Share

Perjodohan

last update Last Updated: 2023-06-21 05:56:05

#Sepupu _dari_Kampung

Bab 5

Dijodohkan

"Sumpah, Ma ... Itu barang bukan punya Zian!"

Hendri dan Anya duduk dan diam. Mendengarkan cerita anaknya yang beru saja bebas, setelah menjalani hukuman di pusat rehabilitasi selama beberapa bulan.

"Lalu, kenapa urine-mu positif?" Hendri menatap anaknya. Zian jadi blingsatan, tak bisa menjawab.

"Jadi gini, Pah ... Zian ini cuma pemakai. Bukan pecandu, pengedar, apalagi bandar." Zian berusaha mencari celah untuk membela diri. Selama ini, bila Zian terkena kasus, Mama dan Papanya biasa saja, tak pernah semarah ini. Hanya saja, setelah Zian tersandung kasus narkoba, Mama dan Papanya menjadi sangat marah.

"Kali ini, Mama sama Papa nggak akan mengampuni kamu lagi, Zian!" Anya mendelik pada anak lelaki satu-satunya itu. Kesal sudah hatinya dengan kelakuan Zian.

"Slow, Mah ..." Zian melirik sambil tersenyum pada Mamanya. Zian tahu kelemahan Mamanya. Tinggal menampilkan wajah manis dan senyum saja, Mamanya pasti luluh.

"Nggak ada slow! Bila perlu, Mama akan bekukan semua akses keuangan kamu, Zi!" Kali ini, senyum manis Zian tidak berlaku. Anya tetap marah dan mengomel.

"Mama ini kebanyakan nonton sinetron." Zian menahan tawa.

"Diam!" Anya melotot. Memang iya, dia penggemar sinetron ikatan batin.

"Kelakuan kamu itu sudah mempermalukan Mama sama Papa!"

Zian tak menjawab. Lelaki ganteng berpostur jangkung itu hanya mengedarkan pandangan ke sekeliling rumahnya. Dia memang patut merasa bersalah. Tak seharusnya dia ikut mencoba memakai psikotropika. Ini membuat kedua orang tuanya marah besar.

"Mulai besok, kamu ikut Papa ke kantor, Zi. Pak Anwar akan mengajarimu bekerja." Hendri membuat keputusan. Sudah saatnya, Zian mengakhiri petualangannya. Dia harus mulai serius mendalami bisnis keluarga.

"Ok," jawab Zian singkat. Anak muda itu berdiri, bersiap meninggalkan Mama dan Papanya.

"Mau ke mana, kamu?" Mata Anya mendongak melihat anaknya. Zian menunjuk ke lantai atas.

"Mau ke kamar, Ma."

"Nanti dulu. Mama belum selesai!" Cegah Anya.

"Apa lagi, sih, Ma?" Zian kembali duduk, wajahnya merengut. Mamanya ini mau ngomong apa lagi? Sementara ponsel Zian bergetar terus. Vivian, teman wanitanya terus menelepon.

"Mama sama Papa sudah membuat keputusan," Anya melihat pada Zian yang memasang wajah jutek. Anaknya itu duduk bersandar di sofa dengan kedua kaki dibenggang. Rambut Zian terlihat agak panjang dan dia biarkan tidak rapi. Meski begitu, ketampanan Zian tetap tak bisa ditutupi.

"Keputusan apa?"

"Menikahkan kamu!"

"Apa, menikah? Ah! Nggak! Nggak!" Zian menolak. Dia berdiri sambil menggerakkan tangannya ke kiri dan kanan.

"Kenapa?"

"Zian belum siap, Ma!" Mata Zian melebar. Bibirnya melongo. Kepala Zian menggeleng berkali-kali. Buat Zian, menikah itu mengerikan. Menikah artinya hilang kebebasan. Belum lagi membayangkan hanya bersama satu orang wanita yang sama setiap hari. Diomelin, dimarahin, seperti Papanya. Whuaa enggak mau!!

"Kamu nggak usah siap. Papa yang akan menyiapkan semuanya!" Hendri yang sedari tadi diam, angkat bicara. Anaknya ini, dari tadi membantah omongan Mamanya terus.

