Share

Bab 3. Tak Sadar

“Ibu tidak tahu ada masalah apa dengan rumah tangga kalian. Beberapa hari ini Arum selalu datang ke Panti kalau siang hari. Mungkin saja saat Nak Arga sedang bekerja. Dia mengaku tak izin dulu, membuat Ibu selalu menegurnya. Ibu tahu itu bukanlah sifatnya, bahkan sebelumnya Arum tak pernah ke sini tanpa mengabari Nak Arga dulu. Dia pernah bilang izin suami adalah Ridha Allah. Namun, terus terang ibu sempat khawatir melihat tingkahnya yang tak biasa. Gurat wajahnya menyiratkan akan kesedihan, berkali-kali dia selalu melamun bahkan saat kami sedang mengobrol.”

Benarkah yang dikatakan Bu Rina? Sebenarnya masalah apa yang sedang dihadapi Arum istriku? Setahuku kami tak ada masalah apa pun. Bahkan jika bersamaku ia tak pernah menunjukkan gelagat yang mencurigakan. Tetap menjadi Arum yang seperti biasanya.

Apa aku saja yang kurang peka padanya?

Teringat beberapa hari sebelum aku ke Bandung, dia selalu memberikan perhatian seperti biasa. Tak ada hal yang mencurigakan darinya, bahkan aku ingat Arum semakin memperlakukanku dengan baik melebihi hari biasa. Saat itu kupikir, dia hanya ingin melakukan baktinya sebagai istri.

Namun, ada yang berubah dari istriku itu ketika suatu malam ia memakai dres di atas lutut, menggerai rambutnya yang tercium wangi, serta berdandan dengan memakai riasan yang menurutku cukup tebal seperti Erika. Itu bukan kebiasaan istriku, Arum.

Saat itu aku merasa heran ketika melihatnya, tak seperti biasa ia berdandan berlebihan. Selama ini wajah Arum cukup hanya dipoles dengan riasan yang sangat sederhana. Akan tetapi, tak mengurangi kecantikannya. Namun, tiba-tiba saja malam itu penampilan istriku berubah, hingga malam itu pula aku menegur Arum.

“Sayang, kenapa kamu berpenampilan seperti ini?” tanyaku yang merasa terkejut melihat perubahan darinya.

“Memangnya kenapa, Mas? Apa Mas enggak suka melihatnya? Kukira ... Mas Arga menyukai wanita yang penampilannya seperti ini,” gumamnya dengan suara lirih.

“Bukan seperti itu. Mas hanya enggak suka kamu berpenampilan berlebihan begini. Jadilah dirimu sendiri, Sayang. Mas suka kamu yang seperti sebelumnya.” Ia hanya tersenyum kecil. Entah kenapa setelah itu Arum lebih pendiam dari sebelumnya. Dia tak seceria biasanya hanya diam membisu, bahkan saat percintaan kami pun Arum bergeming dengan pasrah.

Mungkinkah dia kecewa saat itu? Kenapa aku baru sadar sekarang? Apa iya dia marah gara-gara hal kecil semacam itu?

Yang kukatakan benar, bukan? Bahwa memang Arum lebih cocok berpenampilan sederhana. Sesuai dengan kepribadiannya. Aku lebih suka istriku yang seperti itu.

‘Kalau benar Arum marah karena perkataanku, aku harus meminta maaf padanya. Aku menyesal sudah membuatnya sakit hati. Maafkan Mas, Sayang.’

Namun, masalahnya bagaimana aku bisa meminta maaf. Di mana ia sekarang? Bahkan, kabarnya pun aku tak tahu.

“Ya sudah, Bu. Saya pamit dulu kalau begitu. Saya mohon, ibu kasih tahu saya, kalau ada kabar tentang Arum,” ujarku pamit.

“Tentu, Nak, Arga.”

"Ini saya ada rezeki sedikit untuk anak-anak.

Semoga bisa bermanfaat untuk mereka."

Karena tak mendapatkan berita apa pun, aku berpamitan setelah menyerahkan uang di dalam amplop yang sengaja kusiapkan untuk anak-anak panti. Itulah kebiasaan rutin kami, terutama Arum lah yang sering mengingatkan kegiatan amal satu ini. Katanya, siapa tahu dengan do’a dari anak panti yang sudah seperti adiknya itu, membuat kami cepat-cepat dikaruniai keturunan. Sudah dua tahun pernikahan, tapi istriku belum ada tanda-tanda hamil juga.

Meski berkali-kali kami mengecek kondisi kesuburan dan hasilnya baik-baik saja, Arum tetap saja merasa kecewa karena belum juga hamil. Sejujurnya, aku pun sama inginnya dengan dia, tetapi aku tak mau mempersalahkan hal ini di hadapan istriku. Yang pasti kalau sudah saatnya kami juga akan dikaruniai keturunan seperti pasangan yang lain.

Saat hendak menuju tempat parkir, salah seorang anak menghampiri. Masih kuingat, dia Ivan anak Panti ini yang berumur delapan tahun. Aku tahu karena bocah ini sangat dekat dengan Arum. Dia berlari tergopoh-gopoh lalu mendekat dan menyerahkan sesuatu di tangannya. Selembar kertas yang dilipat, saat kubuka dahiku mengernyit melihat isinya. Apa maksudnya tulisan ini?

“Kak, dua hari yang lalu saat Kak Arum ke sini. Dia menjatuhkan kertas ini. Aku tadi mendengar perkataan Kakak dengan Bu Rina. Kumohon, temukan cepat-cepat Kak Arum, Kak,” mohonnya. Dia terlihat berbicara dengan mata yang berkaca-kaca. Begitu berartinya istriku untuk semua orang.

“Iya, Dek. Kakak akan mencari Kak Arum sampai ketemu,” ucapku sambil menyejajarkan tubuh kami. Kuusap rambutnya dengan sayang. Lalu pergi dengan berjuta pertanyaan dalam benak.

Apa maksud kata-kata Arum? Kubuka kembali suratnya. Meneliti siapa tahu ada petunjuk yang lebih lanjut. Namun, aku tak menemukan apa pun.

Haruskah kusewa detektif untuk mencarinya?

Jujur aku sangat mengkhawatirkan istriku. Saat dalam perjalanan untuk kembali ke rumah, suara dering ponselku terdengar. Tercantum nama Erika di sana. Ada apa istri mudaku menghubungi?

“Halo, Ga. Ini Ibu, Erika terjatuh di kamar mandi. Dia pendarahan. Saat ini kami sedang menunggunya yang sedang ditangani dokter. Kamu bisa ke sini, ‘kan?” tanya Ibu mertuaku terdengar lirih. Beliaulah orang tua kandung Erika.

Apa ini? Masalah apa lagi yang terjadi dalam hidupku? Bahkan keberadaan Arum saja belum kutemukan, sekarang ada masalah lagi dengan istri mudaku. Bagaimana ini? Haruskah kutemui Erika di Bandung dan mengabaikan keberadaan Arum?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
PopuJia
Semangat, Kak.
goodnovel comment avatar
Fitriyani Puji
makanya jadi org jngn bnyak tinkah istri baik di dua kan itu karma moga erika keguguran dan rahim nya di angkt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status