Share

7. Alasan Klasik

Author: pramudining
last update Last Updated: 2022-08-04 18:17:31

*****

"Apa?" tantang Risma tak mau kalah. "Bukannya Mas juga menikmati saat-saat bersama mantan dan putrinya." Dia sengaja menggandeng tangan Zikri untuk menyingkir.

"Jangan gini, dong, Ndut. Aku makin merasa bersalah. Dikira pebinor nanti."

"Biarin. Dia aja seenaknya kok. Masak aku nggak boleh?" Risma tetap menggandeng tangan Zikri dan membiarkan suaminya melihat dengan mata membulat.

"Risma!" panggil si lelaki yang telah berstatus suaminya. "Berhenti atau aku akan melarangmu nginep di rumah Ayah."

Si perempuan berbalik. "Beraninya cuma ngancam. Larang aja, aku bakalan minggat."

Zikri menganga, omongan si sahabat ngawur saja saat emosi. Apa katanya tadi, minggat? Mau ke mana Risma, jika pergi paling jauh saja cuma di kecematan sebelah. Ingin rasanya tertawa, tetapi jelas akan memperparah keadaan.

"Ya udah terserah kamu. Jangan nyalahin, Mas, kalau Bunda sampai menginterogasimu nanti." Santai dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana, Riswan berbalik arah akan meninggalkan istrinya.

"Tunggu, maksudnya apa?" Risma menghentikan langkah dan melirik suaminya.

"Ada acara pembukaan warung sate yang deket pasar. Bunda nyuruh Mas buat jemput. Dari kemarin, Mas itu alasan ke Bapak dan Bunda kalau kamu lagi nggak enak badan. Untung, mereka nggak nanya ke Ayah atau Ibu."

"Kamu doain aku sakit, Mas?" ujar Risma yang terkejut mendengar suami menggunakan sakit sebagai alasan pada mertuanya.

"Kenapa Mas selalu salah? Kalau bukan alasan sakit, lalu apa?"

Zikri menggaruk kepala. Pasangan suami istri itu benar-benar tidak tahu tempat saat bertengkar. Tak risih sama sekali walau ada dirinya di antara mereka.

"Udahlah, Ndut. Berasa obat nyamuk aja aku. Mending kamu pulang sama Mas Riswan, aku mau nerusin kerja. Bisa nggak ngebul dapur istriku kalau terus lihat pertengkaran kalian."

"Bagus kalau sadar. Dari tadi nggapain aja?" Omongan Riswan masih saja sinis.

Zikri mendekat pada Riswan. Menepuk pundaknya dan berbisik, "Kalau bukan karena Ndut, udah kurobek aja mulutmu, Mas. Jaga baik-baik hatinya. Jangan biarkan dia mengeluh pada lelaki lain selain dirimu. Nggak masalah kalau curhat sama aku, tapi pikirkan jika dia sampai menemukan tempat bersandar ternyaman dan itu bukan dirimu." Dia melirik ke arah Risma setelah membuat Riswan mendelik. "Ndut, aku pulang dulu."

*****

Belum hilang rasa kesal di hati Risma, malam ini dia dituntut memainkan peran sebagai pasangan yang saling mencintai. Mendampingi suaminya pada acara pembukaan warung sate yang baru. Alunan musik klasik mulai terdengar oleh indera Risma ketika masuk. Mengenakan gamis batik senada dengan suaminya, dia terlihat sangat cantik. Riswan mengakui itu, tetapi entah mengapa untuk menunaikan hak biologis padanya masih belum dilakukan.

Perlahan tangan si lelaki menggenggam Risma. Mereka sudah hampir dekat dengan para orang tua.

"Hai, Sayang. Gimana keadaanmu? Udah enakan?" tanya Rofikoh pada menantunya.

Risma melirik sebentar pada sang suami dan reaksi lelaki itu sungguh sangat menjengkelkan. Cuek tanpa berniat untuk membantu. Akhirnya si perempuan memutuskan untuk berbohong mengikuti alur yang sudah dibuat Riswan. "Alhamdulillah, Bun. Maaf, selama Bunda menyiapkan semua ini, Risma nggak bisa bantu," sesalnya.

"Nggak papa, Sayang. Asal kamu sehat, Bunda udah seneng. Sakit apa, sih?  Jangan-jangan kamu lagi ngidam." Rofikoh mencolek dagu sang menantu.

