Masuk"Kenapa? Takut Clara mendengar?" Arka melangkah lebih dekat. "Dia tidak akan peduli. Dia bahkan tidak akan bangun jika kita berteriak di sini."
Nia dengan cepat menahan tangan arka dan menatapnya dengan polos. "Iya, Pak, saya takut kalau sampai Ibu Clara tau......"
Sebelum Arka bisa berkata apa-apa, Nia melepas genggaman tangan yang berusaha merangkulnya dengan perlahan. Arka terdiam dan sedikit bingung.
“Maaf, Pak, saya harus istirahat.”
Arka masih diam saat Nia beranjak ke kamarnya. Sebelum pintu ditutup, Arka melihat Nia menoleh lagi. Wanita itu menatap Arka kemudian tersenyum manis. “Selamat malam, Bapak Arka,” ucapnya dengan lembut.
Baru kemudian kesadaran Arka kembali. Apa yang baru saja dia lakukan?
Matahari pagi sudah tinggi ketika Arka akhirnya membuka mata. Kepalanya berdenyut-denyut, mengingatkannya pada whiskey yang diminumnya semalam. Dia mengerang pelan, membalikkan badan hanya untuk menemukan sisi tempat tidur sebelahnya sudah kosong. Lagi-lagi.
Dia melangkah keluar kamar dengan perasaan kesal. Clara pergi tanpa pamit. Lagi. Seperti biasa.
Tapi sesuatu terasa berbeda pagi ini.
Bau anyir whiskey yang biasanya masih menyengat di ruang keluarga sudah hilang. Lantai marmer berkilau bersih, bebas dari debu dan kertas-kertas berserakan yang biasa menjadi "karya" Arka. Bahkan udara terasa segar, seolah semua jendela sudah dibuka untuk mengusir aroma kemarin.
Arka menggaruk-garuk kepala yang masih bermasalah, berjalan ke dapur dengan langkah gontai. Dan di sanalah kejutan sesungguhnya menunggu.
Meja makan yang biasanya kosong atau berisi sisa makanan kemarin, kini tertata rapi. Sepiring nasi hangat, semangkuk sayur bening, telur dadar, dan beberapa potong tempe goreng tersusun apik. Bahkan ada seporsi buah potong di sampingnya.
"Lho …," gumam Arka bingung. Matanya masih berkunang-kunang.
"Selamat pagi, Pak."
Suara itu membuatnya terkejut. Dari balik pintu dapur, Nia muncul dengan wajah segar dan senyum ramah. Dia mengenakan seragam sederhana yang sama seperti kemarin, tapi kali ini dengan apron berwarna putih.
"Nia?" ucap Arka, masih belum sepenuhnya sadar. "Kamu... kamu sudah mulai bekerja, ya?"
"Niatnya saya ingin mulai sebelum Bapak bangun, Pak," jawab Nia dengan sopan. "Sarapan sudah siap. Apakah Bapak ingin makan sekarang?"
Arka terduduk di kursi makan, masih tak percaya. "Aku... lupa kalau kamu sudah mulai bekerja hari ini."
Nia tersenyum. "Ibu Clara sudah berangkat jam enam tadi. Beliau bilang ada perjalanan pagi ke Bandung."
Arka menghela napas. "Ya, tentu saja. Dia bahkan tidak bilang selamat tinggal."
Dia mulai menyendok nasi, masih dalam keadaan setengah bingung. Rasanya... sudah lama sekali sejak terakhir kali dia makan sarapan yang benar-benar dimasak di rumah ini.
"Pak, menurut saya, lebih baik Bapak makan dulu sebelum minum kopi," saran Nia sambil membersihkan counter dapur. "Perut kosong tidak baik untuk kafein."
Arka mengangguk, menuruti saran itu. Setelah beberapa suap, barulah kesadarannya sepenuhnya pulih.
"Kamu... memasak ini semua?" tanyanya, masih sedikit tak percaya.
"Iya, Pak. Apakah rasanya tidak sesuai selera Bapak?"
"Tidak! Maksudku, enak. Sangat enak." Arka terkagum-kagum. Bahkan koki restoran yang dulu mereka pekerjakan tidak bisa membuat telur dadar seenak ini.
Nia tersenyum lega. "Syukurlah. Ibu Clara meninggalkan catatan tentang makanan yang tidak disukai Bapak. Tapi untuk selera khusus, saya masih perlu belajar."
Arka menggeleng-geleng kepala. "Clara meninggalkan catatan? Dia biasanya tidak peduli dengan..."
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya. Terlalu pahit untuk diucapkan.
Setelah menghabiskan separuh piring, Arka merasa ada yang kurang. "Nia, bisa tolong buatkan kopi?"
"Tentu, Pak. Bagaimana Bapak menyukai kopinya?"
"Hitam. Kental. Dua sendok gula."
