Mata tegas itu, menatap langit-langit kamar di atas kami. Bulu matanya bergerak, bulu mata lebat dan agak lentik itu, sungguh menarik perhatianku dan membuatku enggan untuk mengalihkan pandangan darinya. Ah, aku memang telah menyadari, bahwa Adit punya ketampanan yang tak diragukan. Dia pria matang yang amat mempesona, bahkan tanpa berniat banyak, dia mampu menarik perhatianku.Adit menjadikan lengannya sebagai bantal. Lengan berotot tapi tak berlebihan, lengan yang menjanjikan kekuatan untuk bersandar. Juga, seakan memanggilku untuk meringkuk memeluknya, aku tahu betul, betapa hangat dan nyamannya dekapan Adit, menghirup aroma maskulin dari tubuhnya sambil memejamkan mata pasti amat menyenangkan. Ah, sayangnya, tak ada keberanian sebesar itu padaku. Aku hanya bisa berkhayal dan membayangkan saja, tanpa berani bergerak lebih dulu. Aku tipe pasif, yang hanya bersifat menunggu. Menunggu keberuntungan, mana tahu dia berinisiatif memelukku lebih dulu. Ah, hayalanku."Dia pria yang tampan
Aku memandang punggung Adit yang menjauh. Pria yang semalam telah merayuku hingga kami hampir melakukan ritual suami istri itu, berangkat bekerja pagi-pagi sekali.Aku ingat, kami hampir saja melakukannya. Sayangnya, kenangan buruk menyadarkanku, aku menolaknya dengan keras, sehingga Adit cuma bisa pasrah menahan semua gejolak birahinya yang telah memuncak. Tidak, bukan aku tak mencintainya, akan tetapi bagiku, cinta tak harus melakukan hubungan suami istri, bukan? Jika Adit mencintaiku, pasti dia takkan memaksakan kehendaknya padaku. Seperti kata Pujangga November, cinta itu untuk memberikan kebahagiaan sebanyak-banyaknya. Hubungan badan hanya akan membuatku semakin mengingat kenangan buruk dan seharusnya Adit tak perlu meminta itu.Tunggu! Cinta, tak pernah Adit mengatakan padaku bagaimana perasaannya. Sangat dangkal pikiranku, mengartikan semua perlakuan manisnya sebagai cinta. Adit perhatian, benar. Tapi dia sama sekali tidak mengatakan cinta atau perasaannya padaku. Aku tersenyu
"Apa ini?" tanyaku mengangkat benda yang baru saja kutemukan. Entah dorongan dari mana, aku membuka laci meletakkan jam tanganku, malah menemukan benda tak biasa di sana. Wajah Yumi pucat pasi, dia mendekat dan berusaha merebut benda itu dari tanganku. Semakin dia ingin merebut, semakin tinggi rasa penasaranku. Sejujurnya benda itu belum kubuka untuk mengetahui apa isinya. Namun, wajah pucat Yumi seakan mengatakan sesuatu. Yumi terlihat cemas dan panik. Gelagatnya semakin membuatku penasaran."Berikan itu padaku, Adit!" serunya marah. Dia terlihat emosi karena aku terus saja mengelak sehingga benda itu tak berhasil didapatkannya. Setiap Yumi berjinjit, aku menghindar dan mengangkat benda itu lebih tinggi."Aku ingin tahu apa isinya." "Berikan benda itu padaku!" Dia membentak."Kenapa kau begitu takut? Apa ini amat berbahaya jika aku mengetahui isinya?" Kulihat amplop berbunga itu. Darahku langsung mendidih saat siapa pengirimnya. Ya Tuhan, inikah yang membuat Yumi panik? Selingkuha
Aku mengutuk diriku sendiri, yang tak mampu mencegah gerakan tangan Adit yang tengah mengemasi pakaiannya. Ingin rasanya berteriak untuk mencegahnya, namun suara seakan tersangkut di tenggorokan. Tidak, Adit tidak boleh pergi. Hatiku menjerit, namun mulut sialan ini malah tak mampu kugerakkan. Kami baru saja memiliki kemajuan, jika dia pergi, akan jadi apa diriku tanpa dia."Jaga dirimu!"Jantungku seakan terlepas dari rongga dada. Ucapan terakhir yang berhasil membuat duniaku runtuh seketika. Aku bahkan tak memiliki kekuatan mengejarnya dan menghalangi semua langkahnya. Tidak, bukan begini seharusnya. Kami hidup di masa sekarang, Adit tak perlu tahu perihal masa lalu, aku hanya tak ingin Adit mengetahui masa laluku terlalu banyak.Baru, setelah deru mobilnya terdengar, kurasakan tubuhku lunglai, merasa tak memiliki tulang. Aku memang pengecut dan bodoh, menyia-nyiakan beberapa detik kesempatan untuk mencegahnya.Tubuhku merosot ke lantai. Sedetik, dua detik ... Hanya sepi dan senyap.
