Share

Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin
Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin
Penulis: Aura Kisah

PART 01

      “Mama...”

       Nagita spontan menoleh. Noni, gadis kecilnya, mengikutinya dari belakang bersama Bi Ipah, sang asisten rumah tangga yang akan mengantar dan menunggunya di sekolah TK-nya.

      “Iya, Sayang, ada apa...?” tanya Nagita sembari sedikit membungkukkan tubuhnya agar ia bisa menatap wajah imut  itu dengan sempurna dari dekat.

      “Mama tak lupa kan hari ultah Noni besok?”  

      Kedua alis Nagita tertarik ke atas sehingga kedua bola matanya pun sedikit melebar.

      “Oh iya ... tentu Mama ingat, dooong.”

      “Tau nggak, Mam, Noni sudah cerita sama teman-teman Noni bahwa acara ultah Noni akan diadakan di sebuah kafe atau restoran,” ucap Noni girang dengan wajah polosnya.

      “Noni ...!!” spontan Nagita meninggikan suaranya.  “Kenapa kaulancang seperti itu? Mama ini lagi nggak pegang uang banyak. Kaukira ngadain pesta di kafe atau di restoran itu biayanya sedikit, heh!? Mama dan ... apalagi papamu, tak akan mampu memenuhi keinginanmu itu, ngerti!? Pesta ultahmu di rumah  saja! Jangan manja, ah!”

      “Ada apa ribut-ribut, Dik?” Raditya Pambudi tiba-tiba bertanya. Laki-laki muda itu baru keluar dari kamarnya dan bersiap untuk berangkat kerja.

       Nagita langsung melipat kedua tangannya di depan dadanya sembari menghela nafas panjang. “Nih, Mas jangan lupa kalau besok Noni ulang tahun. Dia minta agar perta ultahnya diadakan di sebuah kafe atau restoran segala ...!” ucapnya dengan nada dan wajah sedikit sinis.

      Radit seperti dibuat kaget dengan ucapan istrinya itu. Bukan kaget karena ucapan istrinya yang terakhir, tapi karena ia diingatkan tentang ultahnya Noni. Ia langsung menepuk dahinya sendiri.  Lalu dengan sikap tenang dan penuh kasih sayang ia berlutut dan memegang kedua lengannya buah hatinya yang kecil.

      “Maafkan Papanya ya, Sayang? Papa benar-benar lupa kalau gadis kecil Papa besok akan berulang tahun. Tapi jangan khawatir, keinginan putri cantik Papa akan terlaksana! Perta ultahnya Noni ingin diadakan di mana tadi ...?”

      “Noni sudah bilang sama teman-teman Noni akan diadakan di sebuah kafe atau restoran, Papa,” sahut Noni. Wajahnya sedikit murung karena ucapan mamanya barusan.

      Radit langsung tertawa bahagia. Tepatnya pura-pura terlihat bahagia, walau perasaannya degdegan luar biasa. Uang dari mana untuk mengabulkan keinginan putri kecilnya itu? Tetapi, karena memang selama ini perta ultahnya Noni selalu diadakan di rumah, maka ia merasa tak tega jika harus menolak keinginannya itu. Ia pun berkata, “Putri Papa yang cantik nggak usah khawatir. Papa dan Mama akan membuat ulang tahun putri Papa menjadi sangat meriah dan berkesan! Ya kan, Mam  ...?”

      Nagita menatap wajah Radit dengan sinis dan geram sesaat, sebelum dengan sikap santai ia ikut berjongkok di samping Noni. Pada saat ekor matanya kembali diarahkan lagi pada sang suami ia berbisik di samping telinga putri kecilnya, “Papamu yang akan membuat hari ulang tahunmu meriah dan berkesan, Sayang. Papamu harus memperlihatkan diri sebagai papa yang hebat di hadapan teman-temanmu besok sore! Besok putri mama yang cantik adalah orang yang paling berbahagian dalam pesta itu.”

