Radit langsung keluar dari rumah tanpa sempat lagi untuk menyodorkan tangannya kepada Nagita untuk dicium. Saat itu pun Nagita sudah lebih dahulu melangkah keluar dari rumah dan langsung menuju mobilnya yang terparkir di halaman depan rumah. Radit sendiri berangkat kerja dengan naik sepeda motor, seperti biasa. Posisi sang istri itu memang lebih tinggi di perusahaannya tempatnya bekerja. Sementara Radit sendiri hanya pegawai administrasi biasa di perusahaan yang berbeda.
Ketika mulai menjalankan mobilnya, Nagita memberitahukan Radit yang saat itu sudah duduk menghidupkan sepeda motornya bahwa dia akan jalan. Radit membalasnya dengan lambaian tangan.
Belum lagi jauh ia melaju di jalanan yang mulai padat, ponsel dalam tasnya berbunyi. Nada panggil.
Saat melihat siapa yang panggil, wajah Nagita langsung berubah cerah. Senyumannya mengembang. Dengan cepat ia memasang headset di kedua telinganya.
“Pagi, Ganteng. Ini masih dalam perjalanan. Ganteng sendiri di mana? Oh ... sudah di kantor?”
“Iya, nih, ada pekerjaan yang harus aku tangani cepat,” sahut seorang laki-laki di seberang. Ia bernama Danish. Seorang lajang. Usianya jauh lebih muda daripada Nagita. “Em, BTW, dana buat acaraku sudah Mbak Cantik siapkan belum?”
“Sudah, dong. Ganteng nggak usah khawatir. Nanti sampai di kantor Mbak langsung transfer, ya? DP untuk tempat acaranya sudah Ganteng bayar, kan?”
“Sudah, Mbak Cantik. Kalau gitu, makasih ya ...?”
“Ya, masama, Ganteng.”
“Oh ya, Mbak Cantik adalah tamu yang teristimewa dalam acaraku besok.”
“Waw, perasaan Mbak seperti melayang di atas pelangi, nih. Terima kasih ya, Ganteng? Danish juga adalah pemuda yang spesial bagi Mbak.”
* * *
Konsentrasi Radit kurang fokus pada tugas yang sedang ditanganinya. Hanya mata yang tertuju pada layar komputer dan tangan di atas mouse, namun benaknya masih terus memikirkan cara untuk mendapatkan uang buat biaya pesta ultahnya Noni. Bagaimanapun, ia sudah berjanji pada buah hati kecilnya itu untuk membuat pesta ultahnya lebih berkesan dari pesta ultahnya sebelum-sebelumnya.
“Apakah aku harus mengajukan kasbon saja pada kantor, ya? Tapi ... apa mungkin kantor bersedia memberiku kasbon minimal sepuluh juta?” gumamnya resah seolah-olah pada dirinya.
Ia menghela nafas panjang sembari mengusap wajah hingga ke bagian belakang rambutnya, seolah-olah ingin menghalau rasa gundah di hatinya. Dan tiba-tiba wajah papanya muncul dalam benaknya, membuat wajahnya merubah menjadi cerah.
“Papa!” ucapnya agak keras. Untungnya para karyawan lain sedang konsen pada tugasnya masing-masing, sehingga mereka tidak terpancing oleh suaranya.
Namun, ketika ia memikirkannya ulang, wajahnya pun berganti murung. Ia menggeleng-geleng kuat. “Tidak!” desahnya. “Aku tidak akan pernah meminta bantauan apa pun kepada Papa, sampai waktu yang kuikrarkan! Yah, benar seperti kata Nagita, aku tidak boleh menjadi ayah yang lemah. Aku harus mendapatkan uang itu, bagaimanapun ....”
“Pak Radit ...?”
“Eh, i-iya ...?”
Radit spontan bangkit dari kursi kerjanya dan membalikkan tubuhnya. Bu Ningrum telah berdiri di hadapannya.
“Oh, Bu Ningrum. Ada yang perlu saya bantu, Bu?”
“Iya, Pak Radit. Pak Radit bisa ikut ke ruang kerja saya?”
