Share

Fatal

last update Last Updated: 2023-06-21 05:59:25

#Sepupu _dari_Kampung

Bab 7

Fatal

"Ini kah tempatnya?"

"Iya,"

"Kau yakin?"

"Tentu saja, aku sudah bertanya pada temanku."

Ega memberhentikan sepeda motornya tidak jauh dari sebuah rumah berpagar besi tinggi. Jendela rumah itu, tertutup korden semua. Halamannya tak terawat. Rumput liar tampak memanjang. Sepintas seperti bukan rumah tinggal.

Beberapa sepeda motor terparkir di garasi rumah itu. Ega membuka kancing helm, kemudian mengajak Neni turun.

"Ayo!" Ajak Ega pada kekasihnya. Neni tak segera mengikuti Ega. Gadis itu ragu.

"Aku takut, Ga!" Wajah Neni menegang. Ega menghampiri gadis cantik berkulit putih itu.

"Nggak usah takut, ada aku." Tangan Ega, menarik Neni.

Neni pun mengangguk. Dia berusaha menepis rasa takutnya. Fokus pada niatnya kemari, itu saja.

Berjalan lurus memasuki garasi itu, mereka melewati sebuah taman. Setelah itu ada pintu ke samping. Ega membukanya. Wow! Ternyata, di dalam ruangan ada beberapa orang yang duduk-duduk di kursi. Menilik dari deretan kursi yang tertata, ini seperti ruang tunggu. Beberapa pasangan muda-mudi terlihat menunggu dengan wajah gelisah. Terutama yang perempuan. Sama seperti Neni.

Ega berjalan ke konter resepsionis. Perempuan gemuk berbaju putih mirip suster rumah sakit berdiri menyambutnya. Raut wajahnya judes, tanpa senyum.

"Berapa bulan?"

"Ehe, tiga Minggu, Bu ..."

Perempuan itu melihat Neni. Tatapannya sinis. Neni menghela nafas, berusaha menenangkan batinnya.

"Masuk ruangan sana!" Ibu gemuk itu menunjuk sebuah pintu di seberang konter ini. Ega dan Neni mengangguk, kemudian berjalan ke sana.

Ini adalah tempat aborsi ilegal. Tempat ini terkenal dari mulut ke mulut, bahkan anak-anak kampus juga banyak yang tahu tempat ini. Tidak hanya itu, yang lebih miris, anak putih abu-abu juga ada yang mengenal tempat ini. Sudah sangat parah memang kenakalan remaja jaman sekarang.

Ega dan Neni memasuki ruangan lagi. Di dalam, sudah ada seorang lelaki berkemeja biru muda dan seorang perempuan muda yang lagi-lagi berbaju putih mirip suster. Kedua sejoli dipersilakan duduk.

"Telat berapa?" Lelaki yang masih muda tadi bertanya pada Neni.

"Kurang lebih tiga Minggu,"

"Masih kecil," lelaki itu berdiri, " periksa dulu, ya."

Perempuan berbaju suster membawa Neni memasuki ruang periksa. Ega menunggu di tempat duduknya. Beberapa saat kemudian, Neni keluar.

Lelaki itu kembali duduk. Neni duduk dengan terus menunduk. Kedua jemari tangannya saling meremas. Sepertinya gadis itu sedang gugup.

"Bukan tiga Minggu. Itu sekitar enam Minggu," lelaki itu bicara sambil menatap Ega.

"Masih kecil. Masih bisa pakai obat. Tapi kalau mau di paksa, juga bisa, terserah kalian."

Ega menoleh pada Neni. Disentuhnya tangan Neni. "Gimana?" Tanyanya. Neni terdiam agak lama. Sebenarnya, Neni sedang dilanda ketakutan. Kalau disuruh memilih, Neni lebih milih pakai obat. Membayangkan disedot, membuat gadis itu merinding.

"Aku mau pakai obat aja," kata Neni akhirnya.

"Ok, gapapa," lelaki di depannya tersenyum. Dia menulis sesuatu, kemudian diberikan kepada perempuan berbaju putih tadi.

"Ayo Mbak, Mas, nunggu di luar." Perempuan itu menyuruh Ega dan Neni keluar dari ruangan. Kedua sejoli duduk di ruang tunggu luar.

Setelah menunggu beberapa saat, seorang perempuan lain menghampiri mereka. Dia menyerahkan plastik klip berisi enam butir obat.

"Ini obatnya. Minum dua butir pagi, siang dan malam. Kalau ada apa-apa, langsung ke rumah sakit, ya?" Bisik perempuan itu. Neni menerima obat itu dan memasukkan ke dalam tas.