Sebenarnya, aku mendengar suara percakapan di lantai bawah, yang awalnya didahului dengan suara deru mobil. Akan tetapi, sama sekali kutak tertarik untuk melihat tamu itu. Setelah aksi penamparan yang dilakukan Yumi, aku tak ingin berjumpa dengan semua orang. Suasana hatiku amat buruk.Aku merasa kegerahan, beberapa saat setelah minum obat demam. Walaupun malam terasa dingin, tak menyurutkan niatku untuk mandi. Bagaimanapun, tidur dalam keadaan berkeringat sangat tidak nyaman.Alangkah terkejutnya aku, saat melihat siapa yang tengah berdiri terpaku di depan sana. Wanita yang menatap dengan tatapan yang sulit kupahami. Dia bahkan kesusahan menelan air ludahnya sendiri. Kueratkan simpul handuk, saat kutangkap matanya mengarah ke sana. Oh, Yumi. Hatiku tak sedang dalam suasana ingin bermesraan.Sadar dengan situasi asing di antara kami. Aku mengendurkan wajah yang tegang. Masih terasa sakit di hati, saat mengingat bagaimana Yumi melayangkan tamparan padaku, hanya demi merebut sebuah sura
POV YumiAku mematut diriku di depan cermin yang berada di kamar mandi Adit. Tak percaya sekaligus geli dengan apa yang kulihat saat ini. Seumur hidup, tak pernah kurasakan situasi memalukan begini. Datang bulan yang tiba-tiba, tembus ke rok bahkan mengenai seprai Adit. Untung saja, kutemukan seprai bersih di lemari dua pintu miliknya. Saat Adit pergi, buru-buru kuganti dan meletakkan benda kotor itu ke dalam ember.Kupatut diriku sekali lagi. Benda pribadi milik laki-laki, bewarna hitam dengan karet pinggang abu-abu yang bermerek 'Calvin Klein' itu, sudah melekat sempurna. Tentu saja dengan kondisi aneh menggembung di depannya dan hanya berisi udara.Bayangkan, pembalut wanita yang direkatkan ke celana dalam laki-laki. Jelas saja desainnya tak mendukung.Sebagai seorang istri yang sudah lebih dari setahun mendampinginya, aku terbiasa mencuci, menjemur atau menyetrika pakaian dalamnya. Akan tetapi, tak pernah membayangkan akan memakainya. Ya ampun.Kuambil celana pendek yang dipinjamk
POV Adit Satu gelas kopi, dua gelas teh, serta tiga piring nasi goreng sudah tersedia di atas meja makan. Ibu dan Yumi sepaket untuk urusan dapur. Salah satu alasan Ibuku sangat menyukainya karena dia handal dalam pekerjaan rumah tangga, apa lagi memasak."Ayo, kita sarapan!" Ibu mengambil tiga sendok dan meletakannya di masing-masing piring.Kuamati wajah Yumi yang agak sembab, namun dia berusaha tampak baik-baik saja di depan ibu."Ibu mengira, akan mendapatkan kabar gembira dari kalian." Ibu menatapku dan Yumi bergantian. Aku mengerti, kabar gembira apa yang dimaksud ibu, apa lagi kalau bukan kehamilan Yumi."Belum boleh hamil, Bu. Tunggu empat bulan dulu. Kata dokter, rahim yang selesai dikuret, jangan diisi dulu sampai empat bulan." Aku berkata apa adanya. Melirik Yumi sepintas yang menunduk dalam."Dokter bilang begitu, ya?" "Iya, supaya rahim bersih dan normal kembali.""Oh, ya sudah. Yang jelas, kamu harus cukupi kebutuhan istrimu, persiapan kehamilan itu perlu, apalagi pas
Aku bahkan tak percaya dengan apa yang kusaksikan. Lena tampak menyedihkan dengan penampilannya yang kacau, rambutnya basah, noda teh mengenai baju blus-nya, sehingga warna krem itu berubah jadi cokelat. Seketika, Lena yang tadinya berdandan sempurna dan cantik itu tampak menyedihkan.Sedangkan Yumi, menantang mata Lena, tak ada perasaan bersalah sedikit pun. Ibuku tergagap, buru-buru mengambil tisu dan menyerahkan pada Lena.Apa yang kurasakan? Tentu saja marah dengan reaksi Yumi yang berlebihan. "Yumi," desisku. Wanita itu mengalihkan pandangan padaku, tentu saja dengan tatapan yang sama. Tatapan marah. Dia seakan menancapkan kebencian di tatapannya, tatapan tajam yang penuh dengan kemurkaan."Kau, tidak apa-apa?" tanyaku pada Lena, buru-buru kuambil sapu tangan dan menyerahkannya pada wanita itu, namun Lena menolak."Tidak usah!"Lena yang menyedihkan, memaksakan senyum. Dia bahkan tak menitikkan air mata sedikit pun, dia masih bisa mengangkat dagunya dan menatap Yumi dengan perca