POV Adit Satu gelas kopi, dua gelas teh, serta tiga piring nasi goreng sudah tersedia di atas meja makan. Ibu dan Yumi sepaket untuk urusan dapur. Salah satu alasan Ibuku sangat menyukainya karena dia handal dalam pekerjaan rumah tangga, apa lagi memasak."Ayo, kita sarapan!" Ibu mengambil tiga sendok dan meletakannya di masing-masing piring.Kuamati wajah Yumi yang agak sembab, namun dia berusaha tampak baik-baik saja di depan ibu."Ibu mengira, akan mendapatkan kabar gembira dari kalian." Ibu menatapku dan Yumi bergantian. Aku mengerti, kabar gembira apa yang dimaksud ibu, apa lagi kalau bukan kehamilan Yumi."Belum boleh hamil, Bu. Tunggu empat bulan dulu. Kata dokter, rahim yang selesai dikuret, jangan diisi dulu sampai empat bulan." Aku berkata apa adanya. Melirik Yumi sepintas yang menunduk dalam."Dokter bilang begitu, ya?" "Iya, supaya rahim bersih dan normal kembali.""Oh, ya sudah. Yang jelas, kamu harus cukupi kebutuhan istrimu, persiapan kehamilan itu perlu, apalagi pas
Aku bahkan tak percaya dengan apa yang kusaksikan. Lena tampak menyedihkan dengan penampilannya yang kacau, rambutnya basah, noda teh mengenai baju blus-nya, sehingga warna krem itu berubah jadi cokelat. Seketika, Lena yang tadinya berdandan sempurna dan cantik itu tampak menyedihkan.Sedangkan Yumi, menantang mata Lena, tak ada perasaan bersalah sedikit pun. Ibuku tergagap, buru-buru mengambil tisu dan menyerahkan pada Lena.Apa yang kurasakan? Tentu saja marah dengan reaksi Yumi yang berlebihan. "Yumi," desisku. Wanita itu mengalihkan pandangan padaku, tentu saja dengan tatapan yang sama. Tatapan marah. Dia seakan menancapkan kebencian di tatapannya, tatapan tajam yang penuh dengan kemurkaan."Kau, tidak apa-apa?" tanyaku pada Lena, buru-buru kuambil sapu tangan dan menyerahkannya pada wanita itu, namun Lena menolak."Tidak usah!"Lena yang menyedihkan, memaksakan senyum. Dia bahkan tak menitikkan air mata sedikit pun, dia masih bisa mengangkat dagunya dan menatap Yumi dengan perca
Setelah puas berbicara dengan Ibu, kulangkahkan kaki menaiki tangga. Pintu kamar tidak terkunci, kamar hanya diterangi lampu pijar. Yang kuinginkan hanyalah tidur, bahkan keinginan untuk mandi telah surut begitu saja karena lelahnya tubuhku.Kudapati Yumi tengah meringkuk di atas kasur tanpa selimut. Dia menggulung dirinya bagaikan janin, seakan menghangatkan dirinya sendiri.Aku tidak tahu, apakah dia sudah tidur atau belum. Kuharap dia sudah tidur. Supaya kami tak perlu saling melihat.Dengan perlahan, kuambil satu selimut dan satu bantal. Mencoba bergerak hati-hati agar Yumi tak terusik. Aku akan tidur di luar, di dekat perpustakaan mini yang berada di luar kamar.Namun, baru saja bantal dan selimut itu berada di genggamanku, wanita itu bangun. Tak ada tanda-tanda habis tidur di matanya. Tatapannya masih tegas tanpa mengantuk."Mau ke mana? Tidur dengan kekasihmu? Apa setelah mengantarnya, kemudian dilanjutkan kencan sampai malam, dia kembali kau ajak ke sini?"Sontak, pertanyaan Y
Setiap sentuhan mengalirkan getaran bagaikan aliran listrik memenuhi pembuluh darah. Aku bahkan sangat malu dengan diriku sendiri yang tak bisa lagi mengendalikan suaraku yang terputus-putus. Bagaimana bisa seorang Adit yang katanya tak pernah tidur dengan wanita lain, bisa selihai itu memperlakukan wanita."Mukamu merah padam, Yumi." Dia tersenyum miring, bahkan aku sudah tak berdaya, setiap kali ada rasa meledak itu datang, dia berhenti."Aku mohon!" kataku hampir menangis, sebuah permohonan yang tak tahu malu."Apa yang kau inginkan? Hm?""Jangan perlakukan aku begini! Aku mohon, hentikan. Atau ... Sudahi!"Adit tertawa, tawa menyebalkan yang membuatku semakin malu."Hentikan atau sudahi? Aku masih ingin bermain-main, tapi tak bisa kusudahi."Aku menutup wajahnya, menarik menarik selimut menutupi satu-satunya kain tipis yang menutupi tubuhku."Jangan begini!" Aku nyaris berteriak, saat pria itu kembali melenakanku. Aku sudah kehilangan akal sehat, bahkan saat tubuhku bergetar lalu
