*****
"Apa?" tantang Risma tak mau kalah. "Bukannya Mas juga menikmati saat-saat bersama mantan dan putrinya." Dia sengaja menggandeng tangan Zikri untuk menyingkir.
"Jangan gini, dong, Ndut. Aku makin merasa bersalah. Dikira pebinor nanti."
"Biarin. Dia aja seenaknya kok. Masak aku nggak boleh?" Risma tetap menggandeng tangan Zikri dan membiarkan suaminya melihat dengan mata membulat.
"Risma!" panggil si lelaki yang telah berstatus suaminya. "Berhenti atau aku akan melarangmu nginep di rumah Ayah."
Si perempuan berbalik. "Beraninya cuma ngancam. Larang aja, aku bakalan minggat."
Zikri menganga, omongan si sahabat ngawur saja saat emosi. Apa katanya tadi, minggat? Mau ke mana Risma, jika pergi paling jauh saja cuma di kecematan sebelah. Ingin rasanya tertawa, tetapi jelas akan memperparah keadaan.
"Ya udah terserah kamu. Jangan nyalahin, Mas, kalau Bunda sampai menginterogasimu nanti." Santai dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana, Riswan berbalik arah akan meninggalkan istrinya.
"Tunggu, maksudnya apa?" Risma menghentikan langkah dan melirik suaminya.
"Ada acara pembukaan warung sate yang deket pasar. Bunda nyuruh Mas buat jemput. Dari kemarin, Mas itu alasan ke Bapak dan Bunda kalau kamu lagi nggak enak badan. Untung, mereka nggak nanya ke Ayah atau Ibu."
"Kamu doain aku sakit, Mas?" ujar Risma yang terkejut mendengar suami menggunakan sakit sebagai alasan pada mertuanya.
"Kenapa Mas selalu salah? Kalau bukan alasan sakit, lalu apa?"
Zikri menggaruk kepala. Pasangan suami istri itu benar-benar tidak tahu tempat saat bertengkar. Tak risih sama sekali walau ada dirinya di antara mereka.
"Udahlah, Ndut. Berasa obat nyamuk aja aku. Mending kamu pulang sama Mas Riswan, aku mau nerusin kerja. Bisa nggak ngebul dapur istriku kalau terus lihat pertengkaran kalian."
"Bagus kalau sadar. Dari tadi nggapain aja?" Omongan Riswan masih saja sinis.
Zikri mendekat pada Riswan. Menepuk pundaknya dan berbisik, "Kalau bukan karena Ndut, udah kurobek aja mulutmu, Mas. Jaga baik-baik hatinya. Jangan biarkan dia mengeluh pada lelaki lain selain dirimu. Nggak masalah kalau curhat sama aku, tapi pikirkan jika dia sampai menemukan tempat bersandar ternyaman dan itu bukan dirimu." Dia melirik ke arah Risma setelah membuat Riswan mendelik. "Ndut, aku pulang dulu."
*****
Belum hilang rasa kesal di hati Risma, malam ini dia dituntut memainkan peran sebagai pasangan yang saling mencintai. Mendampingi suaminya pada acara pembukaan warung sate yang baru. Alunan musik klasik mulai terdengar oleh indera Risma ketika masuk. Mengenakan gamis batik senada dengan suaminya, dia terlihat sangat cantik. Riswan mengakui itu, tetapi entah mengapa untuk menunaikan hak biologis padanya masih belum dilakukan.
Perlahan tangan si lelaki menggenggam Risma. Mereka sudah hampir dekat dengan para orang tua.
"Hai, Sayang. Gimana keadaanmu? Udah enakan?" tanya Rofikoh pada menantunya.
Risma melirik sebentar pada sang suami dan reaksi lelaki itu sungguh sangat menjengkelkan. Cuek tanpa berniat untuk membantu. Akhirnya si perempuan memutuskan untuk berbohong mengikuti alur yang sudah dibuat Riswan. "Alhamdulillah, Bun. Maaf, selama Bunda menyiapkan semua ini, Risma nggak bisa bantu," sesalnya.
"Nggak papa, Sayang. Asal kamu sehat, Bunda udah seneng. Sakit apa, sih? Jangan-jangan kamu lagi ngidam." Rofikoh mencolek dagu sang menantu.
"Insya Allah. Doakan saja, Bun. Semoga nggak lama lagi impian itu akan terwujud," sela Riswan. Lalu, menoleh ke sumber suara yang memanggilnya keras.
