Bagian 2
Seketika langkah Shinta terhenti. Nampak ayahnya menuruni tangga disusul oleh ibu dari belakang. Raut wajah kedua orang tua itu sangat berbeda. Ayahnya terlihat menahan amarah, sedangkan sang mama nampak khawatir, beberapa kali meraih tangan suaminya, tapi dengan kasar dihempaskan oleh sang empu.
"Ayah! Dengarkanlah dahulu penjelasannya jangan kebawa amarah," ucap ibunya Shinta yang bernama Rena, yang masih setia membuntuti Romi.
"Bisakah kau jelaskan kepada kami apa maksud dari semua ini?" Romi melempar tiga buah benda kecil yang semuanya menunjukkan dua garis. Shinta memang membeli banyak alat seperti itu, untuk menyakinkan kondisinya.
"Ayah!" Banyak rasa yang ingin diungkapkan kepada orang tuanya. Dia ingin meminta maaf, dia ingin merebahkan kepalanya di pangkuan sang ibu, menceritakan segala keluh kesah sebab nasibnya kini yang benar-benar telah hancur. Tapi, sepertinya itu hanya angan konyol yang mustahil terjadi.
"Katakan!" bentak Romi. Wajahnya sudah memerah dan tangannya mengepal kuat. Wajahnya mendongak beberapa kali menekan amarah yang memuncak nafasnya memburu membuat dadanya terasa sakit.
"Maaf, Ayah!"
"Siapa yang telah melakukannya? katakan! Dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya."
"Tidak!" Shinta harusnya jujur saja siapa dalang dibalik semua kejadian ini, tapi hatinya terlalu sakit melihat penghianatan yang terjadi di depan matanya sendiri. Hingga memutuskan untuk menghadapi konsekuensinya sendiri.
"Katakan! Siapa yang melakukannya?"
"Aku tidak tahu, Ayah!" Shinta tidak sadar jika ucapannya akan dibayar sangat mahal di kemudian hari.
"Jadi, ini yang kamu lakukan di luar sana menjajakan tubuhmu sampai tidak tahu siapa yang bertanggung jawab atas anak itu," Romi semakin murka. Dia mengambil cambuk pajangan yang berada di dinding ruang keluarga.
"Ayah, apa yang akan ayah lakukan?" teriak Rena histeris. Romi sudah dikuasai iblis, tangannya secepat kilat mengayunkan cambuk itu ke tubuh putrinya. Beberapa kali cambuk itu mendarat di punggung Shinta, rasa perih dan ngilu menjalar ke sekujur tubuh. Shinta seperti mati rasa dia tetap diam di tempat. Hatinya sakit, tubuhnya juga sakit semua menyatu menjadi gumpalan dendam yang mengalir dalam nadinya. Shinta mengepalkan tangannya saat cambuk itu mendarat di badannya.
"Ayah, hentikan! Apa kau ingin membunuh anakmu, hah?" teriak Rena mengambil paksa cambuk yang dipegang suaminya, lalu membuangnya ke sembarang arah. Romi akhirnya jatuh ke lantai sambil memegang dadanya."Ayah!" Rena dan Shinta bersamaan.
Romi mengangkat tangannya ke arah Shinta "Jika kau memang masih menyanyangi kami dan tidak ingin melihatku tiada, pergilah dari rumah ini. Jangan pernah injakkan kakimu di rumah ini lagi sampai kau bisa mencuci nama baik Kami," Shinta seketika diam mematung di tempat. Romi bahkan tidak mau lagi menatap wajah anaknya.
"Pergilah! Atau, aku yang akan pergi dari dunia ini.""Ayah!"
"Ingat! Aku sudah tidak lagi menganggap dirimu sebagai ankku. Jadi, jangan pernah kau sebut aku Ayah dengan mulut kotor_mu itu." Petir semakin menggelegar memekakkan telinga. Tapi, bukan itu yang membuat Shinta bergetar. Dia sudah kehilangan semua cinta yang ada di dunia ini. Cinta sang kekasih, cinta sahabat dan cinta kedua orang tuanya. Semua telah pergi hanya dalam satu hari.
"Ibu, jaga ayah baik-baik," lirih Shinta sambil memutar tubuhnya. Jangankan kata berpisah kata maaf pun dia sudah merasa tidak berhak mengatakannya.
"Shinta, jangan pergi, Nak!" Rena memeluk anaknya dari belakang berharap Shinta mengurungkan niatnya.
"Lepaskan! Dia. Biarkan Anak Jalang itu pergi," teriak Romi. Shinta memejamkan matanya, bahkan dia merasa sudah semenjijikkan itu sampai ayahnya pun tega mengucapkan kata menyakitkan yang tidak seharusnya dia terima dari seorang ayah.
