Share

Bab 1 - Bermain Api

Senja berlalu, Adzan magrib berkumandang. Seorang pria berkemeja hitam itu sudah siap untuk keluar dari rumahnya, namun langkahnya terhenti ketika istrinya memintanya untuk shalat berjamaah.

Sudan beberapa hari, Ehan suaminya itu berubah drastis. Pulang kerja larut malam, dengan alasan lembur kerja. Sarapan pun tak lagi di rumah.

Ara, wanita tiga puluh lima tahun itu termenung, hatinya terkecai melihat perubahan suaminya. Berpikir keras untuk mendapatkan kesalahannya sendiri.

"Mas... Shalat Magrib berjamaah dulu, yuk. sudah beberapa hari kita tak berjamaah," Ajak Ara dengan lembut.

Suaminya itu hanya melengos meninggalkan Ara, dipakainya jam tangan hitam kesayangannya, lalu berdiri didepan kaca, bersiul gembira sambil memperbaiki letak rambutnya agar terlihat rapi.

"Jangan dikunci pintu kamar, aku akan pulang larut malam, jangan kau tunggu." Titah Ehan

"Mas mau kemana? ini baru selesai Adzan, sebaiknya shalat dulu," Tanya Ara bingung.

"Tak usah kau ceramahi suamimu ini, urus saja urusanmu, Mas sedang ada urusan,"

Ara terdiam seketika memperhatikan suaminya pergi, ditariknya nafas dalam-dalam menenangkan diri.

'Ada apa sebenarnya denganmu, Mas? sepuluh tahun kita menikah baru kali ini kau berubah tak tentu arah,' Batin Ara bergejolak.

Ara kembali menutup pintu kamar, lalu membentangkan sajadah. Dia mulai melaksanakan shalat, pikirannya berusaha fokus agar tetap khusyuk menghadap sang khalik, tapi bayang suaminya selalu hadir, saat sujud terakhir Ara memperpanjang doanya. Berharap spekulasi yang muncul dipikirannya itu salah.

'Ya Allah... Aku titipkan keselamatan suamiku padamu, tiada daya dan upaya pada diri hamba untuk menjaganya. Ku mohon lindungi setiap langkahnya.'

---

"Kau sudah datang, Mas?" Tanya wanita berkulit putih dengan gaun seksi yang menampakkan belahan dadanya.

Pria itu tersenyum smirk, tanpa aba-aba langsung memeluk wanita dihadapannya itu, dia cumbu wajahnya tanpa henti, seperti sudah menjadi obat candunya. Sang wanita pun meladeni dengan senang hati.

"Hei, sabar dulu, Make up ku bisa hancur," Wanita itu melepaskan pelukan pria berkemeja hitam itu.

"Tanpa make up pun kau sudah cantik, cinta."

"Gombal, rayuanmu itu tak mempan, Mas."

"Benarkah?"

"Tentu,"

"Ha... ha... ha... Kau memang wanita luar biasa, selalu membuatku bahagia."

"Aku tak percaya, Mas. Kalau memang aku wanita yang membuatmu bahagia, kenapa kau dulu menikah dengan Ara bukan dengan aku, hmmm?" Tanya wanita itu, sambil bergelayut manja di pundak Ehan.

Ya, pria itu adalah Ehan. Sudah beberapa kali dia membohongi istrinya, Ara. Hampir setiap malam dia menghabiskan waktu dengan teman sekantornya, Dinda.

Berawal dari mengerjakan projek bersama, lalu menginap di puncak Bogor, itensitas perjumpaan mereka membuat benih-benih cinta muncul, apalagi Dinda bukan orang baru yang Ehan kenal, Dinda adalah teman baik Ara.

Dari ngobrol bareng dan akhirnya nyaman, sampai Dinda rela mempertaruhkan dirinya untuk mendapatkan Ehan. Dari dulu saat SMA Dinda sudah mengincar Ehan, dia sangat mengagumi sosok Ehan yang gagah dan tampan, wajahnya yang setengah bule itu sangat mempesona.

