Share

6. Bertemu

Author: pramudining
last update Last Updated: 2022-07-28 07:48:40

Happy Reading

*****

Riswan begitu bahagia bertemu dengan putrinya Iklima, Dara Narendra. Sampai-sampai menyeruh si sahabat untuk memvideokan aktifitas mereka. Sebelum bertemu dengan orang yang akan membantunya, sengaja si lelaki menyempatkan diri mampir ke rumah Iklima.

"Wan, dia udah ada di rumah. Baiknya kamu langsung ke sana. Dua jam lagi dia harus ke rumah sakit lagi," kata Iklima.

"Oke. Rumahnya no 25 kan?"

"Iya." Disertai anggukan Iklima. "Sorry aku nggak bisa nemeni."

"Its okey." Riswan mencium pipi Dara beberapa kali setelannya meninggalkan mereka.

Rumah dengan nomor 25 terletak tak jauh dari tempatnya kini. Menurut Iklima, dokter tersebut adalah salah satu sahabat Iklima pas SMA dulu. Agak ragu sebenarnya si lelaki harus berkonsultasi dengan seseorang yang belum dikenalnya.

Akan tetapi, Riswan mencoba menepis semua rasa canggung itu. Tuntutan dan tekanan dari Risma membuat pening keoala dan memaksanya harus melakukan.

Ragu-ragu, dia memencet bel yang berada di luar pagar. "Bismillah. Semoga ini yang terbaik."

"Dokter Farel ada?" tanya Riswan pada perempuan baya yang mengenakan daster batik.

"Ada. Sudah punya janji?" tanya balik si Ibu.

"Saya temannya dokter Iklima."

"Oh. Silakan masuk, Pak," pinta ibu itu yang Riswan perkirakan adalah asisten rumah tangga sang dokter. "Saya panggilkan Pak dokter dulu."

Tak lama berselang, keluarlah seorang lelaki bertebuh gempal dengan rambut bergelombang. Riswan menyipitkan mata, dia seperti mengenal. Namun, tak tahu di mana. Wajah itu tak asing rasanya.

"Lho!" kata si dokter terkejut, "bukannya kamu Riswan, putranya Om Fadil?"

Riswan menyipitkan mata, "Pak Dokter kenal dengan saya?"

Si Dokter yang bernama Farel itu merangkul Riswan ke dalam pelukannya. "Kamu lupa sama aku?"

"Eh."

"Dih, ya. Saking lamanya nggak ketemu, aku kamu lupain. Apa kabarmu, Wan?" tanya Farel tanpa menjelaskan siapa dia sebenarnya.

"Sorry, deh. Aku beneran lupa. Jadi, apa kamu salah satu temen sekolahku?"

Farel tertawa keras. "Ingatanmu payah, Wan," cibirnya, "aku itu anaknya Pak Mufid. Tetanggamu dulu sebelum bapakku pindah tugas."

Riswan menepuk kening. "Astagfirullah. Pantas wajahmu nggak asing, tapi bukannya dulu panggilanmu Malik?"

"Haist." Tangan Farel menunjuk kursi yang artinya menyuruh Riswan untuk duduk kembali. "Malik nama tengahku kalau kamu lupa."

Keduanya tertawa. Setelah sedikit bernostalgia tentang masa lalu mereka. Farel mulai menginterogasi sahabat masa kecilnya.

"So, apa yang membuatmu datang untuk berkonsultasi denganku. Apa ada masalah kesehatan denganmu?" Pertanyaan Farel mulai serius.

Menyapu pandangan ke sekeliling, Riswan terlihat ragu untuk bercerita.

*****

"Gila kamu, ya. Nggak tahu aku lagi kerja main maksa aja minta ditemeni." Zikri terengah-engah mendekati perempuan bergamis biru dongker yang tengah menikmati es krim di taman kota.

"Selow aja kali. Lagian kalau aku nggak ngancam gitu. Kamu nggak bakalan dateng. Punya temen nggak peka banget, sih."

