Sinar rembulan mulai menyapu seluruh belahan bumi, menyinari rasa dingin karena angin malam yang menerjang bumi. Malam ini adalah malam pertama Andira memulai hidupnya sebagai seorang istri dari pria yang sudah 3 bulan berstatus sebagai kekasihnya. Maski hubungan mereka terbilang sebentar, tapi Bagas berhasil meyakinkan Andira dan mempersunting dirinya menjadi seorang istri.
Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun Bagas dan Andira masih enggan untuk terlelap, meski tubuh mereka benar-benar terasa lelah karena acara pernikahan tadi. Andira yang bisanya tidur seorang diri di kamarnya mendadak gugup dan gelisah, saat untuk pertama kalinya dia harus berbagi kamar dengan seorang pria. Detak jantungnya semakin berpacu seolah tengah lari maraton, tubuhnya pun kini berkeringat dingin.
Sama halnya dengan Bagas. Tubuhnya juga berkeringat dingin, tapi bukan karena dia tidak terbiasa jika harus berbagi ranjang. Melainkan karena dia harus berperang dengan hasratnya, kala melihat wanita yang telah berubah status menjadi istrinya itu tengah terlentang di sampinya. Apa lagi tubuh wanita itu hanya berbalut kain tipis berwarna ungu transparan dan hanya di ikat dengan tali sebesar ukuran spagetti.
Sesekali ekor matanya melirik sang istri yang memejamkan kedua matanya. Di pandangnya lekat-lekat tubuh wanita itu dari ujung kepala, hingga pandangannya terkunci di bagian dada. Meski di ruangan itu hanya menggunakan cahaya yang redup, namun kedua matanya bisa dengan jelas melihat lekukan tubuh sang istri, apa lagi bagian yang paling menonjol di bagian dadanya yang memiliki pucuk kecil di sana.
Bagas menelan salivanya dengan kasar saat kedua tonjolan kenyal tersebut seolah melambai ingin di singgahi. Bahkan bibirnya tergerak untuk menganga, seolah akan melahap sesuatu. Lalu pandanganya terus turun ke bawah, ke arah perut rata yang terlihat mulus. Pikiran liarnya seolah bermunculan, kala selembar kain transparan penutup perut mulus itu secara tak sengaja tersingkap karena angin yang berasal dari kipas angin. Jantungnya bergemuru, nafasnya kian memburu, dadanya naik turun kala birahinya semakin terpancing, bahkan celana boxer yang ia kenakan kini sudah terasa sesak karena juniornya sudah mengembang sempurna.
Bagas kembali menelan salivanya, saat pendangan matanya tertuju pada segitiga tipis sang istri yang terlihat menonjol. Bukan karena isinya, namun karena pembalut yang menutupi rawa kenikmatan sang istri.
Ya, malam sebelum Bagas megucapkan ijab qobul, Andira malah kedatangan tamu bulanannya. Malam pertama yang seharusnya dihiasi oleh erangan-erangan erotis oleh sepasang pengantin baru, justru malah berakhir dengan sang suami harus gigit jari. Alih-alih berhasil melakukan adegan belah duren, sang suami justru harus menahan hasratnya dan berpuasa selama tujuh hari tujuh malam.
Andira yang hanya memejamkan kedua matanya tanpa bisa terlelap, dapat merasakan kegelisahan sang suami yang terus saja merubah posisi tidurnya. Namun dia tak berani membuka kedua matanya. Dia hanya mengintip dengan memicingkan kedua kelopak matanya saja, namun karena pencahayaan yang remang membuat Andira tidak bisa melihat dengan jelas apa yang sedang sang suami lakukan.
"Aaaargh."
Suara erangan frustasi Bagas membuat Andira terkejut dan reflek membuka kedua matanya. Andira tertegun kala mendapati Bagas tengah mengamati tubuhnya. Namun Andira dapat bernafas lega, saat Bagas melempar tubuhnya kembali ke atas ranjang untuk tidur. Andira mencoba untuk memejamkan kedua matanya lagi, meski dengan jantung yang berdetak tak beraturan. Ia terus mencoba untuk tidur hingga akhirnya ia benar-benar terlelap.
Berbeda dengan Bagas. Sampai suara Adzan subuh berkumandang pun, ia masih belum bisa menutup kedua matanya. Semalaman dia tersiksa karena juniornya terjaga dan tak menemukan sarangnya. Bagas bergegas bangun dari tidurnya, lalu menghidupkan lampu kamar dan masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Air yang dingin di pagi hari menusuk masuk ke pori-pori kulitnya dan semakin membuat juniornya mengeras. Malam pertama yang menyiksa, batinnya. Setelah ritual mandinya selesai, dia buru-buru untuk mengambil wudhu dan menunaikan ibadah sholat subuh.
