Home / Romansa / Serpihan Hati / Memilih pergi

Share

Memilih pergi

Author: Nafi Thook
last update Last Updated: 2021-05-01 11:47:48

Bagian 3

"Apa ...?

Kedua gadis itu menoleh ke sumber suara. Shinta malu bukan kepalang. Ibunya Aisyah kini datang secara tiba-tiba.

"Ibu, kapan pulangnya? Kok nggak kedengaran suara mobilnya?" Aisyah meraih tangan ibunya untuk bersalaman. 

"Dari tadi, ibu juga melihat kalian di dapur, namun ibu ganti baju dahulu sebelum menemui kalian." Ibu Aisyah duduk di samping Shinta.

"Nak, apakah benar apa yang ibu dengar tadi? Dan kenapa semua tubuhmu merah merah begini?" Shinta malah meremas kedua tangannya tanpa membuka suara. Matanya mulai berkaca-kaca. 

"Benar, Bu! Dan soal luka memar di punggung, saya memang pantas mendapatkan nya." Shinta sudah mulai terisak kembali. Ibunya Aisyah yang bernama Fitri itu tidak tega melihat punggung Shinta yang telah berubah menjadi merah bahkan kulitnya ada yang mengelupas.

"Tenanglah, Nak! semua akan baik-baik saja. Tenangkan fikiranmu di sini setelah tenang kamu bisa pulang." Fitri mengelus lembut pipi Shinta. 

"Bu Fitri, aku ingin menginap di sini malam ini. Apakah boleh?" Bu Fitri mengangguk pelan. Aisyah merapikan kembali kotak obatnya.

"Rumah ini selalu terbuka lebar untukmu, jadi jangan sungkan, ya!" Sebenarnya Fitri ingin menanyakan lebih detail tentang luka yang didapatkan oleh Shinta. Tapi, diurungkan mengingat hari sudah larut dan Shinta sepertinya perlu istirahat. Matanya terlihat sembab dan wajahnya pucat seperti kapas. 

"Shinta, sepertinya kalian butuh istirahat. Jadi, sebaiknya ibu kembali ke kamar, ya! Selamat malam!" Diangguki oleh kedua gadis itu bersamaan.

Fitri keluar dari kamar sambil mengusap air matanya yang hampir menetes. "Semoga kamu diberi kekuatan oleh_Nya, Nak." Fitri menutup mulutnya lalu kembali ke kamar.

~

~

Sesuai apa yang ada di dalam otaknya, pagi ini Fitri mengajak Shinta bicara dari hati ke hati. Dengan sabar Fitri mendengarkan cerita Shinta, juga ditemani oleh Aisyah, kini ketiganya sama-sama menangis. 

"Kamu yang sabar, ya, Shin," ucap Aisyah sambil memeluk erat tubuh Shinta. 

"Iya, tinggalah di sini saja, kami tidak keberatan malah kami senang rumah ini jadi ramai," bujuk Fitri. 

"Tante, maafkan Shinta. Shinta tidak pantas berada di rumah ini. Shinta tidak mau kehadiranku mengotori rumah yang damai dan tenang ini." 

"Shinta, apakah kau menganggap diriku orang lain?" Tatapan sendu Aisyah semakin menguatkan tekad Shinta untuk segera pergi dari rumah itu. Dia sudah diusir dari rumahnya sendiri rumah yang seharusnya bisa memberi dia ketenangan dan perlindungan di saat dia terpuruk. Lalu mengapa dia harus menjadi parasit bagi rumah orang lain? Bagaimana jika nanti orang lain tahu bahwa keluarga Aisyah menyimpan gadis hamil di luar nikah, tentu akan mempengaruhi kelangsungan hidup Aisyah dan keluarganya.

"Sebab aku sayang kalian, aku tidak ingin membebani kalian dengan masalah ini. Cukup aku saja yang memikulnya. Aku hanya_" Shinta menatap nanar kedua wanita di hadapannya. Keduanya nyata sekali memiliki rasa sayang terhadap dirinya, tapi tidak semudah itu. Andai dia bukanlah orang yang berbadan dua dengan cara berzina, tentu orang tuanya juga menyanyangi dirinya seperti yang di tunjukkan oleh Aisyah dan Rena.

