Share

Sepuluh Ribu dari Suami Pelitku
Sepuluh Ribu dari Suami Pelitku
Author: Rahma La

Sepuluh Ribu

"Ini uang sepuluh ribu buat belanja hari ini. Pokoknya harus cukup, jangan minta ke aku lagi. Oh iya, aku request makanan yang ada dagingnya kayak ayam, bukan tahu tempe terus yang kamu kasih ke aku."

Aku diam saja mendengar perkataan Mas Guntur yang meletakkan uang di atas meja dengan kesal. Dia sepertinya sudah kesal tiap hari aku beri makan tahu tempe.

"Kamu dengar gak, Dina?!" Dia kembali membentakku, bukanlah hal yang aneh lagi, aku sudah bosan mendengarnya.

"Enggak." Aku menjawab pendek. Bodo amat dengan semua ini, aku sudah muak.

"Istri kurang ajar kamu ya! Bukannya nurut sama suami, malah bantah terus. Jangan-jangan cita-cita kamu ini jadi istri durhaka, hah?!"

Bodo amat. Aku mengangkat bahu, kembali menyelesaikan mencuci piring. Anggap saja angin lalu. Dia pikir, dia bisa menghidupi semua ini dengan uang segitu, hah?! Lucu.

"Ma, Pa! Aku harus bayar uang sekolah, kalau enggak, gak bisa ikut ujian nanti. Kenapa yang sekolahku belum dibayar? Temen-temen yang lain udah semua."

Mendengar perkataan Putra—anak tunggal kami yang sudah sekolah kelas tiga SD, Mas Guntur langsung melotot menatapku. Dia sepertinya sedang kesal sekali.

"Kamu ini apa-apaan sih, Din? Uang sekolah anak belum dibayar. Aku itu tiap hari kasih kamu uang belanja untuk semua kebutuhan kita."

Pikir saja sendiri, aku mendengkus kesal. Sungguh, kalau kalian ingin tau, kenapa aku tidak mau melawan, jawabannya sudah setiap hari aku melawan pada suamiku ini.

Jawabannya seolah dia memberikanku uang satu juta setiap hari. Memangnya dia kira enak mengelola uang sepuluh ribu dengan semua yang harus diurus? Apakah dia tidak pernah berpikir sebelumnya?

"Kamu minta ke Mama kamu! Papa mau kerja dulu atau kita nanti gak bakalan makan. Udah pusing banget Papa di rumah ini, jangan salahin aku kalau aku malah ceri pelampiasan baru di luar."

Dih. Aku menatapnya sinis. Sungguh, kalau tidak durhaka, aku hampir saja melemparkan piring yang sedang aku cuci ke Mas Guntur. Sudah sejak tadi, tapi aku masih bisa berpikir jernih.

Mas Guntur dengan kesal meninggalkan perumahan. Aku menghela napas pelan, menatap Putra yang masih berdiri, dia belum bergerak sedikit pun dari tempatnya tadi. Masih menunggu.

"Nanti Mama cari dulu ya, Nak, uangnya. Kamu siap-siap sekolah aja, nanti malah terlambat pergi ke sekolahnya."

Putra menatap ku, kemudian berlari memelukku. Aku balas memeluk anakku satu-satunya ini. Mengusap kepalanya.

"Maafkan Mama, Sayang. Kamu malah jadi ikut susah begini. Tiap hari makan yang gak bergizi, di sekolah diejekin. Maafkan Mama, Nak." Aku memejamkan mata.

"Gak papa, Ma. Mama udah berusaha buat Putra biar tetep bisa lanjutin sekolah. Uang sepuluh ribu dari Papa tiap hari, Putra yakin banget pasti gak cukup kan, Ma? Bahkan Putra juga cuma dikasih uang seribu untuk jajan di sekolah."

"Udah, Putra gak usah pikirin Mama. Putra pikirin sekolah aja, ya. Jangan mikirin Mama sama Papa. Biar Mama yang urus semuanya."

"Mama gak capek? Putra bisa bantu kok."

Tidak. Aku langsung menggelengkan kepala, mengerti arah pembicaraan Putra kemana. Dia berulang kali bilang ingin putus sekolah saja, agar aku tidak repot mengatur keuangan.

"Yuk, siap-siap, Nak. Jangan bilang itu lagi, Mama gak bakalan izinin."

Sebenarnya juga, Putra pasti sudah muak karena tiap hari selalu ditagih uang sekolah, juga diejek teman-temannya yang mampu pergi ke kantin. Aku menghela napas pelan, membantu mengambilkan tas sekolah Putra, agar anakku itu pergi ke sekolah.

