Happy Reading
*****
Pagi-pagi sekali, Risma meminta ijin ke rumah orang tuanya. Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah, bersamaan dengan keberangkatan Riswan. Dia pun bersiap pergi.
"Tunggu! Biar Mas mengantarmu," perintah Riswan. Sebagai suami yang bertanggung jawab, dia tidak akan membiarkan istrinya keluar rumah sendirian. Apalagi istrinya itu akan mengunjungi orang tua.
"Nggak usah sok perhatian, Mas. Aku bisa naik motor sendiri." Risma mengambil tasnya dan bersiap keluar kamar.
Riswan mencekal tangan sang istri, menatap manik mata Risma. "Kamu memang bisa berangkat ke rumah Ibu sendiri, tapi pikirkan pertanyaan selanjutnya." Lelaki itu mengeratkan pegangan tangan pada istrinya dan memaksa berjalan beriringan ke arah mobil. Memaksanya masuk, duduk di sebelah kemudi.
"Kenapa baru sekarang memikirkan perkataan orang tua kita?" tanya Risma saat mobil sudah berjalan, "di mana jawabanmu saat semua orang bertanya tentang anak padaku, Mas?" Suaranya mulai bergetar.
"Dik, semalam kita sudah bahas semua ini. Kenapa harus berdebat lagi?" Riswan menghantamkan tangan pada setir pelan.
"Aku akan terus bahas ini, Mas. Sampai kamu mau mengatakan sejujurnya alasanmu."
"Risma!" Lelaki itu mulai kehilangan kontrol emosi.
"Apa?" balas si istri tak kalah keras, "bilang saja kamu masih belum bisa move on dari dia." Matanya mendelik, seolah meminta ketegasan suaminya.
"Gila kamu!"
"Ya, aku memang gila. Lalu, kenapa kamu mau menikah dengan perempuan gila sepertiku, Mas?" Risma berteriak sambil menarik kemeja Riswan.
Lelaki dengan kemeja cokelat muda itu terdiam. Yakin, jika dia membalas setiap perkataan sang istri, maka pertengkaran itu tak akan pernah ada ujungnya. Riswan mempercepat laju kendaraan dan tak peduli pada sang istri lagi.
Sampai pada halaman rumah mertuanya, si suami baru membuka suara. "Masalah kita sebaiknya jangan sampai para orang tua tahu."
"Kenapa? Takut kalau para orang tua menyalahkanmu?" cibir Risma, "dasar nggak gentle."
"Risma!" panggil si lelaki keras, "jaga perkataanmu. Aku masih kepala keluarga. Ingat itu."
"Kepala keluarga kok, ya, nggak becus." Kaki Risma sudah menapaki tanah, bersiap untuk keluar. "Sebaiknya kita cerai saja, Mas, daripada saling menyakiti."
Riswan mendelik tajam, tangannya mencengkeram pergelangan si istri. "Jaga ucapanmu! Perceraian adalah hal yang paling dibenci Allah."
Tak kalah emosi, Risma juga membuka mata lebar-lebar. "Kamu nggak pernah anggap aku istri, Mas. Jadi, buat apa pernikahan ini ada? Bukankah lebih baik berpisah daripada saling menyakiti? Allah memang membenci, tapi nggak mengharamkan."
Risma melepas paksa cengkeraman sang suami. Melangkah masuk ke rumah orang tuanya. Menahan sesak dan tangis memikirkan pernikahannya.
Menyesal telah menerima perjodohan. Rasanya bukan hal itu yang membuatnya bersedih. Namun, sikap suaminyalah yang telah membuatnya seperti ini. Riswan seolah jijik ketika berdekatan dengan Risma. Jangankan melakukan hubungan intim. Sekedar mencium saja tidak pernah dilakukan kecuali ciuman di kening.
*****
Risma melempar tubuhnya di kasur yang telah lama tak ditidurinya. Mengenang mengapa semua bisa terjadi. Awal dari segala permasalahan rumah tangganya kini.
"Yah kenapa aku mesti menikah sama anaknya Om Fadil. Aku 'kan nggak kenal sama dia," kata Risma saat pertama kali ayahnya memutuskan bahwa setelah wisuda dia akan langsung menikah.