Keluar dari rumah tadi, Ega mengajak Neni ke sebuah cafe.

"Kita makan dulu, ya, Nen."

Neni tak menjawab, dia menurut saja. Memesan makan siang dan minuman, mereka kemudian duduk berhadapan. Neni masih diam. Batinnya berkecamuk, ada rasa takut di sana. Sudah berzina, sekarang membuat dosa lagi dengan menggugurkan. Menyesal memang datangnya belakangan.

Berbeda dengan Neni yang tak nafsu makan. Ega justru bisa makan dengan lahap. Neni melihatnya kesal.

"Ga, kamu santai amat, sih?" Ujar Neni gusar. Ega menghentikan suapan.

"Lha kan udah dikasih obat, kamu makan dulu terus minum itu obat. Besok, pasti keluar." Kepala Ega mengangguk.

"Akutu takut!" Wajah Neni berubah seperti mau menangis. Ega mengambil air putih dan diberikan pada gadis di depannya.

"Minum lah obat itu sekarang, agar masalah cepat selesai." Tatap Ega serius. Neni mengeluarkan obat dari tasnya.

"Minum tiga sekalian, gapapa," ucapnya pada Neni.

"Yang benar?" Mata Neni melebar.

"Iya, temanku bilang begitu. Dulu ceweknya juga begitu," jawab Ega santai. Bodohnya, Neni malah mengikuti saran Ega, dia meminum tiga butir.

Ega tersenyum dengan mata berbinar. Dalam pikirannya, semoga 'anak' itu segera keluar.

"Antar aku ke kampus, Ga. Aku ada mata kuliah."

"Ok!"

**

"Nen, lo kenapa, kok kelihatan pucat?"

Erni, teman kampus Neni bertanya setelah melihat Neni tampak pucat dan tidak tenang saat di kelas tadi.

"Kepalaku pusing banget, Er. Perutku juga sakit," jawab Neni lemah.

"Duduk sana, yuk." Erni menunjuk sebuah bangku di taman. Neni mengangguk. Dari tadi dia merasa perutnya seperti diremas-remas. Kepalanya pening tidak karuan. 'apakah ini efek dari obat itu?' Neni bertanya dalam hati.

"Aduuh, Erni, antar aku ke toilet dong. Perutku mules banget ..."

"Ayo." Digandeng Erni, Neni menuju toilet terdekat. Kebetulan sepi. Neni masuk ke dalam toilet. Dia meremas perut bawah sebelah kirinya yang terasa amat sakit. Dengan bersandar di dinding, Neni mengatur nafasnya. Kepalanya bertambah pening. Keringat dingin mulai membasahi keningnya.

Setelah mengaitkan tas di cantelan, Neni membuka celana panjangnya. Dia berasa mules. Betapa kagetnya Neni melihat bercak darah di celana dalamnya. Neni menjadi panik. "Aku keguguran!"

Menelan ludah beberapa kali karena gugup, kemudian Neni meraih tasnya. Dia mengambil pembalut yang selalu tersedia di dalam tasnya. Setelah memakai, Neni segera keluar.

"Sudah?" Tanya Erni. Neni mengangguk.

"Aku mau menelepon Ega dulu." Neni mengeluarkan ponsel.

"Ga, jemput aku sekarang," kata Neni terengah-engah. Erni yang melihat menjadi bingung.

"Nen, lo gapapa?"

"Enggak. Antar aku ke depan ya, aku nunggu Ega."

"Ok!"

Ega datang menjemput Neni dengan motor sportnya. Setelah berpamitan dengan Erni, Neni segera menaiki boncengan motor Ega.

"Ga, perutku sakit banget. Kepalaku juga pening," kata Neni.

"Itu mungkin reaksi obat, Nen. Berarti berhasil!" Ega bicara dengan berteriak, karena sedang naik motor.

"Ada darah di celanaku, Ga."

"Bagus dong!"

"Ga, aku nggak kuat ..." Tiba-tiba Neni menyandarkan kepalanya di punggung Ega.

"Pusing, Ga," Neni merasa tubuhnya semakin lemah. Sakit di perutnya semakin tidak tertahan. Ega menjadi panik. Lelaki itu menepikan motornya.

"Nen! Neni! Kamu gapapa?" Ega menoleh ke belakang. Kekasihnya tampak lunglai. Gegas Ega turun dari motor. Dilihatnya wajah Neni yang memucat.

"Sakit, Ga ..." Neni meremas perutnya. Ega dengan cepat melepas helm dari kepala Neni. Keringat dingin membasahi kening Neni. Badan gadis itu gemetar hebat. Nafasnya tersengal. Seketika Ega panik.