"Ibu, maaf! Maafkan Shinta." Shinta melepas pelukan ibunya. "Jaga diri ibu baik-baik dan juga jaga ayah," Shinta memutuskan pergi dari rumah yang telah menjadi tempatnya dilahirkan dan dibesarkan dengan limpahan kasih sayang. Dia menoleh sejenak menatap nanar bangunan di hadapannya.
"Aku tidak pantas untuk tetap berada di sana, ayah, ibu, maafkan anakmu yang kotor ini." Shinta mengusap kasar air matanya, dia mengepalkan tangan kuat sambil memejamkan mata. Lalu, pergi dari sana.
Gerimis sudah mulai berjatuhan, detik berikutnya hujan deras mengguyur bumi. Shinta merapatkan kedua tangannya dia tetap berjalan meski menggigil kedinginan. Sebuah mobil berhenti di sampingnya nampak seorang gadis berjilbab membukakan pintu mobil.
"Shinta, ngapain kamu hujan-hujanan tengah malam begini?" Gadis manis itupun turun dan menarik Shinta masuk ke dalam mobilnya. Entah pelet apa yang digunakan gadis berjilbab itu, sehingga Shinta hanya menurut.
Hujan semakin deras saja disertai badai dan petir. Gadis manis berjilbab yang bernama Aisyah menyodorkan teh hangat kepada Shinta.
"Minumlah, semoga ini bisa menghangatkan tubuhmu!" Aisyah tersenyum manis menyesap minumannya sendiri lalu menggosokkan kedua tangannya.
"Shinta, aku tadi sempat terkejut saat melihat dirimu di jalan. Aku mengira itu bukan kau, tapi ternyata benar itu, Kau. Aku senang bisa bertemu denganmu setelah sekian lama." Aisyah memeluk Shinta dengan erat.
"Auwwhh." Aisyah seketika melepas pelukan.
"Kenapa Shin? Apanya yang sakit? aku cuma peluk kamu doang, lebay, Luh," memukul punggung Shinta. Otomatis Shinta meringis kesakitan.
Shinta dan Aisyah adalah teman saat mereka sama-sama masih belajar di sekolah dasar dan menengah. Tapi, ketika kuliah mereka terpisah sebab Aisyah memilih melanjutkan pendidikan agama di pesantren dari pada kuliah."
"Coba aku lihat!" Aisyah menarik baju atasan Shinta nampak olehnya noda merah yang hampir memenuhi tubuh Shinta.
"Apa-apaan sih kamu, Aisyah. Nggak sopan tahu!" Shinta mencoba menghentikan aksi temannya. Terlambat Aisyah sudah melihat semuanya.
"Apakah itu kau dapatkan dari ayahmu?" selidik Aisyah. Dia berjalan ke arah lemari dapur dan mengambil kotak obat di sana.
"Rumahmu sepi sekali, apakah orang tuamu pergi keluar kota?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan, kau sudah hafal apa pekerjaan orang tuaku. Jadi, jangan menipuku dengan pertanyaan konyolmu itu. Cepat katakan apa masalahmu sampai kau dicambuk ayahmu?" Aisyah meletakkan kotak obat itu lalu menarik lengan Shinta.
"Ikut aku atau aku tidak mau lagi menjadi temanmu." Shinta menurut saja saat dituntun menuju kamarnya. "Buka bajumu biar aku obati."
Shinta sesekali berdesis menahan rasa perih dan sakit di punggungnya. Aisyah mengoleskan salep pada setiap luka yang ada di punggung Shinta. Aisyah sampai bergidik melihat banyaknya noda merah darah itu."Shinta, aku tidak tahu kesalahan apa yang kau buat. Tapi tidak seharusnya ayahmu melakukan kekerasan seperti ini." sesekali meniup luka di punggung Shinta agar perihnya berkurang.
Aisyah lumayan shock sebab kepulangannya dari pesantren malah menemukan sahabatnya dalam keadaan yang terpuruk. Padahal beberapa bulan yang lalu, Shinta begitu ceria menceritakan banyak hal. Termasuk hubungannya dengan Arya.
"Kesalahanku begitu besar Aisyah, aku telah merusak kepercayaan mereka. Aku_" Shinta kembali meneteskan air mata.
"Aisyah, a_aku hamil." Shinta menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Prank ....
"Apa ... ?"
