*****
Puas melampiaskan keinginannya yang tak bisa dicegah, Riswan keluar kamar mandi di dekat dapur. Saat itu, Risma baru saja turun untuk mengambil minum. Dilihatnya sang suami dengan rambut basah dan wajah yang terlihat segar.
"Mas mandi malam-malam? Terus pake handuk sama sabun siapa?" Risma mulai mengintimidasi. Matanya awas menatap Riswan dari ujung kaki hingga kepala.
Ditanya seperti itu oleh istrinya, Riswan gelagapan. "Aku gerah, Ris, jadi mandi. Ada sabun cair di dalam. Ibu juga naruh tumpukan handuk di lemari kecil dekat bak."
"Emang dari warung belum mandi?" Risma masih terus mengejar.
"Ya belumlah. Dari warung tadi aku langsung ke sini. Rencana jemput kamu, tapi ternyata kamu minta nginep." Riswan sudah seperti maling yang akan tertangkap. Padahal, hanya hal sepele. Dia sering melakukannya juga di rumah. Mandi tidak pada umumnya.
Sekarang, semenjak sang istri menuntut haknya. Hal sekecil apa pun yang memicu kecurigaan Risma akan menjadi pertanyaan besar dan berkepanjangan. "Biasanya juga di rumah Mas mandi malam-malam. Kalau gerah ya mandi aja. Kenapa sekarang kamu kelihatan curiga gitu?"
Risma melengos. "Gimana nggak curiga. Kamu belum pernah menyentuhku setahun ini. Sekarang, malam-malam kamu mandi dan mencuci rambut. Kamu nggak sedang jajan di luar, 'kan?"
"Jajan gimana maksudmu?" Riswan mulai terpancing amarah. Suka sekali perempuan satu itu membuatnya naik darah.
"Ya, kali. Kamu punya wanita simpanan di luar sana sampai jijik buat menuhi hakku."
"Risma! Ingat, ini rumah Ayah dab Ibu bukan tempat tinggal kita sendiri. Jaga ucapanmu!" Riswan meninggalkan istri sendiri di depan dispenser.
Tak mau kalah, perempuan itupun mengikuti langkah sang istri. "Kamu takut kalau keluarga kita tahu kebusukanmu selama ini?" Suara Risma melengking keras.
Sebagai suami, Riswan hanya bisa mengembuskan napas lelah. Harapannya satu, kali ini semoga sang mertua dan adik ipar tidak mendengar perkataan keras istrinya. Dia memegang pergelangan Risma erat, memaksanya masuk ke dalam kamar.
"Kalau niatmu cuma ingin bertengkar dan menyoal tentang hal itu saja. Sebaiknya kita pulang sekarang." Si lelaki mulai kehilangan kesabaran.
"Nggak. Aku mau nginep di sini. Kalau mau pulang. Ya, sana. Nggak usah sok peduli. Toh kamu sudah sering menyakiti perasaanku." Perempuan itupun mengibaskan cekalan tangan sang suami. Menaruh gelas yang berisi air dan naik ke pembaringan.
Mungkin sampai beberapa hari dia akan menginap di rumah orang tuanya. Toh sama saja dia pulang. Setiap kali melihat sang suami, Risma akan selalu menuntut haknya.
"Baiklah kalau maumu seperti itu. Aku pulang sekarang. Jangan menyesal kalau sampai Ayah atau Ibu mencecar banyak pertanyaan nanti."
*****
Dua hari sudah Risma menginap di rumah orang tuanya. Selama itu pula, Riswan sama sekali tidak berniat menemani atau menjemputnya. Semakin yakin bahwa lelaki itu tidak mencintai dan peduli padanya. Perempuan itu berniat menceritakan hal sebenarnya pada seluruh keluarga.
"Kenapa melamun, Nduk? Tanya Lutfi di sela kegiatannya menonton tayangan sepok bola. "Ini sudah malam ketiga kamu menginap di rumah. Mengapa suamimu belum juga menjemput? Apa dia masih marah dan cemburu pada Zikri?"