"Nen! Neni!" Tangan Ega memegang memegang pipi Neni dan menggoyangnya. Neni lemas tak berdaya. Matanya sayu menatap Ega. Segera Ega menopang tubuh gadis itu. Mulut Ega tak henti memanggil nama Neni.

Kejadian itu, menarik perhatian orang sekitar. Seorang pejalan kaki mendekat.

"Kenapa, Mas?"

"Ini, teman saya sakit, Mas," jawab Ega panik.

Orang-orang mulai berdatangan. Neni semakin lemah dan hampir pingsan.

"Gotong ke sana, Mas!" Seorang ibu menunjuk teras sebuah ruko.

"Iya, Mas, baringkan dulu."

"Baik!"

Dibantu beberapa orang, Ega membawa Neni ke teras ruko. Neni sudah tak merasakan apapun. Bahkan dia sudah tak peduli lagi dibawa ke mana. Yang dia rasa adalah sakit dan nyeri hebat di perutnya.

"Mas, ada darah itu!" Seorang perempuan menunjuk warna merah yang masih basah di celana panjang Neni. Kebetulan Neni memakai celana perempuan model pinsil dengan bahan kain berwarna crem. Noda darah itu menjadi nyata warnanya.

"Iya, itu darah sepertinya," sahut yang lain.

"Bawa ke rumah sakit, aja!"

Rupanya, Neni pendarahan.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sepupu dari Kampung    End// Bahagia untuk Riri

    #Sepupu _dari_KampungBab 50Bahagia untuk RiriDi sebuah hotel yang tidak begitu mewah, dua orang berbadan atletis dan berpostur tinggi tampak mendatangi. Keduanya berpakaian sama yaitu setelah jas dan celana berwarna hitam. Rambut mereka disisir rapi semua hingga menampakkan wajah yang tampan. Dua perempuan penjaga resepsionis berdiri menyambut. Mereka bertanya tanya siapa sebenarnya tamu yang tak biasa ini. Dinar yang kebetulan incharge siang ini tiba-tiba merasa was-was. "Selamat siang ada yang bisa dibantu?" Anita menyapa dengan ramah. Anton mendekat ke meja resepsionis. "Kami detektif swasta, sedang mencari informasi. Mohon Anda berdua menjawab pertanyaan kami dengan jujur," kata Anton dengan suara tegas. Anita dan Dinar berdiri sejajar dengan tegang, mereka sempat saling menatap tadi. Lewat pandangan mata, Dinar dan Anita seperti saling bertanya, "ada apa?""Apakah orang ini pernah menginap di hotel ini?" Arman menunjukkan foto wajah Vivian. Anita dan Dinar mendekat dan m

  • Sepupu dari Kampung    Tak ada ampun

    #Sepupu _dari_KampungBab 49Pembalasan segera datang Vivian berlari dan terus berlari. Dia telah dibebaskan oleh anak buah Arman dan dilepas begitu saja di jalanan yang sepi. Tanpa berbekal hp dan tas dan tentu saja uang Vivian hanya diberikan kunci mobilnya saja. Sedangkan jarak dia diturunkan ke mobilnya masih sekitar enam kilo lagi. Vivian mengumpat sepanjang jalan. Paling tidak empat jam lagi dengan jalan kaki Vivian baru akan sampai di mobilnya. "Sialan kau Arman!" Hih! Vivian mengumpat dengan mengepalkan tangan. Dia kesal dengan anak buah Arman yang tidak berperikemanusiaan ini. "Aku dilepas seperti binatang! Semoga mobilmu selalu bau taik kau Arman gila!" Vivian mengomel sendiri sepanjang jalan. Sebenarnya dia sendiri yang seperti orang gila. Berjalan sambil mengomel dan pakai baju mini kurang bahan. Orang-orang yang melewatinya pun tertawa. Bahkan ada yang memberi suara klakson besar dan membuat Vivian melompat kaget. Sampai di mobilnya Vivian langsung tancap gas. Dia la

