LOGIN"Tidak sekarang, Arka," kata Clara dengan lembut tapi tegas, sambil berdiri dan menjauh.
"Kenapa? Kamu sudah memakai..." Arka tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi matanya menatap lingerie yang dikenakan Clara.
"Aku capek, Arka. Sangat capek." Clara berjalan ke lemari dan mengambil gaun tidur sutra, mengenakannya untuk menutupi lingerie transparan itu. "Besok aku harus ke Bandung untuk meeting penting. Perjalanan dari pagi sekali."
Arka berdiri di tempat, merasa ditolak dan dipermalukan. "Kamu selalu ada alasan, Clara."
"Ini bukan alasan, ini kenyataan!" balas Clara, suaranya mulai tinggi. "Aku bekerja mati-matian untuk keluarga ini, sementara kamu….."
"Sementara aku apa?" tantang Arka, tidak bisa menyembunyikan amarahnya lagi.
Clara menarik napas dalam. "Lupakan. Aku tidak mau bertengkar. Aku butuh istirahat."
Dia berbalik dan masuk ke dalam tempat tidur, membelakangi Arka.
Arka berdiri di sana selama beberapa menit, melihat punggung istrinya. Lingerie seksi yang tadi dikenakan Clara seolah mengejeknya. Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri.
"Berapa lama kamu di Bandung?" tanyanya, mencoba mengubah topik.
"Dua hari. Meeting dengan klien baru." Clara tidak menoleh. "Nia akan mengurus segala sesuatu di sini. Kamu bisa fokus pada... pekerjaanmu."
Arka mengerti apa yang tidak diucapkan Clara. Dia masih meremehkan usahanya membangun bisnis web development.
"Baik," kata Arka pendek. "Selamat tidur."
Dia mematikan lampu dan berbaring di tempat tidur, menjaga jarak yang cukup dari Clara. Dalam kegelapan, pikirannya berkeliaran. Pada Clara yang menolaknya. Pada Nia yang sekarang tinggal di kamar belakang. Pada kehidupan pernikahannya yang semakin hancur.
Dia mendengar napas Clara yang perlahan menjadi teratur, pertanda istrinya sudah tertidur. Tapi Arka tetap terjaga, matanya menatap langit-langit gelap, merasakan kesepian yang semakin dalam.
Dengan gerakan kasar, Arka menyingsingkan selimut dan berjalan keluar kamar. Rumah yang gelap dan sunyi menyambutnya. Dia menuruni tangga menuju lantai bawah, di mana minibar kecil terletak di sudut ruang keluarga, tak jauh dari kamar pembantu.
Dia menuangkan whiskey ke dalam gelas kristal, tanpa es, dan menenggaknya dalam sekali teguk. Cairan panas membakar kerongkongannya, tapi tidak mampu meredakan amarah dan kekecewaannya. Dia menuangkan lagi.
Sambil memegang gelas ketiganya, matanya tanpa sengaja tertuju ke jendela kamar pembantu. Lampu di dalam kamar masih menyala, menerangi siluet di balik tirai tipis. Dadanya sesak.
Nia sedang berdiri di depan cermin, mengenakan piyama sederhana berupa kaos oblong longgar dan celana pendek. Siluet itu dengan jelas memperlihatkan lekuk tubuhnya yang ramping di pinggang, namun berisi di bagian dada dan pinggul. Kaos longgar itu tak bisa menyembunyikan bentuk payudaranya yang bulat, apalagi ketika dia mengangkat tangan untuk mengurai rambutnya yang bergelombang.
Arka menelan ludah. Dalam keadaan mabuk dan frustasi, bayangan itu terlalu menggoda. Dia memalingkan muka, merasa bersalah, tapi matanya seperti ditarik kembali ke jendela itu.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Arka terkesiap, berusaha cepat-cepat berpura-pura sedang mengambil air minum. Tapi Nia sudah melihatnya.
