Share

2. Awal Pernikahan

Happy Reading

*****

Pagi-pagi sekali, Risma meminta ijin ke rumah orang tuanya. Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah, bersamaan dengan keberangkatan Riswan. Dia pun bersiap pergi.

"Tunggu! Biar Mas mengantarmu," perintah Riswan. Sebagai suami yang bertanggung jawab, dia tidak akan membiarkan istrinya keluar rumah sendirian. Apalagi istrinya itu akan mengunjungi orang tua.

"Nggak usah sok perhatian, Mas. Aku bisa naik motor sendiri." Risma mengambil tasnya dan bersiap keluar kamar.

Riswan mencekal tangan sang istri, menatap manik mata Risma. "Kamu memang bisa berangkat ke rumah Ibu sendiri, tapi pikirkan pertanyaan selanjutnya." Lelaki itu mengeratkan pegangan tangan pada istrinya dan memaksa berjalan beriringan ke arah mobil. Memaksanya masuk, duduk di sebelah kemudi.

"Kenapa baru sekarang memikirkan perkataan orang tua kita?" tanya Risma saat mobil sudah berjalan, "di mana jawabanmu saat semua orang bertanya tentang anak padaku, Mas?" Suaranya mulai bergetar.

"Dik, semalam kita sudah bahas semua ini. Kenapa harus berdebat lagi?" Riswan menghantamkan tangan pada setir pelan.

"Aku akan terus bahas ini, Mas. Sampai kamu mau mengatakan sejujurnya alasanmu."

"Risma!" Lelaki itu mulai kehilangan kontrol emosi.

"Apa?" balas si istri tak kalah keras, "bilang saja kamu masih belum bisa move on dari dia." Matanya mendelik, seolah meminta ketegasan suaminya.

"Gila kamu!"

"Ya, aku memang gila. Lalu, kenapa kamu mau menikah dengan perempuan gila sepertiku, Mas?" Risma berteriak sambil menarik kemeja Riswan.

Lelaki dengan kemeja cokelat muda itu terdiam. Yakin, jika dia membalas setiap perkataan sang istri, maka pertengkaran itu tak akan pernah ada ujungnya. Riswan mempercepat laju kendaraan dan tak peduli pada sang istri lagi.

Sampai pada halaman rumah mertuanya, si suami baru membuka suara. "Masalah kita sebaiknya jangan sampai para orang tua tahu."

"Kenapa? Takut kalau para orang tua menyalahkanmu?" cibir Risma, "dasar nggak gentle."

"Risma!" panggil si lelaki keras, "jaga perkataanmu. Aku masih kepala keluarga. Ingat itu."

"Kepala keluarga kok, ya, nggak becus." Kaki Risma sudah menapaki tanah, bersiap untuk keluar. "Sebaiknya kita cerai saja, Mas, daripada saling menyakiti."

Riswan mendelik tajam, tangannya mencengkeram pergelangan si istri. "Jaga ucapanmu! Perceraian adalah hal yang paling dibenci Allah."

Tak kalah emosi, Risma juga membuka mata lebar-lebar. "Kamu nggak pernah anggap aku istri, Mas. Jadi, buat apa pernikahan ini ada? Bukankah lebih baik berpisah daripada saling menyakiti? Allah memang membenci, tapi nggak mengharamkan."

Risma melepas paksa cengkeraman sang suami. Melangkah masuk ke rumah orang tuanya. Menahan sesak dan tangis memikirkan pernikahannya.

Menyesal telah menerima perjodohan. Rasanya bukan hal itu yang membuatnya bersedih. Namun, sikap suaminyalah yang telah membuatnya seperti ini. Riswan seolah jijik ketika berdekatan dengan Risma. Jangankan melakukan hubungan intim. Sekedar mencium saja tidak pernah dilakukan kecuali ciuman di kening.

*****

Risma melempar tubuhnya di kasur yang telah lama tak ditidurinya. Mengenang mengapa semua bisa terjadi. Awal dari segala permasalahan rumah tangganya kini.

"Yah kenapa aku mesti menikah sama anaknya Om Fadil. Aku 'kan nggak kenal sama dia," kata Risma saat pertama kali ayahnya memutuskan bahwa setelah wisuda dia akan langsung menikah.

"Nggak usah membantah dan berteriak. Ayah sama Om Fadil itu sudah saling berjanji. Kelak, salah satu anak kami harus menikah. Beliau cuma memiliki satu putra yaitu Riswan dan anak Ayah yang tertua serta cukup umur untuk menikah, kamu. Lalu, apa salahnya kalian menikah?"

Risma menarik napas dalam-dalam. Bukannya tidak mengetahui sama sekali siapa lelaki yang akan dijodohkan, tetapi dia ragu. Benarkah Riswan akan menyetujui permintaan para orang tua.

"Ayah sama Om Fadil pasti nggak tahu kalau Riswan itu sudah punya tambatan hati." Risma mulai memprovokasi.

"Om Fadil nggak bakalan merestui mereka. Sudahlah, Ris! Kamu harus menerima perjodohan ini. Suka ataupun nggak, tetap Riswanlah calon suamimu." Lutfi, ayahnya Risma berjalan meninggalkan putrinya yang menganga tak percaya.

Sejak keputusan Lutfi, perempuan dengan tingggi 158 cm itu sudah beberapa kali menghubungi Riswan. Namun, si lelaki selalu saja beralasan sibuk dengan kerjaan. Hingga suatu malam rencan dua sahabat itu benar-benar direalisasikan.

Fadil Muhammad datang melamar Risma secara resmi. Malam itu, sebelum memutuskan, si perempuan sempat meminta waktu berbincang berdua dengan Riswan. Semua uneg-uneg dalam hati dikeluarkan dan calon suaminya sudah bersedia serta sanggup menjalankan perjodohan.

"Kamu nggak nyesel kalau menikah dengan aku? Aku tahu kamu sudah punya pilihan sendiri. Kenapa nggak mempertahankannya?" Risma sekali lagi memastikan.

"Tahu apa tentang aku. Penilaianmu semua salah."

"Jangan sampai menyesal dengan keputusanmu, Wan. Pernikahan ini bukanlah suatu permainan dan aku nggak mau mengecewakan orang tua kita."

"Itu kamu ngerti." Riswan menatap gadis di depannya.

"Maksudmu?"

"Jangan mengecewakan orang tua kita." Lelaki dengan tinggi 168 cm itu berlalu pergi.

Tak terasa air mata Risma jatuh. Suasana sepi membuatnya mampu meluapkan kesesakan hati. Riswan memang lelaki yang cukup perhatian dan penuh kasih sayang. Setidaknya, walau belum pernah menyentuh Risma selama satu tahun pernikahan mereka. Tak pernah ada kata-kata kasar atau keluhan dari si suami. Rumah tangga mereka berjalan layaknya pasangan lain, tetapi tidak untuk urusan biologis.

Harus bagaimana lagi aku menghadapimu, Mas. Segala cara sudah dicoba, tapi apa hasilnya.

Di tengah tangis yang kian mengeras, sebuah chat masuk ke ponsel Risma. Sakit itu kian bertambah kala sang sahabat mengirimkan foto suaminya.

"Apa lagi ini, Ya Allah?" teriak Risma sendirian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status