"Suami Mbak yang pelit itu masih ngasih uang sepuluh ribu setiap hari?"
"Iya. Ngapain Mbak ngasih makan tahu tempe kalau uang belanja yang dia kasih lebih dari itu?"Adikku itu langsung nyengir. Aku menatap keluar jendela mobil. Beberapa detik terdiam, ponselku berdering, aku langsung mengambilnya di dalam saku celana, ah teman lama."Siapa, Mbak?" tanya Rumi sambil berusaha mengintip siapa yang menelepon."Teman lama." Aku menjawab singkat sambil menggeser tombol berwarna hijau, kemudian mendekatkan ponsel ke telinga."Halo, Nada." Aku lebih dulu menyapa orang yang meneleponku ini, membuatnya terkekeh pelan."Halo, Dina. Sahabatku yang sangat sabar ini, sepertinya kamu sedang di perjalanan ya? Bagaimana kehidupanmu sebagai istri dari Guntur yang terhormat?" Nada langsung tertawa mendengar perkataannya sendiri."Jangan basa-basi. Apa mau kamu?" tanyaku cepat."Santai, Din. Aku di sini sebagai sahabat yang baik buat kamu. Jangan kayak musuh gitu dong, kamu bilang ketus-ketus."Aku memutar bola mata, kesal sekali mendengar perkataan Nada. "Nad, aku lagi buru-buru, jangan buat tambah kesal. Ada apa?""Ah, oke. Aku ada berita menarik buat kamu, tapi ini bukan ide yang bagus kalau diberi tahu secara teleponan. Aku ingin melihat ekspresi kamu secara langsung dan nyata."Kenapa sih? Aku mengernyitkan dahi, berita apa yang dibawa oleh Nada? Kenapa dia seperti senang sekali mendengar beritanya sendiri? Ah, aku tidak mengerti apa yang di pikirkan oleh Nada."Yaudah, nanti abis kerjaan ini, kita ketemuan. Nanti aku kabarin aja, kamu tentuin tempatnya.""Oke. Makasih, Din. Semangat, harusnya kamu udah bosan dengar kata semangat."Mendengar itu, aku langsung mematikan telepon, karena bisa melebar kemana-mana. Aku menatap lurus ke depan.Ya, selama ini aku memang berbohong mengenai statusku pada Mas Guntur. Bahkan, Mama dan Papaku tidak datang ke acara pernikahan. Hanya ada Rumi, itu pun tidak dikenalkan status kamu yang sebenarnya.Aku memang kaya. Aku bisa melakukan apa saja. Bahkan, saat ini aku sedang berangkat menuju kantor Mas Guntur untuk melakukan penggantian kepala yang baru. Bahkan, aku tidak pernah datang ke kantor Mas Guntur itu."Nanti, apa perlu aku keluar dari mobil, Mbak?" tanya Rumi saat tau kami akan pergi kemana.Buru-buru aku menggelengkan kepala. Rumi sudah mencolok dan Mas Guntur sudah tau saat dia memakai make up, sedangkan aku, Mas Guntur belum sama sekali melihat aku memakai make up.Aku memang tidak perlu keluar dari persembunyian nantinya. Aku akan memakai masker, tetapi tidak akan dibuka. Aku menghela napas pelan, Mas Guntur pasti tidak akan mengenalinya."Sudah sampai, Bu.""Yuk turun." Aku menatap Rumi yang terlihat ragu."Kalau nanti Mbak malah ketauan gimana? Kan rencana kita belum terlaksana semua, malah ada rencana besar Mbak.""Aman, Rum. Kita cuma butuh beberapa waktu aja. Ini masker kamu, kita masuk ke ruang khusus dulu, pokoknya jangan tampilin kalau ini kamu."Rumi akhirnya menganggukkan kepala, kami keluar dari mobil, menuju ke ruang khusus."Selamat pagi Bu Arini.""Selamat pagi, Pak." Aku menjabat tangan perwakilan ku di perusahaan ini, tersenyum tipis.Yah, aku memang dipanggil Arini di sini untuk menjaga identitas, nama depanku bukan nama panggilan. Aku juga nyaman sekali dengan nama itu, karena bisa menyembunyikan wajah asliku.Berbeda sekali memang. Antara aku yang di rumah dengan aku yang di sini. Aku akan menunjukkan bagaimana pemimpin dan melakukan seprofesionalitas mungkin, karena aku akan membuat Mas Guntur paham apa maksud ini semua."Saya siap-siap dulu sekitar setengah jam. Kamu mulai