"Ini uang sepuluh ribu buat belanja hari ini. Pokoknya harus cukup, jangan minta ke aku lagi. Oh iya, aku request makanan yang ada dagingnya kayak ayam, bukan tahu tempe terus yang kamu kasih ke aku."
Aku diam saja mendengar perkataan Mas Guntur yang meletakkan uang di atas meja dengan kesal. Dia sepertinya sudah kesal tiap hari aku beri makan tahu tempe."Kamu dengar gak, Dina?!" Dia kembali membentakku, bukanlah hal yang aneh lagi, aku sudah bosan mendengarnya."Enggak." Aku menjawab pendek. Bodo amat dengan semua ini, aku sudah muak."Istri kurang ajar kamu ya! Bukannya nurut sama suami, malah bantah terus. Jangan-jangan cita-cita kamu ini jadi istri durhaka, hah?!"Bodo amat. Aku mengangkat bahu, kembali menyelesaikan mencuci piring. Anggap saja angin lalu. Dia pikir, dia bisa menghidupi semua ini dengan uang segitu, hah?! Lucu."Ma, Pa! Aku harus bayar uang sekolah, kalau enggak, gak bisa ikut ujian nanti. Kenapa yang sekolahku belum dibayar? Temen-temen yang lain udah semua."Mendengar perkataan Putra—anak tunggal kami yang sudah sekolah kelas tiga SD, Mas Guntur langsung melotot menatapku. Dia sepertinya sedang kesal sekali."Kamu ini apa-apaan sih, Din? Uang sekolah anak belum dibayar. Aku itu tiap hari kasih kamu uang belanja untuk semua kebutuhan kita."Pikir saja sendiri, aku mendengkus kesal. Sungguh, kalau kalian ingin tau, kenapa aku tidak mau melawan, jawabannya sudah setiap hari aku melawan pada suamiku ini.Jawabannya seolah dia memberikanku uang satu juta setiap hari. Memangnya dia kira enak mengelola uang sepuluh ribu dengan semua yang harus diurus? Apakah dia tidak pernah berpikir sebelumnya?"Kamu minta ke Mama kamu! Papa mau kerja dulu atau kita nanti gak bakalan makan. Udah pusing banget Papa di rumah ini, jangan salahin aku kalau aku malah ceri pelampiasan baru di luar."Dih. Aku menatapnya sinis. Sungguh, kalau tidak durhaka, aku hampir saja melemparkan piring yang sedang aku cuci ke Mas Guntur. Sudah sejak tadi, tapi aku masih bisa berpikir jernih.Mas Guntur dengan kesal meninggalkan perumahan. Aku menghela napas pelan, menatap Putra yang masih berdiri, dia belum bergerak sedikit pun dari tempatnya tadi. Masih menunggu."Nanti Mama cari dulu ya, Nak, uangnya. Kamu siap-siap sekolah aja, nanti malah terlambat pergi ke sekolahnya."Putra menatap ku, kemudian berlari memelukku. Aku balas memeluk anakku satu-satunya ini. Mengusap kepalanya."Maafkan Mama, Sayang. Kamu malah jadi ikut susah begini. Tiap hari makan yang gak bergizi, di sekolah diejekin. Maafkan Mama, Nak." Aku memejamkan mata."Gak papa, Ma. Mama udah berusaha buat Putra biar tetep bisa lanjutin sekolah. Uang sepuluh ribu dari Papa tiap hari, Putra yakin banget pasti gak cukup kan, Ma? Bahkan Putra juga cuma dikasih uang seribu untuk jajan di sekolah.""Udah, Putra gak usah pikirin Mama. Putra pikirin sekolah aja, ya. Jangan mikirin Mama sama Papa. Biar Mama yang urus semuanya.""Mama gak capek? Putra bisa bantu kok."Tidak. Aku langsung menggelengkan kepala, mengerti arah pembicaraan Putra kemana. Dia berulang kali bilang ingin putus sekolah saja, agar aku tidak repot mengatur keuangan."Yuk, siap-siap, Nak. Jangan bilang itu lagi, Mama gak bakalan izinin."Sebenarnya juga, Putra pasti sudah muak karena tiap hari selalu ditagih uang sekolah, juga diejek teman-temannya yang mampu pergi ke kantin. Aku menghela napas pelan, membantu mengambilkan tas sekolah Putra, agar anakku itu pergi ke sekolah."Mama sayang Putra. Jangan berhenti sekolah demi Mama, Nak. Mama gak bakalan izinin."Putra menundukkan kepala, membuatku memeluknya. Aku menghela napas pelan. Hanya Putra satu-satunya kekuatanku saat ini."Semangat, Ma. Maaf gak bisa bantu banyak."Setelah Putra pergi ke sekolah, aku kembali masuk ke dalam rumah. Beres-beres sedikit, kemudian bersiap-siap untuk pergi. Aku memang ada acara setelah ini, harus segera datang.Pintu rumahku diketuk. Baru