Risma mencebik, dalam hati berkata semoga suaminya bersungguh-sungguh dengan janji yang diberikan pada bundanya. Semua Insya Allah yang lelaki itu ucapkan, kelak pasti akan dimintai pertanggungjawaban.
Rofikoh berjalan mendekati Dara yang datang bersama bundanya. Mencoba berbesar hati, nyatanya rasa sakit itu kian terasa dalam diri Risma. Raut muka Riswan berubah drastis ketika menatap Iklima.
"Assalamualaikum," salam Rofikoh.
Iklima menjawab salam perempuan paruh baya itu. Membiarkan Dara pindah ke gendongan beliau.
"Apa kabar, Ris? Lama nggak ketemu, ya," sapa Iklima pada Risma yang mulai terlihat jengah.
"Alhamdulillah baik. Kamu sendiri apa kabar?" balas Risma.
"Seperti yang kamu lihat."
"Kita keliling tempat ini, yuk. Ada gazebo di belakang dan juga tempat yang nyaman buat rapat." Riswan mencoba mengalihkan perbincangan kedua perempuan itu.
Sampai di sebuah gazebo. Iklima menatap Riswan tajam. "Kamu, ya. Nggak lihat muka istrimu udah kayak mau makan aku. Kenapa, sih, suka banget bikin dia cemburu."
"Siapa yang cemburu? Risma tuh nggak bakalan cemburu."
Lelaki itu terus saja mengajak Iklima berbincang dan berkeliling. Hal yang sebenarnya adalah, Riswan ingin menghindari ibu satu anak itu bercerita pada istrinya tentang kondisinya. Rasanya, dia belum siap jika sampai iklima bercerita.
"Wan, baiknya kamu temeni istrimu, deh. Aku bisa keliling sendiri. Lagian para tamu udah pada datang." Iklima berlalu meninggalkan Riswan.
Kedua orang tua Risma juga sudah hadir. Setidaknya dengan kehadiran mereka, si sulung sedikit terhibur. Suara salam dari ayah mertuanya terdengar. Membuat semua orang yang hadir kini fokus pada sosoknya.
Beberapa kata pembuka lelaki itu sampaikan dan dengan mengucap basmalah. Warung sate cabang ketiga milik keluarga Riswan diresmikan semua bersorak penuh kebahagiaan. Acara dilanjutkan dengan makan-makan dan saat itulah Risma merasakan seseorang mengamati setiap gerak-geriknya.
Perempuan itu tak mengenal siapa lelaki yang tengah intens menatapnya. Namun, dari pandangan yang dilakukan, dia menjadi risih. Malas berpikir, Risma meninggalkan area itu, mencari tempat sepi untuk menyendiri.
"Istrimu lumayan cantik, Wan. Nggak ada cacat sama sekali. Dari pandanganku, sih, dia penyayang dan penyabar. Tega kamu anggurin dia sampai setahun. Gimana kalau ada yang ngembat nanti?"
Riswan memukul lelaki yang berbicara di sampingnya. "Diam! Banyak kuping yang bisa mendengar omonganmu," ujarnya memperingatkan.
"Kalau gitu laksanakan kewajibanmu. Jangan dianggurin," kata si sahabat.
"Diam," perintah Riswan.
Tanpa keduanya tahu, Risma mendengar semua percakapan itu. Sempat berniat pergi, tetapi perempuan itu malah berbalik.
'Apa yang sebenarnya kamu rahasiakan, Mas?'