buka saja acaranya.""Baik Bu Arini."Sungguh, aku tidak gelisah sama sekali, malah Rumi yang terlihat gelisah. Aku sudah mempersiapkannya sebaik mungkin."Halo, Bu Arini."Eh? Aku langsung menoleh, menatap sebentar pria yang baru saja menyapaku."Bang Fino!" Aku berteriak pelan."Ya ampun, apa yang kamu lakukan di sini, Arini? Kamu mau membongkar identitas?"Bang Fino membentangkan tangannya, aku langsung mendekat, memeluknya. Aku kemudian menggelengkan kepala, aku kesini untuk mulai menyusun rencana baru, bukan untuk membongkar identitas."Aku mau melakukan sesuatu untuk hidupku, Bang.""Ah, bagus sekali pemikiranmu, Dina." Bang Fino kali ini menggunakan nama asliku.Siapa Bang Fino? Ah, dia adalah orang yang banyak sekali membantuku. Dia adalah sepupuku, juga sangat dekat dan bisa dibilang dia orang yang membuat semua ini berkembang."Kenapa ke kantor gak bilang ke Abang? Kan Abang bisa siapin semuanya buat kamu."Aku menggelengkan kepala, sudah cukup aku membuatnya repot. Bang Fino mengangkat bahunya."Abang tau apa yang mau kamu lakukan Dek Arini Dina. Cuma ada beberapa hal lagi yang kamu belum ketahui."Hah? Aku mengernyitkan dahi bingung. Apa yang belum aku ketahui, semuanya sepertinya sudah aku ketahui. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Rumi juga ikut mendekat, penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Bang Fino."Rumi! Apa kabar kamu? Kenapa kalian pakai masker sih? Buka aja, biar semua orang tau siapa kalian. Kalian itu orang-orang hebat."Rumi memang orang hebat, aku akui itu, karena di umurnya yang sekarang, Rumi sudah hampir mengelilingi seluruh Indonesia berkat prestasinya sendiri."Abang bisa bantu aku gak?""Hmm? Pertanyaan apa itu, Dek? Pasti bisalah. Kamu mau minta bantuan apa?"Aku membisikkan sesuatu ke Bang Fino yang akhirnya menganggukkan kepala."Abang yang atur semuanya, kamu tenang aja. Kalian siap-siap ya. Abang izin dulu, ada yang perlu diurus. Dek, kabar-kabarin aja nanti.""Makasih banyak, Bang."Bang Fino menganggukkan kepala, langsung melangkah meninggalkan aku dan Rumi di ruangan ini."Mbak bilang apa ke Bang Fino?" tanya Rumi sambil menatapku. Dia penasaran sekali sepertinya."Ada deh. Itu rahasia, nanti kamu ikut alurnya aja. Mbak mau ke toilet dulu. Kamu mau ikut?"Rumi langsung menggelengkan kepala, membuatku tertawa pelan, kemudian beranjak. Aku melangkah menuju kamar mandi.Saat baru keluar dari kamar mandi, aku mendengar dari balik tembok, suaranya terdengar sampai kesini, suara yang tidak asing. Mereka sepertinya merumpi sambil teriak-teriak."Pasti cantik banget deh yang datang kali ini. Gue belum pernah liat soalnya."Yah, itu pasti suara Mas Guntur. Aku mengenalinya sekali. Aku menghela napas pelan, kemudian menyenderkan punggung ke tembok, menunggu mereka berbicara."Iya, ini pertama kalinya dia datang kesini." Itu pasti suara teman Mas Guntur."Wis gila, pasti cantik banget, kaya raya. Aduh, gak kayak istri gue, dekil, kusam, gak pernah dandan, kerjaannya tidur mulu, gak pernah mau beres-beres rumah, bahkan gak pernah masak. Ngurusin uang belanja aja gak becus."Wow. Aku tersenyum tipis, kamu lihat saja apa yang akan aku lakukan nanti, Mas!