"Katakanlah Shinta." Fitri dan Aisyah saling pandang menanti kelanjutan ucapan Shinta.

"Bolehkah aku meminjam uang kepada kalian? Setidaknya uang itu akan aku gunakan untuk kebutuhan ku sebelum dapat pekerjaan." Shinta menggigit bibir lalu menunduk. "Aku akan kembalikan nanti jika sudah punya uang," ucap Shinta semakin tergugu.

"Nak, apakah kau sudah memikirkannya masak-masak? Keadaan ka_"

"Tante, aku mohon!" Shinta akan semakin tidak berdaya jika terus dibujuk. Jadi satu-satunya cara adalah keras kepala dan segera pergi dari sana. 

Aisyah sudah kehabisan akal untuk membujuk Shinta lebih lama tinggal. Dia memberikan beberapa potong pakaian miliknya untuk baju ganti Shinta. Sambil mengemas pakaian dia menitikkan air mata. 

"Aisyah, hai, kenapa kamu menangis?" Shinta berusaha tegar dengan tidak menangis lagi. Membuang air mata hanya akan membuatnya semakin terpuruk.

"Tidak! Aku hanya tidak bisa membayangkan kehidupan apa yang kamu jalani di luar sana nanti!" 

"Aisyah, yakinlah kepadaku. Aku akan berusaha menjadi lebih baik. Aku tidak akan pernah lagi mengulangi kesalahan yang sama." 

"Bukan itu maksudku, dunia ini terlalu liar Shin, Aku ... !" Shinta langsung memeluk sahabatnya erat. 

"Aku akan baik-baik saja." Shinta lebih menguatkan tekadnya untuk segera pergi. 

Setelah semua siap Shinta pamit kepada Fitri dan Aisyah. Fitri menyodorkan sejumlah uang yang di sebutkan oleh Shinta. 

"Jangan pernah berpikir untuk mengembalikan uang ini, atau tante tidak mau lagi mengenalmu." Shinta menerima amplop coklat yang di sodorkan oleh Fitri. 

"Tapi, Tante."

"Kamu terima atau aku tidak mengizinkan kamu pergi," ancam Fitri. 

Akhirnya Shinta benar-benar meninggalkan rumah sahabatnya. Dengan menenteng tas jinjing yang ringan. Shinta menyusuri jalan tanpa arah tujuan. Rasa lelah dan letih mulai menghampiri dirinya. 

"Nak, kamu harus kuat, ya! Kita berjuang sama-sama. Bantu mama untuk menghadapi kenyataan ini." Shinta segera menghapus air matanya yang hampir menetes. "Tidak! Aku tidak mau lagi meneteskan air mata." 

Shinta kembali menyusuri jalanan dia lupa jika belum makan apa-apa sesudah sarapan di rumah Aisyah. Kita beli nasi kucing ya, Sayang!" Shinta mengelus perutnya yang masih rata. Lalu, bergegas menyebrang jalan di mana ada penjual nasi kucing berada. 

"Maafkan mama, Nak! mama hanya bisa memberikan ini kepadamu, tapi mama janji, jika akan berjuang dan setelah mama sukses kita akan makan yang enak, ya, Sayang." Shinta memberi harapan palsu kepada buah hatinya. Sedangkan saat ini tempat tinggal saja dia tidak punya. 

Shinta kembali mencari penginapan yang ramah di kantongnya. Akhirnya menemukan kontrakan di tempat yang kumuh. Shinta menghela nafasnya berat, kacamatanya terlihat kotor. Dia mengusapnya dengan ujung daster lalu memakainya kembali.  Membersihkan ruang kontrakan yang jauh dari kata bersih. Mungkin cuma sepertiga kamarnya di rumah.

Dahulu Shinta begitu disayang dan dimanja segala keinginannya terpenuhi tanpa harus repot mengeluarkan keringat. Sekarang dia harus banting tulang agar bisa mendapatkan sesuap nasi sebagai pengganjal perut. Shinta mencoba memulai usaha dengan menjual gorengan. Meski hasilnya tidak seberapa tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Pagi ini, entah apa yang terjadi dengannya perutnya terasa kram. Shinta memutuskan untuk memeriksakan kandungan ke klinik terdekat. 

