Share

Setahun Tanpa Sentuhanmu
Setahun Tanpa Sentuhanmu
Penulis: pramudining

1. Menggoda

Happy Reading

*****

Baju tipis berbahan dasar satin warna merah menyala dikenakan. Lipstik serta make up lainnya juga sudah dibubuhkan. Sentuhan terakhir adalah menyemprotkan parfum pada titik-titik tertentu sensitifnya. Risma tersenyum menatap tampilannya kali ini.

'Aku yakin kamu akan menyentuhku malam ini, Mas. Lelaki mana yang nggak akan tergoda saat melihat perempuan memakai pakaian seperti ini. Harusnya, aku gunakan lingeri ini dari dulu.'

Sudah lebih setahun perempuan bernama Risma Oktarini menikah dengan Riswan Rahardian. Biduk rumah tangga mereka memang dibangun bukan berdasar rasa cinta selayaknya pasangan kekasih lain. Semua terjadi karena janji yang terucap oleh kedua ayah mereka.

Suara pintu kamar mandi dibuka terdengar, Risma menoleh. Ada suaminya yang menatap intens dengan bola mata terbuka sempurna. Kesempatan itu tidak dibiarkan begitu saja olehnya.

Risma berjalan dengan sangat sensual mendekati Riswan. Sengaja menyentuh pipi dengan sangat pelan. Menempelkan bibir tepat di bawah jakun sang suami, lalu mengecup singkat. Hilang sudah rasa malu sebagai perempuan. Di pikirannya saat ini, hanyalah mencari tahu posisinya di hati sang suami.

Berdesir darah Riswan mendapat perlakuan seperti itu. Namun, reaksi selanjutnya sungguh menjengkelkan bagi Risma.

"Maaf, Dik. Aku harus ke tempat Ayah hari ini. Ada hal penting yang harus dibicarakan." Riswan menggeser posisi tubuh sang istri seolah-olah dia jijik.

Pandangan perempuan itu berubah marah. "Apa aku terlalu menjijikkan untuk kau sentuh, Mas? Hingga setahun pernikahan belum juga kau tunaikan hakku. Aku capek, Mas. Setiap kali ditanya Ibu atau Ayah kapan bisa ngasih cucu." Suara Risma meninggi. Dia menghapus lipstik serta riasan wajah. Segera naik ke ranjang dan menarik selimut tebal menutupi seluruh tubuh.

"Dik, aku perlu waktu menyiapkan semua." Riswan menyentuh bahu istrinya.

"Butuh waktu berapa lama lagi, Mas? Kita sudah menikah lebih dari setahun. Apa masih kurang?" Risma bangun dan menyandarkan tubuh pada kepala ranjang. "Jujur saja, Mas. Apa kamu mencintai perempuan lain? Kalau seperti itu, mengapa kamu nggak nolak perjodohan kita?"

Lelaki berumur 27 tahun itu menatap ke depan. Pandangannya kosong, entah apa yang dipikirkan.

"Mas, jawab!" Risma mulai kehilangan kesabaran. Jika selama setahun dia masih bisa menahan semua, tetapi tidak kali ini. Semua harus jelas sebelum mereka melangkah terlalu jauh dan menyakiti hati seluruh keluarga.

"Aku belum siap punya anak. Masih banyak yang mau aku raih," ucap Riswan lirih seolah ada beban yang tersimpan.

"Mas, dengar. Kita sudah memiliki segalanya untuk menjadi orang tua. Dari segi umur dan ekonomi kita mampu. Lalu, kesiapan apa lagi yang dibutuhkan? Kita tinggal berproses mewujudkan keinginan orang tua, perkara hasil biarlah Allah yang menentukan." Risma mulai kehilangan kontrol. Sedikit berteriak agar keinginannya terpenuhi.

"Aku tahu, tapi aku belum siap punya anak!" Riswan juga mulai terpancing emosi. "Sudahlah. Aku capek dengan bahasan kita yang tiap hari seperti ini."

"Kalau kamu nggak siap punya anak. Kenapa menikah, Mas?" Tangis Risma pun pecah. Tak kuat menanggung beban mental dan desakan dari keluarga. Setiap kali menyinggung masalah anak, maka Risma yang selalu terlihat bersalah.

