Happy Reading
******
"Mungkin aku nggak bisa bantu, tapi ada salah satu rekan yang akan mendengar semua keluhan dan memberi solusi. Lagian nggak enak juga kalau kamu harus konsul ke aku. Akan ada fitnah pastinya." Perempuan berjilbab dengan jas warna putih dan senelli di bahunya berjalan beriringan dengan Riswan."Terima kasih, sudah mau membantu." Riswan mengatupkan dua tangannya.
"Sama-sama. Sudah tugasku sebagai dokter untuk membantu pasiennya." Perempuan bernama Iklima Rahayu. Dia adalah salah satu perempuan yang dulunya dekat dengan Riswan. Cukup populer sebagai kekasih si lelaki.
"Gimana kabar si kecil?"
"Sudah lama kayaknya kamu nggak ketemu sama Dara. Mainlah ke rumah sesekali jangan ngurus persatean melulu." Iklima tertawa, nyaris melupakan bahwa sekarang dia sedang di rumah sakit tempatnya dinas.
"Ya gimana kalau nggak ngurus sate. Mau makan apa aku? Secara aku bukan pegawai negeri sepertimu" Riswan tertawa, tetapi di dalam hati merasakan sakit yang teramat. "Aku pulang dulu, ya. Tolong kabari secepatnya karena aku sangat butuh konsul dengan dokter itu."
"Siap, Pak."
Keduanya berpisah di parkiran. Satu yang tak pernah diketahui oleh dua orang tadi bahwa ada seseorang yanv tengah mengabadikan kebersamaan mereka.
*****
Menjelang siang, Risma pergi ke dapur. Perutnya meronta untuk segera diisi. Menangis dan meratap ternyata sungguh sangat melelahkan dan membuat lapar. Ditambah foto kiriman sahabatnya tadi.Keadaan rumah masih sepi, Ayah dan ibunya masih berada di toko. Mungkin mereka baru akan kembali jam tiga sore. Artinya, Risma punya banyak waktu menumpahkan semua tangisannya.
Lamunannya kembali pada foto yang dikirim oleh si sahabat. Perkiraannya selama ini benar. Riswan masih belum bisa melupakan sosok Iklima. Betapa bodoh dirinya sudah percaya pada lelaki itu karena menerima perjodohan mereka. Kristal bening mulai menggenangi pelupuk mata Risma.
Suara tetesan air yang jatuh mengenai tungku kompor mengusik indera. Dia terlonjak dan segera mematikan. Mi yang dibuatnya meluber, airnya keluar dari panci.
"Astagfirullah. Tega kamu mengkhianatiku dan juga seluruh keluarga kita."
Tengah asyik menyantap mi buatannya. Seseorang menepuk bahu Risma. "Sudah lama datang, Ris? Mana Riswan kok nggak ikut makan," tanya ibunya, "tahu kalian ke sini, Ibu nggak bakal ikut Ayah ke toko."
"Mas Riswan nggak ikut, Bu. Dia ada pesenan untuk acara hajatan pernikahan." Risma berusaha tak menatap wajah orang tuanya. Takut mata sembabnya diketahui.
"Tumben." Ibunya yang bernama Rini mengerutkan kening. "Kalian nggak sedang tengkar, 'kan?"
"B aja, Bu. Kan sering juga aku pulang tanpa Mas Riswan."
"Iya, tapi biasanya suamimu itu nganterin dulu. Kalau nggak ada Ayah sama Ibu di rumah pasti telpon. Kok ini nggak ngasih kabar apa2. Kamu makan sama apa?"
"Lagi terburu tadi, Bu." Risma berdiri sambil membawa piring kotor bekas mi tadi.
"Ya, sudah. Penting kalian nggak lagi tengkar aja."
"Bu, aku pengen nginep malam ini, ya. Boleh, kan?" teriak Risma sambil mencuci piring.
Langkah ibunya terhenti di undakan pertama tangga. "Pamit sama suamimu dulu. Ibu nggak bisa ngasih ijin sebelum dia mengiyakan."
Risma manyun. Bakal panjang urusannya kalau sampai minta ijin sama Riswan. Lagian dia masih sangat jengkel sekarang. Mending dia telepon sahabat karibnya saja dan memintanya datang menemani.
Setelah beres mencuci piring, Risma masuk kamar. Mulai menghubungi Zikri Amrullah. Cukup dua kali deringnya terdengar. Lelaki pemilik lesung pipi itu segera menjawab.
