Share

Perjodohan

#Sepupu _dari_Kampung

Bab 5

Dijodohkan

"Sumpah, Ma ... Itu barang bukan punya Zian!"

Hendri dan Anya duduk dan diam. Mendengarkan cerita anaknya yang beru saja bebas, setelah menjalani hukuman di pusat rehabilitasi selama beberapa bulan.

"Lalu, kenapa urine-mu positif?" Hendri menatap anaknya. Zian jadi blingsatan, tak bisa menjawab.

"Jadi gini, Pah ... Zian ini cuma pemakai. Bukan pecandu, pengedar, apalagi bandar." Zian berusaha mencari celah untuk membela diri. Selama ini, bila Zian terkena kasus, Mama dan Papanya biasa saja, tak pernah semarah ini. Hanya saja, setelah Zian tersandung kasus narkoba, Mama dan Papanya menjadi sangat marah.

"Kali ini, Mama sama Papa nggak akan mengampuni kamu lagi, Zian!" Anya mendelik pada anak lelaki satu-satunya itu. Kesal sudah hatinya dengan kelakuan Zian.

"Slow, Mah ..." Zian melirik sambil tersenyum pada Mamanya. Zian tahu kelemahan Mamanya. Tinggal menampilkan wajah manis dan senyum saja, Mamanya pasti luluh.

"Nggak ada slow! Bila perlu, Mama akan bekukan semua akses keuangan kamu, Zi!" Kali ini, senyum manis Zian tidak berlaku. Anya tetap marah dan mengomel.

"Mama ini kebanyakan nonton sinetron." Zian menahan tawa.

"Diam!" Anya melotot. Memang iya, dia penggemar sinetron ikatan batin.

"Kelakuan kamu itu sudah mempermalukan Mama sama Papa!"

Zian tak menjawab. Lelaki ganteng berpostur jangkung itu hanya mengedarkan pandangan ke sekeliling rumahnya. Dia memang patut merasa bersalah. Tak seharusnya dia ikut mencoba memakai psikotropika. Ini membuat kedua orang tuanya marah besar.

"Mulai besok, kamu ikut Papa ke kantor, Zi. Pak Anwar akan mengajarimu bekerja." Hendri membuat keputusan. Sudah saatnya, Zian mengakhiri petualangannya. Dia harus mulai serius mendalami bisnis keluarga.

"Ok," jawab Zian singkat. Anak muda itu berdiri, bersiap meninggalkan Mama dan Papanya.

"Mau ke mana, kamu?" Mata Anya mendongak melihat anaknya. Zian menunjuk ke lantai atas.

"Mau ke kamar, Ma."

"Nanti dulu. Mama belum selesai!" Cegah Anya.

"Apa lagi, sih, Ma?" Zian kembali duduk, wajahnya merengut. Mamanya ini mau ngomong apa lagi? Sementara ponsel Zian bergetar terus. Vivian, teman wanitanya terus menelepon.

"Mama sama Papa sudah membuat keputusan," Anya melihat pada Zian yang memasang wajah jutek. Anaknya itu duduk bersandar di sofa dengan kedua kaki dibenggang. Rambut Zian terlihat agak panjang dan dia biarkan tidak rapi. Meski begitu, ketampanan Zian tetap tak bisa ditutupi.

"Keputusan apa?"

"Menikahkan kamu!"

"Apa, menikah? Ah! Nggak! Nggak!" Zian menolak. Dia berdiri sambil menggerakkan tangannya ke kiri dan kanan.

"Kenapa?"

"Zian belum siap, Ma!" Mata Zian melebar. Bibirnya melongo. Kepala Zian menggeleng berkali-kali. Buat Zian, menikah itu mengerikan. Menikah artinya hilang kebebasan. Belum lagi membayangkan hanya bersama satu orang wanita yang sama setiap hari. Diomelin, dimarahin, seperti Papanya. Whuaa enggak mau!!

"Kamu nggak usah siap. Papa yang akan menyiapkan semuanya!" Hendri yang sedari tadi diam, angkat bicara. Anaknya ini, dari tadi membantah omongan Mamanya terus.

"Tapi, Pah ...!"