"Nggak gitu, Yah. Mas Riswan lagi sibuk sama pembukaan warung yang deket pasar itu. Ayah tahu sendiri kalau dia nggak bisa percaya sama orang lain. Semua harus ditangani sendiri. Makanya, aku nginep di sini. Di rumah sendirian itu nggak enak, lho, Yah." Risma bergelayut pada lengan kanan ayahnya, manja.
"Makanya cepet punya momongan." Lutfi mencium pucuk kepala putrinya penuh kasih sayang. "Suamimu itu sudah mapa secara ekonomi. Dia juga anak tunggal kalau kalian terus nunda momongan kasihan sahabat Ayah. Dia pengen banget nimang cucu."
"Enggeh, Yah. Aku juga lagi usaha, tapi kalau masih belum dipercaya sama Allah untuk diberi amanah mau gimana lagi." Sudut indera Risma memanas.
Elusan lembut, diberikan Lutfi. Dia sendiri pernah mengalami kesulitan mendapatkan momongan. Hinga hampir dua tahun pernikahan barulah Risma hadir dalam rahim Rini. "Kamu dan Mas Riswan sudah pernah cek ke dokter?" tanya lelaki yang masih terlihat tampan.
"Belum, Yah. Mas Riswan belum punya waktu." Setelah ini, kebohongan apalagi yang akan keluar dari mulut perempuan itu. Risma sangat lelah dengan kondisi rumah tangganya. "Yah, aku mau bobok dulu, nggeh?"
Masuk ke kamarnya, tangis Risma pecah. Berapa lama lagi, dia harus menyembunyikan semua kebenaran bahwa pernikahan yang diharapkan oleh dua keluarga itu sedang tidak baik-baik saja. Mencoba mencari ketenangan, dia menghubungi suaminya. Namun, jempolnya lebih tertarik melihat postingan Riswan pada aplikasi bersimbol telepon warna hijau.
Jarang sekali suami Risma itu membuat status. Mata Risma membulat ketika apa yang dilihatnya sungguh diluar nalar. Tega sekali suaminya itu bersenang-senang sedangkan dia di rumah ayahnya tengah pusing memikirkan hubungan pernikahan mereka.
"Jadi, masihkah aku percaya bahwa kamu mencintaiku, Mas. Nyatanya, dia lebih menarik daripada istri sahmu."
Tangis Risma pecah, tak ada lagi harapan untuk hubungannya dengan Riswan. Entah apa maksud suaminya mengunggah foto kebersamaan bersama sang mantan dan putrinya. Jika memang ingin kembali, mengapa tak menceraikannya.
Happy Reading***** Riswan begitu bahagia bertemu dengan putrinya Iklima, Dara Narendra. Sampai-sampai menyeruh si sahabat untuk memvideokan aktifitas mereka. Sebelum bertemu dengan orang yang akan membantunya, sengaja si lelaki menyempatkan diri mampir ke rumah Iklima. "Wan, dia udah ada di rumah. Baiknya kamu langsung ke sana. Dua jam lagi dia harus ke rumah sakit lagi," kata Iklima. "Oke. Rumahnya no 25 kan?" "Iya." Disertai anggukan Iklima. "Sorry aku nggak bisa nemeni." "Its okey." Riswan mencium pipi Dara beberapa kali setelannya meninggalkan mereka. Rumah dengan nomor 25 terletak tak jauh dari tempatnya kini. Menurut Iklima, dokter tersebut adalah salah satu sahabat Iklima pas SMA dulu. Agak ragu sebenarnya si lelaki harus berkonsultasi dengan seseorang yang belum dikenalnya. Akan tetapi, Riswan mencoba menepis semua rasa canggung itu. Tuntutan dan tekanan dari Risma membuat pening keoala dan memaksanya harus melakukan. Ragu-ragu, dia memencet bel yang berada di luar pa