Bagian 3"Apa ...?Kedua gadis itu menoleh ke sumber suara. Shinta malu bukan kepalang. Ibunya Aisyah kini datang secara tiba-tiba."Ibu, kapan pulangnya? Kok nggak kedengaran suara mobilnya?" Aisyah meraih tangan ibunya untuk bersalaman."Dari tadi, ibu juga melihat kalian di dapur, namun ibu ganti baju dahulu sebelum menemui kalian." Ibu Aisyah duduk di samping Shinta."Nak, apakah benar apa yang ibu dengar tadi? Dan kenapa semua tubuhmu merah merah begini?" Shinta malah meremas kedua tangannya tanpa membuka suara. Matanya mulai berkaca-kaca."Benar, Bu! Dan soal luka memar di punggung, saya memang pantas mendapatkan nya." Shinta sudah mulai terisak kembali. Ibunya Aisyah yang bernama Fitri itu tidak tega melihat punggung Shinta yang telah berubah menjadi merah bahkan kulitnya ada yang mengelupas."Tenanglah, Nak! semua akan baik-baik saja. Tenangkan fikiranmu di sini setelah tenang kamu bisa pulang." Fitri mengelus lembut pipi
Shinta kembali meratapi nasibnya menyusuri taman yang lebih sepi dari biasanya. "Ya Tuhan, kuatkan aku dalam menghadapi cobaan ini." Shinta menangkupkan kedua tangannya di wajah. Sesal tiada berguna ibarat nasi sudah menjadi bubur. Hamil tanpa seorang suami dan kini dia terlunta-lunta di jalanan.Shinta sudah berusaha sebisa mungkin berhemat. Tetap saja uang itu habis untuk biaya kehidupannya yang beberapa hari ini kurang fit. Dia memegang nanar satu satunya kalung pemberian orang tuanya. "Haruskah aku jual ini?" pikirnya."Ampun! Ampun maafkan saya, saya tidak akan mengulanginya lagi.""Hajar saja dia!""Ampun pak, ampun," remaja itu tersungkur, darah segar mengalir diujung bibirnya."Hajar!""Masih kecil, sudah jadi pencopet!""Rasakan ini, matilah kau!" Tendangan terakhir diberikan oleh pria berkepala botak. Shinta hanya bisa menatap nanar tiga orang dewasa meninggalkan anak remaja itu dalam keadaan babak belur.
Bagian 5Shinta dan Azam sampai di terminal menjelang subuh. Mereka harus menanti bis kedua, yang kata kondektur sebentar lagi pasti akan datang."Kak! Apakah kakak baik-baik saja?" Azam begitu cemas melihat Shinta mengeluarkan keringat dingin sambil memegang perutnya."Ada apa, Dek?" Seorang warga yang kebetulan lewat di depan mereka berada berhenti."Ini, kakak saya sepertinya kesakitan, Bang." Azam bingung harus berbuat apa. Sedangkan Shinta menggigit bibir bawah, tangannya mencengkram lengan Azam sebab menahan rasa kram di perutnya."Owh, Adek sedang hamil, ya? Kita rebahan saja di sana." Menunjuk bangku panjang di emperan toko. Tanpa permisi pemuda itu membopong tubuh Shinta ala bridal style."Adek rebahan sebentar di sini, biar saya ambil mobil. Kita ke klinik terdekat," ucap pemuda itu sambil meletakkan tubuh Shinta. Terkadang kita tidak menduga, bahwa orang asing terlihat begitu baik dimata kita.Tidak b
Bagian 6Destra dan Arya tanpa sengaja bertemu di depan kontrakan yang beberapa hari lalu ditempati oleh Shinta. Destra mendapat kabar bahwa Shinta menginap disana dari sumber terpercaya yaitu Aisyah. Aisyah tanpa sengaja bertemu dengan Destra di sebuah Mall. Aisyah juga bercerita jika dirinya tidak pernah lagi bertemu dengan Shinta, sebab dia masih di Pesantren.Destra menatap benci mobil yang juga bersamaan parkir di hadapannya. Destra tahu benar bahwa pemuda itu ikut andil dalam rusaknya kehidupan sang adik."Untuk apa Kau kemari? Tidak level Kau mendatangi tempat kumuh seperti ini. Atau, kau kurang puas hanya satu orang yang meninggalkan rumahnya, sehingga kau akan menggusur rumah mereka?" tuduh Destra sambil tertawa meledek. Dia masih sakit hati sebab Arya juga ikut andil dalam kepergian adiknya yang sampai saat ini belum ketemu."Berhentilah menuduhku terus Destra, bukankah Kau tahu bahwa aku tidak ada kaitannya dengan semua ini? Aku bahkan