Sesaat Radit menatap wajah sang manajer personalia yang masih muda, gadis, dan cantik itu.
“Bisa ...?”
“Oh, bisa, Bu, bisa. Tentu saja.”
Bu Ningrum tersenyum pendek lalu membalikkan badannya, melangkah ke ruang kerjanya yang berada di ujung lorong. Radit berjalan mengikuti dari belakang.
Ruangan kerja Bu Ningrum sudah beberapa kali Radit masuki jika sang atasannya itu memanggilnya. Sebuah ruangan yang tertata rapi dengan ciri khas ruangan seorang pejabat penting wanita dalam sebuah perusahaan.
“Silakan duduk, Pak Radit.”
“Terima kasih, Bu.”
“Begini, Pak Radit. Saya ingin membicarakan tentang sebuah proposal yang akan disodorkan pada sebuah perusahaan calon mitra baru kita. Ini juga lagi-lagi atas saran Pak Dirut untuk merancang dan menganalisisnya dengan Pak Adit. Ya seperti biasanya. Dan Pak dirut mengatakan ....”
Kriiing ... kriiing ...!
Bu Ningrum tak melanjutkan kalimatnya karena telepon kantor di sampingnya berdering.
“Maaf, sebentar ...,” ucap Bu Ningrum pada Radit sembari tersenyum dan mengangkat gagang telepon. “Oh iya, Pak, kebetulan ini orangnya sedang berada di ruangan saya untuk membahas proposal itu, Pak. Hm ... oh, baik, Pak. Sama-sama.”
Setelah meletakkan kembali gagang telepon pada tempatnya, Bu Ningrum melihat kepada Radit dan berkata, “Nampaknya pembahasan ini harus dilanjutkan lain waktu, Pak Radit. Mungkin nanti atau besok.”
“Kenapa, Bu ...?”
“Pak Dirut meminta pada Pak Radit agar menghadap beliau di ruang kerjanya.”
Kedua alis Radit terangkat. “Pak Dirut meminta saya menghadap? Wew, kira-kira ada apa ya, Bu? Apa mungkin saya telah melakukan sebuah kesalahan ...?”
Bu Ningrum tersenyum mendengar ucapan Radit dan mimik kegugupannya. “Berprasangka baik saja, Pak Radit. Mungkin ada sesuatu hal urgen yang ingin Pak Direktur bahas dengan Pak Radit. Saat ini Pak Radit sedang ditunggu.”
“Oh, baik, Bu. Kalau begitu saya langsung ke sana. Permisi.”
“Silakan, Pak Radit.”
Pada saat yang sama, Pak Gunawan Dimitra, Dirut perusahaan, sedang berbicara santai dengan seseorang melalui sambungan telepon kantornya. “Ingat pesan saya, Pak Gunawan, jangan sampai dia mengetahui hal apa pun tentang pemberian itu. Sebab seperti yang saya katakan tadi, jika dia tahu bahwa itu bantuan dari saya, dia bakalan marah dan menolak, sekalipun tujuan saya hanya ingin ikut menyenangkan hati cucu saya di hari ulang tahunnya. Dia sudah mersumpah untuk membangun rumah tangan impiannya dan mendidik anak-anaknya dalam kondisi jauh dari kemewahan dulu. Dan untuk sekian kalinya saya harus mengingatkan Pak Gunawan, jangan pernah memperlakukan dia secara istimewa. Perlakukan secara wajar sebagaimana karyawan pada umumnya.” “Baik, Pak. Tentu saya akan menjadi melaksanakan semua petunjuk Bapak dengan baik.” Ketukan di pintu membuat ia harus mengakhiri pembicaraan lalu berkata, “Ya, silakan masuk...!” Bersamaan dengan pintu terkuak, terlihat wajah Radit. “Maaf, Bap