***** Risma baru akan mendengarkan percakapan suaminya kembali. Namun, suara panggilan dari perempuan yang telah melahirkannya terdengar. Gegas dia menghampiri tak berapa lama setelahnya kedua mertua menyapa. Kedua orang tua dan mertua Risma tampak berbahagia. Dua sahabat yang tak setiap hari bertemu itu saling melempar candaan. Risma mengatur napas panjang dan perlahan meninggalkan mereka. Duduk pada sebuah meja kosong sambil memperhatikan interaksi sang suami dengan para sahabatnya. Andai dia mengundang Zikri beserta keluarga pasti tak akan kesepian seperti sekarang. Di saat suaminya sibuk dengan para tamu, dia malah sendiri merenungi nasib. Saat tatapan Risma tak menemukan sosok Riswan. Rasa khawatir itu datang apalagi Iklima juga menghilang padahal tadi keduanya terlihat bersenda gurau. "Di mana mereka? Apa mungkin lagi kencan? Kenapa aku bisa kecolongan." Celingak-celinguk mencari sosok suaminya, Risma dikejutkan dengan sebuah suara. "Sayang, makan dulu." Menengok ke sumber
Hari semakin larut saat dua pasangan muda itu sampai di rumah. Dua hari berada di kediaman orang tuanya membuat Risma rindu dengan kamar yang setahun ini telah menjadi saksi bisu perjalanan rumah tangganya. Teringat kembali tentang wanita yang membuat suaminya enggan berpaling menatap yang lain. Dia bertekad akan meluluhkan hati Riswan.Bisa jadi, usaha Risma kurang maksimal untuk menarik perhatian suaminya. Berjalan ke arah lemari. Kembali, perempuan itu mencari koleksi baju seksi yang beberapa waktu lalu dibelinya. Kali ini, warna hitam menjadi pilihan. Membayangkan Riswan akan menatapnya dengan buas, jantung Risma berdetak cepat.Sebelum lelaki itu masuk kamar, gegas Risma mengganti pakaiannya. Menyemprotkan parfum yang katanya bisa membangkitkan libido seoarang lelaki. Riasan minimalis juga disapukan ke wajah. Malam ini, rencananya tak boleh gagal. Hampir setengah jam berlalu, akhirnya pintu kamar dibuka.Menatap pose menantang sang istri di atas ranjang, Riswan berjalan mendeka
Sesampainya di rumah, Risma menangis sekencang-kencangnya. Dia memang bukan perempuan seksi seperti yang digandeng Riswan tadi. Bukan wanita pesolek yang pandai merawat tubuh, tapi penampilannya tak kalah jika sedang di rumah saat tengah berdua saja dengan suaminya.Namun, mengapa Riswan masih enggan untuk menyentuhnya. Sekedar bermesraan seperti yang dilakukan pada perempuan itu saja sangatlah jauh. Apa benar bahwa suaminya tidak pernah menginginkan dia ada di sisinya."Udahlah, Ris. Kalau kamu nangis terus nggak bakalan nyelesaikan masalah," ujar Intan yang masih setia menemani sahabatnya. "Mending kalau nanti Mas Riswan pulang kamu tanya baik-baik. Siapa tahu cewek itu salah satu rekan kerja yang punya modal buat waralaba usaha sate. Katamu, sekarang warung sate Mas Riswan buka waralaba.""Kamu salah, Tan. Dia bukan rekan kerja suamiku. Kemarin malam aku juga melihatnya datang ke acara pembukaan cabang baru dan adegan mesra seperti tadi kembali terulang. Kayaknya aku mau nyerah aja
"Ibu?" ucap Risma setengah terkejut, demikian juga Intan.Apalagi tadi pertanyaan Rini mengarah pada perempuan hamil itu. "Kenapa terkejut? Apa ada sesuatu yang terjadi denganmu, Ris?" Kedua indera ibu dua anak itu menatap intens wajah si sulung.Risma mulai salah tingkah, sesekali memandang ke arah sahabatnya. "Nggak ada apa-apa kok, Bu," jawabnya, "Intan lagi kena sindrom Ibu hamil, makanya pengen konsul ke psikolog atau psikiater. Benar kan, Tan?" Dia mencubit paha sahabatnya pelan."Iya benar, Te." Intan berdiri dan menyalami Rini. Sudah cukup lama keduanya tak bertemu apalagi semenjak hamil. "Tante apa kabar?""Alhamdulillah seperti yang kamu lihat Tante sehat dan baik-baik saja." Rini mengelus perut buncit calon ibu muda di depannya. "Baguslah kalau nggak terkait sama kamu, Ris," ucapnya sambil melirik si sulung."Nggaklah, Bu. Aku baik-baik saja." Dalam hati, Risma berdoa semoga Allah mengampuni dosanya karena sudah berbohong."Ibu cuma khawatir. Beberapa kali bertemu kamu dan