"Mbak, mau periksa kandungan juga, ya?" Sapa seorang ibu yang perutnya mulai membesar. 

"Iya, Mbak," jawab Shinta. Dia melihat ibu hamil ini juga sendiri apakah nasibnya juga sama seperti dirinya, batin Shinta.

"Mana suaminya, Mbak?" tanya ibu itu lagi. Shinta bingung harus menjawab apa. Jika jujur tentu sama saja membuka aibnya sedangkan dia tidak memiliki suami. 

"Kalau, Mbak sendiri, apa juga datang bersama suami?" Shinta memutuskan nanya balik saja. 

"Itu suami saya mengurus menebus obat di sana, dia tidak ingin aku kecapekan." Bahagia sekali wajah ibu hamil di hadapannya itu. Sedangkan dia, jangankan perhatian bahkan ayahnya sudah tidak menerima kehadirannya. Andai dia bisa mempertahankan kehormatannya mungkin ceritanya akan berbeda.

"Sayang, sudah selesai semuanya. Mari kita pulang." Seorang pria menghampiri ibu hamil di sebelah Shinta. Pria itu menuntun istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Bahkan rela membawa tas Selempang milik istrinya.

"Mbak, aku pulang duluan, ya!" Shinta menatap sendu kepergian pasangan suami istri itu, hingga dia tidak sadar namanya di panggil beberapa kali. 

"Ibu Shinta, jangan terlalu capek, ya! Harus banyak banyak istirahat. Keadaan bayinya sehat, usianya sudah memasuki sembilan minggu. Semua normal, hanya saja kegiatannya yang harus di kurangi Ibu. Dan pola makannya harus teratur ya, Ibu." Shinta hanya mengiyakan saja. 

"Apakah suami ibu tidak menemani ibu?"

Deg...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Serpihan Hati   Berdebat

    Bibi menggeleng lemah. Sungguh tabiat menantu kedua ini sangatlah arogan. Juga tidak tahu diri. "Apa maksudmu?" Arya memberi kode pada Bibi untuk meninggalkan mereka berdua. Tidak disuruhpun sebenarnya Bibi juga ingin pergi. "Maksudku? Heh, kau belum mengerti juga? Tuan Arya, bukankah aku katakan sebelumnya untuk berpisah tempat tinggal dari orang tuamu?" Arya menoleh ke seluruh penjuru ruang tamu. Meski tidak ada siapapun di sana, tapi sepertinya bukan tempat yang nyaman untuk memperdebatkan sesuatu yang bersifat pribadi."Kita bicarakan ini di kamar saja." Arya menarik jemari Amara.Ini bukan pertama kalinya Amara meminta pisah rumah dari orang tua dengan alasan ingin mandiri. Arya cukup maklum dengan sifat Amara yang mnandiri. Tapi bukan itu masalahnya, sejak Ari mengalami kecelakaan, Arya lah yang menggantikan posisi Ari di perusahaan. Jadi sudah dipastikan jika dia akan lebih sibuk dari biasanya. Tidak mungkin bagi seorang suami membiarkan istrinya sendiri di apartemen. Terle

  • Serpihan Hati   Rumah baru

    "Kau terlihat begitu bersemangat!" ketus Shinta dengan muka manyunnya.Ari lebih melebarkan bibirnya meski tidak sampai menampakkan gigi. Segala trik jahat dan menyebalkan sengaja dia gunakan untuk bisa memenuhi segala keinginannya termasuk ancaman memisahkan Shinta dari anak-anak."Tentu saja! Aku bersama bidadari seharian. Sungguh nikmat yang luar biasa. Hatiku amatlah gembira. Setelah ini, aku akan banyak bersedekah dan berdoa." "Wajib kau lakukan karena kau banyak dosa." Gumam Shinta membuang muka."Yah, aku memang banyak berdosa. Dan sebisaku bertaubat." timpal Ari. Wajah yang tadinya secerah mentari pagi kini tertutup awan hitam. Suasana menjadi canggung. Bahkan hening untuk beberapa waktu."Maaf! Karena kau menjadi korban dari dosa-dosa yang ku perbuat."Satu kalimat yang tulus itu mampu membuat Shinta Jadi merasa tidak enak hati. Jika semakin dipikir-pikir lagi yang salah disini bukanlah hanya Ari. Tapi juga dirinya. Andai dulu dia benar-benar bisa menjaga diri. Tentu peristi

