Share

Kamu Lihat saja, Mas!

Penulis: Rahma La
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-27 10:50:21

"Suami Mbak yang pelit itu masih ngasih uang sepuluh ribu setiap hari?"

"Iya. Ngapain Mbak ngasih makan tahu tempe kalau uang belanja yang dia kasih lebih dari itu?"

Adikku itu langsung nyengir. Aku menatap keluar jendela mobil. Beberapa detik terdiam, ponselku berdering, aku langsung mengambilnya di dalam saku celana, ah teman lama.

"Siapa, Mbak?" tanya Rumi sambil berusaha mengintip siapa yang menelepon.

"Teman lama." Aku menjawab singkat sambil menggeser tombol berwarna hijau, kemudian mendekatkan ponsel ke telinga.

"Halo, Nada." Aku lebih dulu menyapa orang yang meneleponku ini, membuatnya terkekeh pelan.

"Halo, Dina. Sahabatku yang sangat sabar ini, sepertinya kamu sedang di perjalanan ya? Bagaimana kehidupanmu sebagai istri dari Guntur yang terhormat?" Nada langsung tertawa mendengar perkataannya sendiri.

"Jangan basa-basi. Apa mau kamu?" tanyaku cepat.

"Santai, Din. Aku di sini sebagai sahabat yang baik buat kamu. Jangan kayak musuh gitu dong, kamu bilang ketus-ketus."

Aku memutar bola mata, kesal sekali mendengar perkataan Nada. "Nad, aku lagi buru-buru, jangan buat tambah kesal. Ada apa?"

"Ah, oke. Aku ada berita menarik buat kamu, tapi ini bukan ide yang bagus kalau diberi tahu secara teleponan. Aku ingin melihat ekspresi kamu secara langsung dan nyata."

Kenapa sih? Aku mengernyitkan dahi, berita apa yang dibawa oleh Nada? Kenapa dia seperti senang sekali mendengar beritanya sendiri? Ah, aku tidak mengerti apa yang di pikirkan oleh Nada.

"Yaudah, nanti abis kerjaan ini, kita ketemuan. Nanti aku kabarin aja, kamu tentuin tempatnya."

"Oke. Makasih, Din. Semangat, harusnya kamu udah bosan dengar kata semangat."

Mendengar itu, aku langsung mematikan telepon, karena bisa melebar kemana-mana. Aku menatap lurus ke depan.

Ya, selama ini aku memang berbohong mengenai statusku pada Mas Guntur. Bahkan, Mama dan Papaku tidak datang ke acara pernikahan. Hanya ada Rumi, itu pun tidak dikenalkan status kamu yang sebenarnya.

Aku memang kaya. Aku bisa melakukan apa saja. Bahkan, saat ini aku sedang berangkat menuju kantor Mas Guntur untuk melakukan penggantian kepala yang baru. Bahkan, aku tidak pernah datang ke kantor Mas Guntur itu.

"Nanti, apa perlu aku keluar dari mobil, Mbak?" tanya Rumi saat tau kami akan pergi kemana.

Buru-buru aku menggelengkan kepala. Rumi sudah mencolok dan Mas Guntur sudah tau saat dia memakai make up, sedangkan aku, Mas Guntur belum sama sekali melihat aku memakai make up.

Aku memang tidak perlu keluar dari persembunyian nantinya. Aku akan memakai masker, tetapi tidak akan dibuka. Aku menghela napas pelan, Mas Guntur pasti tidak akan mengenalinya.

"Sudah sampai, Bu."

"Yuk turun." Aku menatap Rumi yang terlihat ragu.

"Kalau nanti Mbak malah ketauan gimana? Kan rencana kita belum terlaksana semua, malah ada rencana besar Mbak."

"Aman, Rum. Kita cuma butuh beberapa waktu aja. Ini masker kamu, kita masuk ke ruang khusus dulu, pokoknya jangan tampilin kalau ini kamu."

Rumi akhirnya menganggukkan kepala, kami keluar dari mobil, menuju ke ruang khusus.

"Selamat pagi Bu Arini."

"Selamat pagi, Pak." Aku menjabat tangan perwakilan ku di perusahaan ini, tersenyum tipis.