Setelah ibadah sholat dua rakaat selesai ia laksanakan, Bagas berdoa untuk kelanggengan rumah tangga yang baru saja ia bina. Selesai berdoa, Bagas berniat ingin melipat sajadahnya kembali, tapi pergerakan tangannya terhenti saat tanpa sengaja kedua matanya tertuju pada Andira yang tengah terlelap.
Penerangan yang cukup membuat Bagas bisa melihat tubuh sang istri dengan sangat jelas. Bagas memandangi setiap inci bagian-bagian tubuh Andira, bibir yang berwarna merah itu begitu sangat menggugah untuk segera di lumat, leher putih bersihnya pun terlihat sanggat bergairah untuk di kecup, serta kedua gundukan kenyal yang membulat sempurna dan sedikit menyumbul dari balik kain transparan itu terlihat nikmat untuk di hisap, mereka seolah benar-benar memanggil agar segera di jamah.
Pandangan Bagas beralih ke bagian perut yang tersingkap sempurna serta kedua paha putih Andira yang mengangkang, kulit yang terlihat putih bersih itu benar-benar membangkitkan juniornya yang sebelumnya sudah lupa akan sarangnya.
Bagas sebelumnya memang tidak mengenakan segitiga pengamannya karena sebelumnya junior masih menegak dan sudah pasti tidak akan muat jika harus di kurung lagi dengan segitiga miliknya. Bahkan juniornya kini benar-benar terlihat menggantung sempurna, seolah menantang sarangnya untuk bergelut. Tanpa melepas sarungnya, Bagas merangkak naik ke atas ranjang. Dengan perlahan dia mulai menciumi kedua paha Andira yang terlihat sangat menantang itu.
"Eungh." Andira melenguh pelan saat ia merasakan rasa geli di kedua pahanya.
Lenguhan Andira semakin membuat hasrat di dalam diri bagas menggila. Bibirnya semakin beranjak menyusuri setiap inci kulit sang istri, mengecupi jengkal tiap jengkal perut istrinya.
Andira yang merasa tidurnya terusik membuka kedua kelopak matanya secara perlahan. Tubuhnya berdesir hebat, tatkala melihat Bagas tengah bertengger di atas dan mencumbu tubuhnya. "Aah, sayang hentikan." Tubuh Andira menggeliat, kala sensai geli dia rasakan karena sapuan lidah sang suami di perut bagian bawahnya.
Bagas tak bergeming, dia terus menikmati tubuh Andira.
"S-sayang, aku lagi datang bulan." Ucap Andira menahan desahannya saat tangan Bagas membelai lembut kedua pahanya yang membuat bulu kuduknya terbangun.
Bagas tertegun kala mendengar penuturan Andira. Karena nafsu birahinya memuncah, dia sampai melupakan sang istri yang tengah kedatangan tamu bulanan. "Aaargh, kenapa dia harus datang saat ini!" Keluh Bagas menjambak kasar rambutnya karena frustasi.
Andira terkekeh saat melihat wajah kesal suaminya. "Kalau aku bisa, pasti sudah aku suruh pulang." Serunya.
"Kamu senang melihat suami kamu tersiksa?" Bagas melirik Andira dengan ekor matanya.
"Kok malah aku yang disalahkan." Tukas Andira yang menautkan kedua alisnya.
"Iya kamu yang salah. Kenapa kamu menggoda juniorku dengan pakaian jaring ini." Tunjuknya pada lengerie tipis yang di kenakan Andira.
"Ja, ja apa? Jaring? Kamu kira istrimu ikan, yang memakai jaring?" Andira tergelak dengan penuturan suaminya. "Ini kan pemberian kakak ipar."
Bagas mengusap kasar wajahnya, bisa-bisanya sang kakak memberikan pakaian tipis itu pada istrinya, di saat dia sedang datang bulan. "Pasti kakak sedang mengerjaiku." Keluhnya.
Andira mengangkat kedua bahunya. Dia memang tidak tahu menahu soal itu. Yang dia tahu, kakak iparnya hanya memberinya hadiah dan meminta Andira untuk memakainya.
Sementara di tempat yang berbeda, Ema tertawa puasa saat berhasil mengerjai adik satu-satunya itu. "Memang enak, puasa?" Serunya yang diselingi gelak tawanya.
Andira yang masih mengantuk, memilih untuk merebahkan tubuhnya lagi dengan posisi miring.
Namun hal itu justru membut junior sang suami semakin menggila. Bagas membulatkan kedua matanya, saat melihat dua gunung kenyal milik sang istri yang menyumbul saling tumpang tindih. Kenapa mereka terlihat begitu kenyal dan menggoda, batinnya.