"Assalamualaikum," sapa Zikri di seberang, "tumben Ndut telpon? Pasti suami nggak di rumah, ya?"
"Cerewet," balas Risma, "kalau nggak ditelpon bilangnya lupa temen. Gimana, sih."
"Orang salam itu dijawab dulu. Kebiasaan nyerocos aja."
"Kamu tuh bikin aku lupa," kata Risma, "Waalaikumsalam."
"Inget status. Jangan sampai lupa sama dia." Zikri terdengar mengeluarkan tawa. Entah mengejek atau bagaimana.
"Kalau aku pasti inget. Entah kalau dia. Inget punya istri aku, apa nggak?"
Suara Risma mulai terdengar bergetar oleh sahabatnya. "Hust! Jangan suuzon sama suami."
"Aku nggak suuzon, tapi kenyataannya begitu." Getaran suara Risma makin jelas terdengar.
"Oke... oke, aku percaya. Sekarang katakan. Kenapa nelpon?" Zikri tidak akan bisa mendengarkan tangisan sahabatnya itu.
"Main ke rumah, ya, malam ini?" pinta Risma dengan suara memelas.
"Ogah! Suamimu galaknya dah ngalahin ibu tiri aja." Selesai dengan perkataannya, Zikri mendengar suara keras Risma. "Ketawain aja terus. Seneng banget kalau aku menderita. Nggak inget kejadian seminggu setelah kalian menikah?"
"Aku lagi di rumah Ayah. Tenang aja, dia nggak bakalan marah."
"Beneran? Tumben dibolehin ke rumah Ayah?"
"Ntar aku ceritain pokoknya kamu datang aja ke sini. Sekalian ajak bocil, ya. Kangen emek-emek pipinya." Tawa pun memenuhi percakapan mereka kembali.
*****
Celoteh si kecil Hilmi Ahmad, putra Zikri memenuhi ruang tamu keluarga Lutfi. Di dapur, Rini beserta istrinya sang sahabat tengah mencoba resep baru. Suatu kebahagiaan tersendiri bagi keluarga itu karena sehari-hari rumah mereka terasa sangat sepi.
"Suruh temenmu cepet beranak, Zik," pinta Lutfi menggoda putrinya.
"Ayah kalau ngomong. Berasa aku sapi aja pake kata beranak."
"Lha gimana. Udah setahun nikah juga belum brojol cucu Ayah." Lutfi memgambil Hilmi dari pangkuan Risma. Menggoda dengan menciumi seluruh wajah. "Nggak kasihan sama Ayah."
Zikri yang melihat perubahan raut wajah Risma, menggelengkan kepala. Tanda bahwa sang sahabat tak boleh menyanggah kalimat Lutfi. "Bentar lagi kayaknya, Om," timpalnya, "lemburin dong, Ndut, ngadonnya biar cepet jadi."
Baru saja bibir Zikri terkatup rapat. Sebuah suara terdengar tak suka dengan ucapannya. "Ya kali kami ngadon mesti ngasih tahu dirimu. Nggak bakalan ngomong juga kalau kita lagi lembur." Lelaki yang tak lain adalah Riswan itu mengambil tangan sang mertua lalu mencium takzim.
"Woy, selow, Mas. Lagian aku cuma canda, kok." Zikri mencoba mencairkan emosi Riswan.
"Bercanda ada tempatnya. Lagian ngapain kamu datang ke sini saat Risma ngga sama aku? Kalian sengaja janjian di belakangku, ya?"
Semua pasang mata yang ada di ruang tamu itu menatap Riswan dengan tatapan aneh.