Yah, aku memang dipanggil Arini di sini untuk menjaga identitas, nama depanku bukan nama panggilan. Aku juga nyaman sekali dengan nama itu, karena bisa menyembunyikan wajah asliku.

Berbeda sekali memang. Antara aku yang di rumah dengan aku yang di sini. Aku akan menunjukkan bagaimana pemimpin dan melakukan seprofesionalitas mungkin, karena aku akan membuat Mas Guntur paham apa maksud ini semua.

"Saya siap-siap dulu sekitar setengah jam. Kamu mulai buka saja acaranya."

"Baik Bu Arini."

Sungguh, aku tidak gelisah sama sekali, malah Rumi yang terlihat gelisah. Aku sudah mempersiapkannya sebaik mungkin.

"Halo, Bu Arini."

Eh? Aku langsung menoleh, menatap sebentar pria yang baru saja menyapaku.

"Bang Fino!" Aku berteriak pelan.

"Ya ampun, apa yang kamu lakukan di sini, Arini? Kamu mau membongkar identitas?"

Bang Fino membentangkan tangannya, aku langsung mendekat, memeluknya. Aku kemudian menggelengkan kepala, aku kesini untuk mulai menyusun rencana baru, bukan untuk membongkar identitas.

"Aku mau melakukan sesuatu untuk hidupku, Bang."

"Ah, bagus sekali pemikiranmu, Dina." Bang Fino kali ini menggunakan nama asliku.

Siapa Bang Fino? Ah, dia adalah orang yang banyak sekali membantuku. Dia adalah sepupuku, juga sangat dekat dan bisa dibilang dia orang yang membuat semua ini berkembang.

"Kenapa ke kantor gak bilang ke Abang? Kan Abang bisa siapin semuanya buat kamu."

Aku menggelengkan kepala, sudah cukup aku membuatnya repot. Bang Fino mengangkat bahunya.

"Abang tau apa yang mau kamu lakukan Dek Arini Dina. Cuma ada beberapa hal lagi yang kamu belum ketahui."

Hah? Aku mengernyitkan dahi bingung. Apa yang belum aku ketahui, semuanya sepertinya sudah aku ketahui. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Rumi juga ikut mendekat, penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Bang Fino.

"Rumi! Apa kabar kamu? Kenapa kalian pakai masker sih? Buka aja, biar semua orang tau siapa kalian. Kalian itu orang-orang hebat."

Rumi memang orang hebat, aku akui itu, karena di umurnya yang sekarang, Rumi sudah hampir mengelilingi seluruh Indonesia berkat prestasinya sendiri.

"Abang bisa bantu aku gak?"

"Hmm? Pertanyaan apa itu, Dek? Pasti bisalah. Kamu mau minta bantuan apa?"

Aku membisikkan sesuatu ke Bang Fino yang akhirnya menganggukkan kepala.

"Abang yang atur semuanya, kamu tenang aja. Kalian siap-siap ya. Abang izin dulu, ada yang perlu diurus. Dek, kabar-kabarin aja nanti."

"Makasih banyak, Bang."

Bang Fino menganggukkan kepala, langsung melangkah meninggalkan aku dan Rumi di ruangan ini.

"Mbak bilang apa ke Bang Fino?" tanya Rumi sambil menatapku. Dia penasaran sekali sepertinya.

"Ada deh. Itu rahasia, nanti kamu ikut alurnya aja. Mbak mau ke toilet dulu. Kamu mau ikut?"

Rumi langsung menggelengkan kepala, membuatku tertawa pelan, kemudian beranjak. Aku melangkah menuju kamar mandi.

Saat baru keluar dari kamar mandi, aku mendengar dari balik tembok, suaranya terdengar sampai kesini, suara yang tidak asing. Mereka sepertinya merumpi sambil teriak-teriak.

"Pasti cantik banget deh yang datang kali ini. Gue belum pernah liat soalnya."

Yah, itu pasti suara Mas Guntur. Aku mengenalinya sekali. Aku menghela napas pelan, kemudian menyenderkan punggung ke tembok, menunggu mereka berbicara.