"Tapi, Pah ...!"

"Nggak ada tapi! Kamu harus menikah!" Bentak Hendri dengan nada tinggi. Zian auto diam. Papanya serius rupanya. Netranya melihat kedua orang tuanya bergantian. 'Dari pada dikeluarkan dari KK, atau dibekukan semua akses keuangan, mending nurut saja. Lagian, kata Papa, kawin itu enak.'

"Ya sudah, terserah lah ..." Zian pasrah.

"Bagus!" Hendri dan Anya tersenyum senang. Zian bersedia menikah.

"Jadi, kapan Zian akan dinikahkan dengan Vivian?" Tanya Zian dengan menyebut nama kekasihnya. Anya dan Hendri saling berpandangan.

"Bukan dengan Vivian!"

"Terus, dengan siapa?" Mendadak perasaan Zian tidak enak. Bukannya selama ini, Papa dan Mamanya tahu, Vivian adalah pacarnya? Kalau bukan dengan Vivian dengan siapa?

"Kami sudah memilihkan jodoh untukmu!" Senyum Anya mengembang. Zian melongo.

"Jodoh? Oh tidaaaak!!"

**

Berbaring dengan memeluk guling, Riri melamun di kamarnya. Hampir empat bulan dia di sini. Tapi, Pakdhenya tak juga memberikan pekerjaan padanya. "Apa Pakdhe lupa dengan janjinya?" Riri berguling menyamping.

Sebenarnya Riri ingin bertanya tapi, dia takut. Pakdhenya sangat sibuk. Sampai-sampai mengobrol dengan Riri pun tak pernah. "Kalau hanya dijadikan pembantu di sini, aku lebih baik pulang kampung saja." Bibir Riri manyun. Kesal juga sih Riri sebenarnya. Dijadikan pembantu tapi tidak dibayar.

Riri mau melakukan itu semua karena dijanjikan pekerjaan oleh Pakdhenya. Tapi kalau sampai sekarang belum juga ada pekerjaan, Riri sudah memutuskan untuk pulang kampung saja. Di kampung, masih ada rumah peninggalan neneknya. Riri bisa hidup dan berjualan di sana. Siapa tahu, nanti ketemu jodoh. Menikah dengan anaknya juragan empang. Eh!

"Riri! Riri!"

Suara teriakan Rani terdengar memanggil nama Riri. Mata Riri melihat jam di dinding. "Sudah setengah sepuluh malam. Mau nyuruh apa lagi, sih?" Gerutu Riri sambil beringsut turun dari tempat tidur.

"Ada apa?" Tanya Riri saat sudah bertemu Rani.

"Setrikain atasan batikku!" Rani melempar baju batik atasan warna biru dan pada Riri.

"Bukannya besok pakai olahraga? Aku sudah siapkan di lemari," Riri menjawab. Setiap hari, dia lah yang menyiapkan seragam sekolah Rani. Riri jadi hafal jadwalnya.

"Besok pakai batik. Ada tukeran jadwal kata Bu guru." Jawab Rani.

"Seterika besok, ya ... Ini sudah malam." Kata Riri. Besok dia akan bangun lebih pagi untuk menggosok baju Rani.

"Sekarang!"

"Ya udah," Riri berjalan ke area belakang untuk menggosok. Rani memang begitu. Kalau menyuruh seperti Boss besar saja. Riri merasa lelah bila habis memijat Budhenya. Setiap hari memijat, membuat otot tangan Riri membesar. Apalagi Budhe maunya dipijat keras. Capek banget.

Saat akan berbelok ke lorong arah rumah belakang, Riri mendengar suara Budhe dan Pakdhenya sedang bercakap.

"Mama tidak setuju bila Neni harus menikah dengan Zian, Pah!" Kata Budhe Sania.

"Papa juga tidak akan membiarkan anak kesayangan Papa menikah dengan berandalan itu!" Sahut Pakdhe Pur.

'Ada apa ini ya? Kok keknya, Neni mau dinikahkan dengan seseorang? Mana mau ... Neni kan sudah punya pacar?'