"Maaf, Pak. Apakah saya mengganggu?" tanya Nia dengan suara berbisik. Dia tampak segar dan terjaga, berbeda dengan Arka yang wajahnya memerah karena alkohol.
"Tidak. Saya cuma... haus," jawab Arka, berusaha terdengar normal. "Kamu belum tidur?"
"Saya baru saja selesai merapikan dapur dan memeriksa persiapan untuk sarapan besok," ujar Nia dengan sopan. "Saya ingin memastikan semuanya siap sebelum Ibu Clara berangkat dinas besok pagi."
Arka mengangguk, sambil meneguk sisa whiskey di gelasnya. "Kamu sangat... teliti."
"Itu tugas saya, Pak," Nia tersenyum kecil. "Apakah Bapak butuh sesuatu? Air putih mungkin? Whiskey tidak baik jika diminum langsung begitu banyak."
Arka tertawa getir. "Kamu seperti ingin mengurusiku."
Nia menunduk. "Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud—"
"Tidak, tidak," potong Arka. "Sebenarnya... agak menyenangkan ada yang peduli."
Mereka berdiri dalam keheningan sejenak. Arka memandangi Nia yang berdiri beberapa langkah darinya. Dalam cahaya temaram, dia terlihat lebih muda, lebih lembut. Berbeda dengan Clara yang selalu tegas dan terkendali.
"Apakah Ibu Clara sudah tidur?" tanya Nia, memecah kesunyian.
Arka menghela napas. "Ya. Seperti biasa. Dia butuh istirahat untuk dinas besok."
Nia mengangguk. "Ibu Clara memang wanita karir yang hebat."
"Ya, terlalu hebat sampai lupa kalau dia punya suami," gerutu Arka, lalu langsung menyesal. "Maaf. Itu tidak pantas."
Nia diam sejenak, seolah mempertimbangkan sesuatu. "Terkadang, wanita karir seperti Ibu Clara memang punya banyak tekanan. Tapi... sebagai istri, seharusnya dia tetap memperhatikan kebutuhan suami."
Arka menatap Nia, terkejut dengan kejujurannya. "Kamu berpengalaman dalam urusan pernikahan?"
"Tidak, Pak. Tapi saya pernah melihat banyak pasangan seperti Bapak dan Ibu Clara. Kesibukan seringkali membuat mereka lupa pada hal-hal penting."
Arka mendekati Nia, sedikit terhuyung. "Kamu bijaksana untuk usiamu."
Melihat Arka terhuyung, Nia dengan sigap meraih lengan Arka, berusaha membuatnya tidak jatuh. Disentuh tiba-tiba, Arka dapat merasakan bulu-bulu di tubuhnya berdiri, ia menjadi kaku dan salah tingkah.
“Bapak tidak apa-apa? Mungkin lebih baik Bapak tidur sekarang. Sudah larut,” tanya dia sambil masih memegangi kedua lengan Arka.
Tapi Arka tak bergerak. Arka memandangi Nia lekat-lekat. Tak butuh waktu lama untuk Arka sadar bahwa Nia terlihat tidak nyaman ditatap seperti itu.
"Kamu cantik, tahu?" ucap Arka tiba-tiba, suaranya rendah. "Clara dulu juga secantik kamu. Tapi sekarang..."
"Masak sih, Pak, saya cantik?” Nia tersenyum kecil sambil malu dan menatap Arka. “Bapak nggak salah lihat kan, saya disini hanya pembantu, Pak. Jika dibandingkan Ibu Clara tentu saya kalah cantik."
Arka tertawa pelan. "Apa salahnya memuji? Kamu memang cantik. Dan Clara... dia sudah tidak peduli lagi."
Dengan perlahan Arka berjalan menuju Nia, kemudian mendekatkan wajahnya ke leher Nia.
"Ahhhh…..hhmmssss,” nafas Nia berat terengah. “Jangan Bapak Arka, saya takut kalau Ibu Clara sampai tau," Nia memanggil namanya dengan sengaja sambil mendesah, mencoba mengingatkan Arka yang mau merangkul dirinya. "Saya hanyalah pembantu di sini."