Namun, Dinda menyerah saat tahu Ara, teman sekelasnya yang mendapat kan hati Ehan.

Siapa sangka, Dunia seakan berpihak pada Dinda, saat dia diterima di perusahaan kosmetik, dia ditempatkan disatu divisi bersama Ehan, tentu membuatnya sangat senang.

Awalnya, hanya menjadi tempat berbagi cerita, lambat laut terbesit niat jahat untuk merebut Ehan dari Ara.

"Kau sudah sembilan tahun menikah, masa sih belum punya anak?" Ucap Dinda kala itu, memulai aksinya.

Dia ingin Ehan ragu dengan cinta Ara.

"Coba deh kau periksa, Mas, atau jangan-jangan dia mandul,"

"Aduh Mas, zaman sekarang meski jadi ibu rumah tangga, kita itu harus tetap cantik, melayani suami dengan suka cita, bukan disambut dengan pakai daster seperti itu, kalau aku... jelas, akan menampakkan body aduhaiku agar suamiku betah di rumah," Ucap Dinda dengan membuka satu kancing baju di atasnya.

Dan siasat Dinda berhasil, Ehan yang sudah mulai bosan dengan pertanyaan tentang anak dari keluarganya, membuatnya kalut, dan bercerita pada Dinda. Dengan berani dia mendatangi Dinda di apartemennya setiap malam. Tentu saja situasi itu dimanfaatkan oleh Dinda.

"Sudah deh, nggak usah suntuk gitu, sini aku pijet kamu, biar rileks. Kalau butuh teman datang saja, ok."

Kata-kata Dinda selalu terngiang-ngiang ditelinga Ehan, dia pun menjadi bosan berada di rumah, memilih pergi ke rumah Dinda, bercerita dan bercanda, dengan lihai Dinda mendekati Ehan, rayuan maut dia keluarkan, dan rela memperlihatkan sedikit demi sedikit bagian tubuhnya.

Setiap Ehan Datang, Dinda selalu memakai pakaian seksi, pakaian tidur yang menerawang tentu memanjakan mata para lelaki. Setan memang selalu menggoda dan menganggu para lelaki agar berbuat khilaf.

Tentu saja, Ehan terpancing. Imannya sangat lemah menghadapi godaan seperti itu, rayuan Dinda membuatnya mabuk kepayang seakan baru merasakan kebahagian dunia yang tiada Tara. Awalnya, hanya coba-coba karena jenuh dengan istrinya, lama-lama dia ketagihan dan terjalin hubungan terlarang. Tapi, Ehan tak berani melakukan layaknya suami istri dan itu membuat Dinda kesal.

"Cinta... aku tak ingin makan malam ini, aku hanya ingin denganmu." Rengek Ehan merengkuh pinggang Dinda yang malam ini hanya memakai gaun putih tanpa dalaman.

"Sabar dong, Mas. Aku lapar. kita makan dulu, isi amunisi. Setelah itu, aku akan membuatmu terbang ke awan." Jawab Dinda genit.

Ehan semakin mabuk dibuatnya. Mau tak mau dia harus bersabar menunggu, makan dengan memandangi wajah selingkuhannya itu.

Sesekali jari jemarinya mengusap wajah putih bersih itu, tentu saja itu hasil polesan Make Up. Dinda semakin senang dengan sikap Ehan yang memanjakan dan terlihat memujanya. Tapi misinya belum berhasil. Dia ingin memiliki Ehan secara utuh, bukan menjadi wanita simpanan saja.

Lima bulan ini Dinda masih sabar, menunggu waktu yang pas. Dan malam ini dia ingin melakukan trik terakhirnya.

"Auuu..." Dinda pura-pura terkejut, saat air minum sengaja dia tumpahkan di bajunya.

Jelas memperlihatkan tubuhnya itu, Ehan langsung menelan Salivannya. Dinda berdiri mengibas-ngibas bajunya, sampai terlihat bagian dalamnya, dia sengaja agar Ehan tak berhenti menatapnya.

'Malam ini, kau pasti tak akan menolak pesonaku, Ehan.' Batin Dinda senang.