Happy Reading*****"Apaan sih, Mas?" sanggah Risma, "datang-datang malah nuduh yang nggak jelas. Zikri itu sahabatku dari bayi. Lagian kami bertetangga. Wajar dong dia main ke sini.""Kamu anggap hal ini wajar? Ikut aku!" Riswan menarik pergelangan tangan istrinya. Masuk ke kamar mereka ketika berkunjung.Ayahnya menatap bingung. Sementara dua wanita yang sejak tadi berjibaku di dapur tergopoh penasaran."Lepas, Mas! Sakit tahu," pinta Risma sambil tangannya berusaha melepas cekalan sang suami."Maaf," ucap Riswan. Dia melihat tangan dang istri memerah. "Mas nggak suka lihat kamu deketan sama Zikri.""Kenapa nggak suka? Aku, kamu larang deket sama Zikri. Lalu, kenapa kamu masih deket sama mantanmu?" Risma menatap nyalang, seolah menantang kemarahan suaminya."Mantan yang mana?""Oh!" jawab Risma kaget. "Mantanmu banyak berati, ya. Semakin mantap aku untuk berpisah.""Risma!" teriak Riswan penuh emosi. "Buang jauh-jauh pikiran negatifmu. Aku nggak seperti yang kamu pikirkan."Suara k
*****Puas melampiaskan keinginannya yang tak bisa dicegah, Riswan keluar kamar mandi di dekat dapur. Saat itu, Risma baru saja turun untuk mengambil minum. Dilihatnya sang suami dengan rambut basah dan wajah yang terlihat segar."Mas mandi malam-malam? Terus pake handuk sama sabun siapa?" Risma mulai mengintimidasi. Matanya awas menatap Riswan dari ujung kaki hingga kepala.Ditanya seperti itu oleh istrinya, Riswan gelagapan. "Aku gerah, Ris, jadi mandi. Ada sabun cair di dalam. Ibu juga naruh tumpukan handuk di lemari kecil dekat bak.""Emang dari warung belum mandi?" Risma masih terus mengejar."Ya belumlah. Dari warung tadi aku langsung ke sini. Rencana jemput kamu, tapi ternyata kamu minta nginep." Riswan sudah seperti maling yang akan tertangkap. Padahal, hanya hal sepele. Dia sering melakukannya juga di rumah. Mandi tidak pada umumnya.Sekarang, semenjak sang istri menuntut haknya. Hal sekecil apa pun yang memicu kecurigaan Risma akan menjadi pertanyaan besar dan berkepanjangan
Happy Reading***** Riswan begitu bahagia bertemu dengan putrinya Iklima, Dara Narendra. Sampai-sampai menyeruh si sahabat untuk memvideokan aktifitas mereka. Sebelum bertemu dengan orang yang akan membantunya, sengaja si lelaki menyempatkan diri mampir ke rumah Iklima. "Wan, dia udah ada di rumah. Baiknya kamu langsung ke sana. Dua jam lagi dia harus ke rumah sakit lagi," kata Iklima. "Oke. Rumahnya no 25 kan?" "Iya." Disertai anggukan Iklima. "Sorry aku nggak bisa nemeni." "Its okey." Riswan mencium pipi Dara beberapa kali setelannya meninggalkan mereka. Rumah dengan nomor 25 terletak tak jauh dari tempatnya kini. Menurut Iklima, dokter tersebut adalah salah satu sahabat Iklima pas SMA dulu. Agak ragu sebenarnya si lelaki harus berkonsultasi dengan seseorang yang belum dikenalnya. Akan tetapi, Riswan mencoba menepis semua rasa canggung itu. Tuntutan dan tekanan dari Risma membuat pening keoala dan memaksanya harus melakukan. Ragu-ragu, dia memencet bel yang berada di luar pa
***** "Apa?" tantang Risma tak mau kalah. "Bukannya Mas juga menikmati saat-saat bersama mantan dan putrinya." Dia sengaja menggandeng tangan Zikri untuk menyingkir. "Jangan gini, dong, Ndut. Aku makin merasa bersalah. Dikira pebinor nanti." "Biarin. Dia aja seenaknya kok. Masak aku nggak boleh?" Risma tetap menggandeng tangan Zikri dan membiarkan suaminya melihat dengan mata membulat. "Risma!" panggil si lelaki yang telah berstatus suaminya. "Berhenti atau aku akan melarangmu nginep di rumah Ayah." Si perempuan berbalik. "Beraninya cuma ngancam. Larang aja, aku bakalan minggat." Zikri menganga, omongan si sahabat ngawur saja saat emosi. Apa katanya tadi, minggat? Mau ke mana Risma, jika pergi paling jauh saja cuma di kecematan sebelah. Ingin rasanya tertawa, tetapi jelas akan memperparah keadaan. "Ya udah terserah kamu. Jangan nyalahin, Mas, kalau Bunda sampai menginterogasimu nanti." Santai dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana, Riswan berbalik arah akan meninggalkan
