Share

Kamu Lihat saja, Mas!

"Suami Mbak yang pelit itu masih ngasih uang sepuluh ribu setiap hari?"

"Iya. Ngapain Mbak ngasih makan tahu tempe kalau uang belanja yang dia kasih lebih dari itu?"

Adikku itu langsung nyengir. Aku menatap keluar jendela mobil. Beberapa detik terdiam, ponselku berdering, aku langsung mengambilnya di dalam saku celana, ah teman lama.

"Siapa, Mbak?" tanya Rumi sambil berusaha mengintip siapa yang menelepon.

"Teman lama." Aku menjawab singkat sambil menggeser tombol berwarna hijau, kemudian mendekatkan ponsel ke telinga.

"Halo, Nada." Aku lebih dulu menyapa orang yang meneleponku ini, membuatnya terkekeh pelan.

"Halo, Dina. Sahabatku yang sangat sabar ini, sepertinya kamu sedang di perjalanan ya? Bagaimana kehidupanmu sebagai istri dari Guntur yang terhormat?" Nada langsung tertawa mendengar perkataannya sendiri.

"Jangan basa-basi. Apa mau kamu?" tanyaku cepat.

"Santai, Din. Aku di sini sebagai sahabat yang baik buat kamu. Jangan kayak musuh gitu dong, kamu bilang ketus-ketus."

Aku memutar bola mata, kesal sekali mendengar perkataan Nada. "Nad, aku lagi buru-buru, jangan buat tambah kesal. Ada apa?"

"Ah, oke. Aku ada berita menarik buat kamu, tapi ini bukan ide yang bagus kalau diberi tahu secara teleponan. Aku ingin melihat ekspresi kamu secara langsung dan nyata."

Kenapa sih? Aku mengernyitkan dahi, berita apa yang dibawa oleh Nada? Kenapa dia seperti senang sekali mendengar beritanya sendiri? Ah, aku tidak mengerti apa yang di pikirkan oleh Nada.

"Yaudah, nanti abis kerjaan ini, kita ketemuan. Nanti aku kabarin aja, kamu tentuin tempatnya."

"Oke. Makasih, Din. Semangat, harusnya kamu udah bosan dengar kata semangat."

Mendengar itu, aku langsung mematikan telepon, karena bisa melebar kemana-mana. Aku menatap lurus ke depan.

Ya, selama ini aku memang berbohong mengenai statusku pada Mas Guntur. Bahkan, Mama dan Papaku tidak datang ke acara pernikahan. Hanya ada Rumi, itu pun tidak dikenalkan status kamu yang sebenarnya.

Aku memang kaya. Aku bisa melakukan apa saja. Bahkan, saat ini aku sedang berangkat menuju kantor Mas Guntur untuk melakukan penggantian kepala yang baru. Bahkan, aku tidak pernah datang ke kantor Mas Guntur itu.

"Nanti, apa perlu aku keluar dari mobil, Mbak?" tanya Rumi saat tau kami akan pergi kemana.

Buru-buru aku menggelengkan kepala. Rumi sudah mencolok dan Mas Guntur sudah tau saat dia memakai make up, sedangkan aku, Mas Guntur belum sama sekali melihat aku memakai make up.

Aku memang tidak perlu keluar dari persembunyian nantinya. Aku akan memakai masker, tetapi tidak akan dibuka. Aku menghela napas pelan, Mas Guntur pasti tidak akan mengenalinya.

"Sudah sampai, Bu."

"Yuk turun." Aku menatap Rumi yang terlihat ragu.

"Kalau nanti Mbak malah ketauan gimana? Kan rencana kita belum terlaksana semua, malah ada rencana besar Mbak."

"Aman, Rum. Kita cuma butuh beberapa waktu aja. Ini masker kamu, kita masuk ke ruang khusus dulu, pokoknya jangan tampilin kalau ini kamu."

Rumi akhirnya menganggukkan kepala, kami keluar dari mobil, menuju ke ruang khusus.

"Selamat pagi Bu Arini."

"Selamat pagi, Pak." Aku menjabat tangan perwakilan ku di perusahaan ini, tersenyum tipis.

Yah, aku memang dipanggil Arini di sini untuk menjaga identitas, nama depanku bukan nama panggilan. Aku juga nyaman sekali dengan nama itu, karena bisa menyembunyikan wajah asliku.