"Nggak ada tapi! Kamu harus menikah!" Bentak Hendri dengan nada tinggi. Zian auto diam. Papanya serius rupanya. Netranya melihat kedua orang tuanya bergantian. 'Dari pada dikeluarkan dari KK, atau dibekukan semua akses keuangan, mending nurut saja. Lagian, kata Papa, kawin itu enak.'

"Ya sudah, terserah lah ..." Zian pasrah.

"Bagus!" Hendri dan Anya tersenyum senang. Zian bersedia menikah.

"Jadi, kapan Zian akan dinikahkan dengan Vivian?" Tanya Zian dengan menyebut nama kekasihnya. Anya dan Hendri saling berpandangan.

"Bukan dengan Vivian!"

"Terus, dengan siapa?" Mendadak perasaan Zian tidak enak. Bukannya selama ini, Papa dan Mamanya tahu, Vivian adalah pacarnya? Kalau bukan dengan Vivian dengan siapa?

"Kami sudah memilihkan jodoh untukmu!" Senyum Anya mengembang. Zian melongo.

"Jodoh? Oh tidaaaak!!"

**

Berbaring dengan memeluk guling, Riri melamun di kamarnya. Hampir empat bulan dia di sini. Tapi, Pakdhenya tak juga memberikan pekerjaan padanya. "Apa Pakdhe lupa dengan janjinya?" Riri berguling menyamping.

Sebenarnya Riri ingin bertanya tapi, dia takut. Pakdhenya sangat sibuk. Sampai-sampai mengobrol dengan Riri pun tak pernah. "Kalau hanya dijadikan pembantu di sini, aku lebih baik pulang kampung saja." Bibir Riri manyun. Kesal juga sih Riri sebenarnya. Dijadikan pembantu tapi tidak dibayar.

Riri mau melakukan itu semua karena dijanjikan pekerjaan oleh Pakdhenya. Tapi kalau sampai sekarang belum juga ada pekerjaan, Riri sudah memutuskan untuk pulang kampung saja. Di kampung, masih ada rumah peninggalan neneknya. Riri bisa hidup dan berjualan di sana. Siapa tahu, nanti ketemu jodoh. Menikah dengan anaknya juragan empang. Eh!

"Riri! Riri!"

Suara teriakan Rani terdengar memanggil nama Riri. Mata Riri melihat jam di dinding. "Sudah setengah sepuluh malam. Mau nyuruh apa lagi, sih?" Gerutu Riri sambil beringsut turun dari tempat tidur.

"Ada apa?" Tanya Riri saat sudah bertemu Rani.

"Setrikain atasan batikku!" Rani melempar baju batik atasan warna biru dan pada Riri.

"Bukannya besok pakai olahraga? Aku sudah siapkan di lemari," Riri menjawab. Setiap hari, dia lah yang menyiapkan seragam sekolah Rani. Riri jadi hafal jadwalnya.

"Besok pakai batik. Ada tukeran jadwal kata Bu guru." Jawab Rani.

"Seterika besok, ya ... Ini sudah malam." Kata Riri. Besok dia akan bangun lebih pagi untuk menggosok baju Rani.

"Sekarang!"

"Ya udah," Riri berjalan ke area belakang untuk menggosok. Rani memang begitu. Kalau menyuruh seperti Boss besar saja. Riri merasa lelah bila habis memijat Budhenya. Setiap hari memijat, membuat otot tangan Riri membesar. Apalagi Budhe maunya dipijat keras. Capek banget.

Saat akan berbelok ke lorong arah rumah belakang, Riri mendengar suara Budhe dan Pakdhenya sedang bercakap.

"Mama tidak setuju bila Neni harus menikah dengan Zian, Pah!" Kata Budhe Sania.

"Papa juga tidak akan membiarkan anak kesayangan Papa menikah dengan berandalan itu!" Sahut Pakdhe Pur.

'Ada apa ini ya? Kok keknya, Neni mau dinikahkan dengan seseorang? Mana mau ... Neni kan sudah punya pacar?'

"Terus, bagaimana, Pah?" Budhe Sania lagi.

"Terpaksa kita harus membayar hutang!"

"Uang dari mana?"

"Terpaksa, kita harus menjual rumah ini, Ma!"

'Apa, Pakdhe Pur mau jual rumah? Sebenarnya, apa yang sedang terjadi dengan keluarga ini?'

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status