Nia mengangguk dan mulai menyiapkan mesin kopi. Arka mengamatinya dari belakang. Gerakannya lincah dan terampil. Tidak ada gerakan yang sia-sia.
“Silahkan kopinya, Pak,” Nia membungkuk sambil meletak kan kopi itu tepat di depan arka.
Arka yang sedang makan teralihkan dengan Nia yang sudah di depannya sambil membungkuk.
Mata Arka langsung tertuju pada belahan dada Nia yang begitu kencang dan ranum. Arka terdiam, mukanya memerah dan menegang. “Bapak…..?” tanya Nia memecah pandangan Arka kepada dirinya.
“Oh, iya…. Terima kasih, Nia,” Ucap Arka canggung sambil mencoba menyeruput kopinya.
“Enak sekali kopi buatanmu Nia, pas tidak kurang tidak lebih,” puji Arka kepada Nia.
Nia menunduk. "Terima kasih atas pujiannya, Pak. Saya senang dengan pekerjaan ini. Bisa membuat orang lain bahagia dengan masakan dan pelayanan yang baik, itu cukup membanggakan untuk saya."
Jawaban itu membuat Arka terdiam. Betapa berbedanya dengan Clara yang selalu mengejar karir dan status.
"Bapak sepertinya punya banyak pekerjaan hari ini?" tanya Nia, mengubah topik.
Arka menghela napas. "Iya. Harus menyelesaikan proyek website untuk klien. Tapi..." matanya tertuju pada tumpukan kertas di ruang kerjanya.
"Apakah Bapak butuh bantuan merapikan berkas-berkas? Saya cukup terampil dalam mengorganisir dokumen."
"Tidak, tidak," tolak Arka cepat. "Ini... pekerjaan khusus."
Nia mengangguk. "Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud ikut campur."
"Bukan begitu maksudku," ucap Arka, merasa bersalah. "Ini... rahasia perusahaan. Kode program dan semacamnya."
"Saya mengerti." Nia tersenyum. "Kalau begitu, saya akan melanjutkan pekerjaan rumah yang lain. Tolong panggil saya jika Bapak butuh sesuatu."
Dia berbalik untuk pergi, tapi Arka memanggilnya lagi. "Nia."
"Iya, Pak?"
Clara melepaskan pelukan dan menatapnya. Matanya berbinar dengan cara yang aneh. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dokter hanya menyarankan untuk... mempersiapkan segala kemungkinan."Jawaban yang membingungkan itu justru membuat Arka semakin gelisah. Setiap kata seperti punya makna ganda. Setiap senyuman Clara seperti menyembunyikan rahasia besar.Matahari perlahan tenggelam, digantikan oleh kegelapan malam yang membawa serta rasa dingin ke dalam tulang Arka.Pukul tujuh tepat, Arka turun ke ruang makan. Meja sudah ditata rapi oleh Nia. Ada lilin, ada bunga segar persis seperti perintah "spesial" Clara. Namun, wajah Nia pucat seperti mayat. Saat menuangkan air ke gelas Arka, tangan gadis itu bergetar hebat hingga air sedikit tumpah."Maaf... maaf, Pak," bisik Nia panik."Tenanglah," desis Arka, meski jantungnya sendiri berdegup kencang. "Apapun yang terjadi, jangan hancur sekarang."Langkah kaki terdengar di tangga. Clara turun. Dia sudah mandi dan mengenakan gaun tidur sutra berw
Keesokan harinya, sebelum fajar benar-benar menyingsing, Arka sudah terbangun. Pikirannya dipenuhi bayangan Clara yang pucat dan kata-kata Nia yang mengusik. Dia tidak bisa menunggu lebih lama. Saat jam menunjukkan pukul enam pagi dan rumah masih sunyi, dia memutuskan untuk menggunakan kode mereka.Dengan hati berdebar, dia turun ke dapur di mana Nia sudah mulai bersiap untuk sarapan."Nia," panggilnya, suara sengaja dibuat datar."Iya, Pak?" jawab Nia, segera berbalik dengan ekspresi siap menerima perintah."Tolong buatkan kopi untukku. Hari ini aku ingin yang berbeda. Gunakan cangkir keramik biru tua itu."Mata Nia berkedip cepat, menangkap kode itu. "Cangkir biru untuk tamu, Pak? Baik, akan saya siapkan.""Dan," tambah Arka, menyempurnakan ritual mereka, "nanti kamu bisa membereskan berkas-berkas yang berserakan di meja kerjaku.""Siap, Pak."Tak lama kemudian, dengan cangkir kopi biru di nampan, Nia mengetuk pintu kamar Arka. Begitu pintu terkunci, topeng itu langsung meluncur."Di
