"Wah udah gila orang-orang ini.""Gak nyangka kenapa bisa berujung panjang kayak gini. Haduh." Bang Fino menggelengkan kepala melihat rekaman yang aku tunjukkan. Aku juga tidak paham kenapa malah jadi begini. Malah semuanya nyamperin ke rumah, bagaimana dengan rencana-rencana ku, jangan sampai malah gagal. "Jadi gimana?" tanya Rumi membuatku menggelengkan kepala, aku belum punya solusinya. "Jangan sampai malah tiba-tiba ada wartawan karena berita itu lagi viral banget dan jangan sampai malah masuk ke televisi."Wah, itu tambah bahaya sih. Apa lagi ada beberapa orang yang kenal aku dan itu tidak main-main pangkatnya. Aku mengurut kening, pusing sekali. "Abang bakalan hubungi orang suruhan Abang buat bantu kondusifin rumah kamu. Kamu juga langsung pulang untuk bantu tenangin, Din. Rumi juga ikut Mbak." Bang Fino mengarahkan kami. Aku langsung menganggukkan kepala mendengar perkataan Bang Fino. "Kita harus segera selesaiin masalah ini segera."Benar kata Bang Fino, jangan sampai ma
"Din. Bangun, Dina." "Dek?! Ayo bangun. Kamu kenapa?" Perlahan, mataku terbuka. Aku mengerjakan mata. Beberapa detik berusaha menyesuaikan cahaya, aku akhirnya bisa melihat jelas. Mama, Papa, Bang Fino, Rumi, dan Reyza menatapku cemas. Reyza duduk di sebelahku dengan minyak kayu putih. Pasti dia yang membantu agar aku cepat sadar. "Aku kenapa?" tanyaku pelan, tubuhku masih lemas sekali. "Kamu pingsan pas keluar dari mobil tadi. Kamu itu kecapekan, butuh istirahat banyak.""Huek!" Aku menutup mulutku, mual sekali rasanya. "Dek? Kamu gak papa?" Bang Fino memegang tanganku. Buru-buru aku turun dari atas kasur, tidak peduli lagi dengan rasa pusing, makanan sisa semalam semuanya rasanya keluar. Aku memegang tembok, tubuhku lemas sekali. "Udah belum, Din?" Reyza menggedor pintu kamar mandi. Setelah beberapa menit, aku akhirnya keluar dari kamar mandi, dibantu oleh Rumi dan Bang Fino, aku kembali tiduran di atas kasur. "Masuk angin kali ya?" tanyaku sambil menoleh ke Reyza yang kem
"Hah?! Hamil?" Mata Rumi langsung membulat. Aku menggelengkan kepala. Suara Rumi besar sekali. Awas saja kalau ada yang mendengarnya. Adikku itu tampak kaget sekali. "Mbak hamil?" tanyanya penasaran sekali. "Gak tau, Rum. Itu baru dugaan Mbak, perasaan Mbak aja atau apa lah. Mbak masih berharap ini cuma masuk angin biasa." Rumi menatapku, dia tampak panik sekali mendengarku mengatakan hal itu barusan. Ya, mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa untuk diam saja, aku memang harus menyampaikan keresahan hatiku pada salah satu orang, aku rasa Rumi adalah orang yang paling tepat. "Jadinya gimana, Mbak? Mbak mau ngasih tau Bang Fino? Mama? Papa?" tanya Rumi membuatku lagi-lagi menggelengkan kepala. Itu semua ide buruk. "Mbak mau lihat perkembangannya besok, Rum. Kalau belum haid juga, terus masih mual juga, ada kemungkinan Mbak bakalan tes mbak hamil atau enggak. Buat kali ini, cuma kamu yang tau dan jangan sampai ada yang tau dulu, Rum."Meskipun besar, Rumi akhirnya menganggukkan kepala.