"Tapi kamu lebih peduli padaku daripada istriku sendiri!" suara Arka sedikit meninggi. "Dia tidak pernah bertanya bagaimana hariku, tidak pernah peduli apakah aku butuh sesuatu..."
Nia melihat keadaan Arka yang semakin tidak stabil. "Bapak, tolong. Jangan bicara seperti ini."
Clara melepaskan pelukan dan menatapnya. Matanya berbinar dengan cara yang aneh. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dokter hanya menyarankan untuk... mempersiapkan segala kemungkinan."Jawaban yang membingungkan itu justru membuat Arka semakin gelisah. Setiap kata seperti punya makna ganda. Setiap senyuman Clara seperti menyembunyikan rahasia besar.Matahari perlahan tenggelam, digantikan oleh kegelapan malam yang membawa serta rasa dingin ke dalam tulang Arka.Pukul tujuh tepat, Arka turun ke ruang makan. Meja sudah ditata rapi oleh Nia. Ada lilin, ada bunga segar persis seperti perintah "spesial" Clara. Namun, wajah Nia pucat seperti mayat. Saat menuangkan air ke gelas Arka, tangan gadis itu bergetar hebat hingga air sedikit tumpah."Maaf... maaf, Pak," bisik Nia panik."Tenanglah," desis Arka, meski jantungnya sendiri berdegup kencang. "Apapun yang terjadi, jangan hancur sekarang."Langkah kaki terdengar di tangga. Clara turun. Dia sudah mandi dan mengenakan gaun tidur sutra berw
Keesokan harinya, sebelum fajar benar-benar menyingsing, Arka sudah terbangun. Pikirannya dipenuhi bayangan Clara yang pucat dan kata-kata Nia yang mengusik. Dia tidak bisa menunggu lebih lama. Saat jam menunjukkan pukul enam pagi dan rumah masih sunyi, dia memutuskan untuk menggunakan kode mereka.Dengan hati berdebar, dia turun ke dapur di mana Nia sudah mulai bersiap untuk sarapan."Nia," panggilnya, suara sengaja dibuat datar."Iya, Pak?" jawab Nia, segera berbalik dengan ekspresi siap menerima perintah."Tolong buatkan kopi untukku. Hari ini aku ingin yang berbeda. Gunakan cangkir keramik biru tua itu."Mata Nia berkedip cepat, menangkap kode itu. "Cangkir biru untuk tamu, Pak? Baik, akan saya siapkan.""Dan," tambah Arka, menyempurnakan ritual mereka, "nanti kamu bisa membereskan berkas-berkas yang berserakan di meja kerjaku.""Siap, Pak."Tak lama kemudian, dengan cangkir kopi biru di nampan, Nia mengetuk pintu kamar Arka. Begitu pintu terkunci, topeng itu langsung meluncur."Di
Hanya beberapa jam setelah keintiman mereka, suara mobil yang familiar menyusup masuk, memecahkan gelembung rapuh yang mereka ciptakan. Clara pulang, lebih awal dari perkiraan.Arka dan Nia, dengan disiplin yang kini sudah terasah, segera beralih peran. Sebelum mobil Clara benar-benar berhenti, Nia sudah berada di dapur, berpura-pura menyortir cucian, sementara Arka mengambil posisi di ruang keluarga dengan laptopnya, berpura-pura sedang menyelesaikan pekerjaan. Detak jantung mereka berdua masih berdebar kencang, tetapi wajah mereka sudah dikeraskan menjadi topeng netral.Pintu depan terbuka. Clara masuk, tetapi langkahnya tidak seperti biasanya yang penuh wibawa dan terburu-buru. Wanita itu terlihat lesu, wajahnya pucat di bawah riasan yang sedikit luntur. Alih-alih langsung menuju ruang kerjanya atau melepas sepatu sambil tetap memeriksa ponsel, Clara hanya melemparkan tas kerjanya ke kursi dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa, persis di seberang Arka. Dia mengeluarkan erangan l