"Terus, bagaimana, Pah?" Budhe Sania lagi.

"Terpaksa kita harus membayar hutang!"

"Uang dari mana?"

"Terpaksa, kita harus menjual rumah ini, Ma!"

'Apa, Pakdhe Pur mau jual rumah? Sebenarnya, apa yang sedang terjadi dengan keluarga ini?'

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sepupu dari Kampung    End// Bahagia untuk Riri

    #Sepupu _dari_KampungBab 50Bahagia untuk RiriDi sebuah hotel yang tidak begitu mewah, dua orang berbadan atletis dan berpostur tinggi tampak mendatangi. Keduanya berpakaian sama yaitu setelah jas dan celana berwarna hitam. Rambut mereka disisir rapi semua hingga menampakkan wajah yang tampan. Dua perempuan penjaga resepsionis berdiri menyambut. Mereka bertanya tanya siapa sebenarnya tamu yang tak biasa ini. Dinar yang kebetulan incharge siang ini tiba-tiba merasa was-was. "Selamat siang ada yang bisa dibantu?" Anita menyapa dengan ramah. Anton mendekat ke meja resepsionis. "Kami detektif swasta, sedang mencari informasi. Mohon Anda berdua menjawab pertanyaan kami dengan jujur," kata Anton dengan suara tegas. Anita dan Dinar berdiri sejajar dengan tegang, mereka sempat saling menatap tadi. Lewat pandangan mata, Dinar dan Anita seperti saling bertanya, "ada apa?""Apakah orang ini pernah menginap di hotel ini?" Arman menunjukkan foto wajah Vivian. Anita dan Dinar mendekat dan m

  • Sepupu dari Kampung    Tak ada ampun

    #Sepupu _dari_KampungBab 49Pembalasan segera datang Vivian berlari dan terus berlari. Dia telah dibebaskan oleh anak buah Arman dan dilepas begitu saja di jalanan yang sepi. Tanpa berbekal hp dan tas dan tentu saja uang Vivian hanya diberikan kunci mobilnya saja. Sedangkan jarak dia diturunkan ke mobilnya masih sekitar enam kilo lagi. Vivian mengumpat sepanjang jalan. Paling tidak empat jam lagi dengan jalan kaki Vivian baru akan sampai di mobilnya. "Sialan kau Arman!" Hih! Vivian mengumpat dengan mengepalkan tangan. Dia kesal dengan anak buah Arman yang tidak berperikemanusiaan ini. "Aku dilepas seperti binatang! Semoga mobilmu selalu bau taik kau Arman gila!" Vivian mengomel sendiri sepanjang jalan. Sebenarnya dia sendiri yang seperti orang gila. Berjalan sambil mengomel dan pakai baju mini kurang bahan. Orang-orang yang melewatinya pun tertawa. Bahkan ada yang memberi suara klakson besar dan membuat Vivian melompat kaget. Sampai di mobilnya Vivian langsung tancap gas. Dia la

  • Sepupu dari Kampung    Mendukung Suami

    #Sepupu _dari_KampungBab 48Dukungan Riri untuk suaminya "Zi, sebaiknya kita selesaikan masalah ini besok saja. Ini sudah malam," kata Arman saat menyetir mobil. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam lebih. Zian bergeming, dia bernafsu ke rumah Purwanto untuk membuat perhitungan dengan istrinya. Sania telah mengakui bahwa dia ingin menghancurkan Riri istrinya. Itu tidak bisa dibiarkan. Menghancurkan Riri harus berhadapan dengan Zian. "Aku ingin semuanya beres saat ini juga!" Kata Zian bersemangat. Selangkah lagi dia akan berhasil mengungkap siapa di balik video palsu murahan yang viral itu. "Sebaiknya kamu pulang dulu, Zi. Istrimu menunggu di rumah, jangan sampai dia bertambah curiga karena kamu pulang terlambat," kata Arman lagi menasehati. Zian terdiam. Tiba-tiba dia kangen sama istrinya itu, "baiklah, antar aku pulang," kata Zian akhirnya. Arman memutar mobil dan kembali ke arah rumah Zian. Arman tidak mampir, lelaki itu langsung berpamitan pada Zian dan menjalankan lagi