"Iya, ini pertama kalinya dia datang kesini." Itu pasti suara teman Mas Guntur.

"Wis gila, pasti cantik banget, kaya raya. Aduh, gak kayak istri gue, dekil, kusam, gak pernah dandan, kerjaannya tidur mulu, gak pernah mau beres-beres rumah, bahkan gak pernah masak. Ngurusin uang belanja aja gak becus."

Wow. Aku tersenyum tipis, kamu lihat saja apa yang akan aku lakukan nanti, Mas!

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sepuluh Ribu dari Suami Pelitku   Bab 120

    "Hah?! Menghancurkan bagaimana, Wen? Apa yang hendak dia lakukan?""Aku gak tau, dia gak bicara dengan detail tadi. Dia lagi mabok."Oh ya?! Guntur mabok? Tumben sekali, dia mana pernah mabok dulu. Kenapa tiba-tiba dia malah mabok ya? Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, sejujur nya aku cukup bingung dengan semua ini. "Terus gimana? Kamu kapan mau pulang? Seperti nya kamu harus ngasih tau semua yang kamu dapatkan di sana padaku deh." Aku berkata pelan. "Emm, boleh deh. Kita ketemuan aja di tempat lain. Nanti kalau di rumah kamu, bisa ketahuan sama Nada. Bisa-bisa malah kacau semua nya."Baik lah kalau begitu. Aku menganggukkan kepala mendnegar perkataan nya barusan. "Ya udah, kita langsung ketemuan aja. Aku butuh banyak banget informasi dari kamu juga soal nya. Kita ketemuan langsung ya."Aku langsung mematikan telepon dari Weni untuk bersiap-siap karena kami juga harus bertemu dan aku ingin bicara banyak hal pada Weni Karena menurut aku hal ini harus segera diselesaikan dan juga

  • Sepuluh Ribu dari Suami Pelitku   Bab 119

    "Astaga."Aku langsung terdiam ketika mendengar pesan suara itu. Jujur saja aku kaget sekali mendnegar nya. Apa maksud dari pesan ini ya? Pesan yang aku temukan di ponsel milik Mas Reyza. "Emm, apakah benar yang dikatakan oleh Tri sebelumnya Kalau memang delia benar memakai pelet?" Namun aku tidak percaya sama sekali karena ini sangat sulit untuk dijelaskan oleh akal sehat dan juga memang cukup aneh. Mungkin aku juga perlu mengecek ke rumahnya Mas Reza di kamarnya untuk mencari tahu lebih lanjut juga. Atau aku perlu bekerja sama dengan Tri untuk mengungkapkan ini semua apalagi apa yang dikatakan oleh Tri tadi memang benar dan sepertinya dia tidak berbohong kah atas apa yang dia katakan tadi. Awalnya aku tidak percaya pada diri karena memang agak sangat sulit untuk diterima oleh akal sehat ketika mendengar perkataannya yang bilang kalau Mas Reza ternyata kena pelet oleh si Delia tetapi ketika mendengar dia bicara tentang adiknya yang meninggal gara-gara kena pelet ya mungkin aku m

  • Sepuluh Ribu dari Suami Pelitku   Bab 118

    "Kamu sejak tadi bilang kayak gitu. Apa maksud dari perkataan kamu?" tanyaku sambil menatap dia yang tampak kesal sendiri. Dia saja tidak mau menjelaskan kenapa dia bilang kalau Delia itu adalah wanita iblis. Dia kenapa sih? Apa kah dia sebelum nya ada masalah dengan si Delia itu? "Dia itu bisa membuat orang lain luluh sama dia, termasuk suami kamu. Aku hampir saja masuk perangkap dia."Eh?! Membuat orang lain luluh? Bagaimana maksud nya? Jujur saja aku bingung sekali dengan perkataannya pria ini dia bahkan mau menjelaskan Siapa dirinya Tetapi dia sudah bilang kalau Delia itu adalah iblis Ya aku juga tidak tahu sih dengan apa yang sebenarnya terjadi ini juga bilang kalau dia pernah luluh pada si Delia itu. "Si Reyza itu terkena pengaruh nya si Delia, harus nya kamu bantuin dia buat lepas dari itu semua, bukan nya malah membiarkan Reyza terkena pengaruh wanita menyebalkan itu.""Tapi Tri, Mas Reyza terlihat mencintai si Delia banget, maka nya kan memang dia itu mencintai si Delia,