"Nggak usah membantah dan berteriak. Ayah sama Om Fadil itu sudah saling berjanji. Kelak, salah satu anak kami harus menikah. Beliau cuma memiliki satu putra yaitu Riswan dan anak Ayah yang tertua serta cukup umur untuk menikah, kamu. Lalu, apa salahnya kalian menikah?"
Risma menarik napas dalam-dalam. Bukannya tidak mengetahui sama sekali siapa lelaki yang akan dijodohkan, tetapi dia ragu. Benarkah Riswan akan menyetujui permintaan para orang tua.
"Ayah sama Om Fadil pasti nggak tahu kalau Riswan itu sudah punya tambatan hati." Risma mulai memprovokasi.
"Om Fadil nggak bakalan merestui mereka. Sudahlah, Ris! Kamu harus menerima perjodohan ini. Suka ataupun nggak, tetap Riswanlah calon suamimu." Lutfi, ayahnya Risma berjalan meninggalkan putrinya yang menganga tak percaya.
Sejak keputusan Lutfi, perempuan dengan tingggi 158 cm itu sudah beberapa kali menghubungi Riswan. Namun, si lelaki selalu saja beralasan sibuk dengan kerjaan. Hingga suatu malam rencan dua sahabat itu benar-benar direalisasikan.
Fadil Muhammad datang melamar Risma secara resmi. Malam itu, sebelum memutuskan, si perempuan sempat meminta waktu berbincang berdua dengan Riswan. Semua uneg-uneg dalam hati dikeluarkan dan calon suaminya sudah bersedia serta sanggup menjalankan perjodohan.
"Kamu nggak nyesel kalau menikah dengan aku? Aku tahu kamu sudah punya pilihan sendiri. Kenapa nggak mempertahankannya?" Risma sekali lagi memastikan.
"Tahu apa tentang aku. Penilaianmu semua salah."
"Jangan sampai menyesal dengan keputusanmu, Wan. Pernikahan ini bukanlah suatu permainan dan aku nggak mau mengecewakan orang tua kita."
"Itu kamu ngerti." Riswan menatap gadis di depannya.
"Maksudmu?"
"Jangan mengecewakan orang tua kita." Lelaki dengan tinggi 168 cm itu berlalu pergi.
Tak terasa air mata Risma jatuh. Suasana sepi membuatnya mampu meluapkan kesesakan hati. Riswan memang lelaki yang cukup perhatian dan penuh kasih sayang. Setidaknya, walau belum pernah menyentuh Risma selama satu tahun pernikahan mereka. Tak pernah ada kata-kata kasar atau keluhan dari si suami. Rumah tangga mereka berjalan layaknya pasangan lain, tetapi tidak untuk urusan biologis.
Harus bagaimana lagi aku menghadapimu, Mas. Segala cara sudah dicoba, tapi apa hasilnya.
Di tengah tangis yang kian mengeras, sebuah chat masuk ke ponsel Risma. Sakit itu kian bertambah kala sang sahabat mengirimkan foto suaminya.
"Apa lagi ini, Ya Allah?" teriak Risma sendirian.