***** "Apa?" tantang Risma tak mau kalah. "Bukannya Mas juga menikmati saat-saat bersama mantan dan putrinya." Dia sengaja menggandeng tangan Zikri untuk menyingkir. "Jangan gini, dong, Ndut. Aku makin merasa bersalah. Dikira pebinor nanti." "Biarin. Dia aja seenaknya kok. Masak aku nggak boleh?" Risma tetap menggandeng tangan Zikri dan membiarkan suaminya melihat dengan mata membulat. "Risma!" panggil si lelaki yang telah berstatus suaminya. "Berhenti atau aku akan melarangmu nginep di rumah Ayah." Si perempuan berbalik. "Beraninya cuma ngancam. Larang aja, aku bakalan minggat." Zikri menganga, omongan si sahabat ngawur saja saat emosi. Apa katanya tadi, minggat? Mau ke mana Risma, jika pergi paling jauh saja cuma di kecematan sebelah. Ingin rasanya tertawa, tetapi jelas akan memperparah keadaan. "Ya udah terserah kamu. Jangan nyalahin, Mas, kalau Bunda sampai menginterogasimu nanti." Santai dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana, Riswan berbalik arah akan meninggalkan
***** Risma baru akan mendengarkan percakapan suaminya kembali. Namun, suara panggilan dari perempuan yang telah melahirkannya terdengar. Gegas dia menghampiri tak berapa lama setelahnya kedua mertua menyapa. Kedua orang tua dan mertua Risma tampak berbahagia. Dua sahabat yang tak setiap hari bertemu itu saling melempar candaan. Risma mengatur napas panjang dan perlahan meninggalkan mereka. Duduk pada sebuah meja kosong sambil memperhatikan interaksi sang suami dengan para sahabatnya. Andai dia mengundang Zikri beserta keluarga pasti tak akan kesepian seperti sekarang. Di saat suaminya sibuk dengan para tamu, dia malah sendiri merenungi nasib. Saat tatapan Risma tak menemukan sosok Riswan. Rasa khawatir itu datang apalagi Iklima juga menghilang padahal tadi keduanya terlihat bersenda gurau. "Di mana mereka? Apa mungkin lagi kencan? Kenapa aku bisa kecolongan." Celingak-celinguk mencari sosok suaminya, Risma dikejutkan dengan sebuah suara. "Sayang, makan dulu." Menengok ke sumber
Hari semakin larut saat dua pasangan muda itu sampai di rumah. Dua hari berada di kediaman orang tuanya membuat Risma rindu dengan kamar yang setahun ini telah menjadi saksi bisu perjalanan rumah tangganya. Teringat kembali tentang wanita yang membuat suaminya enggan berpaling menatap yang lain. Dia bertekad akan meluluhkan hati Riswan.Bisa jadi, usaha Risma kurang maksimal untuk menarik perhatian suaminya. Berjalan ke arah lemari. Kembali, perempuan itu mencari koleksi baju seksi yang beberapa waktu lalu dibelinya. Kali ini, warna hitam menjadi pilihan. Membayangkan Riswan akan menatapnya dengan buas, jantung Risma berdetak cepat.Sebelum lelaki itu masuk kamar, gegas Risma mengganti pakaiannya. Menyemprotkan parfum yang katanya bisa membangkitkan libido seoarang lelaki. Riasan minimalis juga disapukan ke wajah. Malam ini, rencananya tak boleh gagal. Hampir setengah jam berlalu, akhirnya pintu kamar dibuka.Menatap pose menantang sang istri di atas ranjang, Riswan berjalan mendeka
Sesampainya di rumah, Risma menangis sekencang-kencangnya. Dia memang bukan perempuan seksi seperti yang digandeng Riswan tadi. Bukan wanita pesolek yang pandai merawat tubuh, tapi penampilannya tak kalah jika sedang di rumah saat tengah berdua saja dengan suaminya.Namun, mengapa Riswan masih enggan untuk menyentuhnya. Sekedar bermesraan seperti yang dilakukan pada perempuan itu saja sangatlah jauh. Apa benar bahwa suaminya tidak pernah menginginkan dia ada di sisinya."Udahlah, Ris. Kalau kamu nangis terus nggak bakalan nyelesaikan masalah," ujar Intan yang masih setia menemani sahabatnya. "Mending kalau nanti Mas Riswan pulang kamu tanya baik-baik. Siapa tahu cewek itu salah satu rekan kerja yang punya modal buat waralaba usaha sate. Katamu, sekarang warung sate Mas Riswan buka waralaba.""Kamu salah, Tan. Dia bukan rekan kerja suamiku. Kemarin malam aku juga melihatnya datang ke acara pembukaan cabang baru dan adegan mesra seperti tadi kembali terulang. Kayaknya aku mau nyerah aja