  • Sepuluh Ribu dari Suami Pelitku   Bab 117

    Delia adalah penyebab nya? Apa maksud perkataan pria ini?"Apa maksud kamu?" tanyaku pelan. "Sudah lah, nanti kamu akan tau sendiri. Aku langsung ke rumah kamu sekarang."Dia mematikan telepon. Aku mengembuskan napas pelan, sejujur nya ini sangat membingungkan. Lalu aku harus apa sekarang? Tidak jadi tidur kalau begini aku mah. Hmm, lebih baik aku mengobrol dengan Hani di luar, meskipun ada Nada juga di sana, tetapi ya sudah lah aku sedang butuh teman untuk mengobrol sekarang. "Akhir nya kamu datang juga Din, lama banget. Kayak nya kamu itu sibuk banget ya? Jelas sih, karena kan Putri juga baru sampai di sini."Mendengar perkataan nya Hani, aku langsung tersenyum. Antara nada hanya mendengarkan perkataan aku dan juga Hani dia tidak menimbrung sama sekali karena mungkin masih tidak enak padaku. "Kalian sudah ngobrolin apa aja sejak tadi? Kayak nya dari aku pergi, sampai aku balik lagi ke sini, kalian belum pindah posisi juga." Aku mengangkat bahu, menatap mereka bergantian. "Yang

  • Sepuluh Ribu dari Suami Pelitku   Bab 116

    "Hah?!"Jujur saja aku kaget sekali mendnegar nya, bahkan aku langsung menutup mulutku sendiri. Astaga, apa yang baru saja Putri katakan? Dia bilang kalau dia ingin Papa nya kembali ke sini? Ya memang nya bagaimana cara membuat Papa nya bisa ada di sini lagi? "Aku gak mau tinggal di sini kalau Papa gak ada di sini! Aku gak mau bicara sama siapa pun kalau Papa belum ada di rumah ini!" Dia kembali berteriak, membuatku menggelengkan kepala. Sulit sekali untuk memberikan pengertian pada Putri kalau Papanya Itu sudah meninggal ya memang masih kecil dan belum paham sama sekali dengan apa yang terjadi di rumah ini makanya akan lebih sulit dibandingkan untuk memberitahukan Putra dan juga Aurel. "Papa itu sudah meninggal, Putri. Kamu itu malah buat Mama tambah pusing, masalah Mama itu udah banyak banget." Putra yang lebih dulu bicara. Putra sudah besar sekali anak sulungkung benar-benar mengerti dan paham dengan apa yang terjadi di rumah ini dan dia juga membantu aku banyak sekali. Aku t

  • Sepuluh Ribu dari Suami Pelitku   Bab 115

    "Hah?! Kamu serius, Rum?"Jujur saja, aku kaget sekali dengan perkataan Rumi, sekaligus senang. "Iya, Mbak langsung ke sini saja ya. Putri sudah pulang ke rumah."Alhamdulillah kalau begitu. Aku tersenyum senang. Kemudian langsung mematikan telepon dari Rumi, menoleh ke Bang Fino yang juga tampak ikutan senang. "Kabar yang benar-benar bagus, dek."Benar apa yang dikatakan oleh Bang Fino, ini memang kabar yang sangat bagus. Namun, sejujurnya hal ini adalah sesuatu yang aneh juga karena tidak mungkin tiba-tiba Putri pulang tanpa ada sesuatu aku merasa ada yang berbeda dan ada yang aneh juga.Entah kenapa perasaanku juga tidak enak karena ini sangat berbeda dari pada biasanya."Kamu mikirin apa lagi, Dek? Kan Putri juga sudah pulang ke rumah, harus nya kamu senang, bukan malah kelihatan sedih kayak gitu. Ada apa dengan kamu?" tanya Bang Fino sambil menatapku. Jika tidak tahu dengan apa yang terjadi padaku intinya justru aku merasa sangat aneh dan merasa ini sangat berbeda daripada bia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status