Happy Reading******"Mungkin aku nggak bisa bantu, tapi ada salah satu rekan yang akan mendengar semua keluhan dan memberi solusi. Lagian nggak enak juga kalau kamu harus konsul ke aku. Akan ada fitnah pastinya." Perempuan berjilbab dengan jas warna putih dan senelli di bahunya berjalan beriringan dengan Riswan."Terima kasih, sudah mau membantu." Riswan mengatupkan dua tangannya."Sama-sama. Sudah tugasku sebagai dokter untuk membantu pasiennya." Perempuan bernama Iklima Rahayu. Dia adalah salah satu perempuan yang dulunya dekat dengan Riswan. Cukup populer sebagai kekasih si lelaki."Gimana kabar si kecil?""Sudah lama kayaknya kamu nggak ketemu sama Dara. Mainlah ke rumah sesekali jangan ngurus persatean melulu." Iklima tertawa, nyaris melupakan bahwa sekarang dia sedang di rumah sakit tempatnya dinas."Ya gimana kalau nggak ngurus sate. Mau makan apa aku? Secara aku bukan pegawai negeri sepertimu" Riswan tertawa, tetapi di dalam hati merasakan sakit yang teramat. "Aku pulang dulu
Happy Reading*****"Apaan sih, Mas?" sanggah Risma, "datang-datang malah nuduh yang nggak jelas. Zikri itu sahabatku dari bayi. Lagian kami bertetangga. Wajar dong dia main ke sini.""Kamu anggap hal ini wajar? Ikut aku!" Riswan menarik pergelangan tangan istrinya. Masuk ke kamar mereka ketika berkunjung.Ayahnya menatap bingung. Sementara dua wanita yang sejak tadi berjibaku di dapur tergopoh penasaran."Lepas, Mas! Sakit tahu," pinta Risma sambil tangannya berusaha melepas cekalan sang suami."Maaf," ucap Riswan. Dia melihat tangan dang istri memerah. "Mas nggak suka lihat kamu deketan sama Zikri.""Kenapa nggak suka? Aku, kamu larang deket sama Zikri. Lalu, kenapa kamu masih deket sama mantanmu?" Risma menatap nyalang, seolah menantang kemarahan suaminya."Mantan yang mana?""Oh!" jawab Risma kaget. "Mantanmu banyak berati, ya. Semakin mantap aku untuk berpisah.""Risma!" teriak Riswan penuh emosi. "Buang jauh-jauh pikiran negatifmu. Aku nggak seperti yang kamu pikirkan."Suara k
*****Puas melampiaskan keinginannya yang tak bisa dicegah, Riswan keluar kamar mandi di dekat dapur. Saat itu, Risma baru saja turun untuk mengambil minum. Dilihatnya sang suami dengan rambut basah dan wajah yang terlihat segar."Mas mandi malam-malam? Terus pake handuk sama sabun siapa?" Risma mulai mengintimidasi. Matanya awas menatap Riswan dari ujung kaki hingga kepala.Ditanya seperti itu oleh istrinya, Riswan gelagapan. "Aku gerah, Ris, jadi mandi. Ada sabun cair di dalam. Ibu juga naruh tumpukan handuk di lemari kecil dekat bak.""Emang dari warung belum mandi?" Risma masih terus mengejar."Ya belumlah. Dari warung tadi aku langsung ke sini. Rencana jemput kamu, tapi ternyata kamu minta nginep." Riswan sudah seperti maling yang akan tertangkap. Padahal, hanya hal sepele. Dia sering melakukannya juga di rumah. Mandi tidak pada umumnya.Sekarang, semenjak sang istri menuntut haknya. Hal sekecil apa pun yang memicu kecurigaan Risma akan menjadi pertanyaan besar dan berkepanjangan
Happy Reading***** Riswan begitu bahagia bertemu dengan putrinya Iklima, Dara Narendra. Sampai-sampai menyeruh si sahabat untuk memvideokan aktifitas mereka. Sebelum bertemu dengan orang yang akan membantunya, sengaja si lelaki menyempatkan diri mampir ke rumah Iklima. "Wan, dia udah ada di rumah. Baiknya kamu langsung ke sana. Dua jam lagi dia harus ke rumah sakit lagi," kata Iklima. "Oke. Rumahnya no 25 kan?" "Iya." Disertai anggukan Iklima. "Sorry aku nggak bisa nemeni." "Its okey." Riswan mencium pipi Dara beberapa kali setelannya meninggalkan mereka. Rumah dengan nomor 25 terletak tak jauh dari tempatnya kini. Menurut Iklima, dokter tersebut adalah salah satu sahabat Iklima pas SMA dulu. Agak ragu sebenarnya si lelaki harus berkonsultasi dengan seseorang yang belum dikenalnya. Akan tetapi, Riswan mencoba menepis semua rasa canggung itu. Tuntutan dan tekanan dari Risma membuat pening keoala dan memaksanya harus melakukan. Ragu-ragu, dia memencet bel yang berada di luar pa
