka dengan cepat, lalu menekan bel kecil di atas meja. Tak berapa lama, dua pria berseragam serba hitam masuk ke dalam kamar.“Bawa dia ke kamarnya! Mulai sekarang, dia akan tinggal di sini,” perintahnya pada kedua pengawal tersebut.“Baik, Tuan!”Tubuh Anne pun ditarik paksa. Namun, sebelum pintu tertutup, ia menoleh pada Leon yang kini segera duduk santai, seolah semuanya hanya permainan. Tapi di hati Anne, ia tahu bahwa permainan ini sangat berbahaya.Anne terus ditarik menuju ke sebuah kamar yang letaknya ada di sebelah kamar utama Le
“A-apa?” Mata Anne membola lebar. Suaranya tercekat.Leon tidak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya menatap Anne dengan lama dan dingin, seolah tak punya waktu untuk menjawab pertanyaan yang bahkan tak perlu ia jawab.“Lakukan,” ucapnya datar.Udara di ruangan terasa sangat dingin dan menakutkan bagi Anne. Gadis itu masih berdiri di dekat pintu, tubuhnya kaku, dan napasnya tersendat. Tangannya menutupi dada dan daerah kewanitaannya yang nyaris terbuka seluruhnya. Ia menatap lantai, menolak menatap mata Leon yang terasa seperti pisau.“Aku tidak mau,” ucap Anne. Suaranya lirih dan bergetar, tapi tegas. Alis Leon sedikit terangkat. Ia meneguk minuman di tangannya perlahan, lalu berkata dengan nada datar yang menusuk.“Tidak mau?”Anne menggeleng. “Tuan, tolong–”“Aku sudah membelimu.” Suara Leon tajam, menusuk. “Dua miliar. Itu berarti, kamu milikku.”Anne mengangkat wajah, menatapnya dengan kemarahan yang berusaha menutupi takutnya.“Aku bukan barang, Tuan. Adanya aku di sana di luar ke
“Ahh, Ohh! Sentuh tubuhku lebih dalam, Sayang.”“Nikmat sekali!”Desahan demi desahan terdengar dari segala penjuru aula lelang mewah itu. Bukan desahan yang indah di telinga, melainkan suara rakus, haus, memuakkan, dan penuh nafsu.Aroma menguar di udara, campuran antara parfum mahal, alkohol, dan cairan tubuh manusia. Kombinasi itu membuat perut Anne Valerie terasa mual.“Lepaskan aku dari sini! Siapa kalian?” Anne berteriak saat dirinya didudukkan di belakang panggung. “Melepaskanmu? Itu mustahil. Hahaha!” Suara tawa para pria itu membuat Anne semakin ketakutan, apalagi saat salah satu dari mereka mencengkeram rahangnya untuk membuat Anne meratapnya. “Untuk apa kami susah payah menculikmu kalau hanya untuk melepaskanmu?” Gadis berusia 25 tahun itu menciut. Air mata sudah membasahi pipinya yang mulus.Ia sangat takut, karena kini, beberapa pria yang sedang duduk mengitarinya tengah menatapnya dengan liar.“Lihatlah, gadis ini cantik sekali! Masih perawan pula. Dia pasti akan laku