Satu sentilan mendarat di kening Risma. "Kamu kira aku nggak punya kesibukan lain selain nemeni kegalauanmu, Ndut. Lagian hidup kok galau melulu. Ada apa, sih?"

Bagaimana nggak galau kalau status sang suami begitu bahagia bermain dengan putri dari mantannya. Padahal saat Risma meminta hak sebagai istri agar bisa memiliki momongan, Riswan malah tak memberikannya. Perempuan berjilbab itu mengembuskan napas panjang. Merogoh saku gamisnya, mengeluarkan benda pipih pintar.

"Lihat ini?" tunjuk Risma pada postingan video Riswan. "Lihat senyumnya? Segitu bahagianya dia, tapi saat bersamaku tak pernah sebahagia itu."

Zikri menikmati setiap gambar yang tersaji di video itu. "Anak siapa sih? Lucu banget tahu. Pantas senyum suamimu lebar banget. Anak itu gemesin banget."

"Anaknya emang lucu, tapi yang aneh suamiku. Katanya nggak suka anak-anak. Selalu bilang belum siap kalau udah bahas tentang anak. Aku capek, Zik. Kayaknya aku bakal gugat cerai dia." Risma berkata sangat lirih.

"Apa? Nggak salah dengar aku?" Zikri mengubah posisi duduknya. Menatap tajam pada si sahabat.

"Aku lelah menjalani pernikahan pura-pura ini."

"Ndut, kalau  ngomong yang jelas, dong. Pernikahan pura-pura gimana maksudmu? Bukannya Riswan sangat baik. Ya, meskipun kadang cemburuan, tapi itu adalah bukti cintanya. Wajar, sih, menurutku."

Pandangan Risma entah ke mana. Dia memasukkan es krim ke mulut, mencoba mendinginkan hati dan pikiran. Walau bagaimanapun, tidak mungkin dia bercerita pada Zikri bahwa sampai saat ini dirinya dan Riswan belum pernah melakukan hak dan kewajiban sebagai suami istri.

"Kamu nggak akan ngerti meskipun aku jelaskan, Zik. Nyatanya, pernikahan kami itu, hanyalah untuk menyenangkan para orang tua." Hampir saja air itu meleleh di pipi. Risma mendongak dan membuang muka. "Traktir aku, dong, Zik. Lagi laper nih. Galau itu selalu membuat perutku perih."

"Huh, dasar. Ini, nih, isinya makanan melulu." Zikri menunjuk kepala Risma beberapa kali. "Jangan makan melulu, kalau badanmu tambah melar. Makin susah kamu hamilnya. Si rahim bakal ketutup lemak. Ngerti?"

"Dah kayak dokter aja, lho." Risma berdiri. Perutnya benar-benar minta diisi makanan berat. "Pelit, ya, pelit aja. Nggak usah bawa-bawa body."

"Sembarangan ngatain pelit. Gimana kalau kita taruhan. Kalau kamu bisa ngejar dan nangkap tuh burung gereja aku traktir makan sampai puas."

Risma melirik ke arah jari telunjuk Zikri. Ada burung gereja yang sedang mendarat di tanah. Sepertinya, tantangan yang sangat menarik. Si perempuan pun menganggukkan kepala. "Oke. Nggak boleh curang. Awas aja ingkar janji. Aku sunat lagi dirimu."

Risma tertawa lebar. Melupakan sebentar masalah yang tengah melandanya. Namun, semua itu berlangsung sebentar saja.

"Bagus. Lagi nggak sama suami malah ketawa lebar. Pantas aja nggak balik-balik ke rumah," kata Riswan yang tiba-tiba datang dan menghentikan perasaan gembira dua sahabat itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
jadi lonte aja risma, biar dapat duit dan kepuasan jd g perlu lagi banyak drama.
goodnovel comment avatar
Senita Depari
penasaran ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   2 14. Kebahagiaan Sesungguhnya

    Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   213. Ulang Tahun Pernikahan 2

    Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   212. Ulang tahun Pernikahan

    Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   211. Rencana Pernikahan masal

    Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   210. Keberanian Hilmi

    Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   209. Kebahagiaan Datang

    Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status