Cahaya terang yang menyelinap di sela-sela jendela kamar, tidak dihiraukan oleh sepasang insan yang sedang malakukan pemanasan pagi hari. Meski tidak dengan penyatuan tubuh, tapi mereka mampu menghasilkan desahan serta erangan kenikmatan di atas ranjang mereka yang masih berhiaskan bunga. Ya, karena melihat penderitaan sang suami yang terjaga semalaman karena hasrat yang tak bisa tersalurkan, akhirnya Andira membiarkan Bagas untuk mencumbu dan menikmati tubuhnya dan mau tidak mau Bagas juga harus menuntaskan hasratnya secara soloist. Setelah Bagas berhasil menuntaskan hasratnya, dia tertidur dengan sangat pulas. Sedangkan Andira, karena kini dia hanya tinggal berdua saja di rumah baru pemberian sang mertua, jadi dia harus menyelesaikan tugasnya di dapur untuk menyiapkan sarapan paginya bersama sang suami. Setelah semua selesai, Andira memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu lalu kemudian bersolek sebelum akhirnya ia membangunkan sang suami untuk sarapan be
"S-siapa?" Tanya Andira dengan suara yang gemetar karena ketakutan. "Dira, ini kakak." Seketika, ada perasaan lega yang menyelimuti hati Andira saat mendengar suara yang sangat ia kenali. Dia bergegas melangkah ke arah pintu, lalu kamudian memutar gagang kunci untuk membuka pintu rumahya. Wuussh... Angin berhembus kencang bersamaan dengan terbukanya pintu rumah, menerjang tubuh Andira yang berdiri di ambang pintu. Dedaunan yang mengeringpun ikut terbawa angin, masuk hingga ke teras rumah. Andira mengedarkan pandangannya, mencari pemilik suara yang ia kira kenali namun hasilnya nihil. "Kak? Kak Ema di mana? Ini tidak lucu loh Kak." Hawa dingin mulai menerpa kulit Andira, menusuk hingga ke tulang dan membuat bulu kuduknya merinding.Tiba-tiba, sekelebat bayangan hitam melesat cepat di taman samping rumahnya. "S-siapa itu? K-kak Ema, apa itu dirimu?" Andira memberanikan diri untuk memeriksanya, pelan-pelan ia melangkah
Entah kemana perginya jiwa Bagas yang sesungguhnya dan siapa yang tengah bersemayam dalam jasadnya saat ini. Yang pasti, malam ini tubuh Bagas benar-benar brutal dan tidak bisa di kendalikan. Wanita yang sangat berarti dalam hidupnyapun kini terisak di bawah kungkungannya karena perlakuan buruknya. "Tidak sayang, jangan lakukan itu." Seru Andira di tengah-tengah isak tangisnya. Tubuhnya yang lemah tidak bisa menandingi kekuatan tubuh Bagas. Dia hanya bisa menangis dan mencoba untuk menyadarkan sang suami. "Aaaargh..." Andira berteriak saat tubuh Bagas kembali mengambil ancang-ancang untuk melukai dirinya. Bruugh. Tubuh Bagas terjungkal saat mendapat tendangan dari seseorang. Plakk, satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi kiri Bagas. "Bagas! Apa yang kamu lakukakan? Dia itu istri kamu!" Hardik Deni, sang kakar ipar. "Kakak?" Ya, Ema serta Deni sang suami yang baru saja datang, langsung berlari saat mendengar teriakan Andira dari dalam. Berunt
Andira berlari dengan tangisnya yang sudah kembali pecah. Sesekali tangannya mengusap bulir-bulir bening yang mengalir membasahi kedua pipinya. Entah apa yang ada di dalam pikiran suaminya kali ini, Andira sama sekali tidak bisa memahaminya. "Dira sayang, kamu kenapa?" Leni yang baru saja turun dari mushollah bersama Deni dan juga Ema, terkejut saat berpapasan dengan Andira yang tengah berlari sambil menangis. "Aaaaarrrrgghh.." Tiba-tiba erangan panjang seseorang mengalihkan perhatian mereka. "Bagas." Leni memekik dan berlari ke arah sumber suara yang diikuti oleh Ema, Deni dan Andira di belakangnya. "Bagas, buka pintunya. Kamu kenapa?" Teriak Leni saat mendapati pintu kamarnya terkunci dari dalam. "Tidak, bawa Andira pergi dari sini Bu. Aku tidak ingin menyakitinya lagi. Aaarrrgh." Seru Bagas dari dalam kamar. "Apa maksudmu? Cepat buka pintunya." Leni yang tak mengerti, tetap berusaha membuka pintu kamar itu. "Mereka datang Bu, mereka