  • Sepupu dari Kampung    Mendukung Suami

    #Sepupu _dari_KampungBab 48Dukungan Riri untuk suaminya "Zi, sebaiknya kita selesaikan masalah ini besok saja. Ini sudah malam," kata Arman saat menyetir mobil. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam lebih. Zian bergeming, dia bernafsu ke rumah Purwanto untuk membuat perhitungan dengan istrinya. Sania telah mengakui bahwa dia ingin menghancurkan Riri istrinya. Itu tidak bisa dibiarkan. Menghancurkan Riri harus berhadapan dengan Zian. "Aku ingin semuanya beres saat ini juga!" Kata Zian bersemangat. Selangkah lagi dia akan berhasil mengungkap siapa di balik video palsu murahan yang viral itu. "Sebaiknya kamu pulang dulu, Zi. Istrimu menunggu di rumah, jangan sampai dia bertambah curiga karena kamu pulang terlambat," kata Arman lagi menasehati. Zian terdiam. Tiba-tiba dia kangen sama istrinya itu, "baiklah, antar aku pulang," kata Zian akhirnya. Arman memutar mobil dan kembali ke arah rumah Zian. Arman tidak mampir, lelaki itu langsung berpamitan pada Zian dan menjalankan lagi

  • Sepupu dari Kampung    Mereka Jahat

    #Sepupu _dari_KampungBab 47Semangat, Riri!Vivian dibawa paksa memasuki sebuah rumah oleh orang yang menculiknya. Gadis itu hanya bisa menurut karena memberontak juga percuma hanya akan menyakiti dirinya sendiri saja. Tiga orang yang menculiknya mendudukkan Vivian di sebuah kursi di sebuah ruangan luas yang kosong dan tidak ada perabotannya sama sekali. Vivian mengedarkan pandangan,"tempat apa ini, mirip sebuah kantor yang kosong." Pikirnya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Vivian menajamkan mata untuk melihat siapa yang datang. Mata Vivian tidak berkedip menatap dua sosok pria berpostur tinggi yang menghampirinya. "Zi_Zian?" Desis Vivian sambil menelan ludah. Zian dan Arman semakin dekat. Dada Vivian berdetak tak karuan karena menyadari dirinya dalam bahaya. Tetapi bukan Vivian kalaupun tidak segera menemukan solusi untuk berkelit. Vivian dengan cepat sudah memutar otaknya apa bila Zian mencecarnya dengan pertanyaan seputar video viral. "Zian, Zian, tolongin aku!" Seru V

  • Sepupu dari Kampung    Wajah asli keluarga Budhe

    #Sepupu _dari_KampungBab 46Terbuka semuanya Agus menarik tangan Dinar menjauh dari teman-temannya. "Kalau lu tutup mulut, polisi nggak bakalan tahu, bego!" Ucapnya tepat di depan muka Dinar. Dinar tetap menatap dengan mata sedikit melebar. "Meskipun gue tutup mulut, kalau ada orang yang merasa dirugikan, dia pasti akan mengusut tuntas. Hati-hati aja lu!" Dinar melotot, "asal lu tahu, Itu orang lakinya adalah anak pengusaha properti terkenal Pak Hendri Susilo, dan dia sudah beristri. Lu tahu artinya? Perempuan bernama Vivian itu mungkin selingkuhannya!" Agus terdiam dan mikir. Dinar berjalan cepat menjauhinya. "Benar juga kata Dinar, bagaimana kalau perempuan bernama Vivian itu menjebak Suami orang? Wah! Gawat ini." Bola mata Agus bergerak memutar, seperti otaknya yang sekarang dapat memutar dengan benar.**Zian tak jenak di kantor. Sepertinya semua orang sedang mengawasi dan membicarakan tentang dirinya. Zian merasa malu dan tertampar dengan kasus ini. Menyesal telah pergi den

  • Sepupu dari Kampung    Jangan Pergi

    #Sepupu _dari_KampungBab 45Tak ada yang percaya Zian!Zian berpikir sejenak, "kenapa Papa sudah ada di rumah? Bukannya pulangnya nanti sore?"Bergegas Zian keluar dan menemui Alissa sekretarisnya. "Lisa, aku dipanggil Bapak. Tolong kamu re-schedule semua jadwal aku hari ini," kata Zian. "Baik, Pak," sahut Alissa mengangguk.Melewati deretan area meja karyawan kembali Zian menjadi pusat perhatian. Para staf perempuan bahkan ada yang tertawa tertahan. Mereka saling mrlir atau pun melempar pandangan denga kode-kode yang seolah mengolok- olok bosnya. "Ssst, body Pak Zian keren ih, hihi," ucap salah seorang staf perempuan dengan mengedipkan sebelah matanya genit kemudian semuanya terkekeh. Sungguh Zian bahkan sudah menjadi bulan bulanan netizen. Menyetir sendri pulang ke rumah Zian masih belum sadar apa yang terjadi. Lelaki itu memang jarang bahkan hampir tidak pernah bermain medsos. Main game iya tapi, sudah tidak mencandu lagi seperti jamannya kuliah. Dengan tenang Zian memarkirka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status