"Ibu?" ucap Risma setengah terkejut, demikian juga Intan.Apalagi tadi pertanyaan Rini mengarah pada perempuan hamil itu. "Kenapa terkejut? Apa ada sesuatu yang terjadi denganmu, Ris?" Kedua indera ibu dua anak itu menatap intens wajah si sulung.Risma mulai salah tingkah, sesekali memandang ke arah sahabatnya. "Nggak ada apa-apa kok, Bu," jawabnya, "Intan lagi kena sindrom Ibu hamil, makanya pengen konsul ke psikolog atau psikiater. Benar kan, Tan?" Dia mencubit paha sahabatnya pelan."Iya benar, Te." Intan berdiri dan menyalami Rini. Sudah cukup lama keduanya tak bertemu apalagi semenjak hamil. "Tante apa kabar?""Alhamdulillah seperti yang kamu lihat Tante sehat dan baik-baik saja." Rini mengelus perut buncit calon ibu muda di depannya. "Baguslah kalau nggak terkait sama kamu, Ris," ucapnya sambil melirik si sulung."Nggaklah, Bu. Aku baik-baik saja." Dalam hati, Risma berdoa semoga Allah mengampuni dosanya karena sudah berbohong."Ibu cuma khawatir. Beberapa kali bertemu kamu dan
Rini turun dari motor, berjalan mendekati menantunya. "Mas Riswan," panggilnya, "kalau mau bermesraan dengan perempuan lain selain istrimu sebaiknya jangan di depan rumah kayak gini. Akan banyak tetangga yang berpikir jelek nantinya."Si lelaki menoleh, tetapi masih tetap memegang tangan perempuan itu. "Ibu kapan datang?"Rini menatap tajam ke arah tangan keduanya. "Sudah dari tadi Ibu di sini. Besok sore tolong temuin Ibu sama Ayah di rumah. Jangan lupa bawa istrimu." Perempuan sepuh itu kembali ke motor setelah Riswan menyalaminya dan menyanggupi permintaan yang diucapkan tadi.Risma masih berdiri tenang di dekat gerbang. Seketika dia berpikir untuk menyiapkan segala jawaban yang akan dikeluarkan besok. Jika ibunya sudah berkata demikian, maka sesampainya di rumah pasti akan bercerita pada Lutfi.'Ya Allah. Apa Mas Riswan sudah kehilangan akal hingga membawa perempuan itu ke rumah.' Kata Risma dalam hati.Melihat motor Rini sudah melaju cukup jauh, Risma masuk tanpa peduli dengan ke
Happy Reading*****"Sayang Mas keluar, ya. Nggak usah nunggu, takutnya pulang udah larut. Mas bawa kunci serep aja." Riswan menyempatkan mencium kening istrinya, lalu pergi tanpa mengatakan ke mana tujuannya.Risma kembali fokus pada ponselnya, lalu mengetikkan beberapa kata pada kedua sahabatnya. Setelah mengirimkan pesan pada seseorang, dia berusaha memejamkan mata. Berharap semua akan baik-baik saja.*****Mentari sudah naik sepenggalah saat Risma membuka mata. Menoleh ke samping, tak ada sosok Riswan di sebelahnya. Dia berpikir mungkin suaminya menginap di tempat perempuan itu. Akhirnya dia turun dari pembaringan dan menuju dapur."Assalamualaikum. Pagi, Sayang," sapa Riswan yang sudah berkutat di dapur. "Nyenyak tidurnya? Mas tahu kamu masih halangan, makanya nggak dibangunin pas subuh tadi."Masih dengan muka berantakan, Risma tersenyum setelah menjawab salam suaminya. Sempat berpikir kalau lelaki itu tidak pulang karena sampai pukul dua dini hari, dia masih belum melihatnya ti