Masuk“Lepaskan aku, Leon ….” pinta Brianna seraya menarik wajahnya menjauh.
Tapi alih-alih pergi, Leon justru merenggut dagunya semakin erat. “Kamu tidak kedinginan?” tanyanya. “Bukannya kamu harus cepat ganti karena bajumu basah?” Brianna menelan kasar ludahnya sewaktu embusan hangat napas Leon dan wangi cocktail yang tadi diminumnya itu menyeruak. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri saat pria itu mengatakan, “Akan aku antar kamu ke kamar.” “Tidak perlu. Aku bisa sendiri,” tolak Brianna dengan cepat. “Artinya kamu tidak takut gelap? Yang tadi itu hanya alasan supaya aku masuk. Begitu?” Niat Brianna untuk meminta tolong kini telah berubah menjadi bumerang. Ini adalah pisau bermata dua. Jika Brianna tak mengizinkan Leon mengantarnya, artinya ia membenarkan pria itu bahwa ia memang tengah menggodanya. Tapi jika Brianna membiarkan Leon mengikutinya hingga ke kamar … entah apa yang akan terjadi. “Jadi kamu memang sengaja—” “Kamu bisa masuk,” potong Brianna agar prasangka Leon tidak menjadi liar. Perlahan, Leon melepas tangannya dari Brianna sehingga ia bisa berjalan meninggalkan ruang tamu. Lewat bantuan pencahayaan yang membias dari luar, Brianna tiba di kamarnya. Sekilas melihat melalui bahunya, Brianna memastikan Leon benar mengikutinya. “Kamu berhentilah di situ!” Brianna berhenti dan menoleh pada Leon. “Jangan lihat ke sini!” Namun, permintaan Brianna tidak dikabulkan. Jarak di antara mereka telah habis, terkikis saat lengan Leon melingkari pinggangnya. Suaranya yang dalam berbisik, “Kalau kamu kesulitan ganti karena gelap, aku bisa bantu kamu, Brie.” Sebelum Brianna bisa mengatakan apapun, Leon telah menanggalkan coat yang dipakainya, menariknya lepas, membiarkan mantel panjang itu jatuh di sekitar kakinya. Hal yang sama dilakukan Leon pada lengan gaun yang dikenakannya sehingga dua tali kecil itu tergantung. “Leon—!” Jeritan Brianna tertahan sewaktu tangan pria itu menelusuri lekuk dadanya, memacu denyut jantungnya kian menjadi-jadi. “H-hentikan!” Brianna berusaha mendorongnya, tetapi tidak bisa. Ia tak ada separuh dari tenaga Leon yang berkali-kali lipat jauh lebih besar daripadanya. Leon sepertinya geram karena Brianna terus memberontak sehingga pria itu mengambil langkah tak terduga dengan membalikkan tubuh Brianna, menekannya ke jendela, yang secara praktis menunjukkan pantulan wajah keduanya dalam posisi yang paling sensual. “Ahh—” Brianna menggigit bibir, menggunakan kedua tangan kecilnya untuk bertumpu di kaca yang basah oleh tempias hujan. Ia mencoba merekatkan kembali akal sehatnya sewaktu Leon memeluk perut dan mengendus lehernya. “Bukankah ini yang kamu tawarkan padaku agar Arcadia tetap jadi bagian dari proyek itu, Brie?” Bibirnya jatuh dengan menyenangkan di bahu Brianna yang terbuka. “Bagaimana kalau aku setuju untuk membantumu?” Brianna terengah sewaktu jemari pria itu beranjak turun, tangan kanannya menyingkap gaun di atas lututnya. Menemukan satu-satunya kain yang melindungi bagian femininnya. Mengusap Brianna yang telah merasakan hasrat membakar di antara kedua kakinya. Tubuh Brianna menegang, sentuhan Leon seolah membuka kembali kenangan lama secara tiba-tiba. Kilasan wajah Leon muda yang menatapnya, ciuman pertama mereka, atau bahkan bagaimana cara pria itu memanggilnya. ‘Brie ….’ Diucapkannya dengan manis, cara Leon menyematkan kasih sayangnya dulu. Tapi dalam satu kali tarikan napas, bayangan itu berganti. Bukan Leon yang dijumpainya, melainkan Robert. Pengkhianatannya, pesan-pesan mesum yang ditemukannya saling bertumpang-tindih. Untuk sesaat Brianna berpikir bahwa apa yang dilakukannya bersama Leon sekarang ini tidak lebih buruk dari yang diperbuat bajingan itu! “Leon,” panggil Brianna nyaris memohon. “A-apa maumu sebenarnya? Ka-kamu mau tidur denganku?” Setelah suaranya yang serak itu terdengar memenuhi ruangan, Leon mengendurkan pelukannya dan menarik diri dari Brianna. Brianna menegakkan punggungnya, menghadap pada Leon dengan maniknya yang berair. Lewat remang cahaya yang datang dari luar, Leon tampak tersenyum tipis. Pria itu menundukkan wajahnya, mensejajarkan pandangan. “Bukankah kamu bilang akan melakukan apapun yang aku mau?” Brianna meremas kedua tangannya yang telah mati rasa di samping kanan dan kiri pahanya sewaktu Leon menyentuh bibir Brianna dengan bibirnya, sebuah sentuhan ringan yang membuat tubuhnya gamang. “Aku tahu kamu menginginkannya juga, Brie …,” bisiknya lagi. “Kita pindah ke ranjang, atau kamu lebih senang kita melakukannya di sini?” Pertahanan Brianna telah di ambang batas. Rasa sakit yang timbul akibat pengkhianatan suaminya menguat, mendorong Brianna menengadahkan wajah pada Leon. Berjinjit mengimbangi tinggi tubuh pria itu dan meraih lehernya. Jika Robert saja bisa selingkuh dan membuat simpanannya itu hamil, mengapa Brianna tak melakukan hal yang menyenangkan juga? Lagi pula, gugatannya sudah ia kirim ke pengadilan, bukan? “Ahh!” Leon kembali menekan Brianna dalam dekapannya. Detak jantungnya buncah sewaktu ia menyadari Leon pun juga dikuasai hasrat karena Brianna bisa merasakan ada bagian tubuh pria itu yang menegang. Bibir mereka bertemu dalam keheningan, dari kecupan Leon yang berubah menjadi pagutan, lembut tapi juga mendominasi. Dunia seakan berhenti, jantung Brianna berdegup dalam ritme yang aneh. Sukar membedakan antara pelarian dan hasrat yang saling bertabrakan. “Mmh ….” Ciuman panas mereka berhenti, tetapi sebagai gantinya, kecupan basah Leon mendarat di lehernya. Tanpa melepas Brianna, Leon membawanya melangkah ke arah ranjang. Namun saat itu hampir terjadi … pintu tiba-tiba terbuka dari luar. ….Brianna menahan napas, jantungnya bertalu keras sewaktu berpikir ia telah tertangkap basah oleh anak buahnya sendiri.Dalam ketegangan yang mencekik leher itu, mendadak anggota timnya yang lain menyela dengan mengatakan, “Kami hanya sebentar saja pergi ke sana dan pulang karena ada keributan.”“Aah iya, ada wanita gila yang jadi simpanan dan dilabrak istri sah.” Anak buah Brianna yang tadi menatapnya itu membenarkan.“Astaga, selain gila sepertinya wanita itu juga punya kebodohan yang menembus tulang!”“Kenapa dia mau-mau saja jadi simpanan?”Brianna sangat lega saat pandangan menelisik anak buahnya itu telah berpindah darinya.Tak apa meski ia harus disebut gila dan bodoh oleh mereka.Ia melirik Leon dan kebetulan pandangan mereka bersirobok. Intensitasnya dalam menahan senyuman meningkat, menikmati situasi saat Brianna jadi bahan olok-olokan anak buahnya sendiri.Sedetik kemudian, Leon berdeham dan berujar, “Saya memang ada di sana, tapi tidak melihat kalian.”“Apa Pak Leon juga per
Seseorang berdiri di ambang pintu sebelum terhuyung masuk ke dalam kamar.‘Katie?’“Ah, kenapa gelap sekali?” racau Katie, melemparkan tasnya ke lantai secara sembarangan.Aroma alkohol menguar saat Katie mendekat.‘Dia mabuk?’ gumam Brianna kemudian membungkam bibir Leon dengan telapak tangannya, mengisyaratkan agar ia diam.Brianna menarik Leon agar menyisih sewaktu Katie berjalan ke arah ranjang tanpa menghiraukan keberadaan mereka.Kegelapan yang membatasi jarak pandang dan ditambah Katie yang mabuk adalah perpaduan sempurna yang menyelamatkan Brianna agar tak tertangkap basah membawa masuk pria oleh temannya itu.Katie terlihat melepas sepatu yang ia kenakan lalu menghempaskan dirinya ke atas ranjang. Hanya dalam waktu singkat setelahnya, ia tak bergerak, jatuh dalam lelap.Brianna menoleh pada Leon saat tangannya yang ada di wajah pria itu diturunkan.“Sepertinya tidak bisa lanjut, Brie,” bisik Leon di dekat telinganya. “Tapi tenang, tawaranku tadi masih berlaku.”Leon mengusap