Radit menghela nafas panjang sembari mengalihkan tatapannya ke wajah Nagita. “Astaghfirullahal adziim. Sejak kapan Mas berbohong ke kamu, Dik? Kalau Dik tak percaya, ya boleh Dik tanyakan pada Pak Dirutnya Mas.” “Oke, oke, oke...!” potong Nagita. “Mas dikasih bonus berapa?” “Ya, cukup untuk biaya acara ultahnya Noni itu, Dik.” “Memangnya seluruh biaya di kafe itu berapa? Mas baru bayar DP-nya berapa?” “Seluruhnya dua puluh juta, Mas baru bayar setengahnya.” “Dua puluh juta ...?” Kedua mata Nagita langsung membeliak. “Kok mahal sekali, Mas? Apa itu ngfak berlebihan?” Radit tersenyum, dan, “Karena Mas ingin memenuhi janji Mas pada Noni untuk membuat pesta ultahnya meriah, ya tentu harus disiapkan acara pestanya yang bagus. Ya sekali-sekali, Dik, karena selama ini kan ultahnya Noni hanya diadakan secara sederhana di rumah ini.” “Iya, aku paham. Lantas ... Mas dapat bonus berapa dari kantor?” “Lima puluh juta,” sahut Radit, seolah-o
Saat melintas di sebuah jalan yang akan memasuki wilayah Tangsel, tanpa sengaja Radit melihat sebuah mobil Baleno merah yang sangat dikenalnya terparkir di sebuah restoran. Dengan spontan ia membelokkan sepeda motornya ke areal parkir restoran itu. Baru saja ia mematikan mesin sepeda motonya, ia melihat Nagita keluar dari restoran besar itu. “Dik, kau malah di sini?” Nagita sangat kaget dengan keberadaan Radit di tempat itu. Tapi hanya sesaat. Kemudian dengan santai ia menjawab, “Iya, ada acara penting kolega. Dan Mas sendiri kenapa ada di sini? Apakah acaranya sudah selesai?” Saat Radit hendak menjawab, beberapa orang laki-laki muda bersama pasangan mereka keluar dari restoran. Kepada Nagita para pasangan itu melambaikan tangan mereka kepada Nagita dan dibalas oleh Nagita dengan hal yang serupa. Seorang pria muda yang keluar sendirian langsung berjalan mendekati Nagita dan berkata, “Terima kasih ya, Mbak Cantik, atas bantuan dananya, sehingga acaraku terlaksana
“Sekarang tubuhmu agak melorot, Dit? Agak kurusaan, dan wajahmu tidak sesegar dulu,” ucap Pak Karim sembaru mengiris steak daging di piringnya untuk kemudian memasukkannya ke mulut dengan menggunakan garpu. Saat itu ia mengajak Radit untuk menikmati makan sore di sebuah restoran di daerah Cengkareng. “Biasalah, Pap, aku kan sudah berkeluarga, dan bukan lagi seorang pemuda manja yang hanya bisa menikmati segala fasilitas yang Papa sediakan seperti dulu. Kan Papa tadi sudah bilang, bahwa aku sedang berpetualang untuk mencari jatidiri. Hehehe ...,” sahut Radit. Ayah dan anak itu pun tertawa bersama. “Rumah terasa sangat sepi sejak tak ada kamu, Dit. Lebih-lebih ruang batin Papa,” ucap Pak Karim. “Lantas kapan rencanamu membuka semua tentang jati dirimu pada anak dan istrimu? Papa juga sangat merindukan cucu papa yang cantik dan mungil itu.” “Masih butuh waktu lagi, Pap,” sahut Radit seolah-olah pada steak daging yang sedang diirisnya. “Jujur, menantu Papa itu masi
“Pak Radit...?” “Eh, iya, Bu Ningrum...?” Agak tergagap Radit menjawab panggilan atasannya itu, sehingga ia memasukkan begitu saja barang-barangnya ke dalam tak kerjanya. Ia bersiap akan pulang. “Pak Radit bisa lanjut membantu saya untuk menyusun proposal yang tak jadi kita susun tempo hari?” “Malam ini, Bu?” “Iya, Pak. Pak Dirut ingin proposal itu selesai malam ini agar bisa diajukan esok hari. Bagaimana, apakah Pak Radit bisa?” Jika itu permintaan Pak Dirut, tentu sangat sulit baginya untuk menolak. Beliau sudah sangat baik terhadapnya pada momen ia sedang kritis keuangan. Memang, selama ini ia dan Bu Ningrum, sang manajer muda itu itu, selalu diminta oleh beliau untuk bekerja sama dalam menyiapkan surat-surat jenis itu. Proposal hasil penyusunan mereka itu selalu lolos dan terima oleh calon perusahaan mitra. Radit pun akhirnya mengangguk tegas. “Tentu, Bu. Pasti bisa. Sekarang ya, Bu.” “Iya, Pak Radit. Mudah-mudahan kita bisa
