MasukSeseorang berdiri di ambang pintu sebelum terhuyung masuk ke dalam kamar.
‘Katie?’ “Ah, kenapa gelap sekali?” racau Katie, melemparkan tasnya ke lantai secara sembarangan. Aroma alkohol menguar saat Katie mendekat. ‘Dia mabuk?’ gumam Brianna kemudian membungkam bibir Leon dengan telapak tangannya, mengisyaratkan agar ia diam. Brianna menarik Leon agar menyisih sewaktu Katie berjalan ke arah ranjang tanpa menghiraukan keberadaan mereka. Kegelapan yang membatasi jarak pandang dan ditambah Katie yang mabuk adalah perpaduan sempurna yang menyelamatkan Brianna agar tak tertangkap basah membawa masuk pria oleh temannya itu. Katie terlihat melepas sepatu yang ia kenakan lalu menghempaskan dirinya ke atas ranjang. Hanya dalam waktu singkat setelahnya, ia tak bergerak, jatuh dalam lelap. Brianna menoleh pada Leon saat tangannya yang ada di wajah pria itu diturunkan. “Sepertinya tidak bisa lanjut, Brie,” bisik Leon di dekat telinganya. “Tapi tenang, tawaranku tadi masih berlaku.” Leon mengusap bibir Brianna ringan sebelum akhirnya menjauh hingga suara langkahnya samar menghilang. Kegelapan yang membelenggu Brianna berakhir saat lampu kamar kembali menyala. Wanita itu merosot ke lantai, di samping coat panjang milik Leon yang tercecer, lalu membenarkan tali kecil gaun yang menggantung di lengannya. Gila. Ia hampir lupa bagaimana rasanya sentuhan bisa membakar tubuhnya sehebat ini. Luapan hasrat masih terasa berdenyut di antara pahanya. Brianna menghela dalam-dalam napasnya, mencari akal sehat yang mendadak hilang. *** Di dalam mobil yang dikemudikan oleh Brianna, Katie yang sedari tadi melamun di kursi penumpang akhirnya memperdengarkan suaranya. “Semalam bagaimana caramu pulang, Brianna?” Gadis itu menoleh pada Brianna seraya memijat keningnya untuk mengusir sisa mabuk. Memastikan pada Brianna bagaimana ia tiba di rumah karena semalam mereka berdua pergi ke klub dengan taksi. “Naik taksi lah,” jawab Brianna. “Aku mencarimu semalam, , tapi kata orang kamu sudah pulang duluan. Dan ternyata kamu tertidur di kamarku, Kat.” Setelah mengatakan itu, Brianna diam-diam menyelipkan doa kecilnya agar Katie tidak mengingat apapun. “Ah, jadi aku meninggalkanmu? Sorry, Brianna.” Brianna mengangguk, berusaha menunjukkan ketenangan dengan senyuman getir. Mereka tiba di tempat tujuan, lokasi pembangunan rumah sakit. Brianna ingin melakukan pengecekan secara langsung dan bertemu dengan tim lapangan serta kontraktor untuk membicarakan sejauh mana keterlambatan terjadi. Tapi baru saja keluar dari mobil dan beberapa langkah berjalan, Katie menarik lengannya. “Brianna,” panggilnya. “Pak Leon di sini juga,” tunjuknya pada pria berjas yang berdiri beberapa jarak di sudut kanan bersama dengan seorang perempuan yang wajahnya tidak asing. “Itu stafnya Nexora, ‘kan?” balas Brianna setelah berusaha mengingatnya. “Iya, benar.” Gadis itu adalah seorang project manager dari perusahaan saingan berat Arcadia. Dilihat dari gelagat Leon yang membawanya ke tempat ini, sepertinya mantannya itu tak main-main soal menendang ia dan timnya dari sini. Rahang Brianna mengetat, menggumam dalam keheningan, ‘Mau bantu apanya? Baru semalam bilang begitu sekarang sudah lain perbuatan. Dia benar-benar tidak berubah!’ Brianna berkeliling bersama Katie. Beberapa saat menunggu, akhirnya ia memiliki kesempatan untuk mendekat dan menemui Leon sewaktu pria itu berteduh di teras bangunan yang sudah jadi. “Leon,” panggil Brianna setelah berdiri menengadahkan wajah di hadapannya. Tanpa basa-basi, Brianna secara langsung mengutarakannya. “Arcadia masih jadi bagian dari proyek ini, kenapa kamu mengundang orang lain?” Seulas seringai tipis terukir di salah satu bibir Leon. Pria itu selangkah maju saat berbisik lewat baritonnya yang menggoda. “Karena kamu kelihatannya tidak tertarik, Brie.” “Kamu sengaja memanfaatkanku? Kalau aku menolak, kamu akan kasih proyek ini ke dia dengan syarat yang sama? Harus tidur denganmu?” Leon tak menjawab cecaran Brianna, hanya terus memandanginya, seolah malah menikmati bagaimana ia terbakar emosi. Sedetik kemudian, senyum tipisnya melebar. “Aah … jadi kamu berpikir begitu?” “Jangan seenaknya, Leon! Jangan karena kamu sudah di atas kamu jadi semena-mena!” Leon menundukkan wajahnya, nyaris mensejajari pandangan Brianna. “Jadi kamu tidak suka aku di atas?” Suaranya tenang, tapi penuh godaan. “Di bawahmu juga boleh, Brie. Aku fleksibel.” “Leon—!” Brianna nyaris menjerit, tubuhnya mendadak panas dingin, kedua tangannya terkepal erat, meredam rasa kesal yang sudah di ubun-ubun. Ia tahu betul ke arah mana pembicaraan ini akan dibawa. Melihat beberapa pekerja yang melintas dengan membawa peralatan membuat Brianna berpikir ingin merebut benda-benda itu dari mereka untuk digunakannya memukul Leon yang menyebalkan ini. Dimulai dari helm proyek misalkan. Brianna mendorong napasnya dengan kasar lalu mundur beberapa langkah sewaktu Katie dan anggota timnya menemukan ia bersama Leon di sini. Mereka berjalan mendekat dan menundukkan kepala pada Leon dengan sopan. “Selamat pagi, Pak Leon,” sapa mereka hampir bersamaan. “Pagi.” Ada jeda hening yang aneh, anggota tim Brianna saling lirik sebelum salah satunya berujar, “Pak Leon maaf ... tapi Anda tidak serius buat mengusir kami, ‘kan?” “Kami masih diizinkan untuk bekerja di sini ‘kan, Pak?” imbuh yang lain. Kedua bahu bidang Leon terangkat sekilas sebelum menjawab, “Saya sebenarnya tidak keberatan. Hanya saja … sepertinya kita banyak tidak cocoknya.” Sudut mata Leon mengarah pada Brianna, ia seperti sedang menempatkannya menjadi satu-satunya orang yang memikul tanggung jawab besar ini. Meski memang benar demikian. “Bu Brianna tolong bicarakan lagi dengan Pak Leon,” pinta seorang perempuan yang berdiri di samping Katie. “Dulu Anda ‘kan bisa menangani proyek besar punya pemerintah, makanya kepala divisi percaya kita bisa mengatasi ini.” Pujian itu justru membuat pundak Brianna semakin berat. Di depannya, Leon berusaha menyembunyikan senyuman. Entah apa maksudnya. Tapi sepertinya ia sedang meremehkan pujian itu. ‘Benar-benar menyebalkan! Apa di matanya aku ini seperti badut?’ Brianna berhenti menggumam saat salah seorang dari anggota timnya tiba-tiba memanggil Leon dan bertanya, “Pak Leon, apa Anda semalam ada di The Eclipse?” Tubuh Brianna menegang saat mendengar ‘The Eclipse’ disebutkan. Itu adalah klub tempat ia pergi semalam. Napas Brianna tercekat di tenggorokan yang mendadak menyempit. Ia seperti berdiri di tepi jurang yang retak nan kritis, yang sewaktu-waktu patah dan menjatuhkannya saat anak buahnya itu mengalihkan tatapan penuh selidik … kepadanya. “Sepertinya semalam saya melihat Pak Leon dengan ….” ….Brianna menahan napas, jantungnya bertalu keras sewaktu berpikir ia telah tertangkap basah oleh anak buahnya sendiri.Dalam ketegangan yang mencekik leher itu, mendadak anggota timnya yang lain menyela dengan mengatakan, “Kami hanya sebentar saja pergi ke sana dan pulang karena ada keributan.”“Aah iya, ada wanita gila yang jadi simpanan dan dilabrak istri sah.” Anak buah Brianna yang tadi menatapnya itu membenarkan.“Astaga, selain gila sepertinya wanita itu juga punya kebodohan yang menembus tulang!”“Kenapa dia mau-mau saja jadi simpanan?”Brianna sangat lega saat pandangan menelisik anak buahnya itu telah berpindah darinya.Tak apa meski ia harus disebut gila dan bodoh oleh mereka.Ia melirik Leon dan kebetulan pandangan mereka bersirobok. Intensitasnya dalam menahan senyuman meningkat, menikmati situasi saat Brianna jadi bahan olok-olokan anak buahnya sendiri.Sedetik kemudian, Leon berdeham dan berujar, “Saya memang ada di sana, tapi tidak melihat kalian.”“Apa Pak Leon juga per
Seseorang berdiri di ambang pintu sebelum terhuyung masuk ke dalam kamar.‘Katie?’“Ah, kenapa gelap sekali?” racau Katie, melemparkan tasnya ke lantai secara sembarangan.Aroma alkohol menguar saat Katie mendekat.‘Dia mabuk?’ gumam Brianna kemudian membungkam bibir Leon dengan telapak tangannya, mengisyaratkan agar ia diam.Brianna menarik Leon agar menyisih sewaktu Katie berjalan ke arah ranjang tanpa menghiraukan keberadaan mereka.Kegelapan yang membatasi jarak pandang dan ditambah Katie yang mabuk adalah perpaduan sempurna yang menyelamatkan Brianna agar tak tertangkap basah membawa masuk pria oleh temannya itu.Katie terlihat melepas sepatu yang ia kenakan lalu menghempaskan dirinya ke atas ranjang. Hanya dalam waktu singkat setelahnya, ia tak bergerak, jatuh dalam lelap.Brianna menoleh pada Leon saat tangannya yang ada di wajah pria itu diturunkan.“Sepertinya tidak bisa lanjut, Brie,” bisik Leon di dekat telinganya. “Tapi tenang, tawaranku tadi masih berlaku.”Leon mengusap
“Lepaskan aku, Leon ….” pinta Brianna seraya menarik wajahnya menjauh.Tapi alih-alih pergi, Leon justru merenggut dagunya semakin erat. “Kamu tidak kedinginan?” tanyanya. “Bukannya kamu harus cepat ganti karena bajumu basah?”Brianna menelan kasar ludahnya sewaktu embusan hangat napas Leon dan wangi cocktail yang tadi diminumnya itu menyeruak. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri saat pria itu mengatakan, “Akan aku antar kamu ke kamar.”“Tidak perlu. Aku bisa sendiri,” tolak Brianna dengan cepat.“Artinya kamu tidak takut gelap? Yang tadi itu hanya alasan supaya aku masuk. Begitu?”Niat Brianna untuk meminta tolong kini telah berubah menjadi bumerang.Ini adalah pisau bermata dua. Jika Brianna tak mengizinkan Leon mengantarnya, artinya ia membenarkan pria itu bahwa ia memang tengah menggodanya. Tapi jika Brianna membiarkan Leon mengikutinya hingga ke kamar … entah apa yang akan terjadi.“Jadi kamu memang sengaja—”“Kamu bisa masuk,” potong Brianna agar prasangka Leon tidak menj
