Share

PART 02

      Radit langsung keluar dari rumah tanpa sempat lagi untuk menyodorkan tangannya kepada Nagita untuk dicium. Saat itu pun Nagita sudah lebih dahulu melangkah keluar dari rumah dan langsung menuju mobilnya yang terparkir di halaman depan rumah. Radit sendiri berangkat kerja dengan naik sepeda motor, seperti biasa. Posisi sang istri itu memang lebih tinggi di perusahaannya tempatnya bekerja. Sementara Radit sendiri hanya pegawai administrasi biasa di perusahaan yang berbeda.

        Ketika mulai menjalankan mobilnya, Nagita memberitahukan Radit yang saat itu sudah duduk menghidupkan sepeda motornya bahwa dia akan jalan. Radit membalasnya dengan lambaian tangan.

       Belum lagi jauh ia melaju di jalanan yang mulai padat, ponsel dalam tasnya berbunyi. Nada panggil.

      Saat melihat siapa yang panggil, wajah Nagita langsung berubah cerah. Senyumannya mengembang. Dengan cepat ia memasang headset di kedua telinganya.

      “Pagi, Ganteng. Ini masih dalam perjalanan. Ganteng sendiri di mana? Oh ... sudah di kantor?”

      “Iya, nih, ada pekerjaan yang harus aku tangani cepat,” sahut seorang laki-laki di seberang. Ia bernama Danish. Seorang lajang. Usianya jauh lebih muda daripada Nagita. “Em, BTW, dana buat acaraku sudah Mbak Cantik siapkan belum?”

      “Sudah, dong. Ganteng nggak usah khawatir. Nanti sampai di kantor Mbak langsung transfer, ya? DP untuk tempat acaranya sudah Ganteng bayar, kan?”

      “Sudah, Mbak Cantik. Kalau gitu, makasih ya ...?”

      “Ya, masama, Ganteng.”

      “Oh ya, Mbak Cantik adalah tamu yang teristimewa dalam acaraku besok.”

      “Waw, perasaan Mbak seperti melayang di atas pelangi, nih. Terima kasih ya, Ganteng? Danish juga adalah pemuda yang spesial bagi Mbak.”

* * *

       Konsentrasi Radit kurang fokus pada tugas yang sedang ditanganinya. Hanya mata yang tertuju pada layar komputer dan tangan di atas mouse, namun benaknya masih terus memikirkan cara untuk mendapatkan uang buat biaya pesta ultahnya Noni. Bagaimanapun, ia sudah berjanji pada buah hati kecilnya itu untuk membuat pesta ultahnya lebih berkesan dari pesta ultahnya sebelum-sebelumnya.

   

      “Apakah aku harus mengajukan kasbon saja pada kantor, ya? Tapi ... apa mungkin kantor bersedia memberiku kasbon minimal sepuluh juta?” gumamnya resah seolah-olah pada dirinya.

      Ia menghela nafas panjang sembari mengusap wajah hingga ke bagian belakang rambutnya, seolah-olah ingin menghalau rasa gundah di hatinya. Dan tiba-tiba wajah papanya muncul dalam benaknya, membuat wajahnya merubah menjadi cerah.

      “Papa!” ucapnya agak keras. Untungnya para karyawan lain sedang konsen pada tugasnya masing-masing, sehingga mereka tidak terpancing oleh suaranya.

      Namun, ketika ia memikirkannya ulang, wajahnya pun berganti murung. Ia menggeleng-geleng kuat. “Tidak!” desahnya. “Aku tidak akan pernah meminta bantauan apa pun kepada Papa, sampai waktu yang kuikrarkan! Yah, benar seperti kata Nagita, aku tidak boleh menjadi ayah yang lemah. Aku harus mendapatkan uang itu, bagaimanapun ....”

      “Pak Radit ...?”

      “Eh, i-iya ...?”

      Radit  spontan bangkit dari kursi kerjanya dan membalikkan tubuhnya. Bu Ningrum telah berdiri di hadapannya.

     “Oh, Bu Ningrum. Ada yang perlu saya bantu, Bu?”

     “Iya, Pak Radit. Pak Radit bisa ikut ke ruang kerja saya?”

     Sesaat Radit menatap wajah sang manajer personalia yang masih muda, gadis, dan cantik itu.

      “Bisa ...?”

      “Oh, bisa, Bu, bisa. Tentu saja.”

   

     Bu Ningrum tersenyum pendek lalu membalikkan badannya, melangkah ke ruang kerjanya yang berada di ujung lorong. Radit berjalan mengikuti dari belakang.

     Ruangan kerja Bu Ningrum sudah beberapa kali Radit masuki jika sang atasannya itu memanggilnya. Sebuah ruangan yang tertata rapi dengan ciri khas ruangan seorang pejabat penting wanita dalam sebuah perusahaan.

     “Silakan duduk, Pak Radit.”

     “Terima kasih, Bu.”

      “Begini, Pak Radit. Saya ingin membicarakan tentang sebuah proposal yang akan disodorkan pada sebuah perusahaan calon mitra baru kita. Ini juga lagi-lagi atas saran Pak Dirut untuk merancang dan menganalisisnya dengan Pak Adit. Ya seperti biasanya. Dan Pak dirut mengatakan ....”

      Kriiing ... kriiing ...!

     Bu Ningrum tak melanjutkan kalimatnya karena telepon kantor di sampingnya berdering.

     “Maaf, sebentar ...,” ucap Bu Ningrum pada Radit sembari tersenyum dan mengangkat gagang telepon. “Oh iya, Pak, kebetulan ini orangnya sedang berada di ruangan saya untuk membahas proposal itu, Pak. Hm ... oh, baik, Pak. Sama-sama.”

     Setelah meletakkan kembali gagang telepon pada tempatnya, Bu Ningrum melihat kepada Radit dan berkata, “Nampaknya pembahasan ini harus dilanjutkan lain waktu, Pak Radit. Mungkin nanti atau besok.”

     “Kenapa, Bu ...?”

     “Pak Dirut meminta pada Pak Radit agar menghadap beliau di ruang kerjanya.”

      Kedua alis Radit terangkat. “Pak Dirut meminta saya menghadap? Wew, kira-kira ada apa ya, Bu? Apa mungkin saya telah melakukan sebuah kesalahan ...?”

     Bu Ningrum tersenyum mendengar ucapan Radit dan mimik kegugupannya. “Berprasangka baik saja, Pak Radit. Mungkin ada sesuatu hal urgen yang ingin Pak Direktur bahas dengan Pak Radit. Saat ini Pak Radit sedang ditunggu.”

     “Oh, baik, Bu. Kalau begitu saya langsung ke sana. Permisi.”

     “Silakan, Pak Radit.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status