saja selesai mandi. Siapa sih yang datang pagi-pagi begini?"Mbak!"Aku langsung menepuk dahi melihat siapa yang datang pagi-pagi begini. Aku kira Mas Guntur kembali lagi ke rumah karena ada yang ketinggalan atau ingin melihatku masak apa."Pagi, Mbak!"Yang barusan datang adalah Rumi, adikku. Dia baru saja pulang dari luar kota setelah seminggu ada di sana untuk mengurus sesuatu."Boleh aku masuk, Mbak?" tanya Rumi membuatku mengernyitkan dahi, aneh."Biasanya juga langsung asal masuk. Gak usah pake izin segala kali. Kayak apa aja."Mendengar perkataanku, Rumi langsung tertawa, dia masuk ke dalam rumah, langsung menuju ke dapur."Kamu gak langsung pulang ke rumah Mama dan Papa? Langsung ke rumah Mbak?" tanyaku melihat koper yang ada di dekat pintu."Oh itu, aku mau tinggal di sini sementara waktu, Mbak. Disuruh Mama dan Papa, kan mereka bakalan sibuk banget.""Jadi tinggal disini dulu? Kenapa kamu gak tinggal di villa aja? Kan kamu tau sendiri gimana keadaan rumah ini, Rum.""Keadaan rumah ini? Gimana sih maksudnya, Mbak?"Aku menunjuk tempe dan tahu yang sudah matang di atas meja makan. Bodo amat soal Mas Guntur yang ingin makan daging atau apalah itu. Aku tidak akan memasak yang lain."Wow, tahu dan tempe. Di sana gak ada loh, Mbak. Makanannya aneh semua." Rumi langsung mencomot salah satu tempe yang ada di piring."Mbak mau pergi dulu abis ini, baru ke rumah Mama sama Papa buat minta tolong sesuatu. Kamu mau ikut?" tanyaku sambil kembali menyapu.Rumi langsung menganggukkan kepala. Dia mah memang selalu ikut saja apa yang aku bilang. Aku menggelengkan kepala melihat kelakuan adikku itu."Boleh aku minta rekaman CCTV yang udah kita pasang diam-diam, Mbak?"Mendengar itu, aku langsung menatap Rumi, kemudian menganggukkan kepala. "Nanti aja jangan di rumah ini. Kamu bisa lihat sepuasnya di jalan."Ya, kami memang memasang CCTV di rumah ini. Aku sendiri yang bilang harus karena ada sesuatu yang ingin aku buktikan sendiri."Yuk kita pergi, mobilnya udah di depan."Adikku itu langsung beranjak. Aku mengunci pintu rumah, kemudian melangkah anggun masuk ke dalam mobil yang terparkir di depan rumah tadi."Mbak cantik. Harusnya Mbak pake baju kayak gini terus. Bukannya daster kumuh itu, terus juga Mbak gak cocok sama kehidupan itu, Rumi saranin Mbak secepatnya pergi dari rumah yang udah kayak neraka itu.""Pasti Rumi, tapi gak sekarang."Rumi menghela napas pelan mendengar jawabanku. Dia sudah tau apa yang hendak aku lakukan."Jangan terlalu lama menyiksa diri, Mbak. Aku memang dukung Mbak, tapi kalau udah keterlaluan, jangan salahin aku kalau aku nantinya ikut turun tangan.""Aman, Rumi. Mbak hanya ingin bermain-main saja dengan dia. Dia kira dengan seperti itu keren? Mbak akan membuat hidupnya perlahan tersiksa, perlahan, tapi benar-benar menyakitkan."***"Suami Mbak yang pelit itu masih ngasih uang sepuluh ribu setiap hari?""Iya. Ngapain Mbak ngasih makan tahu tempe kalau uang belanja yang dia kasih lebih dari itu?"Adikku itu langsung nyengir. Aku menatap keluar jendela mobil. Beberapa detik terdiam, ponselku berdering, aku langsung mengambilnya di dalam saku celana, ah teman lama. "Siapa, Mbak?" tanya Rumi sambil berusaha mengintip siapa yang menelepon. "Teman lama." Aku menjawab singkat sambil menggeser tombol berwarna hijau, kemudian mendekatkan ponsel ke telinga. "Halo, Nada." Aku lebih dulu menyapa orang yang meneleponku ini, membuatnya terkekeh pelan. "Halo, Dina. Sahabatku yang sangat sabar ini, sepertinya kamu sedang di perjalanan ya? Bagaimana kehidupanmu sebagai istri dari Guntur yang terhormat?" Nada langsung tertawa mendengar perkataannya sendiri. "Jangan basa-basi. Apa mau kamu?" tanyaku cepat. "Santai, Din. Aku di sini sebagai sahabat yang baik buat kamu. Jangan kayak musuh gitu dong, kamu bilang ketus-ketus."Ak
