Aku masih terdiam usai Zaki mengatakan jika ia mengajakku ke rumah Tante Gina untuk memastikan apakah dia benar-benar sakit atau hanya mengelabuhiku. Sebelum ini, Laras sudah memfitnahku dan kini suamiku ingin membuktikan sendiri bahwa perkara Laras semuanya bohong."Hei, kenapa malah diam?""A, benaran?"Zaki mengangguk, lalu bangki dari duduknya. "Iya, aku serius. Besok kamu siap-siap. Kita ke rumah Tantemu, kalau memang dia benar-benar sakit, tak ada salahnya kita jenguk, kan?"Kedua mataku kembali berkaca-kaca, aku sangat terharu dengan sikap Zaki. Ia sungguh bijaksana dan tak mudah percaya dengan perkataan orang lain."Lagipula aku lihay ada yang aneh dari keluargamu. Mereka kenapa? Sepertinya terlihat sangat membencimu?"Apakah aku harus jujur pada Zaki? Bagaimana tabiat keluargaku?"Nana, tak apa kalau kamu belum siap cerita. Aku akan ....""Oh, tidak. Bukan begitu. Aku hanya tak enak jika harus menceritakan hal itu kepadamu," tuturku."Memangnya aku siapa? Aku ini suamimu, Nan
"Lho, kamu nggak percaya, Nak. Apa yang dikatakan Laras itu betul, saya memang sakit, bahkan kemarin tidak bisa bangun. Untung Laras sangat perhatian, jadi Tante bisa sembuh lebih cepat," tutur Tante Gina seakan belum menyerah, padahal sudah jelas-jelas terlihat jika mereka berbohong."Iya, saya percaya, Tante. Lagipula kedatangan saya kemari karena ingin mengantarkan istri saya untuk menjenguk Anda," jawab Zaki lembut dengan merangkul bahuku.Aku tahu jika Zaki hanya ingin menjaga perasaanku karena sejak tadi tak ada satupun yang memperdulikan keberadaanku. Sebenarnya aku tidak terkejut lagi, karena memang begitu tabiat keluarga Ayah."Em, seharusnya kamu itu jangan percaya dengannya, Nak Zaki. Kadang perkataannya itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Kami sudah hafal dengan tabiat keluarganya. Seharusnya sadar diri kalau mereka itu tidak sebanding dengan keluarga Nak Zaki, tidak malah berani-beraninya ganjen ke Nak Zaki." Mana mungkin ada orang sakit yang bisa memaki seperti itu, te
"Zaki, kok kamu mau sih sama Nana? Bukannya banyak ya yang naksir kamu? Malah lebih segalanya dari dia," tutur Vika lagi membuatku semakin geram."Memangnya kenapa? Yang penting itu hatinya, kan?""Ya tapi kan dia ....""Eheemm, A udah belum milihnya?" ucapku mengagetkan mereka.Zaki lantas mendekat ke arahku dengan membawa sebuah parfum lelaki, dan dia juga meraih keranjang belanjaanku. Memang seperti itu lah kebiasaanya kalau kami sedang berbelanja. Dia tidak akan membiarkanku membawa keranjang belanjaanku sendiri."Sudah, kamu sudah selesai?" tanyanya terlihat canggung."Eh ada Vika juga. Apa kabar?" Aku sengaja menatapnya dengan senyuman lebar di bibirku.Namun bukan sambutan hangat pula yang kudapatkan, melainkan sapaanku diacuhkan olehnya. Sedari dulu kami tak terlalu dekat, dan memang dari dulu tidak banyak anak yang mau dekat denganku karena aku ini miskin. Mereka menyangka jika aku hanya akan merepotkannya saja."Baik. Eh sudah dulu ya Zaki, aku pergi dulu. Oh iya, soal yang
"Tidak usah sok baik, Nana. Kamu pasti senang kan anakku sekarang ada di dalam sana dan kritis? Pasti kamu sedang menertawakan kami, kan?" ujar Budhe Risma memakiku.Rasanya aku sangat menyesal telah berkomentar. Jika tahu begini aku akan diam saja."Maaf, Budhe. Istri saya hanya bertanya, kenapa Anda sekasar itu?" ucap Zaki ketika mendengar jawaban Budhe Risma.Tatapan Budhe Risma masih tajam ke arahku, sedangkan aku memilih mengalihkan pandangan daripada harus ribut di tempat seperti ini. Sudah kukatakan, mereka tak akan bisa menghargaiku meski aku sudah menjadi konglomerat sekalipun."Memang begitu adanya Nak Zaki. Dia pasti hanya ingin menertawakan keluargaku yang sedang kesusahan."Aku memilih diam, tapi dengan hati yang sangat dongkol. Seburuk-buruknya diriku, aku tak akan menertawakan saudaraku yang sedang kesusahan seperti mereka."Maaf, aku bukan seperti kalian yang justru menertawakan keluargaku ketika sedang kesusahan. Kalau sekiranya Budhe tidak mau kami temani, tak apa, b