***** Risma baru akan mendengarkan percakapan suaminya kembali. Namun, suara panggilan dari perempuan yang telah melahirkannya terdengar. Gegas dia menghampiri tak berapa lama setelahnya kedua mertua menyapa. Kedua orang tua dan mertua Risma tampak berbahagia. Dua sahabat yang tak setiap hari bertemu itu saling melempar candaan. Risma mengatur napas panjang dan perlahan meninggalkan mereka. Duduk pada sebuah meja kosong sambil memperhatikan interaksi sang suami dengan para sahabatnya. Andai dia mengundang Zikri beserta keluarga pasti tak akan kesepian seperti sekarang. Di saat suaminya sibuk dengan para tamu, dia malah sendiri merenungi nasib. Saat tatapan Risma tak menemukan sosok Riswan. Rasa khawatir itu datang apalagi Iklima juga menghilang padahal tadi keduanya terlihat bersenda gurau. "Di mana mereka? Apa mungkin lagi kencan? Kenapa aku bisa kecolongan." Celingak-celinguk mencari sosok suaminya, Risma dikejutkan dengan sebuah suara. "Sayang, makan dulu." Menengok ke sumber
Hari semakin larut saat dua pasangan muda itu sampai di rumah. Dua hari berada di kediaman orang tuanya membuat Risma rindu dengan kamar yang setahun ini telah menjadi saksi bisu perjalanan rumah tangganya. Teringat kembali tentang wanita yang membuat suaminya enggan berpaling menatap yang lain. Dia bertekad akan meluluhkan hati Riswan.Bisa jadi, usaha Risma kurang maksimal untuk menarik perhatian suaminya. Berjalan ke arah lemari. Kembali, perempuan itu mencari koleksi baju seksi yang beberapa waktu lalu dibelinya. Kali ini, warna hitam menjadi pilihan. Membayangkan Riswan akan menatapnya dengan buas, jantung Risma berdetak cepat.Sebelum lelaki itu masuk kamar, gegas Risma mengganti pakaiannya. Menyemprotkan parfum yang katanya bisa membangkitkan libido seoarang lelaki. Riasan minimalis juga disapukan ke wajah. Malam ini, rencananya tak boleh gagal. Hampir setengah jam berlalu, akhirnya pintu kamar dibuka.Menatap pose menantang sang istri di atas ranjang, Riswan berjalan mendeka
Sesampainya di rumah, Risma menangis sekencang-kencangnya. Dia memang bukan perempuan seksi seperti yang digandeng Riswan tadi. Bukan wanita pesolek yang pandai merawat tubuh, tapi penampilannya tak kalah jika sedang di rumah saat tengah berdua saja dengan suaminya.Namun, mengapa Riswan masih enggan untuk menyentuhnya. Sekedar bermesraan seperti yang dilakukan pada perempuan itu saja sangatlah jauh. Apa benar bahwa suaminya tidak pernah menginginkan dia ada di sisinya."Udahlah, Ris. Kalau kamu nangis terus nggak bakalan nyelesaikan masalah," ujar Intan yang masih setia menemani sahabatnya. "Mending kalau nanti Mas Riswan pulang kamu tanya baik-baik. Siapa tahu cewek itu salah satu rekan kerja yang punya modal buat waralaba usaha sate. Katamu, sekarang warung sate Mas Riswan buka waralaba.""Kamu salah, Tan. Dia bukan rekan kerja suamiku. Kemarin malam aku juga melihatnya datang ke acara pembukaan cabang baru dan adegan mesra seperti tadi kembali terulang. Kayaknya aku mau nyerah aja
"Ibu?" ucap Risma setengah terkejut, demikian juga Intan.Apalagi tadi pertanyaan Rini mengarah pada perempuan hamil itu. "Kenapa terkejut? Apa ada sesuatu yang terjadi denganmu, Ris?" Kedua indera ibu dua anak itu menatap intens wajah si sulung.Risma mulai salah tingkah, sesekali memandang ke arah sahabatnya. "Nggak ada apa-apa kok, Bu," jawabnya, "Intan lagi kena sindrom Ibu hamil, makanya pengen konsul ke psikolog atau psikiater. Benar kan, Tan?" Dia mencubit paha sahabatnya pelan."Iya benar, Te." Intan berdiri dan menyalami Rini. Sudah cukup lama keduanya tak bertemu apalagi semenjak hamil. "Tante apa kabar?""Alhamdulillah seperti yang kamu lihat Tante sehat dan baik-baik saja." Rini mengelus perut buncit calon ibu muda di depannya. "Baguslah kalau nggak terkait sama kamu, Ris," ucapnya sambil melirik si sulung."Nggaklah, Bu. Aku baik-baik saja." Dalam hati, Risma berdoa semoga Allah mengampuni dosanya karena sudah berbohong."Ibu cuma khawatir. Beberapa kali bertemu kamu dan