"Mbak mau beli testpack buat apa?" tanya Rumi penasaran. Untuk apa aku membeli testpack? Aduh, pertanyaan apa itu? Jelas untuk mengecek kehamilan, kenapa pakai bertanya begitu? Aneh sekali Rumi. "Enggak, Mbak yakin kalau Mbak sedang hamil?" tanya Rumi lagi, sepertinya dia tau apa yang aku pikirkan barusan. Aku langsung menggelengkan kepala mendengar perkataan adikku itu. "Mbak cuma mau ngecek doang. Semoga enggak, tapi Mbak masih penasaran dan Mbak gak berharap itu."Sungguh, aku tidak ingin kalau aku hamil, tetapi aku ingin membuktikan hal itu. Aku sedikit tidak tenang sekarang, karena hal ini. Selalu saja mengganggu pikiranku. "Yaudah deh, test nya kapan, Mbak? Aku juga penasaran sih." Rumi langsung nyengir ketika melihat aku yang memasang wajah kesal, tadi saja dia bilang begitu. "Nanti pas habis bangun tidur Mbak bakalan langsung cek. Semoga hasilnya negatif." Rumi menganggukkan kepala. Setelah percakapan itu, kami saling terdiam. Sesekali, aku menghela napas pelan, ini akan
"Say? Wanita ini siapa, Mas?" Mas Guntur tampak salah tingkah melihatku, dia menggaruk kepala, seperti sedang berusaha mencari alasan. Wanita yang berdiri di sebelah Mas Guntur juga langsung terdiam. Dia menoleh ke Mas Guntur, sepertinya dia sudah tau siapa aku. Aku juga tidak asing dengannya, bahkan aku tau sekali siapa wanita ini. Ya, wanita ini adalah Weni. Aku menganggukkan kepala, menunggu Mas Guntur untuk menjelaskan sesuatu mengenai wanita ini. "Dia itu sepupunya Guntur. Baru datang banget tadi pas kamu pulang. Maka nya, kamu itu jangan kadang pulang, kadang pergi. Aneh." Mama Mas Guntur tampak berkacak pinggang melihatku. "Oh, sepupunya. Kok aku gak tau, bukannya semua sepupu Mas Guntur sudah dikenalkan semua padaku? Lalu mengenai aku yang kadang pulang, kadang pergi, aku kan jagain Putra, anaknya Mas Guntur, cucu Mama. Bukannya cuma keluyuran gak jelas." Mereka langsung terdiam mendengar perkataanku barusan. Sepertinya sedang berpikir apa lagi alasan yang ingin mereka p
"Ssstt .... Kamu jangan bilang hamil disini, Sayang. Nanti kalau Dina dengar bagaimana?""Harus sesabar apa lagi aku, Mas?" Suara Weni terdengar frustasi sekali. "Ingat ya, aku memang sayang sama kamu, Wen. Tapi aku lebih sayang lagi sama Dina. Aku gak mau kehilangan Dina, apa lagi anak kami bakalan tinggal di asrama sekolahnya, aku bakalan bareng lagi sama Dina. Aku mau menikahi kamu karena terpaksa dan karena anak yang kamu kandung!"Aku sampai mundur satu langkah mendnegarnya. Aku menelan ludah, tega sekali Mas Guntur bilang begitu. Meskipun masih kaget dan terkejut mendengar fakta yang baru saja aku dengar, tetapi aku tidak menyangka kalau Mas Guntur akan bilang seperti itu. "Kalau kamu tidak hamil, kamu sama aja kayak wanita yang lain, hanya aku anggap sebagai simpanan. Maka nya, kamu harus ingat itu, jangan kebanyakan nuntut banyak hal ke aku."Sungguh, aku baru mendengar hal ini. Aku tidak menyangka Mas Guntur akan mengatakan hal itu. Awalnya aku kira, Mas Guntur sangat men
"Secepatnya? Kamu yakin? Gimana sama semua rencana kamu?" "Aku bakalan persingkat semuanya, Bang. Mungkin juga bakalan aku lakuin setelah perceraian kami. Semuanya juga udah siap, nanti aku langsung bilang ke Mama dan Papa buat siapin pengacara. Yang pasti saat ini, aku ingin segera mengajukan surat cerai ke Mas Guntur."Bang Fino menganggukkan kepala. "Abang emang setuju sama rencana kamu yang kali ini, sih. Gak perlu lama-lama lagi mikirnya, karena si Guntur juga udah keterlaluan banget. Kamu gak bisa tinggal diam aja."Benar kata Bang Fino, aku memang harus bergerak lebih cepat. Itu urusan nanti, yang pasti saat ini, aku ingin segera mengajukan surat cerai ke pengadilan agama. Mas Guntur sudah sangat keterlaluan saat ini. Ini tidak bisa dimaafkan lagi, aku juga sudah muak dengan semua yang dia katakan. Lebih baik, aku segera mengajukan surat perceraian itu. "Yaudah, nanti kamu langsung bilang aja ke Mama dan Papa, jangan dekat dengan Putra tapi ya, nanti Putra dengar bisa bahaya
"Gila, kamu keren banget, Dek. Harusnya kamu dari dulu kayak gini, buat perhitungan sama si Guntur itu! Biar dia rasain semuanya dan biar dia gak macam-macam lagi sama kamu!"Aku menganggukkan kepala ke Bang Fino. Memang seharusnya sejak dulu aku sudah melakukannya, bukan malah baru sekarang. "Jadi, kita nungguin Ratih dan Nada di sini, Dek?" tanya Bang Fino membuatku menganggukkan kepala. "Iya, Bang. Mereka katanya lagi perjalanan ke sini. Kita nyamperin Putra sama Rumi dulu kayaknya."Bang Fino menganggukkan kepala, aku melangkah menuju ke meja yang ditempat oleh Putra dan juga Rumi. Pengacara tadi sudah pulang, karena katanya dia sedang terburu-buru juga. Aku menghela napas lega, tinggal memikirkan beberapa hal lagi dan juga tentunya memikirkan rencana untuk besok. "Halo, anak Mama." Aku tersenyum pada Putra yang langsung berdiri dan memelukku. Kami beberapa saat menjadi pusat perhatian. Aku langsung mengusap kepala Putra, kemudian kembali mengajaknya untuk duduk di kursi. Put