  • Serpihan Hati   Berani kau

    Bagian 57"Berhentilah membujukku, Ar! Atau aku semakin benci padamu!"HeningBanyak hal yang ingin Ari sampaikan. Permintaan maaf dan juga penyesalan yang mendalam. Ari tidak ada niat untuk menggoreskan luka dalam hati Shinta terlebih menjebak Shinta agar menjalani hidup yang sulit. Tidak! Semua itu bukanlah keinginannya. Ari telah jatuh cinta dan setiap orang menginginkan kebahagiaan dalam cintanya. Jika pun Tuhan berkehendak lain dia bisa apa?Ibarat kata, manusia hanya bisa berusaha tapi Tuhan yang menentukan. Sungguh lihai Dia memainkan takdir. Manusia hanyalah mainan hidup yang berjalan berdasar kehendak-Nya. Tanpa tahu ada apa dibalik pintu hari esok. Dan kunci pembukanya hanyalah keimanan, ketaqwaan, kesabaran.Mobil membelah jalan ibu kota sesekali berhenti menunggu lampu berubah hijau. Deru mesin sahut menyahut. Dalam keadaan ini, dua orang yang tengah berada dalam satu mobil itu tetap saja bungkam. Hingga sa

  • Serpihan Hati   Aku bisa benci

    Bagian 56"Shinta, kau baik-baik saja?" tanya Aisyah sambil merampas sisir yang sejak tadi dipegang oleh Shinta. Ibu dari dua anak itu terlihat tertegun, sejak pagi pikirannya jauh berkelana. Wajahnya terlihat jelas menggambarkan isi hati yang tengah risau.Aisyah menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya membuang nafas panjang. Kembali pada Anin yang asyik memainkan boneka."Seharusnya kau ambil hikmah dari semua ini. Berarti kedua anakmu bukanlah anak haram. Hubungan Kalian halal." Aisyah membawa Anin ke sofa, gadis kecil itu diabaikan ibunya sejak pagi. Aisyah lah yang memandikan dan mendandaninya hingga tampil cantik. Aisyah melabuhkan ciuman terakhir di kening dan juga kedua pipi. "Sekarang ponakan tante sudah sangat cantik dan wangi," ujar Aisyah.Dokter telah memberi izin pada Shinta dan Anin untuk pulang. Mereka tengah bersiap sambil menunggu jemputan."Meski dengan kebohongan?" lirih Shinta. Aisy

  • Serpihan Hati   Siapa kau

    Bagian 55Setelah beberapa menit kemudian, Joe datang dengan sebuah map di tangan. Joe membuka isinya dan menunjukkan kepada semua orang."Apa yang kau lakukan? Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi?" Shinta bahkan sampai tidak mengerti akan kehidupannya ini. Ayahnya sampai tega menikahkan dia dengan seseorang tanpa sepengetahuannya. Apakah ini bisa dipercaya?Malam itu, ayahnya sangat marah, sampai-sampai Shinta harus menahan rasa perih dan sakit akibat cambukan. Bukan itu saja, Shinta harus keluar dari rumah. Menjauh dari orang-orang yang menyanyangi dirinya. Hidup terlunta-lunta, menahan setiap duka dan lara sendiri."Tuan Ari, Anda jangan coba-coba memalsukan data. Bagaimana bisa menikahi seorang gadis tanpa sepengetahuan dirinya?" Azam juga heran. Buku berwarna merah dan hijau kini menjadi bahan kecurigaan semua orang. Bahkan Shinta tidak mengerti kapan dia menandatangani buku kecil itu."Mengapa saya harus memalsuka