***"Gue penasaran banget sama istri Lo yang katanya pemalas itu. Nanti bolehlah main ke rumah lo.""Boleh. Lo liat sendiri aja gimana kelakuan istri gue."Aku menganggukkan kepala, kemudian melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi. Ini benar-benar menarik. Aku mendapatkan bahan lagi untuk melakukan apa yang harus aku lakukan untuk membalaskan semuanya. "Mbak lama banget." "Abis denger suara Mas Guntur tadi." Aku membalas perkataan Rumi yang langsung melebarkan matanya mendengar perkataanku barusan. "Hah?! Terus gimana, Mbak? Mbak ketahuan?"Mendengar itu, aku langsung tertawa. Jangankan ketauan, pasti Mas Guntur tidak akan mengenali siapa aku sebenarnya. Aku memang tidak pernah memakai make up di rumah. Itu sudah biasa. "Sebentar lagi kita masuk ke acara inti. Kamu mau ikut Mbak naik ke atas panggung?""Gak usah, Mbak." Rumi langsung menggelengkan kepalanya. Ah, baiklah. Rumi memang tidak mau, apa lagi kalau ketauan, itu semua akan merusak rencanaku, tapi tenang saja, aku akan mai
"Karena beberapa laporan, kantor ini akan melakukan perubahan. Mungkin menurunkan jabatan atau malah mungkin mengganti anggota. Saya sudah menyusun nama-nama anggotanya, jadi nanti tinggal dilihat saja."Semua langsung berbisik-bisik mendengar perkataanku. "Apa alasannya? Bukan. Bukan karena kantor ini akan bangkrut, tetapi karena performa ornag-orang yang ada di list tidak bagus dan tidak maksimal."Aku menatap semua orang yang memandangku. Mereka menatap terpesona, karena aku juga memang jarang sekali memakai make up. "Kalian coba untuk instrospeksi diri sendiri kalau performa kalian tidak bagus. Bisa list tadi dibawakan ke saya?"Tadi, aku sudah menjelaskan apa yang ingin aku lakukan pada Mas Guntur pada Bang Fino, kemudian dia langsung membuat apa yang aku inginkan. "Ini list namanya, Bu."Pandanganku tertuju ke nama Mas Guntur sebagai manager di perusahaan ini. Dia memang manager, tetapi pelit sekali pada istrinya, bahkan dia memberikan uang sepuluh ribu untuk keperluan kami s
"Kamu apa-apaan sih berlutut kayak gitu?" Mama tampak risih melihat Mas Guntur yang berlutut di kakiku. Entahlah, aku bingung apa yang Mas Guntur lakukan. Kenapa dia memohon-mohon seperti ini. Agar kerjaannya tidak hilang begitu?Untuk apa lagi kalau dia hanya memberikan nafkah sepuluh ribu untukku. "Tolong saya, Bu. Saya butuh pekerjaan ini untuk biaya sekolah anak saya. Saya mohon."Dih. Aku mengangkat sebelah alis, merasa kesal dengan ucapannya barusan. Rumi mengusap punggungku. Jangan sampai amarahku meledak di sini dan membuat keributan. Ini belum seberapa, masih banyak kejutan yang akan kami buat. "Haduh, sebaiknya kamu jangan di sini. Sana, saya gak suka ada orang yang melakukan kesalahan tapi seolah tidak melakukan kesalahan itu." Aku berkata pelan, tetapi tajam. Bang Fino juga berusaha menenangkanku. Tidak, aku tidak akan marah atau meledak di sini. Aku hanya sedikit emosi melihat pria menyebalkan ini. Menurut dia, kesalahan yang dia lakukan itu kecil, hah?!"Maafkan say
"Putra anakmu, Mas! Kenapa kamu bilang begitu, hah?! Harusnya kamu panik, harusnya kamu langsung tanya dimana rumah sakitnya, bukan malah maki-maki anak sendiri." Aku mencengkeram erat ponsel, rasanya aku ingin membanting ponselku kalau tidak ada akal sehat lagi. "Anak nyusahin, ngapain aku mikirin dia. Udah, jangan ganggu aku, aku lagi sibuk dan pusing mikirin kerjaan. Kamu itu nelpon gak ada gunanya banget.""Halo Mas Guntu! Halo!" "Istighfar, Mbak." Rumi langsung membantu menenangkanku. Dia mengambil ponselku agar aku tidak membanting sesuatu. Sungguh, aku marah sekali pada Mas Guntur. Biarlah dia selama ini tidak memberikan nafkahnya padaku, tetapi ini? Anaknya sendiri masuk rumah sakit. Setidaknya dia panik atau apa, bukan malah tidak peduli hanya karena dia kehilangan pekerjaannya. "Dasar laki-laki gak tau diri." Aku mencengkeram erat jemariku sendiri, berusaha menahan emosi. "Mbak pasti bisa, sabar ya Mbak." Rumi mengusap punggungku. "Bahkan sama anaknya dia gak peduli!