"Gue penasaran banget sama istri Lo yang katanya pemalas itu. Nanti bolehlah main ke rumah lo.""Boleh. Lo liat sendiri aja gimana kelakuan istri gue."Aku menganggukkan kepala, kemudian melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi. Ini benar-benar menarik. Aku mendapatkan bahan lagi untuk melakukan apa yang harus aku lakukan untuk membalaskan semuanya. "Mbak lama banget." "Abis denger suara Mas Guntur tadi." Aku membalas perkataan Rumi yang langsung melebarkan matanya mendengar perkataanku barusan. "Hah?! Terus gimana, Mbak? Mbak ketahuan?"Mendengar itu, aku langsung tertawa. Jangankan ketauan, pasti Mas Guntur tidak akan mengenali siapa aku sebenarnya. Aku memang tidak pernah memakai make up di rumah. Itu sudah biasa. "Sebentar lagi kita masuk ke acara inti. Kamu mau ikut Mbak naik ke atas panggung?""Gak usah, Mbak." Rumi langsung menggelengkan kepalanya. Ah, baiklah. Rumi memang tidak mau, apa lagi kalau ketauan, itu semua akan merusak rencanaku, tapi tenang saja, aku akan mai
"Karena beberapa laporan, kantor ini akan melakukan perubahan. Mungkin menurunkan jabatan atau malah mungkin mengganti anggota. Saya sudah menyusun nama-nama anggotanya, jadi nanti tinggal dilihat saja."Semua langsung berbisik-bisik mendengar perkataanku. "Apa alasannya? Bukan. Bukan karena kantor ini akan bangkrut, tetapi karena performa ornag-orang yang ada di list tidak bagus dan tidak maksimal."Aku menatap semua orang yang memandangku. Mereka menatap terpesona, karena aku juga memang jarang sekali memakai make up. "Kalian coba untuk instrospeksi diri sendiri kalau performa kalian tidak bagus. Bisa list tadi dibawakan ke saya?"Tadi, aku sudah menjelaskan apa yang ingin aku lakukan pada Mas Guntur pada Bang Fino, kemudian dia langsung membuat apa yang aku inginkan. "Ini list namanya, Bu."Pandanganku tertuju ke nama Mas Guntur sebagai manager di perusahaan ini. Dia memang manager, tetapi pelit sekali pada istrinya, bahkan dia memberikan uang sepuluh ribu untuk keperluan kami s
"Kamu apa-apaan sih berlutut kayak gitu?" Mama tampak risih melihat Mas Guntur yang berlutut di kakiku. Entahlah, aku bingung apa yang Mas Guntur lakukan. Kenapa dia memohon-mohon seperti ini. Agar kerjaannya tidak hilang begitu?Untuk apa lagi kalau dia hanya memberikan nafkah sepuluh ribu untukku. "Tolong saya, Bu. Saya butuh pekerjaan ini untuk biaya sekolah anak saya. Saya mohon."Dih. Aku mengangkat sebelah alis, merasa kesal dengan ucapannya barusan. Rumi mengusap punggungku. Jangan sampai amarahku meledak di sini dan membuat keributan. Ini belum seberapa, masih banyak kejutan yang akan kami buat. "Haduh, sebaiknya kamu jangan di sini. Sana, saya gak suka ada orang yang melakukan kesalahan tapi seolah tidak melakukan kesalahan itu." Aku berkata pelan, tetapi tajam. Bang Fino juga berusaha menenangkanku. Tidak, aku tidak akan marah atau meledak di sini. Aku hanya sedikit emosi melihat pria menyebalkan ini. Menurut dia, kesalahan yang dia lakukan itu kecil, hah?!"Maafkan say
"Putra anakmu, Mas! Kenapa kamu bilang begitu, hah?! Harusnya kamu panik, harusnya kamu langsung tanya dimana rumah sakitnya, bukan malah maki-maki anak sendiri." Aku mencengkeram erat ponsel, rasanya aku ingin membanting ponselku kalau tidak ada akal sehat lagi. "Anak nyusahin, ngapain aku mikirin dia. Udah, jangan ganggu aku, aku lagi sibuk dan pusing mikirin kerjaan. Kamu itu nelpon gak ada gunanya banget.""Halo Mas Guntu! Halo!" "Istighfar, Mbak." Rumi langsung membantu menenangkanku. Dia mengambil ponselku agar aku tidak membanting sesuatu. Sungguh, aku marah sekali pada Mas Guntur. Biarlah dia selama ini tidak memberikan nafkahnya padaku, tetapi ini? Anaknya sendiri masuk rumah sakit. Setidaknya dia panik atau apa, bukan malah tidak peduli hanya karena dia kehilangan pekerjaannya. "Dasar laki-laki gak tau diri." Aku mencengkeram erat jemariku sendiri, berusaha menahan emosi. "Mbak pasti bisa, sabar ya Mbak." Rumi mengusap punggungku. "Bahkan sama anaknya dia gak peduli!