Diskusi Radit dengan Bu Ningrum terhenti oleh nada panggilan di ponselnya. Mengetahui bahwa yang memanggil adalah Nagita, Radit segera mengangkat ponselnya, setelah meminta maaf kepada Bu Ningrum. “Ya Dik, assalamualaikum ....” Tanpa menjawab salam, Nagita langsung saja mengutarakan maksudnya dengan nada yang masih tak ramah. Kayaknya ia masih menyimpan kemarahannya. “Ntar Mas pulang mampir dulu ke restoran! Aku dan ibu belum makan, nih!” “Oh, i-iya, Dik. Siap ...!” “Kok teleponnya hanya sebentar, Pak Radit?” “Oh iya, Bu. Istri saya hanya ingin menyampaikan sebuah pesan. Maaf, sampai di mana tadi, Bu?” Bu Ningrum menatap wajah laki-laki di depannya dengan sedikit tersenyum. Sesungguhnya, ia dapat membaca kegundahan di wajah laki-laki itu. Namun ia hanya pura-pura tidak menyadarinya saja. Pada saat yang sama, pikiran Radit memang sudah tidak fokus lagi. Di benaknya hanya terbayang wajah tak suka Nagita. Namun ia tetap berusaha un
Sebenarnya, Radit menginginkan sang istri menjadi ibu rumah tangga biasa saja dan mengurus Noni yang saat itu masih balita dan membutuhkan perhatian penuh dari ibunya. Tetapi Nagita bersikeras ingin menjadi wanita pekerja dan berkarier. “Lagian, Mas, kan sayang juga kan jika ijazah sarjana luar negeriku nggak diaplikasikan di dunia kerja,” ucap Nagita saat itu. Sebuah alasan yang memang logis, dan membuat Radit tak punya argumen apa pun untuk melarangnya. “Baiklah kalau begitu, Dik,” Radit akhirnya mengamini.. “Kausiapkan saja surat-surat yang dubutuhkan untuk melamar. Aku akan coba memasukkannya ke sebuah perusahaan. Kebetulan di perusahaan itu aku punya kenalan. Ya, bisa dikatakan sebagai pejabat penting dalam perusahaan itu. Siapa tahu dia bisa membantu.” “Jadi...aku tak perlu memasukkannya sendiri?” “Tak perlu. Dik tinggal tunggu panggilan saja.” Saat mengantarkan surat lamaran istrinya ke perusahaan yang dimaksud, Radit mewanti-wanti
Saat mereka menikmati hidangan dengan kepiting Alaska, baik Ningrum maupun Radit hanya sekali-sekali membicara sesuatu hal. Dan itu pun didominasi oleh Ningrum. Entah mengapa, saat itu ia merasa jauh lebih dekat dengan bawahannya itu. Ia lebih sering melihat ke depan. Ia juga merasa, behwa ternyata Raditya pria yang simpatik, juga tampan, tentunya. Hal yang selama ini seolah-olah luput dari penilaiannya. Saat keduanya sedang menikmati makan siang itu, kegiatan tangan Radit di atas piring tiba-tiba terhenti. Pandangan matanya terpaku pada dua tamu restoran yang saat itu mengambil meja di pojok lain ruangan restoran. Itu adalah Nagita bersama seorang laki-laki. Radit merasa tak asing dengan laki-laki yang datang bersama istrunya itu. Tanpa diketahui oleh Ningrum, Radit terus mengarahkan pandangannya ke arah itu. Ketika tiba-tiba laki-laki itu melap bagian wajah Nagita menggunakan tisu, darahnya berdesir cepat. Saat itu juga ia merasa telah dicurangi oleh Nagita. Selera