"Insya Allah. Doakan saja, Bun. Semoga nggak lama lagi impian itu akan terwujud," sela Riswan. Lalu, menoleh ke sumber suara yang memanggilnya keras.

Risma mencebik, dalam hati berkata semoga suaminya bersungguh-sungguh dengan janji yang diberikan pada bundanya. Semua Insya Allah yang lelaki itu ucapkan, kelak pasti akan dimintai pertanggungjawaban.

Rofikoh berjalan mendekati Dara yang datang bersama bundanya. Mencoba berbesar hati, nyatanya rasa sakit itu kian terasa dalam diri Risma. Raut muka Riswan berubah drastis ketika menatap Iklima.

"Assalamualaikum," salam Rofikoh.

Iklima menjawab salam perempuan paruh baya itu. Membiarkan Dara pindah ke gendongan beliau.

"Apa kabar, Ris? Lama nggak ketemu, ya," sapa Iklima pada Risma yang mulai terlihat jengah.

"Alhamdulillah baik. Kamu sendiri apa kabar?" balas Risma.

"Seperti yang kamu lihat."

"Kita keliling tempat ini, yuk. Ada gazebo di belakang dan juga tempat yang nyaman buat rapat." Riswan mencoba mengalihkan perbincangan kedua perempuan itu.

Sampai di sebuah gazebo. Iklima menatap Riswan tajam. "Kamu, ya. Nggak lihat muka istrimu udah kayak mau makan aku. Kenapa, sih, suka banget bikin dia cemburu."

"Siapa yang cemburu? Risma tuh nggak bakalan cemburu."

Lelaki itu terus saja mengajak Iklima berbincang dan berkeliling. Hal yang sebenarnya adalah, Riswan ingin menghindari ibu satu anak itu bercerita pada istrinya tentang kondisinya. Rasanya, dia belum siap jika sampai iklima bercerita.

"Wan, baiknya kamu temeni istrimu, deh. Aku bisa keliling sendiri. Lagian para tamu udah pada datang." Iklima berlalu meninggalkan Riswan.

Kedua orang tua Risma juga sudah hadir. Setidaknya dengan kehadiran mereka, si sulung sedikit terhibur. Suara salam dari ayah mertuanya terdengar. Membuat semua orang yang hadir kini fokus pada sosoknya.

Beberapa kata pembuka lelaki itu sampaikan dan dengan mengucap basmalah. Warung sate cabang ketiga milik keluarga Riswan diresmikan semua bersorak penuh kebahagiaan. Acara dilanjutkan dengan makan-makan dan saat itulah Risma merasakan seseorang mengamati setiap gerak-geriknya.

Perempuan itu tak mengenal siapa lelaki yang tengah intens menatapnya. Namun, dari pandangan yang dilakukan, dia menjadi risih. Malas berpikir, Risma meninggalkan area itu, mencari tempat sepi untuk menyendiri.

"Istrimu lumayan cantik, Wan. Nggak ada cacat sama sekali. Dari pandanganku, sih, dia penyayang dan penyabar. Tega kamu anggurin dia sampai setahun. Gimana kalau ada yang ngembat nanti?"

Riswan memukul lelaki yang berbicara di sampingnya. "Diam! Banyak kuping yang bisa mendengar omonganmu," ujarnya memperingatkan.

"Kalau gitu laksanakan kewajibanmu. Jangan dianggurin," kata si sahabat.

"Diam," perintah Riswan.

Tanpa keduanya tahu, Risma mendengar semua percakapan itu. Sempat berniat pergi, tetapi perempuan itu malah berbalik.

'Apa yang sebenarnya kamu rahasiakan, Mas?'

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
pramudining
iya bener...salam kenal
goodnovel comment avatar
Rizwan AsSyifa Qolbu
nama pemerannya sama dengan nama saya RISWAN. ......
goodnovel comment avatar
pramudining
Terima kasih sudah membaca cerita ini, Kak
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   2 14. Kebahagiaan Sesungguhnya

    Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   213. Ulang Tahun Pernikahan 2

    Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   212. Ulang tahun Pernikahan

    Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   211. Rencana Pernikahan masal

    Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   210. Keberanian Hilmi

    Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda

  • Setahun Tanpa Sentuhanmu   209. Kebahagiaan Datang

    Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status