***** "Apa?" tantang Risma tak mau kalah. "Bukannya Mas juga menikmati saat-saat bersama mantan dan putrinya." Dia sengaja menggandeng tangan Zikri untuk menyingkir. "Jangan gini, dong, Ndut. Aku makin merasa bersalah. Dikira pebinor nanti." "Biarin. Dia aja seenaknya kok. Masak aku nggak boleh?" Risma tetap menggandeng tangan Zikri dan membiarkan suaminya melihat dengan mata membulat. "Risma!" panggil si lelaki yang telah berstatus suaminya. "Berhenti atau aku akan melarangmu nginep di rumah Ayah." Si perempuan berbalik. "Beraninya cuma ngancam. Larang aja, aku bakalan minggat." Zikri menganga, omongan si sahabat ngawur saja saat emosi. Apa katanya tadi, minggat? Mau ke mana Risma, jika pergi paling jauh saja cuma di kecematan sebelah. Ingin rasanya tertawa, tetapi jelas akan memperparah keadaan. "Ya udah terserah kamu. Jangan nyalahin, Mas, kalau Bunda sampai menginterogasimu nanti." Santai dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana, Riswan berbalik arah akan meninggalkan
***** Risma baru akan mendengarkan percakapan suaminya kembali. Namun, suara panggilan dari perempuan yang telah melahirkannya terdengar. Gegas dia menghampiri tak berapa lama setelahnya kedua mertua menyapa. Kedua orang tua dan mertua Risma tampak berbahagia. Dua sahabat yang tak setiap hari bertemu itu saling melempar candaan. Risma mengatur napas panjang dan perlahan meninggalkan mereka. Duduk pada sebuah meja kosong sambil memperhatikan interaksi sang suami dengan para sahabatnya. Andai dia mengundang Zikri beserta keluarga pasti tak akan kesepian seperti sekarang. Di saat suaminya sibuk dengan para tamu, dia malah sendiri merenungi nasib. Saat tatapan Risma tak menemukan sosok Riswan. Rasa khawatir itu datang apalagi Iklima juga menghilang padahal tadi keduanya terlihat bersenda gurau. "Di mana mereka? Apa mungkin lagi kencan? Kenapa aku bisa kecolongan." Celingak-celinguk mencari sosok suaminya, Risma dikejutkan dengan sebuah suara. "Sayang, makan dulu." Menengok ke sumber
Hari semakin larut saat dua pasangan muda itu sampai di rumah. Dua hari berada di kediaman orang tuanya membuat Risma rindu dengan kamar yang setahun ini telah menjadi saksi bisu perjalanan rumah tangganya. Teringat kembali tentang wanita yang membuat suaminya enggan berpaling menatap yang lain. Dia bertekad akan meluluhkan hati Riswan.Bisa jadi, usaha Risma kurang maksimal untuk menarik perhatian suaminya. Berjalan ke arah lemari. Kembali, perempuan itu mencari koleksi baju seksi yang beberapa waktu lalu dibelinya. Kali ini, warna hitam menjadi pilihan. Membayangkan Riswan akan menatapnya dengan buas, jantung Risma berdetak cepat.Sebelum lelaki itu masuk kamar, gegas Risma mengganti pakaiannya. Menyemprotkan parfum yang katanya bisa membangkitkan libido seoarang lelaki. Riasan minimalis juga disapukan ke wajah. Malam ini, rencananya tak boleh gagal. Hampir setengah jam berlalu, akhirnya pintu kamar dibuka.Menatap pose menantang sang istri di atas ranjang, Riswan berjalan mendeka
Sesampainya di rumah, Risma menangis sekencang-kencangnya. Dia memang bukan perempuan seksi seperti yang digandeng Riswan tadi. Bukan wanita pesolek yang pandai merawat tubuh, tapi penampilannya tak kalah jika sedang di rumah saat tengah berdua saja dengan suaminya.Namun, mengapa Riswan masih enggan untuk menyentuhnya. Sekedar bermesraan seperti yang dilakukan pada perempuan itu saja sangatlah jauh. Apa benar bahwa suaminya tidak pernah menginginkan dia ada di sisinya."Udahlah, Ris. Kalau kamu nangis terus nggak bakalan nyelesaikan masalah," ujar Intan yang masih setia menemani sahabatnya. "Mending kalau nanti Mas Riswan pulang kamu tanya baik-baik. Siapa tahu cewek itu salah satu rekan kerja yang punya modal buat waralaba usaha sate. Katamu, sekarang warung sate Mas Riswan buka waralaba.""Kamu salah, Tan. Dia bukan rekan kerja suamiku. Kemarin malam aku juga melihatnya datang ke acara pembukaan cabang baru dan adegan mesra seperti tadi kembali terulang. Kayaknya aku mau nyerah aja