Ya, sebagian masyarakat masih memandang jika dalam pernikahan belum juga dikarunia anak. Maka, pihak perempuanlah yang akan selalu dicurigai tentang kesuburannya. Jarang mereka berasumsi seorang lelakilah yang mengalami gangguan.

"Aku ke rumah Ayah. Nggak usah nunggu." Riswan meninggalkan istrinya yang menangis.

"Jahat kamu, Mas." Risma kembali berteriak dan melempar bantal ke arah pintu. "Sudah sepenuh hati aku menerima perjodohan ini dengan ikhlas. Melayanimu dengan segenap jiwa raga bahkan aku merelakan studiku nggak lanjut." Mengeluh sendiri dalam kamar berikuran 5x7 m, Risma menumpahkan segala kesakitan hatinya.

Cepat perempuan itu mengganti pakaian. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh, Risma segera mengenakan kerudung dan keluar dari rumah. Sampai di garasi, dia melihat mobil sang suami yang terparkir dengan rapi.

Tumben naik motor. Bukannya kamu nggak suka, ya.

Mengembuskan napas panjang, Risma urung keluar. Mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. setelah berbincang sejenak dia masuk ke kamar. Mencoba memajamkan mata walau pikirannya berkelana entah ke mana.

*****

Sampai di rumah orang tuanya, Riswan langsung masuk kamar. Sapaan sang Bunda yang menanyakan keberadaan tak digubris. Lelaki itu malah mengunci pintu kamarnya. Duduk bersandar di tepian ranjang sambil memegang kepala.

'Maafkan aku, Dik. Aku nggak bisa menyentuhmu saat ini. Aku tahu hatimu terluka, tapi aku jauh lebih terluka lagi. Aku sangat tersiksa dengan keadaan ini.'

Riswan menangis dalam diam. Perlahan tetesan air dari langit terdengar menghantam genteng, lelaki itu teringat pada istrinya yang sendirian di rumah. Mengusir rasa bersalah dalm hati, dia mengirimkan chat permintaan maaf.

ketukan pintu terdengar kembali. Suara bundanya terdengar. "Ris, boleh Bunda masuk?"

Riswan yang tengah asyik dengan lamunan dan angannya tersentak kaget. Cepat dia membuka pintu setelah membereskan semua. "Bunda mau ngomong apa?" kata si putra tunggal.

Perempuan berdaster batik khas ibu-ibu rumahan, duduk di kursi depan meja rias. "Duduk!" perintahnya. Tepat di hadapan perempuan itu ada ranjang. Sekarang posisi mereka sudah berhadap-hadapan. "Mas tengkar sama Risma?"

Tergagap, Riswan menjawab, "Nggak lho, Nda. Kenapa pertanyaannya gitu amat."

Perempuan pemilik nama Rofiqoh itu mengembuskan napas. "Wajar Bunda tanya seperti itu, Mas. Nggak biasa kamu pulang ke rumah sendirian. Bunda nyapa tadi kamu langsung masuk kamar." Dia menjeda ucapan. meneliti perubahan wajah putranya. "Kalau ada masalah selesaikan berdua terlebih dahulu. Jangan meninggalkan rumah dalam keadaan marah. Pertengkaran dalam rumah tangga itu adalah hal wajar."

"Nda, Mas nggak lagi tengkar sama Risma. Niat ke sini tadi mau nemui Ayah terkait ruko yang akan kita sewa di dekat pasar."

"Lalu, kenapa kamu langsung masuk kamar? Kenapa nggak nyari Ayah padahal beliau ada di ruang tengah lagi nonton berita." Rofiqoh masih terus mendesak.

"Mas cuma kangen sama kamar ini, Nda. Biarkan Mas sendiri dulu di sini. Setelah itu baru menemui Ayah."

Melihat raut permohonan putranya, Rofiqoh akhirnya luluh. Dia keluar kamar dan membiarkan Riswan sendiri. Namun, dia masih merasakan kejanggalan dari kedatangan putranya. Biarlah dia akan mencari tahu lewat sang menantu. Ada masalah apa sebenarnya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
pramudining
Terima kasih, Kak. sudah berkenan membaca cerita ini. ............
goodnovel comment avatar
Sofwan Nasir
bagus sy baca sampe hampir 80 %
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status