Wajah pias Sofia masih terlihat jelas ketika Zaki dan suaminya datang. Ia tampak sangat terkejut ketika Zaki menyebutku sebagai istrinya. Ya, meskipun semua itu memang benar adanya. Aku sekarang adalah istri dari Zaki, anak pemilik ladang terbesar di daerah ini."Aku sudah kenal, A. Bahkan dari kecil," ujarku membuat Zaki juga terkejut."Benar kah?""Lho, bukannya ini saudaramu, Sayang. Anak Pakde Tohir. Siapa ya namanya, aku lupa," kata suami Sofia dengan menatapku lekat seperti tengah mengingat-ingat sesuatu.Sofia terlihat malas, ia mendekati suaminya. "Nana namanya. Itu lho Sayang, yang kemarin ke pernikahan Tari dan sekeluarga pakai seragam lusuh bekas waktu pernikahan kita," tandas Sofia ketus. Aku yakin, dia sengaja mengatakan hal itu untuk menjatuhkan harga diriku.Suaminya hanya terdiam, dia terlihat tak bersifat sama dengan istrinya. Lagipula mana mungkin ia akan ikut mengataiku, pasti dia tak enak karena di depan Zaki."Kamu ingat kan, Yang? Bahkan kemarin dia kan marah-mar
'Bagaimana mungkin aku akan minta maaf padanya? Sedangkan dia saja selalu ada di bawahku.'Sebuah unggahan status Sofia kudapati ketika aku sedang menunggu Zaki membeli minuman di sebuah kedai. Aku tahu, siapa yang dimaksud oleh Sofia, pasti ditujukan kepadaku.Aku hanya tersenyum tipis ketika membaca pesannya. Tak masalah bagiku, karena tanpa dia dan keluarganya kini aku sudah mulai bangkit dan bisa berdiri tegak."Kenapa senyum-senyum?" ucap Zaki mengagetkanku."Oh, tidak. Aku baru baca unggahan status Sofia di media sosial, A.""Coba lihat," kata Zaki dengan meraih ponselku dan membacanya.Dia tak memberikan respon apapun selain tersenyum. "Biarkan saja, tidak usah di tanggapi. Kesombongan akan membawanya jatuh dengan sendirinya."Benar kata Zaki,. Kesombongan yang sekalu dielu-elukan olehnya beserta keluarganya aku yakin akan membawanya pada jurang kehancuran. Bagaimana tidak, mereka selalu menyombongkan harta miliknya. Padahal semua orang harusnya tahu jika hal itu tidaklah abadi
Selepas mengantarkan ibu mertuaku dari rumah sakit kami sengaja langsung pulang karena rasanha seharian ini sudah sangat melelahkan. Ada beberapa kejadian yang membuat emosi kita naik turun. Apalagi pertemuanku dengan Budhe Risma di rumah sakit tadi.Sungguh, dia benar-benar seperti sudah putus urat malunya. Bagaimana bisa, dia mengatakan hal itu kepada Zaki. Padahal ia sama sekali tak menganggapku sebagai saudara.Mungkin baginya, siapa yang kaya itu lah saudaranya. Namun sudahlah, aku tak perduli lagi. Yang terpenting rumah tanggaku dengan Zaki berjalan dengan lancar.Setidaknya aku juga senang karena kini satu persatu dari mereka yang kemarin menghina keluargaku mulai tumbang. Memang doa seorang yang sedang teraniaya itu sangat ampuh. Seketika keadaan berubah total."Mau makan malam apa, Sayang?" ucap Zaki mengagetkanku yang masih duduk di depan meja rias.Aku hanya meliriknya dari pantulan kaca di depanku. Sejak sore tadi, Zaki sibuk berolahraga di belakang, dan ia baru menemuiku.