  • Sepupu dari Kampung    Mereka Jahat

    #Sepupu _dari_KampungBab 47Semangat, Riri!Vivian dibawa paksa memasuki sebuah rumah oleh orang yang menculiknya. Gadis itu hanya bisa menurut karena memberontak juga percuma hanya akan menyakiti dirinya sendiri saja. Tiga orang yang menculiknya mendudukkan Vivian di sebuah kursi di sebuah ruangan luas yang kosong dan tidak ada perabotannya sama sekali. Vivian mengedarkan pandangan,"tempat apa ini, mirip sebuah kantor yang kosong." Pikirnya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Vivian menajamkan mata untuk melihat siapa yang datang. Mata Vivian tidak berkedip menatap dua sosok pria berpostur tinggi yang menghampirinya. "Zi_Zian?" Desis Vivian sambil menelan ludah. Zian dan Arman semakin dekat. Dada Vivian berdetak tak karuan karena menyadari dirinya dalam bahaya. Tetapi bukan Vivian kalaupun tidak segera menemukan solusi untuk berkelit. Vivian dengan cepat sudah memutar otaknya apa bila Zian mencecarnya dengan pertanyaan seputar video viral. "Zian, Zian, tolongin aku!" Seru V

  • Sepupu dari Kampung    Wajah asli keluarga Budhe

    #Sepupu _dari_KampungBab 46Terbuka semuanya Agus menarik tangan Dinar menjauh dari teman-temannya. "Kalau lu tutup mulut, polisi nggak bakalan tahu, bego!" Ucapnya tepat di depan muka Dinar. Dinar tetap menatap dengan mata sedikit melebar. "Meskipun gue tutup mulut, kalau ada orang yang merasa dirugikan, dia pasti akan mengusut tuntas. Hati-hati aja lu!" Dinar melotot, "asal lu tahu, Itu orang lakinya adalah anak pengusaha properti terkenal Pak Hendri Susilo, dan dia sudah beristri. Lu tahu artinya? Perempuan bernama Vivian itu mungkin selingkuhannya!" Agus terdiam dan mikir. Dinar berjalan cepat menjauhinya. "Benar juga kata Dinar, bagaimana kalau perempuan bernama Vivian itu menjebak Suami orang? Wah! Gawat ini." Bola mata Agus bergerak memutar, seperti otaknya yang sekarang dapat memutar dengan benar.**Zian tak jenak di kantor. Sepertinya semua orang sedang mengawasi dan membicarakan tentang dirinya. Zian merasa malu dan tertampar dengan kasus ini. Menyesal telah pergi den

  • Sepupu dari Kampung    Jangan Pergi

    #Sepupu _dari_KampungBab 45Tak ada yang percaya Zian!Zian berpikir sejenak, "kenapa Papa sudah ada di rumah? Bukannya pulangnya nanti sore?"Bergegas Zian keluar dan menemui Alissa sekretarisnya. "Lisa, aku dipanggil Bapak. Tolong kamu re-schedule semua jadwal aku hari ini," kata Zian. "Baik, Pak," sahut Alissa mengangguk.Melewati deretan area meja karyawan kembali Zian menjadi pusat perhatian. Para staf perempuan bahkan ada yang tertawa tertahan. Mereka saling mrlir atau pun melempar pandangan denga kode-kode yang seolah mengolok- olok bosnya. "Ssst, body Pak Zian keren ih, hihi," ucap salah seorang staf perempuan dengan mengedipkan sebelah matanya genit kemudian semuanya terkekeh. Sungguh Zian bahkan sudah menjadi bulan bulanan netizen. Menyetir sendri pulang ke rumah Zian masih belum sadar apa yang terjadi. Lelaki itu memang jarang bahkan hampir tidak pernah bermain medsos. Main game iya tapi, sudah tidak mencandu lagi seperti jamannya kuliah. Dengan tenang Zian memarkirka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status