Suara berat itu terdengar menggema di dalam kamar Bagas dan membuat Leni, sang ibu terkejut. "Hah? K-kenapa suara Bagas terdengar berbeda?" "Itu bukan Nak Bagas Bu, itu suara mereka yang bersembunyi di dalam tubuhnya." Imbuh Ustadz Syafi. Deg, seketika rasa tak tenang menghantui hati Leni. "M-mereka? A-apa firasatku itu benar?" Leni berharap jika apa yang ada di pikirannya tidak benar-benar terjadi, namun harapannya sirna begitu saja kala sang Ustadz mengangukkan kepala tanda mengiyakan. "KALIAN PARA MANUSIA, SERAKAH! TIDAK PERNAH BERSYUKUR DENGAN APA YANG KALIAN MILIKI. ANAK INI MEMILIKI SUATU KEISTIMEWAAN. TAPI SAYANG, KARENA SIKAPNYA YANG SALAH, DIA BAHKAN MENANAMKAN KEDENGKIAN DI HATI SESEORANG, DAN ITU AKAN MENJADI CAMBUK DALAM BIDUK RUMAH TANGGANYA. HAHAHA.." "Tidak. Kami tidak percaya dengan kalian para jin! Terutama kau yang Siluman!" Tunjuk Ustadz Syafi ke arah Bagas. "A-apa, S-siluman?" Terkejut. Ya, tentu saja Andira s
Pyaarrr.Semua kaca jendela hancur berkeping-keping bersamaan dengan suara teriakan Bagas, bahkan semua orang histeris saat melihat tubuh bagas yang melayang ke atas. "AAAAAAARRRRRRRRGGGGHHH..." Bagas mengerang panjang, tubuhnya bahkan terlihat mengejang hingga kepalanya tertarik ke belakang. Kedua matanya yang memerah, melotot serta mulutnya pun menganga sangat lebar. Dia berteriak sangat keras, seolah mendorong sesuatu yang sangat besar yang akan keluar dari sana. Buugh, tubuh Bagas terhempas dengan sangat keras ke atas lantai, bersamaan dengan darah segar yang menyembur keluar dari mulutnya. "Sayang, kamu tidak apa-apa?" Andira berhambur memeluk tubuh Bagas yang terkulai lemas. Bahkan rasa paniknya tak terbendung kala melihat darah yang bercucuran dari mulut suaminya. "Buka matamu sayang." *** "Sepertinya ini akan sagat sulit." Seru seorang pria tua yang sedang duduk di sebuah kursi rotan di ruang tamunya. Kepalanya mang
Kedua mata Tari melebar kala merasakan sentuhan itu kian menjalar ke atas pundaknya, bahkan sentuhan itu terasa semakin panas seolah membakar punggungnya. Namun, karena rasa ingin tahunya yang lebih besar dari rasa takutnya, hingga hatinya terus saja mendorong pikirannya untuk selalu memastikan apa yang membuatnya penasaran. Meski kini jantungnya tengah berdegup sangat cepat, Tari mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk melihat apa yang bergerak di balik punggungnya saat ini. "Aarrgh." Dengan cepat Tari beringsut menjauh menutupi wajahnya dangan kedua tangannya. Dia sangat terkejut saat ekor matanya menangkap sebuah tangangan yang memiliki kuku hitam yang sangat panjang, merayap di balik punggungnya. Tangan tersebut bahkan terlihat mengitam dengan banyak belatung yang menggeliat di balik dagingnya yang mengering. "T-tangan s-siapa itu Mbah?" Tanyanya dengan suara yang bergetar, wajahnya pun kini memucat karena ketakutan. Kedua matanya kembali menelisik seluruh ruang
Rasa sakit hati Tari yang sudah mendarah daging, membuatnya bertekat untuk mengahancurkan rumah tangga seseorang meski hal itu akan sangat beresiko dalam hidupnya. "Kalau begitu, tunggu sampai hari Selasa Wegi dan carilah mayat yang baru saja di makamkan pada hari itu." "Untuk apa aku mencari mayat Mbah?" Tanyanya dengan menautkan kedua alisnya. "Ambillah satu tali pocong yang berada di kakinya." "T-tali p-pocong Mbah?" Tari membulatkan kedua matanya, saat pria tua yang sedang bersila di hadapannya ini memberinya tugas untuk mengambil sebuah tali. Namun bukan tali biasa, melainkan tali dari pocong. *** Satu minggu berlalu dan Bagas pun tidak mengalami hal serupa lagi. Meski begitu, Leni tetap tidak mengijinkan mereka untuk kembali tinggal berdua saja di rumah mereka untuk menghindari sesuatu hal yang tidak diinginkan kembali terjadi. Hari ini adalah hari di mana Andira dan Bagas kembali ke aktifitasnya