Sesampainya di rumah Ayah, kulihat masih ada dua orang asing yang tengah duduk di ruang tamu. Mungkin kedua orang itulah yang dimaksud oleh Arum lewat sambungan telepon tadi. Kedatanganku ke rumah orangtuaku sengaja tak bersama Zaki karena dia sedang ada urusan pekerjaan di ladang.Jujur saja saat ini aku gemetar karena seumur hidup belum pernah berurusan dengan seorang penagih hutang. Urusan terberatku selama ini hanyalah dengan saudara-saudara ayahku saja, karena aku memang menjaga sikap baikku kepada orang-orang agar tak memiliki masalah dengan mereka.Begitu pula kedua orangtuaku, yang kutahu mereka pun juga demikian. Tak ingin mencari masalah dengan orang lain, terlebih mencari hutang seperti ini.Arum terlihat lega begitu aku melangkah masuk ke dalam rumah. Ia saling bertatapan dengan Ibu.Kuucapkan salam, lalu duduk di samping Ibu yang terlihat sangat gugup. Wajar saja, kedua orang yang menunggu mereka itu terlihat sangat garang dan sangar."Em, maaf, Pak. Boleh saya tahu apa p
Ayah masih terdiam meskipun aku berkata banyak hal mengenai hutang itu. Sedikitpun tak terpikirkan, bagaimana bisa Ayah bersedia memberikan namanya untuk pengambilan hutang sebesar itu. Apalagi saudaranya tidak bisa diandalkan, mereka sama sekali tak pernah menghargai kami.Dan sekarang benar adanya, bukan? Tante Gina hanya memanfaatkan Ayah saja. Sekalipun ia tak melakukan angsuran atas hutang yang diambilkan oleh Ayah. Apa itu bisa disebut sebagai saudara?"Yah, tolong jawab. Kenapa? Bahkan mereka selalu saja merendahkan kita, kenapa Ayah masih saja mau berbuat baik kepada mereka hingga seperti ini?" tuturku lagi ketika Ayah masih terdiam.Disudut kursi, kulihat Ibu menitikkan air mata. Mungkin ia juga sangat terpukul dengan kejadian ini."Dan lagi, yang Nana tahu, jika pengajuan hutang seharusnya melibatkan istri juga. Kenapa Ibu sampai tidak tahu perihal ini?"Dadaku benar-benar sangat panas, kedua bahuku pun niak turun seiring dengan emosi yang semakin bergejolak dalam dada. Sebe
Kami memutuskan pulang setelah menyetujui sebuah rencana yang akan dilakukan besok. Bisa atau tidak bisa, Tante Gina harus membayarkan hutang yang ia ambil, tidak malah membebankan kepada keluarga kami yang hanya ingin membantu.Sepanjang perjalanan aku dan Zaki saling terdiam. Selain memikirkan keadaan keluargaku, aku juga merasa sangat malu padanya. Bagaimana tidak, memiliki seorang istri seharusnya bisa lebih tenang dan damai. Tidak seperti ini yang justru semakin menambah beban pikirannya saja.Ada sedikit penyesalan dalam diriku karena aku mau menerima pinangannya. Diluar sana, pasti ada banyak orang yang menggunjingku. Selain mereka membicarakan mengenai aku yang hanya ingin mengeruk hartanya, mereka pasti juga sangat iri denganku karena aku yang tak memiliki kedudukan apapun ini bisa bersanding dengan Zaki, si tampan dan kaya ini"Sayang, kenapa diam?" ucap Zaki ketika aku masih saja terdiam bahkan saat hampir sampai di rumah kami.Aku hanya meliriknya sekilas, lalu tersenyum.
Tak kusangka, perkataanku membuat Tante Gina dan Om Burhan gelagapan. Terlebih setelah aku mematikan video dalam ponselku. Saat mereka berdebat dengan Ayah, aku sengaja merekam mereka secara sembunyi-sembunyi. Bukankah ini ide yang sangat cemerlang? Dengan begini mereka akan dengan mudah mengaku."Bagaimana, Tante, Om? Ingin kejadian ini kuviralkan, atau kalian mengaku dan membayarkan uanh yang telah Tante Gina pinjam atas nama ayahku itu?" Lagi, aku berkata demikian ketika saudara Ayah beserta suaminya itu terdiam dengan raut wajah terkejut.Zaki juga menatapku dalam. Sepertinya dia sangat tak menduga ide yang keluar dari otak istrinya ini. Mereka boleh saja merendahkan dan meremehkanku, tapi mereka harus tahu jika aku tak sebodoh itu. "Lancang kamu Nana! Hapus atau ....""Atau apa, Om? Anda pikir saya takut? Sekarang saya sudah memiliki suami yang siap membelaku, mana mungkin aku takut. Silahkan tampar, Om. Atau perlu pukul sekalian, biar jadi bukti pada orang-orang jika perkataank
Apapun yang terjadi, aku selalu menanamkan dalam hati bahwa perbuatan jahat sekecil apapun pasti akan mendapatkan balasan dari Allah. Sedari dulu aku selalu memiliki prinsip, bahwa tak akan menyakiti orang lain jika orang itu tak membuat masalah terlebih dulu kepadaku.Jujur, aku pun sebenarnya enggan mencari masalah dengan saudara-saudara Ayah. Ketika kemarin Ayah telah memutuskan untuk tidak ingin lagi ikut campur mengenai mereka, aku pikir masalah akan selesai dan kehidupan kami akan jauh lebih baik lagi. Namun apa nyatanya? Mereka tetap saja mengganggu kami, bahkan ternyata mereka juga memiliki masalah lain sebelum ini.Sepertinya mereka sangat tidak ridho jika kami sekeluarga bahagia dan terbebas dari segala derita. Selalu saja ada masalah baru yang mereka timbulkan, atau bahkan mereka tetap menghujat karena kemiskinan yang pernah menimpa kami.Tak hanya Budhe Risma, ternyata Tante Gina jauh lebih parah dari apa yang kupikirkan. Dia dan suaminya memiliki sifat yang sangat buruk,