“Lepaskan aku, Leon ….” pinta Brianna seraya menarik wajahnya menjauh.Tapi alih-alih pergi, Leon justru merenggut dagunya semakin erat. “Kamu tidak kedinginan?” tanyanya. “Bukannya kamu harus cepat ganti karena bajumu basah?”Brianna menelan kasar ludahnya sewaktu embusan hangat napas Leon dan wangi cocktail yang tadi diminumnya itu menyeruak. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri saat pria itu mengatakan, “Akan aku antar kamu ke kamar.”“Tidak perlu. Aku bisa sendiri,” tolak Brianna dengan cepat.“Artinya kamu tidak takut gelap? Yang tadi itu hanya alasan supaya aku masuk. Begitu?”Niat Brianna untuk meminta tolong kini telah berubah menjadi bumerang.Ini adalah pisau bermata dua. Jika Brianna tak mengizinkan Leon mengantarnya, artinya ia membenarkan pria itu bahwa ia memang tengah menggodanya. Tapi jika Brianna membiarkan Leon mengikutinya hingga ke kamar … entah apa yang akan terjadi.“Jadi kamu memang sengaja—”“Kamu bisa masuk,” potong Brianna agar prasangka Leon tidak menj
Leon terlihat menyipitkan mata. Senyum tipis terlukis di bibirnya dan itu membuat Brianna lega karena sepertinya Leon akan bermurah hati membantunya.Tapi, ia salah. Brianna benar-benar putus harapan sewaktu Leon menepis tangannya.“Tidak!”Wanita yang ada di depannya itu tersenyum penuh ejekan dan melangkah mendekat pada Brianna.‘Here we go ….’ batinnya berpasrah.Niat hati ingin melepaskan lelah, kedatangannya ke tempat ini malah membuatnya mendapat label sebagai ‘penggoda suami orang.’Tapi, wanita itu tiba-tiba berhenti. Sepasang matanya melebar seperti halnya Brianna karena Leon mendadak merangkul bahunya.Tubuh mereka berbenturan saat Leon mengatakan, “Ya. Aku ke sini memang untuk bertemu dia.”Kebas, Brianna merasakan hentakan tak karuan di dalam rongga dadanya.“Bohong!” sangsi wanita itu, menatap curiga sewaktu Leon turun dari kursinya tanpa melepas rangkulannya.“Kalian berdua saling kenal?”“Mana ada perempuan gila yang sembarangan mengklaim pria asing jadi pacarnya, Nona?
‘Bodoh! Kenapa aku malah mengajak dia tidur?’ batin Brianna dalam kepanikan begitu ajakan itu lolos dari bibirnya.Wajahnya memanas, Brianna ingin menampar dirinya keras-keras.Menarik ucapan pun percuma karena Leon sudah mendengarnya dan memutar tubuhnya menghadap pada Brianna.“Katakan sekali lagi,” pinta Leon dengan nada bicara yang menuntut. Selangkah mendekat pada Brianna yang menelan ludah dan berusaha menjaga bahunya tetap tegak.Padahal Brianna hanya asal berucap dan ingin tahu bagaimana tanggapan Leon. Tapi sekarang, rasa percaya dirinya mendadak hilang.“A-aku tidak bermaksud—”Bibir Brianna terbungkam rapat, kalimat pembelaannya hanya sampai di tenggorokan saat Leon menundukkan kepalanya dan berbisik, “Tidak bermaksud apa?”“M-maksudnya aku salah bicara.”Salah satu alis lebat Leon menukik ke atas. “Salah bicara bagaimana?”Panas di wajahnya telah menjalar ke sekujur badan, sadar semakin bicara akan semakin salah kaprah, Brianna memilih untuk menjauh dari Leon.Melarikan di
“Tidak becus! Bawa timmu pergi dari sini dalam dua hari, Brianna Ellery!”Jari-jari Brianna mati rasa saat kalimat itu menghantam telinganya. Suara dingin yang membungkam seisi ruangan itu datang dari seorang CEO perusahaan developer, Leon Alejandro Ronan.Saat ini, mereka tengah bekerja sama dalam pembangunan sebuah rumah sakit. Banyaknya kelalaian yang dilakukan oleh project manager sebelumnya membuat Brianna dimutasi ke kota kecil ini. Kini, ia lah yang bertanggung jawab membersihkan ‘sampah’ yang ditinggalkan oleh rekannya itu.Meski sudah berusaha sebaik mungkin, tapi bagi Leon kehadirannya masih dianggap tidak bisa memperbaiki keadaan.Keterlambatan kedatangan bahan konstruksi dari pihak vendor dinilai Leon sebagai kelalaian yang menghambat, dan pria itu berakhir mengusir mereka.Berdiri di dekat layar proyektor, Brianna menelan ludah, darahnya berdesir panas sewaktu mengatakan, “Tolong, dengar—” “Rapat selesai,” potong Leon seraya menutup map di depannya.Leon berdiri, berjal