"Kamu pikir dong! Anak kamu itu masuk rumah sakit! Harusnya kamu mikirin dia, bukannya mikirin perut kamu sendiri!" Sungguh, aku emosi sekali dengan Mas Guntur. Dia sama sekali tidak peduli dengan anaknya, sementara dia malah memikirkan isi perutnya di rumah dengan menanyakan makanan? Kemana pikiran dia itu?"Halah, kamu itu gak ada gunanya jadi istri!""Kamu yang gak ada gunanya jadi suami, Mas!" Aku berkata kesal, kali ini kelepasan. Aku diam sejenak, pasti Reyza mendengarnya. Ah, biarlah. Aku ingin mengurus Mas Guntur dulu. Masalah di hidupku banyak sekali. "Oh, mulai berani ya kamu? Durhaka kamu jadi istri, hah?!"Dari pada aku bertambah emosi dan semua omongan kekesalanku keluar semua, aku akhirnya mematikan telepon. Beberapa detik menenangkan diri, aku kembali duduk di meja. "Kamu butuh minum?" tanya Reyza membuatku menggelengkan kepala. Aku tidak butuh apa-apa sekarang. Yang aku butuhkan hanyalah ketenangan. Reyza menganggukkan kepala. Dia seolah tau sekali apa yang aku r
"Tentang Mas Guntur? Buat masalah apa lagi dia? Udah capek banget denger kelakuan dia yang gak bener itu.""Ya begitulah, kenapa juga kamu bisa menikah sama pria kayak dia.""Entahlah, aku juga bingung. Harusnya dari dulu aja aku buang jauh-jauh suami kayak dia."Nada langsung tertawa mendengar perkataanku. Sahabatku itu tumben sekali menelepon malam-malam begini. "Aku juga minta maaf gak sempet ngabarin kamu tadi, ada meeting dadakan.""Ah iya, gak papa, Nad." Aku duduk di salah satu kursi tunggu. Begitu juga dengan Bang Fino. Sepertinya dia masih penasaran sekali dengan cerita mengenai Reyza. Haduh, padahal aku sudah senang bisa menghindarinya. "Terus kamu sendiri kenapa gak bisa hubungi aku, Din? Ada masalah? Atau ada sesuatu?" tanya Nada penasaran sekali. "Putra abis jatuh dari tangga sekolahnya, Nad. Ini aku lagi jagain dia di rumah sakit.""Ya ampun, terus gimana keadaannya, Din? Suami kamu juga di situ? Atau dia malah gak peduli?"Aku tertawa pelan mendengar pertanyaan Nada.
"Maaf ya, saya tadi gak sengaja ke sini, bukan niatnya mau nguping.""Iya gak papa, Dok." Putra yang menjawab sambil tersenyum. Aku buru-buru mengusap air mata. Momen mengharukan ini, ternyata juga ada yang mendengarkannya. "Boleh saya masuk?" tanya Reyza membuatku menganggukkan kepala. "Permisi ya, izin masukin obat ke dalam infusannya Putra."Reyza melangkah mendekati tempat aku duduk tadi. Aku beranjak agar Reyza lebih leluasa untuk melakukan tugasnya. "Tadinya mau perawat aja, tapi saya mau lihat perkembangan anak manis ini. Gimana? Masih ngerasa sakit?" tanya Reyza membuat Putra menggelengkan kepala. "Anak Mama kan kuat." Perkataan Putra membuatku tersenyum. "Pintarnya. Putra dewasa sekali, mirip banget sama keponakan dokter. Nanti kapan-kapan ketemu deh, ya." "Wah, seru banget pasti. Iya, nanti kapan-kapan sama Mama ya, Dok."Pria itu langsung menoleh ke aku beberapa saat. Kemudian kembali menoleh ke Putra dan menganggukkan kepala. "Iya, nanti sama Mama juga. Udah selesa