Cahaya terang yang menyelinap di sela-sela jendela kamar, tidak dihiraukan oleh sepasang insan yang sedang malakukan pemanasan pagi hari. Meski tidak dengan penyatuan tubuh, tapi mereka mampu menghasilkan desahan serta erangan kenikmatan di atas ranjang mereka yang masih berhiaskan bunga.
Ya, karena melihat penderitaan sang suami yang terjaga semalaman karena hasrat yang tak bisa tersalurkan, akhirnya Andira membiarkan Bagas untuk mencumbu dan menikmati tubuhnya dan mau tidak mau Bagas juga harus menuntaskan hasratnya secara soloist. Setelah Bagas berhasil menuntaskan hasratnya, dia tertidur dengan sangat pulas.
Sedangkan Andira, karena kini dia hanya tinggal berdua saja di rumah baru pemberian sang mertua, jadi dia harus menyelesaikan tugasnya di dapur untuk menyiapkan sarapan paginya bersama sang suami. Setelah semua selesai, Andira memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu lalu kemudian bersolek sebelum akhirnya ia membangunkan sang suami untuk sarapan bersama. Karena memang saat ini mereka masih menikmati masa cuti mereka, jadi Bagas dan Andira memutuskan untuk menghabiskan waktu mereka di rumah saja dan jika bosan, mungkin mereka akan keluar hanya untuk berkunjung ke rumah orang tua saja.
***1 minggu berlalu, Andira pun sudah terbiasa melakukan tugasnya sebagai seorang istri. Suasana mareka yang masih menjadi pasangan pengantin baru, membuat Bagas enggan melepas pelukannya dari pinggang sang istri, meski dalam keadaan tidur sekalipun.Tek, tek, tek. Suara denting jarum jam membelah kesunyian malam, jangkrikpun tak ingin kalah meyerukan suaranya menyertai alunan denting jam malam itu. Bagas yang masih terlelap dengan tangan yang mendekap erat tubuh sang istri, tiba-tiba terbangun saat merasakan sakit yang teramat di bagian dadanya. Rasa sakit itu seolah menusuk-nusuk di bagian dalam dadanya dengan benda tajam.
"Ada apa sayang?" Andira terbangun saat mendengar suara kesakitan sang suami.
Bagas tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaan sang istri, dia hanya meringis kesakitan memegangi dadanya.
Andira menghidupkan lampu kamaranya, dia mulai panik saat mendapati wajah sang suami yang terlihat pucat pasi dengan keringat dingin di sekujur tubuhnya. Andira segera beranjak dari ranjangnya untuk mengambil segelas air putih dan memberikannya pada Bagas. "Minumlah dulu." Titahnya.
Bagas mengangguk lalu meneguk air putih itu hingga habis tak tersisa. Namun, rasa sakit di bagin dadanya tak kunjung hilang. "Aaargh." Bagas kembali meringis memegangi dadanya saat rasa sakit itu kian menjadi. "Sakit." Serunya. Tubuhnya bahkan berguling-guling di atas kasur karena manahan rasa sakit itu.
Andira semakin panik, dia mengamit ponselnya yang berada di atas nakasnya untuk menghubungi sang kakak ipar. Panggilan pertama tidak terjawab, Andira menatap ponselnya dan ternyata sekarang sudah jam dua dini hari. "Apa Kak Ema sudah tidur ya?" Gumamnya. Karena rasa panik, Andira malah lupa kalau saat ini sudah tengah malam. Dia kembali menekan tombol panggilan untuk menghubungi kakak iparnya lagi. "Halo Kak, tolong Mas Bagas sakit." Serunya setelah panggilan itu terhubung.
".......... "
"Baiklah, aku tunggu." Ucap Andira sebelun akhirnya dia mengakhiri panggilan teleponnya. Kepanikan Andira semakin menjadi kala melihat bagas menghentak-hentakkan tubuhnya dengan keras ke atas kasur.
"Tenanglah sayang, Kak Ema sedang dalam perjalannan ke sini." Ucap Andira berusaha menenangkan Bagas.
"T-tubuhku bergesak sendiri sayang. Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku." Ucap Bagas yang menegang, sepertinya dia sedang berusaha untuk mengendalikan tubuhnya yang tak terkontrol. "Aargh."
Kepanikan semakin melanda Andira, kala melihat sang suami berjalan ke arah ruang tamu dengan tangan kanan yang berguncang seolah merasakan suatu getaran. Mereka yang hanya tinggal berdua saja, membuat Andira ketakutan tatkala Bagas mengatakan ada sesuatu yang menarik tubuhnya dan menggerakkan tubuhnya tanpa bisa ia kendalikan. Entah kenapa semilir angin tiba-tiba masuk ke dalam rumah itu, padahal rumah Andira dalam keadaan tertutup rapat. Ah, mungkin anginnya masuk melalui fentilasi udara di atas, pikir Andira yang melirik lubang fentilasi yang terletak di atas jendela
"Aku tidak bisa mengendalikan ini!" Teriak Bagas. Dia terduduk di sofa dan tengah berusaha memegangi tangan kanannya dengan tangan kirinya, agar berhenti bergerak. "Siapa kamu?" Tanyanya dengan mata yang terpejam.
"Apa maksudmu sayang?" Tanya Andira menautkan kedua alisnya.
"Siapa yang berdiri di pojokan lemari itu sayang?" Seru bagas tiba-tiba.