Rini turun dari motor, berjalan mendekati menantunya. "Mas Riswan," panggilnya, "kalau mau bermesraan dengan perempuan lain selain istrimu sebaiknya jangan di depan rumah kayak gini. Akan banyak tetangga yang berpikir jelek nantinya."Si lelaki menoleh, tetapi masih tetap memegang tangan perempuan itu. "Ibu kapan datang?"Rini menatap tajam ke arah tangan keduanya. "Sudah dari tadi Ibu di sini. Besok sore tolong temuin Ibu sama Ayah di rumah. Jangan lupa bawa istrimu." Perempuan sepuh itu kembali ke motor setelah Riswan menyalaminya dan menyanggupi permintaan yang diucapkan tadi.Risma masih berdiri tenang di dekat gerbang. Seketika dia berpikir untuk menyiapkan segala jawaban yang akan dikeluarkan besok. Jika ibunya sudah berkata demikian, maka sesampainya di rumah pasti akan bercerita pada Lutfi.'Ya Allah. Apa Mas Riswan sudah kehilangan akal hingga membawa perempuan itu ke rumah.' Kata Risma dalam hati.Melihat motor Rini sudah melaju cukup jauh, Risma masuk tanpa peduli dengan ke
Happy Reading*****"Sayang Mas keluar, ya. Nggak usah nunggu, takutnya pulang udah larut. Mas bawa kunci serep aja." Riswan menyempatkan mencium kening istrinya, lalu pergi tanpa mengatakan ke mana tujuannya.Risma kembali fokus pada ponselnya, lalu mengetikkan beberapa kata pada kedua sahabatnya. Setelah mengirimkan pesan pada seseorang, dia berusaha memejamkan mata. Berharap semua akan baik-baik saja.*****Mentari sudah naik sepenggalah saat Risma membuka mata. Menoleh ke samping, tak ada sosok Riswan di sebelahnya. Dia berpikir mungkin suaminya menginap di tempat perempuan itu. Akhirnya dia turun dari pembaringan dan menuju dapur."Assalamualaikum. Pagi, Sayang," sapa Riswan yang sudah berkutat di dapur. "Nyenyak tidurnya? Mas tahu kamu masih halangan, makanya nggak dibangunin pas subuh tadi."Masih dengan muka berantakan, Risma tersenyum setelah menjawab salam suaminya. Sempat berpikir kalau lelaki itu tidak pulang karena sampai pukul dua dini hari, dia masih belum melihatnya ti
Happy Reading*****Hening beberapa menit hingga suara salam terdengar. Jangan ditanya bagaimana senangnya hati Risma saat doanya dikabulkan. Dia membuang napas lega. Setidaknya dengan kedatangan seseorang yang mengucap salam tadi, ayah dan ibunya akan berhenti mengintimidasi.Namun, begitu pintu dibuka oleh ibunya, Risma mengucap istigfar. Bakalan panjang perbincangan mereka. Lutfi pasti telah mengundang sahabat karibnya yang tak lain sang mertua. Memejamkan mata sambil memijat pelipisnya, Risma berdesis."Santai, Yang. Aku yang bakal tanggung jawab kalau Ayah marah," bisik Riswan menenangkan."Aku nggak pernah lihat Ayah mertua marah, Mas. Jadi takut banget. Kenapa mesti nyari gara-gara, sih." Risma menjawab tak kalah lirih."Duduk, Dil. Kamu datang tepat waktu," kata Lutfi setelah bersalaman dengan sahabatnya."Jelaslah. Kamu tahu, aku paling anti dengan kata telat. Jadi, gimana?" tanya Fadil to the point."Gimana, Mas? Tolong kamu jawab pertanyaan ayahmu," perintah Lutfi.Kedua or
"Sayang, denger dulu," pinta Riswan mengiba.Setelah mendapat telepon dari perempuam bernama Yustina, Risma meminta suaminya untuk membatalkan rencana mereka. "Aku nggak mau denger, Mas. Pokoknya kita pulang sekarang atau aku akan loncat.""Ris, jangan gitu, dong," rayu lelaki dengan tinggi 170 cm itu. "Percayalah aku cuma berusaha menghibur dia. Kita sudah berteman lama, masak iya Mas nggak peduli dengan kesedihannya. Kalau Zikri dalam keadaan seperti itu, Mas, yakin kamu juga akan berusaha menghiburnya mati-matian. Bener, kan?""Mas, cukup. Sebaiknya kamu antar aku ke rumah Ibu. Jangan samakan kasusmu dengan sahabatku, Zikri nggak akan pernah meminta hal demikian. Sekarang antar aku ke rumah Ibu," pinta Risma. Pikirannya benar-benar kacau. Tega sekali suaminya berbuat hal semacam itu."Jangan, dong. Kamu mau Mas diinterogasi kayak tadi? Jangan buat keluarga makin cemas dengan pernikahan kita. Kita pulang ke rumah aja, ya?" rayu si lelaki.Risma memutar bola mata. "Kamu yang bikin ul