Bagian 7Suasana pagi begitu mempesona, embun basah menetes perlahan dari dedaunan, kilaunya bagai permata, indah dan menyejukkan mata. Hamparan alam tercipta begitu sempurna. Membuat Shinta enggan beranjak dari tempatnya. Dia kini berada di ujung halaman rumah. Sudah lima bulan lamanya setiap pagi, Shinta akan mematung di tempat itu untuk beberapa lama.Membiarkan tubuhnya tertimpa sorot mentari pagi yang menghangatkan. Shinta memejamkan mata, merasakan sejuknya udara pagi dan belaian cahaya yang berwarna kekuningan merambat melalui pori-pori kulit."Seperti mentari yang selalu menyinari bumi meski tidak dinanti, aku akan selalu hadir di hati ini." Shinta tersentak. Dia langsung membelalakkan matanya. Sadar, jika itu hanya sebuah serpihan kecil kenangannya bersama Arya. Kenangan yang sulit sekali bagi Shinta untuk melupakan.Bukannya Shinta tidak pernah mencoba, dia sudah mencobanya dengan cara menyibukkan diri mengembangkan usaha Fatma, tapi apa daya,
Bagian 8"Ya, saya, Mbak!" jawab Ujang, yang langsung paham apa maksud Shinta menunjuk koper masih berada di dalam rumah Dengan sigap Ujang berbalik arah menyambar koper itu segera. Lalu dia masukkan koper itu ke bagasi mobil.Shinta semakin meringis sambil mengatur pernafasan, dengan susah payah dia masuk ke dalam mobil. Dadanya mendadak sesak, deru nafasnya mulai memburu, dia berusaha menarik udara sebanyak-banyaknya melalui hidung lalu menghembuskan lewat mulut. Begitu berulang kali sesuai dengan apa yang dia pelajari saat mengikuti kelas ibu hamil. Sedangkan Fatma duduk di sampingnya disertai rasa panik dan cemas juga tidak tega. Wajah Shinta yang bersih kini berubah merah dengan peluh keringat bercucuran di seluruh wajah, atau mungkin juga di seluruh tubuhnya."Tahan, ya, Sayang! Sebentar lagi kita akan sampai." Sebisa mungkin Fatma menenangkan Shinta. Semua orang di mobil terlihat cemas bahkan Ujang tidak henti-hentinya menoleh ke belakang. Udin s
Bagian 9Shinta meneteskan air mata kebahagiaan. Rasa sakit dan juga penderitaan yang dialaminya hilang sudah bersama tangisan kedua bayi mungil itu. Perutnya masih terasa nyeri akibat operasi yang dia jalani beberapa jam yang lalu, tidak menyurutkan niatnya untuk memberikan asi eksklusif kepada si buah hati. Meski yang keluar hanyalah cairan bening yang sedikit kekuning-kuningan."Sayang, kamu tampan sekali." Shinta membelai lembut wajah anak laki-laki-nya yang terlihat rakus menyedot ASI. Sedangkan anak perempuannya anteng saja di dalam gendongan Fatma."Apakah ASI-nya sudah keluar?" Fatma masih menimang cicit perempuan-nya."Sudah keluar tapi sedikit sekali, Nek." Shinta masih setia menatap wajah tampan anaknya. Wajah mungil yang terlihat mirip dengan wajah kekasihnya."Ndak apa-apa nanti juga keluar banyak kalau dirangsang terus," nasihat Fatma yang tidak ditanggapi oleh Shinta. Fatma sering melihat Shinta seperti ini. Melamu
Bagian 10."Hai, malaikat kecil yang tampan yang manis. Lihatlah, papa bawa apa untuk kalian." Azam datang dengan menenteng kresek berisi buah-buahan di tangan kiri. Dan finger puppet yang memenuhi jari di tangan kanannya. Diletakkan kresek itu di meja dekat Shinta berbaring. Setelah itu, Azam langsung menggoda bayi kecil di pangkuan neneknya."Hai, Sayang! Pasti Kau sangat merindukan papa, ya!," ucap Azam lebih semangat dari sebelumnya. Dia menggerakkan jarinya yang dipenuhi oleh finger puppet."Belajar yang giat, Papa! Papa! Ndasmu gundul kui. Kalau mau jadi papa harus lulus ujian nilai paling unggul setelah itu kuliah dan kerja keras, agar jadi orang yang sukses, baru jadi papa." Azam seketika nyengir kuda sambil mengusap kepalanya yang kena tampol dari sang nenek."Ini kan sudah giat belajar, Nek. Belajar jadi orang tua. Jadi, kalau nanti ada yang butuh seorang suami yang tampan dan menawan seperti Azam, Azam siap sepenuh jiwa dan raga." Sombong