"Astaghfirullah," ucapku begitu mendengar penjelasan Arum bahwa saat ini rumah Budhe Risma pun sudah di lelang untuk pengobatan Huda.Bagaimana bisa, anak yang ia banggakan justru membuatnya menderita seperti ini. Padahal yang kutahu, Huda adalah anak kesayangan Budhe Risma. Dia pandai dan pendiam, itulah sebabnya Budhe Risma sering kali membanggakannya ketika sedang acara keluarga.Namun siapa sangka, rupanya Huda berkelakuan seperti itu. Bahkan yang lebih mencengangkan, Arum berkata jika Huda membawa seluruh tabungan orangtuanya untuk bersenang-senang? Miris. Hidup memang hanya sebuah panggung sandiwara saja."Tapi biarin aja, Mbak. Budhe Risma kan juga udah jahat banget ke kita. Hanya perkara Ayah miskin ia bisa memaki dan menghina kita seenaknya sendiri. Mungkin ini juga bagian dari karmanya," tutur Arum terdengar sangat geram.Sejenak aku terdiam, rasanya masih tak percaya dengan kabar yang kudengar. Waktu bertemu dengan Budhe Risma saja aku masih belum percaya kalau Huda kecelak
Sebenarnya aku ingin tertawa sekarang, hanya saja aku tak akan setega itu meskipun mereka sudah jahat kepadaku dan keluargaku. Rencananya setelah dari rumah Tante Gina, aku ingin ke rumah Ayah. Namun di sini saja aku justru bertemu dengan Budhe Risma."Eh, Nak Zaki. Kok tiba-tiba muncul, dimana mobilnya?" tanya Tante Gina yang aku tahu hanya ingin memastikan jika kami tidak mendengar pembicaraannya dengan Budhe Risma."Ada di depan, Tante. Maaf jika kedatangan saya dan istri menganggu," tutur suamiku lembut."Ah, tidak. Kedatanganmu sama sekali tidak menganggu, apalagi jika datang sendiri," ujar tanteku itu membuatku muak."Mana mungkin saya datang sendiri, Tante. Ini kan keluarga istri saya. Oh iya, kebetulan ada Budhe Risma juga. Sekalian saja kalau begitu," kata Zaki padahal kami belum dipersilahkan duduk.Sepertinya suamiku itu tahu jika aku sudah tidak nyaman berada di sini. Bagaimana tidak, aku ada tapi tak dianggap ada oleh mereka.Tak apa, aku ke rumah ini pun hanya untuk meny
Aku masih tak bisa berfikir, apa yang sebenarnya diinginkan oleh Budhe Risma. Bukankah sebelumnya ia menghina kami? Bahkan terang-terangan Ayah sudah memutuskan untuk tidak ingin berurusan dengan mereka lagi. Lalu kenapa dia masih datang ke rumah? Padahal biasanya Budhe Risma sama sekali tidak mau menginjakkan kaki ke rumah kami."Astaghfirullah, perbuatan Budhe Risma sudah keterlaluan, Nana," ujar Zaki membuyarkan lamunanku."Bu, tak biasanya orang itu mau datang ke rumah kita. Kenapa tiba-tiba dia datang kemari?""Kita masuk dulu, Sayang. Tidak enak jika sampai ada yang mendengar pembicaraan kita. Ayo Nak Zaki kita masuk dulu, kita temui Ayah juga," kata Ibu tanpa menjawab pertanyaanku.Tanpa berkata-kata lagi kami lantas masuk ke dalam rumah. Memang rasanya tak pantas jika harus berbincang di depan rumah seperti itu.Ibu sepertinya memanggilkan Ayah, karena ia masuk ke dalam kamar. Sedikit banyaknya hatiku sedikit tersentuh, karena kini aku tak tinggal lagi di rumah ini. Sejak keci
Aku dan Zaki saling berpandangan ketika Pakde Irwan bertanya perihal uang kepadaku. Rupanya ia belum tahu jika istrinya baru saja merampas uang ayahku."Jangan dengarkan dia, Pa," ucap Budhe Risma terlihat gugup."Kenapa, Budhe? Aku kemari hanya ingin mengambil hak ayahku yang Budhe rampas."Suaminya itu terlihat lebih terkejut. Bagus saja, jika memang Pakde Irwan tidak tahu. Ia pasti akan marah pada Budhe Risma karena Pakdhe Irwan tak memiliki sifat seperti istrinya."Nana, jelaskan padaku.""Kemarin, Budhe datang ke rumah. Kata Ayah, Budhe meminta jatah warisan lagi. Padahal bukankah dulu warisan sudah di bagi rata? Dan bahkan Ayah hanya mendapatkan rumah itu saja? Lalu kenapa Budhe masih bersikeras memintanya? Dan lagi, Budhe juga merampas uang pemberian mertuaku, Pakde. Tanyakan saja padanya," ujarku dengan berapi-api.Pakde Irwan terlihat sedikit marah, ia menatap istrinya tajam. "Benarkah, Bu?"Kakak kandung ayahku itu terlihat pias, sepertinya perbuatannya itu juga tak diketahu