Mobil berhenti di pekarangan rumah kami. Ya, setelah aksi tak bersahabat selama beberapa hari, kami memutuskan untuk pulang ke rumah.Masih terngiang-ngiang, keinginan Ibu untuk memiliki cucu dari kami. Adit sama sekali tak pernah membicarakannya denganku. Sepertinya, dia tak ingin lagi memiliki anak. Ya, sepertinya begitu.Adit keluar dari mobil lebih dulu, membuka kunci rumah dan aku mengikutinya dari belakang."Apa ini?" Adit berhenti pas di depan pintu, sama halnya denganku. Mata kami melihat satu benda yang tergeletak di lantai pintu masuk. Sebuah amplop bewarna pink yang sengaja diselipkan.Kami bertatapan. Kukira, Adit akan memungutnya, nyatanya tidak. Dia berlalu begitu saja.Kuambil amplop itu. Sudah kuduga, pasti orang suruhan Pujangga November yang melakukannya."Mas, mau makan apa? Aku akan memasak sebentar, ada beberapa bahan di kulkas yang masih bisa diolah.""Tidak usah." Dia menjawab dingin.Amplop itu masih berada di tanganku. Adit sempat meliriknya sekilas."Kenapa t
Mempertemukan Yumi dengan Pujangga November? Aku bahkan bertingkah seperti pahlawan, bukan? Apa yang kubuat, bagaikan drama yang memerankan sang pemeran utama bagaikan pahlawan. Konyol sekali. Merendahkan harga diri, memperlakukan Yumi bagaikan ratu yang boleh melakukan apa saja. Aku butuh kepastian atas perasaan Yumi. Wanita tertutup yang masih menyimpan pria masa lalu di hatinya.Yumi menengadah, seperti menunggu, tapi sekali lagi, aku bangkit meninggalkan dia dengan raut kecewa.Dia merapikan pakaiannya kembali, sedangkan aku kembali duduk, meraih remot televisi dan menyalakannya.Ya, beginilah kami, seperti magnet saat bermesraan, tapi akan saling menjauh saat keadaan normal kembali. Yumi tak pernah benar-benar membuka dirinya untukku."Ke mana kalian hari ini?" Aku bertanya pada Yumi yang pipinya masih merona, dia masih gelisah, sementara aku sudah bisa menguasai diriku sendiri."Makan siang, dan berkunjung ke perpustakaan."Aku tersenyum masam, makan dan ke perpustakaan. Dua h
Aku memberi waktu pada Yumi untuk menuntaskan tangisnya. Seperti biasa, dia tidur membelakangiku dan menghadap ke arah dinding. Kami selalu seperti ini, tak pernah tertawa lepas seperti pasangan lain, bahkan aku lupa bagaimana caranya berkelakar sejak menikah dengan Yumi. Hidup kami monoton, Yumi menghabiskan waktu di rumah, dan aku menghabiskan waktu di kantor. Saat pulang, yang terjadi hanya dua, saling diam atau malah bertengkar.Kecanggungan, serta jarak yang semakin jauh membentang antara aku dan Yumi, membuatku merasakan Yumi semakin asing. Kami sempat memutuskan untuk mencoba berteman, akan tetapi, kami tak berhasil sebagai seorang teman, Yumi bukanlah teman yang baik menurutku.Akhirnya, malam ini, kami tidur saling membelakangi, Yumi dengan isakan lirihnya dan aku dengan kepalaku yang berat.Aku tak tahu, kapan tepatnya wanita itu berhenti menangis. Ya, pernikahan ini hanya membuatnya menderita.***"Seharusnya kalian bicara!" kata Mutia. Kami tengah makan siang bersama di ka
Yumi menatapku, tanpa berniat mengedipkan matanya. Air matanya meluncur begitu saja membasahi pipinya. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara tangis keluar. Melihat pemandangan itu, dadaku sesak, serasa ada yang sakit tapi tak bisa kujelaskan. Ada luka yang kurasa, saat kulihat dia terlihat rapuh dan mengenaskan.Lena berusaha bangkit, berpegangan ke dinding kemudian masuk ke dalam rumahnya. Mengabaikan kami yang saling membatu.Aku terus saja memandang Yumi, ingin mengungkapkan perasaan yang sulit kupahami."Yumi ...." Suaraku seakan tersangkut di kerongkongan. Perasaan iba datang begitu saja, setelah kalimat cerai itu kulontarkan. Ada perasaan bersalah mendera begitu saja.Yumi menghapus air matanya kasar. Tatapan matanya sayu, seakan tak ada semangat yang terpancar di sana.Dia berbalik, menuju mobil, mobil yang biasa kubawa kesana kemari. Yumi, takkan berkendara jika tidak terpaksa. Dan malam ini dia membuktikan, dia mampu melacak keberadaanku dan menyusul ke rumah Lena, bahkan ta