"Kamu yakin?" bisik Arka, tangannya masih terengkuh erat di pinggang Nia. "Tentang semua ini. Tentang... membawa ini lebih jauh."Nia mendongak, matanya yang jernih memancarkan sebuah keyakinan yang mengejutkan bahkan bagi dirinya sendiri. "Aku tidak pernah seyakin ini tentang hal yang salah, Arka. Aku lelah merasa takut. Lepaskanlah aku dari ketakutan itu, meski hanya untuk malam ini."Itu adalah semua pengakuan yang dibutuhkan Arka. Dengan gerakan lembut tapi penuh ketegasan, dia menuntun Nia keluar dari dapur, melewati ruang keluarga yang gelap, dan menaiki tangga. Setiap langkah terasa seperti sebuah pelanggaran, sebuah langkah berani menuju wilayah terlarang. Namun, kali ini, tidak ada rasa bersalah yang menggerayangi, hanya adrenalin dan sebuah kebebasan yang memabukkan.Mereka sampai di depan kamar Arka. Dengan satu gerakan, Arka membukanya dan menarik Nia masuk ke dalam ruangan yang gelap sebelum dengan cepat mengunci pintu di belakang mereka. Klik. Suara itu bagaikan tembok y
Arka tidak langsung menjawab. Dia menatap mata Nia yang berbinar-binar, mencoba mencari jejak penyesalan atau keraguan. Yang dia temukan hanyalah penerimaan dan sebuah tekad yang mencerminkan miliknya sendiri. Sebuah kekuatan baru mengalir di antara mereka."Apa yang seharusnya kita lakukan sejak dulu," jawab Arka akhirnya, suaranya rendah namun penuh keyakinan. "Kita berhenti berlari."Dia menyentuh pipi Nia dengan lembut. "Tapi, kita akan melakukannya dengan cara yang berbeda. Kita tidak akan lagi menjadi pion dalam permainan orang lain, Nia. Siapa pun dia."Nia mengangguk, memahami maksudnya tanpa perlu penjelasan panjang. "Kita akan lebih berhati-hati.""Lebih dari sekadar berhati-hati," bantah Arka dengan senyum tipis yang penuh strategi. "Kita akan memberi mereka pertunjukan yang mereka inginkan. Kita akan menjadi Arka dan Nia yang 'seharusnya': majikan dan pembantu yang sopan dan berjarak. Sempurna.""Dan di balik pintu yang tertutup?" tanya Nia, berani."Di balik pintu yang te
Arka dan Nia terpental seperti dihentak listrik. Sebelum mereka sempat berpisah, pintu terbuka dan Clara berdiri di sana, matanya menyapu ruangan, menangkap mereka berdua yang berdiri berdekata terlalu dekat untuk percakapan normal antara majikan dan pembantu.Wajah Clara yang awalnya netral berubah dengan cepat. Sebelah alisnya terangkat, tetapi senyum tipis dan dingin langsung menghiasi bibirnya."Kaget aku kembali, Sayang?" tanyanya pada Arka, nada suaranya datar. "Aku lupa tadi ada dokumen yang harus kubawa." Matanya beralih ke Nia. "Dan kamu, Nia, ada yang bisa dibantu?""Tidak, Bu," jawab Nia cepat, menunduk dan bergegas kembali ke dapur tanpa menatap.Clara memasuki rumah, berjalan dengan anggun ke arah meja kerjanya di sudut ruang keluarga. Arka memperhatikannya, mencoba mencari tanda-tanda kecurigaan atau kemarahan, tapi Clara terlihat biasa saja, terlalu biasa.Setelah mengambil selembar dokumen, Clara berbalik dan mendekati Arka, yang masih berdiri di dekat pintu."Tamu tad