"Kamu pikir dong! Anak kamu itu masuk rumah sakit! Harusnya kamu mikirin dia, bukannya mikirin perut kamu sendiri!" Sungguh, aku emosi sekali dengan Mas Guntur. Dia sama sekali tidak peduli dengan anaknya, sementara dia malah memikirkan isi perutnya di rumah dengan menanyakan makanan? Kemana pikiran dia itu?"Halah, kamu itu gak ada gunanya jadi istri!""Kamu yang gak ada gunanya jadi suami, Mas!" Aku berkata kesal, kali ini kelepasan. Aku diam sejenak, pasti Reyza mendengarnya. Ah, biarlah. Aku ingin mengurus Mas Guntur dulu. Masalah di hidupku banyak sekali. "Oh, mulai berani ya kamu? Durhaka kamu jadi istri, hah?!"Dari pada aku bertambah emosi dan semua omongan kekesalanku keluar semua, aku akhirnya mematikan telepon. Beberapa detik menenangkan diri, aku kembali duduk di meja. "Kamu butuh minum?" tanya Reyza membuatku menggelengkan kepala. Aku tidak butuh apa-apa sekarang. Yang aku butuhkan hanyalah ketenangan. Reyza menganggukkan kepala. Dia seolah tau sekali apa yang aku r
"Tentang Mas Guntur? Buat masalah apa lagi dia? Udah capek banget denger kelakuan dia yang gak bener itu.""Ya begitulah, kenapa juga kamu bisa menikah sama pria kayak dia.""Entahlah, aku juga bingung. Harusnya dari dulu aja aku buang jauh-jauh suami kayak dia."Nada langsung tertawa mendengar perkataanku. Sahabatku itu tumben sekali menelepon malam-malam begini. "Aku juga minta maaf gak sempet ngabarin kamu tadi, ada meeting dadakan.""Ah iya, gak papa, Nad." Aku duduk di salah satu kursi tunggu. Begitu juga dengan Bang Fino. Sepertinya dia masih penasaran sekali dengan cerita mengenai Reyza. Haduh, padahal aku sudah senang bisa menghindarinya. "Terus kamu sendiri kenapa gak bisa hubungi aku, Din? Ada masalah? Atau ada sesuatu?" tanya Nada penasaran sekali. "Putra abis jatuh dari tangga sekolahnya, Nad. Ini aku lagi jagain dia di rumah sakit.""Ya ampun, terus gimana keadaannya, Din? Suami kamu juga di situ? Atau dia malah gak peduli?"Aku tertawa pelan mendengar pertanyaan Nada.
"Maaf ya, saya tadi gak sengaja ke sini, bukan niatnya mau nguping.""Iya gak papa, Dok." Putra yang menjawab sambil tersenyum. Aku buru-buru mengusap air mata. Momen mengharukan ini, ternyata juga ada yang mendengarkannya. "Boleh saya masuk?" tanya Reyza membuatku menganggukkan kepala. "Permisi ya, izin masukin obat ke dalam infusannya Putra."Reyza melangkah mendekati tempat aku duduk tadi. Aku beranjak agar Reyza lebih leluasa untuk melakukan tugasnya. "Tadinya mau perawat aja, tapi saya mau lihat perkembangan anak manis ini. Gimana? Masih ngerasa sakit?" tanya Reyza membuat Putra menggelengkan kepala. "Anak Mama kan kuat." Perkataan Putra membuatku tersenyum. "Pintarnya. Putra dewasa sekali, mirip banget sama keponakan dokter. Nanti kapan-kapan ketemu deh, ya." "Wah, seru banget pasti. Iya, nanti kapan-kapan sama Mama ya, Dok."Pria itu langsung menoleh ke aku beberapa saat. Kemudian kembali menoleh ke Putra dan menganggukkan kepala. "Iya, nanti sama Mama juga. Udah selesa
"Aku butuh banget jawaban dari kamu, Din. Kamu ada waktu untuk ketemu sama Mamaku?"Aku menggigit bibir, bingung mau menjawab apa. Kalau aku menolak, aku akan menyakiti hati Reyza, juga aku penasaran dengan apa yang ingin dikatakan Mama Reyza sampai ingin bertemu denganku. "Kayaknya kamu gak bersedia ya, Din? Gak papa kalau gak bisa, aku juga maklum karena kamu udah punya suami. Kamu udah punya kehidupan sendiri."Sampai Reyza mengatakan itu saja, aku masih belum berani untuk mengambil keputusan. Aku bingung harus melakukan apa. Aku takut salah. "Din? Kenapa malah bengong? Kalau gak mau gak papa kok."Huft, ini keputusan yang sangat berat. Aku membutuhkan pendapat orang lain. "Yaudah yuk, gak usah dipikirin. Jam istirahat aku kayaknya bentar lagi habis. Kita balik aja ke ruangan Putra. Yuk."Reyza sudah berdiri duluan, dia membereskan meja. Aku menghela napas pelan, semoga ini keputusan yang tidak salah. "Maaf, Rey." Perkataanku membuat pria itu langsung menoleh. Senyumnya memudar