Berbeda sekali memang. Antara aku yang di rumah dengan aku yang di sini. Aku akan menunjukkan bagaimana pemimpin dan melakukan seprofesionalitas mungkin, karena aku akan membuat Mas Guntur paham apa maksud ini semua.

"Saya siap-siap dulu sekitar setengah jam. Kamu mulai buka saja acaranya."

"Baik Bu Arini."

Sungguh, aku tidak gelisah sama sekali, malah Rumi yang terlihat gelisah. Aku sudah mempersiapkannya sebaik mungkin.

"Halo, Bu Arini."

Eh? Aku langsung menoleh, menatap sebentar pria yang baru saja menyapaku.

"Bang Fino!" Aku berteriak pelan.

"Ya ampun, apa yang kamu lakukan di sini, Arini? Kamu mau membongkar identitas?"

Bang Fino membentangkan tangannya, aku langsung mendekat, memeluknya. Aku kemudian menggelengkan kepala, aku kesini untuk mulai menyusun rencana baru, bukan untuk membongkar identitas.

"Aku mau melakukan sesuatu untuk hidupku, Bang."

"Ah, bagus sekali pemikiranmu, Dina." Bang Fino kali ini menggunakan nama asliku.

Siapa Bang Fino? Ah, dia adalah orang yang banyak sekali membantuku. Dia adalah sepupuku, juga sangat dekat dan bisa dibilang dia orang yang membuat semua ini berkembang.

"Kenapa ke kantor gak bilang ke Abang? Kan Abang bisa siapin semuanya buat kamu."

Aku menggelengkan kepala, sudah cukup aku membuatnya repot. Bang Fino mengangkat bahunya.

"Abang tau apa yang mau kamu lakukan Dek Arini Dina. Cuma ada beberapa hal lagi yang kamu belum ketahui."

Hah? Aku mengernyitkan dahi bingung. Apa yang belum aku ketahui, semuanya sepertinya sudah aku ketahui. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Rumi juga ikut mendekat, penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Bang Fino.

"Rumi! Apa kabar kamu? Kenapa kalian pakai masker sih? Buka aja, biar semua orang tau siapa kalian. Kalian itu orang-orang hebat."

Rumi memang orang hebat, aku akui itu, karena di umurnya yang sekarang, Rumi sudah hampir mengelilingi seluruh Indonesia berkat prestasinya sendiri.

"Abang bisa bantu aku gak?"

"Hmm? Pertanyaan apa itu, Dek? Pasti bisalah. Kamu mau minta bantuan apa?"

Aku membisikkan sesuatu ke Bang Fino yang akhirnya menganggukkan kepala.

"Abang yang atur semuanya, kamu tenang aja. Kalian siap-siap ya. Abang izin dulu, ada yang perlu diurus. Dek, kabar-kabarin aja nanti."

"Makasih banyak, Bang."

Bang Fino menganggukkan kepala, langsung melangkah meninggalkan aku dan Rumi di ruangan ini.

"Mbak bilang apa ke Bang Fino?" tanya Rumi sambil menatapku. Dia penasaran sekali sepertinya.

"Ada deh. Itu rahasia, nanti kamu ikut alurnya aja. Mbak mau ke toilet dulu. Kamu mau ikut?"

Rumi langsung menggelengkan kepala, membuatku tertawa pelan, kemudian beranjak. Aku melangkah menuju kamar mandi.

Saat baru keluar dari kamar mandi, aku mendengar dari balik tembok, suaranya terdengar sampai kesini, suara yang tidak asing. Mereka sepertinya merumpi sambil teriak-teriak.

"Pasti cantik banget deh yang datang kali ini. Gue belum pernah liat soalnya."

Yah, itu pasti suara Mas Guntur. Aku mengenalinya sekali. Aku menghela napas pelan, kemudian menyenderkan punggung ke tembok, menunggu mereka berbicara.

"Iya, ini pertama kalinya dia datang kesini." Itu pasti suara teman Mas Guntur.

"Wis gila, pasti cantik banget, kaya raya. Aduh, gak kayak istri gue, dekil, kusam, gak pernah dandan, kerjaannya tidur mulu, gak pernah mau beres-beres rumah, bahkan gak pernah masak. Ngurusin uang belanja aja gak becus."

Wow. Aku tersenyum tipis, kamu lihat saja apa yang akan aku lakukan nanti, Mas!

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status