Hanya beberapa jam setelah keintiman mereka, suara mobil yang familiar menyusup masuk, memecahkan gelembung rapuh yang mereka ciptakan. Clara pulang, lebih awal dari perkiraan.Arka dan Nia, dengan disiplin yang kini sudah terasah, segera beralih peran. Sebelum mobil Clara benar-benar berhenti, Nia sudah berada di dapur, berpura-pura menyortir cucian, sementara Arka mengambil posisi di ruang keluarga dengan laptopnya, berpura-pura sedang menyelesaikan pekerjaan. Detak jantung mereka berdua masih berdebar kencang, tetapi wajah mereka sudah dikeraskan menjadi topeng netral.Pintu depan terbuka. Clara masuk, tetapi langkahnya tidak seperti biasanya yang penuh wibawa dan terburu-buru. Wanita itu terlihat lesu, wajahnya pucat di bawah riasan yang sedikit luntur. Alih-alih langsung menuju ruang kerjanya atau melepas sepatu sambil tetap memeriksa ponsel, Clara hanya melemparkan tas kerjanya ke kursi dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa, persis di seberang Arka. Dia mengeluarkan erangan l
"Kamu yakin?" bisik Arka, tangannya masih terengkuh erat di pinggang Nia. "Tentang semua ini. Tentang... membawa ini lebih jauh."Nia mendongak, matanya yang jernih memancarkan sebuah keyakinan yang mengejutkan bahkan bagi dirinya sendiri. "Aku tidak pernah seyakin ini tentang hal yang salah, Arka. Aku lelah merasa takut. Lepaskanlah aku dari ketakutan itu, meski hanya untuk malam ini."Itu adalah semua pengakuan yang dibutuhkan Arka. Dengan gerakan lembut tapi penuh ketegasan, dia menuntun Nia keluar dari dapur, melewati ruang keluarga yang gelap, dan menaiki tangga. Setiap langkah terasa seperti sebuah pelanggaran, sebuah langkah berani menuju wilayah terlarang. Namun, kali ini, tidak ada rasa bersalah yang menggerayangi, hanya adrenalin dan sebuah kebebasan yang memabukkan.Mereka sampai di depan kamar Arka. Dengan satu gerakan, Arka membukanya dan menarik Nia masuk ke dalam ruangan yang gelap sebelum dengan cepat mengunci pintu di belakang mereka. Klik. Suara itu bagaikan tembok y
Arka tidak langsung menjawab. Dia menatap mata Nia yang berbinar-binar, mencoba mencari jejak penyesalan atau keraguan. Yang dia temukan hanyalah penerimaan dan sebuah tekad yang mencerminkan miliknya sendiri. Sebuah kekuatan baru mengalir di antara mereka."Apa yang seharusnya kita lakukan sejak dulu," jawab Arka akhirnya, suaranya rendah namun penuh keyakinan. "Kita berhenti berlari."Dia menyentuh pipi Nia dengan lembut. "Tapi, kita akan melakukannya dengan cara yang berbeda. Kita tidak akan lagi menjadi pion dalam permainan orang lain, Nia. Siapa pun dia."Nia mengangguk, memahami maksudnya tanpa perlu penjelasan panjang. "Kita akan lebih berhati-hati.""Lebih dari sekadar berhati-hati," bantah Arka dengan senyum tipis yang penuh strategi. "Kita akan memberi mereka pertunjukan yang mereka inginkan. Kita akan menjadi Arka dan Nia yang 'seharusnya': majikan dan pembantu yang sopan dan berjarak. Sempurna.""Dan di balik pintu yang tertutup?" tanya Nia, berani."Di balik pintu yang te
Arka dan Nia terpental seperti dihentak listrik. Sebelum mereka sempat berpisah, pintu terbuka dan Clara berdiri di sana, matanya menyapu ruangan, menangkap mereka berdua yang berdiri berdekata terlalu dekat untuk percakapan normal antara majikan dan pembantu.Wajah Clara yang awalnya netral berubah dengan cepat. Sebelah alisnya terangkat, tetapi senyum tipis dan dingin langsung menghiasi bibirnya."Kaget aku kembali, Sayang?" tanyanya pada Arka, nada suaranya datar. "Aku lupa tadi ada dokumen yang harus kubawa." Matanya beralih ke Nia. "Dan kamu, Nia, ada yang bisa dibantu?""Tidak, Bu," jawab Nia cepat, menunduk dan bergegas kembali ke dapur tanpa menatap.Clara memasuki rumah, berjalan dengan anggun ke arah meja kerjanya di sudut ruang keluarga. Arka memperhatikannya, mencoba mencari tanda-tanda kecurigaan atau kemarahan, tapi Clara terlihat biasa saja, terlalu biasa.Setelah mengambil selembar dokumen, Clara berbalik dan mendekati Arka, yang masih berdiri di dekat pintu."Tamu tad







