Share

Serpihan Hati
Serpihan Hati
Penulis: Nafi Thook

Patah

Bagian 1

Malam begitu mencekam mendung hitam begitu pekat menyelimuti langit, suara petir datang bergilir menyambar  ke segala arah. Sepertinya langit pun murka. 

Shinta duduk termenung di dalam taksi. Perjalanannya dari rumah kekasihnya menyimpan luka yang mendalam. Mungkin ini terakhir kalinya dia mengemis cinta. 

Kemarin pagi, dirinya mendapati jika dia tengah mengandung buah cinta antara dia dan kekasihnya yang bernama Arya. Dengan yakin dia pun pergi ke apartemen Arya, berharap mendapatkan pertanggungjawaban atas perbuatan yang seharusnya tidak mereka lakukan. 

"Aku harus tetap mengatakannya, biar bagaimanapun, janin ini tetap anaknya," ucap Shinta memantapkan hati. Selama di perjalanan dia merangkai kata dan juga mimpi akan membesarkan anak mereka layaknya keluarga kecil yang bahagia.

"Sabar, ya, Sayang, sebentar lagi kita akan bertemu dengan ayahmu." Shinta mengusap perutnya yang masih rata. Dia berdiri di depan gedung apartemen menghembuskan nafasnya berulang kali. Mengambil bukti dari dalam tas selempang yang menunjukkan, bahwa dia benar-benar tengah mengandung. 

"Ayo, Nak! kita temui ayahmu." Sedikit senyuman telah membumbui bibir tipis Shinta. Dengan semangat dia memasuki tempat di mana kekasihnya tinggal. 

"Hufft, kenapa aku jadi grogi gini, ya! Kira kira apa reaksi ayahmu setelah tahu kamu ada di perut mama ya, Sayang?" Shinta berhenti sejenak di depan pintu apartemen kekasihnya. Dia tetap tersenyum meski dadanya bergemuruh tak karuan sebab gugup. Dia membenahi kacamatanya beberapa kali. 

Shinta yang sudah terbiasa masuk ke dalam apartemen milik kekasihnya tidak perlu lagi mengetuk pintu. Dia tahu betul apa yang harus dilakukan agar pintu itu terbuka. 

Dengan perlahan tapi pasti, Shinta masuk ke dalam. Segala yang ada di sana selalu sama. Dia mengingat kisah percintaan mereka yang sering terjadi dengan liar dan panas. Pertama kalinya mereka melakukan itu, Shinta  menangis sangat lama sebab sakit di area pangkal pahanya, bahkan dia harus berbohong jika menginap di rumah teman sebab tidak bisa berjalan. Shinta tersipu membayangkan kisah percintaan mereka. 

Saking asyiknya melamun dan mengenang hari-hari bersama Arya, Shinta tidak menyadari jika dia berada tepat di depan pintu kamar Arya.  Suara erangan dan desahan nikmat terdengar jelas sekarang. 

Shinta berpikir mungkin itu Arya sedang menonton film panas. Langkah kakinya semakin mendekat perlahan. Dadanya semakin bergemuruh dia hafal betul suara desahan itu, suara yang sering dia rindukan beberapa hari terakhir ini. 

"Ahhh ... nikmat sekali tubuhmu, Sayang. Kau menggigit milikku." Bagai disiram api neraka jiwa Shinta terbakar hebat. Dua orang di hadapannya kini telah sama sama mengerang dalam kenikmatan. Sedangkan Shinta tubuhnya luruh ke lantai seperti dihantam seribu pisau yang menusuknya berkali-kali. 

"Bagaimana jika Shinta tahu ten_tang aghhh kita nanti?" tanya si perempuan itu di sela-sela kenikmatan.

Arya bukannya menjawab tapi dia malah semakin menggila dan membungkam mulut lawan mainnya dengan manisnya cinta. 

Shinta semakin terisak menahan rasa sebak di dada. Dunia terasa kiamat tangannya terkepal kuat memukul dada berkali-kali. Sahabat karib yang menjadi tumpuan dia bercanda dan bercerita nyatanya tega bermain api di belakangnya. 

*Aku harus bangkit, aku harus kuat mereka tidak boleh seperti ini kepadaku. Tidak! ini tidak boleh terjadi. Bagaimana dengan anakku jika aku merelakan mereka. Aku bukannya egois, tapi ini demi anak anakku.* 

Lama berpikir Shinta akhirnya bangkit dari lantai. Dia mengatur jiwa dan raganya. Dia harus kuat semuanya dia lakukan demi identitas sang anak. 

"Kalian!" Shinta ingin menjambak dan memukul kedua orang yang tengah lemas dengan peluh bercucuran itu. 

"Shinta, Ka_kamu di sini sejak kapan?" Arya terlihat menyambar apa saja yang kiranya bisa menutupi tubuh polosnya. 

Shinta semakin terisak, bukan itu keinginan dirinya. Dia ingin marah dan berteriak, dia ingin memukul dan membunuh, tapi kenapa tubuhnya malah lemas tidak berdaya. Dan akhirnya dia tidak sadarkan diri. 