"Mama sayang Putra. Jangan berhenti sekolah demi Mama, Nak. Mama gak bakalan izinin."

Putra menundukkan kepala, membuatku memeluknya. Aku menghela napas pelan. Hanya Putra satu-satunya kekuatanku saat ini.

"Semangat, Ma. Maaf gak bisa bantu banyak."

Setelah Putra pergi ke sekolah, aku kembali masuk ke dalam rumah. Beres-beres sedikit, kemudian bersiap-siap untuk pergi. Aku memang ada acara setelah ini, harus segera datang.

Pintu rumahku diketuk. Baru saja selesai mandi. Siapa sih yang datang pagi-pagi begini?

"Mbak!"

Aku langsung menepuk dahi melihat siapa yang datang pagi-pagi begini. Aku kira Mas Guntur kembali lagi ke rumah karena ada yang ketinggalan atau ingin melihatku masak apa.

"Pagi, Mbak!"

Yang barusan datang adalah Rumi, adikku. Dia baru saja pulang dari luar kota setelah seminggu ada di sana untuk mengurus sesuatu.

"Boleh aku masuk, Mbak?" tanya Rumi membuatku mengernyitkan dahi, aneh.

"Biasanya juga langsung asal masuk. Gak usah pake izin segala kali. Kayak apa aja."

Mendengar perkataanku, Rumi langsung tertawa, dia masuk ke dalam rumah, langsung menuju ke dapur.

"Kamu gak langsung pulang ke rumah Mama dan Papa? Langsung ke rumah Mbak?" tanyaku melihat koper yang ada di dekat pintu.

"Oh itu, aku mau tinggal di sini sementara waktu, Mbak. Disuruh Mama dan Papa, kan mereka bakalan sibuk banget."

"Jadi tinggal disini dulu? Kenapa kamu gak tinggal di villa aja? Kan kamu tau sendiri gimana keadaan rumah ini, Rum."

"Keadaan rumah ini? Gimana sih maksudnya, Mbak?"

Aku menunjuk tempe dan tahu yang sudah matang di atas meja makan. Bodo amat soal Mas Guntur yang ingin makan daging atau apalah itu. Aku tidak akan memasak yang lain.

"Wow, tahu dan tempe. Di sana gak ada loh, Mbak. Makanannya aneh semua." Rumi langsung mencomot salah satu tempe yang ada di piring.

"Mbak mau pergi dulu abis ini, baru ke rumah Mama sama Papa buat minta tolong sesuatu. Kamu mau ikut?" tanyaku sambil kembali menyapu.

Rumi langsung menganggukkan kepala. Dia mah memang selalu ikut saja apa yang aku bilang. Aku menggelengkan kepala melihat kelakuan adikku itu.

"Boleh aku minta rekaman CCTV yang udah kita pasang diam-diam, Mbak?"

Mendengar itu, aku langsung menatap Rumi, kemudian menganggukkan kepala. "Nanti aja jangan di rumah ini. Kamu bisa lihat sepuasnya di jalan."

Ya, kami memang memasang CCTV di rumah ini. Aku sendiri yang bilang harus karena ada sesuatu yang ingin aku buktikan sendiri.

"Yuk kita pergi, mobilnya udah di depan."

Adikku itu langsung beranjak. Aku mengunci pintu rumah, kemudian melangkah anggun masuk ke dalam mobil yang terparkir di depan rumah tadi.

"Mbak cantik. Harusnya Mbak pake baju kayak gini terus. Bukannya daster kumuh itu, terus juga Mbak gak cocok sama kehidupan itu, Rumi saranin Mbak secepatnya pergi dari rumah yang udah kayak neraka itu."

"Pasti Rumi, tapi gak sekarang."

Rumi menghela napas pelan mendengar jawabanku. Dia sudah tau apa yang hendak aku lakukan.

"Jangan terlalu lama menyiksa diri, Mbak. Aku memang dukung Mbak, tapi kalau udah keterlaluan, jangan salahin aku kalau aku nantinya ikut turun tangan."

"Aman, Rumi. Mbak hanya ingin bermain-main saja dengan dia. Dia kira dengan seperti itu keren? Mbak akan membuat hidupnya perlahan tersiksa, perlahan, tapi benar-benar menyakitkan."

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
kok betah bertahan sama laki2 super pelit kek gitu ? itu bucin apa bodoh ya ? trus istrinya kerja kah jadi bisa biayain kebthan RT selama ini ?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status