Leon terlihat menyipitkan mata. Senyum tipis terlukis di bibirnya dan itu membuat Brianna lega karena sepertinya Leon akan bermurah hati membantunya.Tapi, ia salah. Brianna benar-benar putus harapan sewaktu Leon menepis tangannya.“Tidak!”Wanita yang ada di depannya itu tersenyum penuh ejekan dan melangkah mendekat pada Brianna.‘Here we go ….’ batinnya berpasrah.Niat hati ingin melepaskan lelah, kedatangannya ke tempat ini malah membuatnya mendapat label sebagai ‘penggoda suami orang.’Tapi, wanita itu tiba-tiba berhenti. Sepasang matanya melebar seperti halnya Brianna karena Leon mendadak merangkul bahunya.Tubuh mereka berbenturan saat Leon mengatakan, “Ya. Aku ke sini memang untuk bertemu dia.”Kebas, Brianna merasakan hentakan tak karuan di dalam rongga dadanya.“Bohong!” sangsi wanita itu, menatap curiga sewaktu Leon turun dari kursinya tanpa melepas rangkulannya.“Kalian berdua saling kenal?”“Mana ada perempuan gila yang sembarangan mengklaim pria asing jadi pacarnya, Nona?
‘Bodoh! Kenapa aku malah mengajak dia tidur?’ batin Brianna dalam kepanikan begitu ajakan itu lolos dari bibirnya.Wajahnya memanas, Brianna ingin menampar dirinya keras-keras.Menarik ucapan pun percuma karena Leon sudah mendengarnya dan memutar tubuhnya menghadap pada Brianna.“Katakan sekali lagi,” pinta Leon dengan nada bicara yang menuntut. Selangkah mendekat pada Brianna yang menelan ludah dan berusaha menjaga bahunya tetap tegak.Padahal Brianna hanya asal berucap dan ingin tahu bagaimana tanggapan Leon. Tapi sekarang, rasa percaya dirinya mendadak hilang.“A-aku tidak bermaksud—”Bibir Brianna terbungkam rapat, kalimat pembelaannya hanya sampai di tenggorokan saat Leon menundukkan kepalanya dan berbisik, “Tidak bermaksud apa?”“M-maksudnya aku salah bicara.”Salah satu alis lebat Leon menukik ke atas. “Salah bicara bagaimana?”Panas di wajahnya telah menjalar ke sekujur badan, sadar semakin bicara akan semakin salah kaprah, Brianna memilih untuk menjauh dari Leon.Melarikan di
“Tidak becus! Bawa timmu pergi dari sini dalam dua hari, Brianna Ellery!”Jari-jari Brianna mati rasa saat kalimat itu menghantam telinganya. Suara dingin yang membungkam seisi ruangan itu datang dari seorang CEO perusahaan developer, Leon Alejandro Ronan.Saat ini, mereka tengah bekerja sama dalam pembangunan sebuah rumah sakit. Banyaknya kelalaian yang dilakukan oleh project manager sebelumnya membuat Brianna dimutasi ke kota kecil ini. Kini, ia lah yang bertanggung jawab membersihkan ‘sampah’ yang ditinggalkan oleh rekannya itu.Meski sudah berusaha sebaik mungkin, tapi bagi Leon kehadirannya masih dianggap tidak bisa memperbaiki keadaan.Keterlambatan kedatangan bahan konstruksi dari pihak vendor dinilai Leon sebagai kelalaian yang menghambat, dan pria itu berakhir mengusir mereka.Berdiri di dekat layar proyektor, Brianna menelan ludah, darahnya berdesir panas sewaktu mengatakan, “Tolong, dengar—” “Rapat selesai,” potong Leon seraya menutup map di depannya.Leon berdiri, berjal







