Langkah Althea membawanya ke jalan kecil di sisi taman, tak jauh dari restoran. Pepohonan rindang menaungi trotoar sempit yang sepi di siang hari. Angin berembus pelan, menggoyang dedaunan dan membawa aroma bunga-bunga liar yang bermekaran. Tapi tidak ada yang bisa menenangkan hatinya.Ia duduk di bangku kayu tua, kepalanya tertunduk, bahunya gemetar pelan.Tangis itu tidak meledak. Ia menangis dalam diam, seperti selalu.Air matanya mengalir melewati pipi yang masih terasa perih. Bukan hanya dari tamparan Vivian, tapi dari luka yang jauh lebih dalam. Luka karena merasa tak pernah cukup. Tak pernah dihargai.“Apa salahku?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar oleh angin.Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan. “Aku tidak pernah minta menjadi bagian dari mereka... Aku tidak pernah ingin apa-apa dari Rigel. Aku hanya ingin... dihargai. Dilihat.”Sesal menyesaki dadanya. Marah. Lelah. Perasaan-perasaan yang tak bisa ia ucapkan
Rigel membawa Althea masuk ke kamar dengan langkah pasti. Ia menutup pintu perlahan, lalu menatap wajah Althea yang masih terlihat letih, namun senyumnya hadir bagai bisikan yang memanggil hasrat terdalamnya. Perlahan, ia menunduk dan mencium kening Althea, lalu turun ke pipi, hingga akhirnya bibir mereka bersentuhan."Kau lelah, tapi tetap saja... menggoda seperti ini," gumam Rigel, suaranya serak.Althea tersenyum lemah. "Kau terlalu banyak bicara."Rigel tertawa pelan dan membalasnya dengan mencium lembut bibirnya, lebih lama kali ini. Tangannya melingkari pinggang Althea, mendekapnya erat, seolah tak ingin membiarkan dunia menyentuhnya lagi. Ciumannya berubah semakin dalam, dan tubuh Althea melunak dalam pelukannya."Kau tahu? Saat kau menatapku dengan mata yang lelah itu, jantungku berdetak lebih keras," bisik Rigel, matanya menelusuri setiap garis wajah Althea."Kau suka wanita lelah, ya?" goda Althea, membiarkan jemarinya menyusuri
Langit mendung menggantung di atas gedung Lester Corporation saat Noah memasuki kantor Rigel tanpa pemberitahuan. Wajahnya dihiasi senyum genit, tubuhnya dibalut kemeja putih ketat dan celana hitam yang dipilih dengan sangat sadar untuk menonjolkan pesona yang masih ia banggakan.“Rigel...” sapanya dengan suara lembut, mendayu. “Kau masih tampan seperti terakhir kali kulihat. Atau mungkin... malah lebih menggoda sekarang?”Rigel yang tengah memeriksa dokumen menoleh singkat, tatapannya langsung berubah kaku. “Noah. Untuk apa kau ke sini?”“Tidak bisakah aku sekadar rindu?” Noah melangkah pelan, menyusuri ruang kerja itu seolah sedang menghidupkan kembali kenangan masa lalu. “Tempat ini belum banyak berubah. Tapi kau... pasti banyak yang berubah sejak kau menikah, ya?”Tanpa malu, Noah berdiri di sisi Rigel, bahkan menyentuh bahu pria itu dengan ujung jarinya. “Apa kau masih suka disentuh di sini?” bisiknya, seolah sedang bermain-main.Rigel menepis tangannya tajam. “Jangan lakukan itu
Mobil melaju tenang di jalanan sore yang mulai teduh. Ezra menyetir dengan satu tangan, sementara tangan lainnya sibuk menunjuk ke arah bangunan atau tempat-tempat yang membuatnya tertawa sendiri.“Dulu aku pernah kerja di tempat itu,” katanya menunjuk sebuah kedai kopi mungil di sudut jalan. “Barista pertamaku bilang latte buatanku rasanya seperti air sabun.”Althea menoleh, heran. “Serius?”Ezra tertawa. “Serius. Tapi lima bulan kemudian aku dapat promosi jadi kepala barista. Lucu, kan?”Sepanjang perjalanan, Ezra terus berbagi cerita—tentang masa kuliahnya yang ceroboh, tentang pertemanan-pertemanan aneh yang ia jalani, hingga mimpinya suatu hari bisa membuka kafe sendiri dengan taman kecil di sampingnya. Cara bicaranya santai, terbuka, dan penuh warna.Althea mendengarkan dengan senyum yang tak sadar mulai menetap di wajahnya. Udara dalam mobil tak lagi canggung, sebaliknya—penuh kenyamanan yang hangat.Ezra memang berbeda, p
Pagi itu, aroma roti panggang dan kopi hangat memenuhi udara dapur. Althea berdiri di depan kompor, mengenakan kaus longgar dan celana pendek katun. Rambutnya diikat seadanya, beberapa helai terlepas membingkai wajahnya yang masih tampak lelah. Tangannya cekatan menyusun telur dadar ke atas piring, namun senyum tipis tetap menghiasi bibirnya—ada damai yang ia rasakan, walau samar.Dari balik meja makan, Rigel mengamatinya dalam diam. Tatapannya tertuju pada setiap gerak tubuh Althea, dari lekuk bahunya, rambut yang terurai di tengkuk, hingga gumaman lirih lagu yang ia senandungkan. Sebelum Althea menyadari kehadirannya, Rigel telah melingkarkan lengannya dari belakang, memeluknya erat."Rigel?" Althea terkejut, nyaris menjatuhkan spatula dari tangannya. "Apa yang sedang kamu lakukan?""Aku hanya ingin memelukmu. Aku merindukanmu," gumam Rigel, suaranya rendah dan lembut."Ini berbahaya. Minyaknya bisa mengenai kita," ujar Althea, berusaha melepaskan diri."Aku tidak peduli. Rasanya su
Cahaya pagi menyusup perlahan melalui sela tirai, menyapu lembut wajah Althea yang masih setengah terlelap. Rasa hangat yang memeluk tubuhnya membuatnya enggan membuka mata. Tapi ketika ia sadar akan kehadiran lengan kekar yang melingkari pinggangnya—erat dan protektif—detak jantungnya seketika berubah tak beraturan.Rigel.Ia terbaring di sana, di ranjang yang sama, dalam pelukannya.Ingatan semalam kembali perlahan. Ia mabuk, menangis di taman, lalu… gelap. Tak ada ingatan bagaimana ia sampai di tempat ini. Tapi tubuhnya kini bersih, piyama satin hangat menempel di kulitnya. Tak ada yang tak dikenali, tak ada bekas keterkejutan. Hanya tubuhnya yang lelah dan jiwanya yang masih kusut.Rigel pasti yang merawatnya. Mengganti bajunya. Menjaganya tidur. Memeluknya seperti ini.Althea menoleh pelan, menatap wajah Rigel yang masih tertidur di sisi ranjang. Napasnya dalam dan tenang. Cahaya pagi menyoroti garis rahangnya yang tegas, bulu matanya yang panjang, dan bibirnya yang kini tampak d