      Noni seperti kaget dan spontan menoleh ke wajah papanya, “Benarkan itu, Papa?”

      “Hu’um. Tentu, Sayang.”

       “Horeeeee ...!” Noni langsung berseru kegirangan. “Terima kasih ya, Papa. Noni akan mengundang semua teman-teman Noni diundang di acara ultahku besok. Horeee ....!”

      “I-ya, Sayang, tentu. Tentu putri cantik Papa boleh mengundang semua teman-teman TK-nya. Bila perlu, berikut orang tuanya dan guru-gurunya Noni! Ups ...!”

      Radit seperti tersadar dengan ucapannya.

      Melihat gelagat itu, Nagita segera berkata pelan kepada Noni agar segera berangkat dulu ke sekolah dan meminta kepada Bik Ipah untuk mengantarkannya.

      “Iya, Mama. Papa, Noni berangkat dulu, ya?” Noni mencium tangan Mama, Eyang Putri, dan papanya.

      “I-ya, Sayang. Noni yang senang ya di sekolah?”

      “Iya, Papa.”

      Saat Bik Ipah telah keluar dari rumah bersama Noni, Radit segera menatap wajah Nagita, istrinya, dan berkata, “Dik, Mas kan nggak punya uang buat ngadain pesta ultah itu? Gajian kemarin kan sudah Mas setorkan pada ....”

      “Sekalipun uang gajian Mas belum Mas setorkan ke aku pun, tentu belum cukup buat anggaran pesta itu, Mas!” potong Nagita. “Mas harus putar otak dong, bagaimana caranya untuk mendapatkan biaya pesta ultahnya Noni itu!”

      “I-iya itu pasti. Mas akan berusaha untuk mencari, bagaimana pun caranya. Tapi maksud Mas, ya kau juga bantu Maslah untuk menanggung sebagian biayanya.”

      “Tidak bisa, Mas! Kebutuhan rumah tangga kita sangat banyak. Aku juga punya keperluan mendadak yang tak bisa aku hindari! Masyak hanya buat biaya ultahnya Noni harus patungan juga? Mas itu jangan payah dong jadi seorang ayah! Lagi pula yang berjanji pada Noni barusan kan Mas?!”

      “Benar itu, Nak Radit.” Bu Ratri yang tampaknya ikut mendengar dialog itu ikut bersuara. Wanita paruh baya itu seolah-olah sedang berkata pada layar TV Flat yang sedang dikemocengnya. “Nak Radit harus tampil dengan bangga sebagai seorang ayah di depan putrimu dan semua teman-teman putrimu.”

     Lalu sembari menghentikan kegiatan ringannya itu ia menatap pada Radit dan lanjut berkata, “Dan kebanggaan itu hanya bisa kaurasakan jika semua lantaran kebahagiaan putrimu itu seratus persen berasal dari kamu. Dulu, almarhum papanya Nagita, beliau selalu tersenyum bahagia karena selalu dapat membahagiakan istrimu itu sejak kecil sampai besarnya.”

      “Tuh, dengar kata Mama. Jadi suami dan ayah kok lemah. Kasih bangga ke’ pada anak dan istri! Huh ...!” sindir Nagita dengan wajah kurang ramah dan langsung melangkah ke arah pintu rumah.

      Jika ia sudah berhadapan dengan kedua wanita itu, tentu Radit akan mati langkah tewas kutu. Maka hal yang paling bijak dan terbaik harus ia lakukan saat itu adalah menjawab: “Ba-baik, Bu, tentu saya telah bertekat untuk menjadi suami dan ayah yang baik.  Okey, saya pamit berangkat kerja dulu ....”

       “Eits, jangan lupa juga untuk membahagikan mertuamu ini, dong?!”

      “Oh, tentu, Bu. Assalamualaikum.”

      “Hmm, waalaikumsalam.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status