Share

Memilih pergi

Bagian 3

"Apa ...?

Kedua gadis itu menoleh ke sumber suara. Shinta malu bukan kepalang. Ibunya Aisyah kini datang secara tiba-tiba.

"Ibu, kapan pulangnya? Kok nggak kedengaran suara mobilnya?" Aisyah meraih tangan ibunya untuk bersalaman. 

"Dari tadi, ibu juga melihat kalian di dapur, namun ibu ganti baju dahulu sebelum menemui kalian." Ibu Aisyah duduk di samping Shinta.

"Nak, apakah benar apa yang ibu dengar tadi? Dan kenapa semua tubuhmu merah merah begini?" Shinta malah meremas kedua tangannya tanpa membuka suara. Matanya mulai berkaca-kaca. 

"Benar, Bu! Dan soal luka memar di punggung, saya memang pantas mendapatkan nya." Shinta sudah mulai terisak kembali. Ibunya Aisyah yang bernama Fitri itu tidak tega melihat punggung Shinta yang telah berubah menjadi merah bahkan kulitnya ada yang mengelupas.

"Tenanglah, Nak! semua akan baik-baik saja. Tenangkan fikiranmu di sini setelah tenang kamu bisa pulang." Fitri mengelus lembut pipi Shinta. 

"Bu Fitri, aku ingin menginap di sini malam ini. Apakah boleh?" Bu Fitri mengangguk pelan. Aisyah merapikan kembali kotak obatnya.

"Rumah ini selalu terbuka lebar untukmu, jadi jangan sungkan, ya!" Sebenarnya Fitri ingin menanyakan lebih detail tentang luka yang didapatkan oleh Shinta. Tapi, diurungkan mengingat hari sudah larut dan Shinta sepertinya perlu istirahat. Matanya terlihat sembab dan wajahnya pucat seperti kapas. 

"Shinta, sepertinya kalian butuh istirahat. Jadi, sebaiknya ibu kembali ke kamar, ya! Selamat malam!" Diangguki oleh kedua gadis itu bersamaan.

Fitri keluar dari kamar sambil mengusap air matanya yang hampir menetes. "Semoga kamu diberi kekuatan oleh_Nya, Nak." Fitri menutup mulutnya lalu kembali ke kamar.

~

~

Sesuai apa yang ada di dalam otaknya, pagi ini Fitri mengajak Shinta bicara dari hati ke hati. Dengan sabar Fitri mendengarkan cerita Shinta, juga ditemani oleh Aisyah, kini ketiganya sama-sama menangis. 

"Kamu yang sabar, ya, Shin," ucap Aisyah sambil memeluk erat tubuh Shinta. 

"Iya, tinggalah di sini saja, kami tidak keberatan malah kami senang rumah ini jadi ramai," bujuk Fitri. 

"Tante, maafkan Shinta. Shinta tidak pantas berada di rumah ini. Shinta tidak mau kehadiranku mengotori rumah yang damai dan tenang ini." 

"Shinta, apakah kau menganggap diriku orang lain?" Tatapan sendu Aisyah semakin menguatkan tekad Shinta untuk segera pergi dari rumah itu. Dia sudah diusir dari rumahnya sendiri rumah yang seharusnya bisa memberi dia ketenangan dan perlindungan di saat dia terpuruk. Lalu mengapa dia harus menjadi parasit bagi rumah orang lain? Bagaimana jika nanti orang lain tahu bahwa keluarga Aisyah menyimpan gadis hamil di luar nikah, tentu akan mempengaruhi kelangsungan hidup Aisyah dan keluarganya.

"Sebab aku sayang kalian, aku tidak ingin membebani kalian dengan masalah ini. Cukup aku saja yang memikulnya. Aku hanya_" Shinta menatap nanar kedua wanita di hadapannya. Keduanya nyata sekali memiliki rasa sayang terhadap dirinya, tapi tidak semudah itu. Andai dia bukanlah orang yang berbadan dua dengan cara berzina, tentu orang tuanya juga menyanyangi dirinya seperti yang di tunjukkan oleh Aisyah dan Rena.

"Katakanlah Shinta." Fitri dan Aisyah saling pandang menanti kelanjutan ucapan Shinta.

"Bolehkah aku meminjam uang kepada kalian? Setidaknya uang itu akan aku gunakan untuk kebutuhan ku sebelum dapat pekerjaan." Shinta menggigit bibir lalu menunduk. "Aku akan kembalikan nanti jika sudah punya uang," ucap Shinta semakin tergugu.

"Nak, apakah kau sudah memikirkannya masak-masak? Keadaan ka_"

"Tante, aku mohon!" Shinta akan semakin tidak berdaya jika terus dibujuk. Jadi satu-satunya cara adalah keras kepala dan segera pergi dari sana. 

Aisyah sudah kehabisan akal untuk membujuk Shinta lebih lama tinggal. Dia memberikan beberapa potong pakaian miliknya untuk baju ganti Shinta. Sambil mengemas pakaian dia menitikkan air mata. 