"Maaf, aku ganti baju dulu, Mas."

"Tak usah," Ucap Ehan cepat.

Manik mata Ehan menatap Dinda tak berkedip, dengan cepat dia menarik lengan Dinda sampai Dinda terduduk dipangkuannya.

"Tak perlu ganti baju, Sayang. Rasanya, aku sudah mabuk karena mu," Ucap Ehan dengan nafas memburu.

Dinda diam saja, sengaja dia menarik ulur, agar Ehan yang maju terlebih dahulu, tangannya membelai wajah Ehan dan Ehan menikmatinya dia terpejam, lalu membuka matanya kembali, memandang Dinda dengan penuh puja, pandangannya lalu turun ke bawah. Dan... dia melakukan hubungan terlarang, dia terus melakukan aksinya, agar hasratnya segera dituntaskan.

Malam itu, Dinda berhasil membuat Ehan kelabakan, dengan menyerahkan dirinya seutuhnya berharap Dinda menjadi wanita satu-satunya di hati Ehan.

---

Praaang...

Ara terperanjat saat Poto pernikahan nya jatuh dari dinding, firasatnya langsung tertuju pada Ehan suaminya.

"Ya Allah... lindungi mas Ehan, semoga dia baik-baik saja." Guman Ara pilu.

Hatinya merasa tak tenang, ponsel Ehan mati tak bisa dihubungi, dia pun risau. Gegas Ara mengambil wudhu dan membaca Alquran berharap hatinya kembali tenang.

Namun, sampai jam sebelas malam suaminya tak ada kabar, Ara keluar kamar, dan menunggu di ruang tamu, berharap tak ada keluarganya disana. Baru saja dia terduduk, terdengar pintu kamar kakak iparnya terbuka. Ara diam tak menyapa, dia tak ingin orang tahu jika sedang gundah menunggu kabar Ehan.

"Kau kenapa di luar?" Tanya Elma ketus.

Elma adalah kakak satu-satunya, umurnya sudah tiga puluh delapan tapi belum menikah, dari awal pernikahannya Elma selalu saja tak suka dengan Ara. Sudah berkali-kali Ara meminta pada Ehan untuk tinggal di rumah sendiri, tapi orang tua Ehan tak menyetujui.

"Heh, Ara. Kau dengar tidak, masuk sana, ngabisin listrik saja, nonton sampai malam." Suara Elma meninggi.

"Aku sedang menunggu Mas Ehan, Mbak. Maaf kalau menganggu,"

Ara lalu bangkit dan mematikan TV yang baru dia hidupkan, dia berniat kembali ke kamar tak ingin ribut dengan iparnya itu.

"Wajar Ehan pulang malam, siapa juga yang betah punya istri yang dekil seperti kamu, sudah tak bisa kasih anak, tak pandai merawat diri pula." Kata Elma sinis.

Ara diam, dia sudah terbiasa dengan kata-kata seperti itu, diabaikannya Elma dan kembali melangkah.

"Mungkin Ehan sedang bercinta dengan wanita lain," Ucap Elma dengan tawa.

Dan kata-kata Itu membuat Ara semakin geram.

"Aku percaya pada mas Ehan, Mbak. Mas Ehan mencintaiku," Ucap Ara gemetar menahan emosi.

"Terserah kau saja." Elma berlalu meninggalkan Ara.

"Astaghfirullah... Padahal Mas Ehan adiknya sendiri, tapi kok bisa Mbak Elma berucap seperti itu,". Guman Ara, "Tapi jika benar bagaimana?"

Ara langsung kembali ke kamar, dia memikirkan ucapan Elma. Dicobanya menghubungi suaminya itu, tapi tetap saja tak tersambung.

'Ya Allah, dimana kamu, Mas?'

Komen (7)
goodnovel comment avatar
yuyunitaa
kasihan ara
goodnovel comment avatar
Megarita
duh gemes ya py suami kek ara, yg kuat ta ara
goodnovel comment avatar
Weka
feeling seorang wanita
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status