"Shinta, kau sudah bangun?" Pertama kali yang dia lihat adalah wajah tampan Arya. Shinta berharap yang dia lihat tadi hanyalah mimpi. Shinta mengerjapkan mata berulang kali. 

"Pakailah ini kaca matamu," seru Arya membantu Shinta memakai kacamata. 

"Kau sudah siuman rupanya, Shin?" Deg, baru saja Shinta merasakan dadanya lapang. Namun seketika harus penuh kembali oleh suara yang begitu dikenalnya. 

Arya dan Amara nampak tersenyum melihat Shinta mulai bangkit. Tapi, bagi Shinta senyuman mereka tidak lebih dari panah beracun yang menggerogoti jiwa Shinta.

"Shinta, kamu mau apa kemari?" Rasanya ingin sekali Shinta memaki dan berteriak memaki kelakuan bejat mereka. 

"Kenapa kalian lakukan ini di belakangku? Apa salahku, sampai kalian tega mengkhianati kepercayaan yang aku berikan untuk kalian?" Shinta mengutuk bibirnya yang begitu baik. Dan juga air mata yang terus mengalir itu, kenapa bodoh sekali? Dia harus perlihatkan itu semua di hadapan mereka yang memang nyata telah menusuknya. 

"Ah, begini Shinta, sebelum aku menerima cintamu. Aku dan Amara sebenarnya sudah saling mencintai, dan aku baru menyadarinya setelah kita sudah bersama. Tapi sekarang aku memutuskan untuk memilih Amara dan menyudahi hubungan kita. Aku harap kau berlapang dada menerima semua ini."  Dengan teganya Arya menggenggam erat tangan Amara dan menciumnya di hadapan Shinta. Mereka bertatap mata menyiratkan perasaan masing-masing. Shinta melihat betapa bahagianya mereka saat ini. Apakah tidak ada sedikitpun rasa empati di hati mereka berdua. 

Sepertinya tangis Shinta sudah berubah menjadi air mata darah. Lebih baik mati daripada hidup dengan derita cinta seperti ini. 

"Jika seperti itu, kenapa kau tidak katakan kepadaku Amara? Kenapa kalian harus menyakiti diriku seperti ini?" Shinta sudah kehilangan akal kenapa dia bisa selemah itu. Boleh saja culun tapi bisa kan dia tegas dengan hak miliknya. 

"Maafkan aku, Shinta, aku tidak tega mengatakannya kepadamu." Tidak tega? Bahkan mereka sudah berhubungan sejauh itu dan dia bilang tidak tega. Beginikah rasanya sakit karna cinta. Patah hati, ditikung oleh sahabat sendiri paket lengkap dalam meratapi nasibnya. 

"Dan kau, Arya. Tidakkah ada sedikit saja ruang di hatimu untuk aku bisa singgahi? aku hanya ingin tetap bersamamu, sampai menua sampai kita menikah dan memiliki anak nanti," ucapan konyol yang malah menjadi bahan tertawaan Arya.

"Bagaimana bisa aku hidup menua dan memiliki anak denganmu nantinya. Jika sebenarnya aku sudah jatuh cinta sama Amara. Tolonglah terima keadaan ini, jangan egois dan mementingkan diri sendiri." 

Aku tidak mementingkan diri sendiri, Arya. Aku memikirkan bagaimana kehidupan anak kita nantinya. Sayangnya kata itu hanya tercekat di kerongkongan Shinta.

"Sungguh tega kau katakan hal itu sekarang, setelah apa yang kau perbuat kepadaku. Aku telah menyerahkan segalanya untukmu dan di saat ini_" Shinta memegang dadanya yang bergemuruh menahan sakit.

"Sudahlah, apa yang ada di antara kita anggap saja semuanya selesai. Sebelumnya aku juga sudah memintamu untuk putuskan? Tapi kau tidak mau! Jadi menurutku sekarang lah waktunya. Kita akhiri semuanya dan jalani kehidupan masing-masing."

Shinta memang egois dia tidak ingin di putuskan oleh Arya walau beberapa kali disakiti. Tapi kali ini, dia tidak tahan lagi. Separuh hidupnya hancur oleh kekasihnya dan selebihnya adalah sahabat karibnya. 

"Baiklah! Aku sudah lelah dengan semuanya. Aku sudah membawa kenangan indah kita bersamaku. Jika suatu  saat nanti kita bertemu, aku tidak akan mengatakan apapun kepadamu," Shinta mengusap perutnya lembut setelah itu berlari keluar dari apartemen dan menangis sejadi-jadinya.

"Nona, kita sudah sampai," suara sopir membuyarkan lamunan Shinta. 

Shinta berjalan pelan memasuki rumahnya dan "Kau berhenti di sana," sebuah suara menggelegar memenuhi isi ruang keluarga. 

Bersambung.....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Hm_14
Sedih aku tuh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status