"Aisyah, hai, kenapa kamu menangis?" Shinta berusaha tegar dengan tidak menangis lagi. Membuang air mata hanya akan membuatnya semakin terpuruk.

"Tidak! Aku hanya tidak bisa membayangkan kehidupan apa yang kamu jalani di luar sana nanti!" 

"Aisyah, yakinlah kepadaku. Aku akan berusaha menjadi lebih baik. Aku tidak akan pernah lagi mengulangi kesalahan yang sama." 

"Bukan itu maksudku, dunia ini terlalu liar Shin, Aku ... !" Shinta langsung memeluk sahabatnya erat. 

"Aku akan baik-baik saja." Shinta lebih menguatkan tekadnya untuk segera pergi. 

Setelah semua siap Shinta pamit kepada Fitri dan Aisyah. Fitri menyodorkan sejumlah uang yang di sebutkan oleh Shinta. 

"Jangan pernah berpikir untuk mengembalikan uang ini, atau tante tidak mau lagi mengenalmu." Shinta menerima amplop coklat yang di sodorkan oleh Fitri. 

"Tapi, Tante."

"Kamu terima atau aku tidak mengizinkan kamu pergi," ancam Fitri. 

Akhirnya Shinta benar-benar meninggalkan rumah sahabatnya. Dengan menenteng tas jinjing yang ringan. Shinta menyusuri jalan tanpa arah tujuan. Rasa lelah dan letih mulai menghampiri dirinya. 

"Nak, kamu harus kuat, ya! Kita berjuang sama-sama. Bantu mama untuk menghadapi kenyataan ini." Shinta segera menghapus air matanya yang hampir menetes. "Tidak! Aku tidak mau lagi meneteskan air mata." 

Shinta kembali menyusuri jalanan dia lupa jika belum makan apa-apa sesudah sarapan di rumah Aisyah. Kita beli nasi kucing ya, Sayang!" Shinta mengelus perutnya yang masih rata. Lalu, bergegas menyebrang jalan di mana ada penjual nasi kucing berada. 

"Maafkan mama, Nak! mama hanya bisa memberikan ini kepadamu, tapi mama janji, jika akan berjuang dan setelah mama sukses kita akan makan yang enak, ya, Sayang." Shinta memberi harapan palsu kepada buah hatinya. Sedangkan saat ini tempat tinggal saja dia tidak punya. 

Shinta kembali mencari penginapan yang ramah di kantongnya. Akhirnya menemukan kontrakan di tempat yang kumuh. Shinta menghela nafasnya berat, kacamatanya terlihat kotor. Dia mengusapnya dengan ujung daster lalu memakainya kembali.  Membersihkan ruang kontrakan yang jauh dari kata bersih. Mungkin cuma sepertiga kamarnya di rumah.

Dahulu Shinta begitu disayang dan dimanja segala keinginannya terpenuhi tanpa harus repot mengeluarkan keringat. Sekarang dia harus banting tulang agar bisa mendapatkan sesuap nasi sebagai pengganjal perut. Shinta mencoba memulai usaha dengan menjual gorengan. Meski hasilnya tidak seberapa tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Pagi ini, entah apa yang terjadi dengannya perutnya terasa kram. Shinta memutuskan untuk memeriksakan kandungan ke klinik terdekat. 

"Mbak, mau periksa kandungan juga, ya?" Sapa seorang ibu yang perutnya mulai membesar. 

"Iya, Mbak," jawab Shinta. Dia melihat ibu hamil ini juga sendiri apakah nasibnya juga sama seperti dirinya, batin Shinta.

"Mana suaminya, Mbak?" tanya ibu itu lagi. Shinta bingung harus menjawab apa. Jika jujur tentu sama saja membuka aibnya sedangkan dia tidak memiliki suami. 

"Kalau, Mbak sendiri, apa juga datang bersama suami?" Shinta memutuskan nanya balik saja. 

"Itu suami saya mengurus menebus obat di sana, dia tidak ingin aku kecapekan." Bahagia sekali wajah ibu hamil di hadapannya itu. Sedangkan dia, jangankan perhatian bahkan ayahnya sudah tidak menerima kehadirannya. Andai dia bisa mempertahankan kehormatannya mungkin ceritanya akan berbeda.

"Sayang, sudah selesai semuanya. Mari kita pulang." Seorang pria menghampiri ibu hamil di sebelah Shinta. Pria itu menuntun istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Bahkan rela membawa tas Selempang milik istrinya.

"Mbak, aku pulang duluan, ya!" Shinta menatap sendu kepergian pasangan suami istri itu, hingga dia tidak sadar namanya di panggil beberapa kali. 

"Ibu Shinta, jangan terlalu capek, ya! Harus banyak banyak istirahat. Keadaan bayinya sehat, usianya sudah memasuki sembilan minggu. Semua normal, hanya saja kegiatannya yang harus di kurangi Ibu. Dan pola makannya harus teratur ya, Ibu." Shinta hanya mengiyakan saja. 

"Apakah suami ibu tidak menemani ibu?"

Deg...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status