  • Serpihan Hati   Bukti

    Bagian 54Setengah berlari, Ari menyusuri lorong rumah sakit. Entah apa yang sebenarnya dia khawatirkan. Anaknya, ataukah wanita yang sampai sekarang masih memenuhi segala ruang dalam hatinya.Tersengal-sengal, peluh memenuhi setiap bagian dari tubuhnya, Ari tetap melangkah menuju tempat dimana anak dan pujaan hatinya berada."Semoga kau tidak marah dengan keputusanku Ros, aku lakukan semua itu hanya untuk anak kita."Ruang rawat inap khusus itu nampak sepi, Ari masih berdebar-debar saat masuk ke dalamnya."Tidurlah, Nak! Semua baik-baik saja. Jangan menangis lagi ya!" Suara menenangkan jiwa itu membuat langkah Ari terhenti.Rossi dengan penuh kasih sayang, mengelus pelan punggung Anin yang tengah terlelap berada dalam pelukannya."Cepatlah sehat anak Mama, kau harus tertawa ceria lagi seperti biasanya."Sungguh pemandangan yang mempesona. Andai setiap hari dia melihat kenyataan i

  • Serpihan Hati   Apa maumu

    Bagian 53Berbincang-bincang dengan Azam, membuat mood booster Shinta kembali membaik. Kini dia duduk pada kursi roda di dorong pelan oleh Azam, menuju ruang rawat inap Anin. Tentunya setelah melalui perdebatan panjang dengan perawat agar mau melepas infus yang terpasang sempurna di tangan Shinta."Nanti Ari bisa marah kak." Ucap Azam enggan menuruti kemauan Shinta. Dasar keras kepala, bukannya menyerah Shinta malah menyakinkan Azam dengan berbagai alasan."Aku sudah sembuh, Ari juga tidak akan berani marah kepadaku, dia sangat mencintaiku." ucap Shinta penuh percaya diri. Dalam hati masih gamang, demi bisa segera melihat Anin, dia harus terlihat menyakinkan."Baiklah, akan aku hadapi si pria bernama Ari, demi dirimu kakakku tersayang.""Panggil dia dengan sebutan yang benar Azam, dia lebih tua darimu." Wajah Azam berubah kecut.Bisakah dia melihatku sekali saja. Selalu saja pria sialan itu yang ada di otaknya.

  • Serpihan Hati   Bagian 52

    Bagian 52"Ar, kenapa kau tidak mengatakannya?""Maaf!" Udin dan Azam menatap tak percaya kepada Ari. Bukankah info yang beredar adalah pria ini angkuh dan sombong, tapi dengan mudahnya meminta maaf kepada Shinta."Tata, ini kami lakukan sebab kau belum sadar sejak kemarin. Ari ingin agar kau fokus pada kesehatanmu terlebih dahulu." Udin merasa perlu menjelaskan, Azam jadi kesal dibuatnya. Untuk apa membela laki-laki yang kurang bertanggung jawab.Kasihan juga melihat kondisi Shinta yang nampak pucat tak berdaya."Iya kak, lagian Anin juga hanya demam biasa." Mata ketiga pria saling bersitatap. Azam juga ikutan bicara? Benarkah, meski ragu Shinta mencoba percaya. Pantas saja naluri keibuannya merasa gelisah."Bisakah aku bertemu anakku?" Shinta seolah meminta persetujuan Ari."Bo-boleh!" Aku akan mengantarmu. "Kapan kita menemuinya?""Bisakah nanti saja? Aku baru sampai, dan kau mengacuhkan aku

  • Serpihan Hati   Kenapa?

    Bagian 51Aku lelah akan rasa iniTerlalu lama aku menahan beban derita berbalut kerinduan, mencoba bertahan dan mengikhlaskan. Berusaha bangkit meski hati masih terpuruk. Bukannya tidak mau untuk memulai, hanya saja aku terlalu takut untuk terluka kembali.Mungkin kau masih perlu ruang untuk sekedar melepas lelah, tapi ketahuilah tempat ternyaman untuk melakukannya adalah bersandar pada bahuku. Aku peluk, agar lelahmu terobati."Ar, aku ingin pulang!" Pria yang semula memangku laptopnya kini terdiam beberapa saat. Dia meletakkan benda pipih di meja, mendekati Shinta yang masih terbaring."Baru bangun tapi meminta pulang. Kau baik-baik saja?" Ari tidak menyadari kapan mata lentik nan indah itu terbuka sempurna. Dia cukup sibuk dengan pekerjaannya."Aku tidak bisa tidur." Astaga, jadi dari tadi dia hanya pura-pura."Tapi kamu harus istirahat cukup, agar tubuhmu lekas kembali pulih." Bujuk Ari membelai lembut pucuk kepal

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status