"S-siapa? Tidak ada siapapun di sini, selain kita."
"Tidak sayang, aku tahu pria itu sedang melihat ke sini. Tubuhnya besar dan berwajah hitam." Tukas Bagas lagi.
Andira tertegun. Siapa yang dimaksud oleh suaminya, padahal mereka hanya tinggal berdua saja di sini. Hembusan angin tiba-tiba kembali menerpa kulit Andira hingga membuat bulu kuduknya merinding. Bau bunga melati menyengat indra penciumannya. Andira menyapu seluruh ruangan dengan pandangannya, entah kenapa malam ini begitu terasa mencekam. Padahal biasanya dia biasa-biasa saja saat terjaga tengah malam untuk ke kamar mandi.
Andira lembali memandangi sang suami yang duduk dengan mata yang masih terpejam, namun tangan kanannya masih tetap bergerak tak teratur. Entah, apakah suaminya itu tengah tertidur atau sudah kehabisan tenaga untuk melawan tubuhnya sendiri. Penerangan yang menderang di ruang tamu, tak menghilangkan sedikitpun suana mencekam di sana. Tok, tok, tok. Andira terperanjat. Dia terkejut, saat pintu rumahnya tiba-tiba ada yang mengeketuk. "S-siapa?" Tanyanya dengan suara yang gemetar karena ketakutan.
"S-siapa?" Tanya Andira dengan suara yang gemetar karena ketakutan. "Dira, ini kakak." Seketika, ada perasaan lega yang menyelimuti hati Andira saat mendengar suara yang sangat ia kenali. Dia bergegas melangkah ke arah pintu, lalu kamudian memutar gagang kunci untuk membuka pintu rumahya. Wuussh... Angin berhembus kencang bersamaan dengan terbukanya pintu rumah, menerjang tubuh Andira yang berdiri di ambang pintu. Dedaunan yang mengeringpun ikut terbawa angin, masuk hingga ke teras rumah. Andira mengedarkan pandangannya, mencari pemilik suara yang ia kira kenali namun hasilnya nihil. "Kak? Kak Ema di mana? Ini tidak lucu loh Kak." Hawa dingin mulai menerpa kulit Andira, menusuk hingga ke tulang dan membuat bulu kuduknya merinding.Tiba-tiba, sekelebat bayangan hitam melesat cepat di taman samping rumahnya. "S-siapa itu? K-kak Ema, apa itu dirimu?" Andira memberanikan diri untuk memeriksanya, pelan-pelan ia melangkah
Entah kemana perginya jiwa Bagas yang sesungguhnya dan siapa yang tengah bersemayam dalam jasadnya saat ini. Yang pasti, malam ini tubuh Bagas benar-benar brutal dan tidak bisa di kendalikan. Wanita yang sangat berarti dalam hidupnyapun kini terisak di bawah kungkungannya karena perlakuan buruknya. "Tidak sayang, jangan lakukan itu." Seru Andira di tengah-tengah isak tangisnya. Tubuhnya yang lemah tidak bisa menandingi kekuatan tubuh Bagas. Dia hanya bisa menangis dan mencoba untuk menyadarkan sang suami. "Aaaargh..." Andira berteriak saat tubuh Bagas kembali mengambil ancang-ancang untuk melukai dirinya. Bruugh. Tubuh Bagas terjungkal saat mendapat tendangan dari seseorang. Plakk, satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi kiri Bagas. "Bagas! Apa yang kamu lakukakan? Dia itu istri kamu!" Hardik Deni, sang kakar ipar. "Kakak?" Ya, Ema serta Deni sang suami yang baru saja datang, langsung berlari saat mendengar teriakan Andira dari dalam. Berunt
Andira berlari dengan tangisnya yang sudah kembali pecah. Sesekali tangannya mengusap bulir-bulir bening yang mengalir membasahi kedua pipinya. Entah apa yang ada di dalam pikiran suaminya kali ini, Andira sama sekali tidak bisa memahaminya. "Dira sayang, kamu kenapa?" Leni yang baru saja turun dari mushollah bersama Deni dan juga Ema, terkejut saat berpapasan dengan Andira yang tengah berlari sambil menangis. "Aaaaarrrrgghh.." Tiba-tiba erangan panjang seseorang mengalihkan perhatian mereka. "Bagas." Leni memekik dan berlari ke arah sumber suara yang diikuti oleh Ema, Deni dan Andira di belakangnya. "Bagas, buka pintunya. Kamu kenapa?" Teriak Leni saat mendapati pintu kamarnya terkunci dari dalam. "Tidak, bawa Andira pergi dari sini Bu. Aku tidak ingin menyakitinya lagi. Aaarrrgh." Seru Bagas dari dalam kamar. "Apa maksudmu? Cepat buka pintunya." Leni yang tak mengerti, tetap berusaha membuka pintu kamar itu. "Mereka datang Bu, mereka
Suara berat itu terdengar menggema di dalam kamar Bagas dan membuat Leni, sang ibu terkejut. "Hah? K-kenapa suara Bagas terdengar berbeda?" "Itu bukan Nak Bagas Bu, itu suara mereka yang bersembunyi di dalam tubuhnya." Imbuh Ustadz Syafi. Deg, seketika rasa tak tenang menghantui hati Leni. "M-mereka? A-apa firasatku itu benar?" Leni berharap jika apa yang ada di pikirannya tidak benar-benar terjadi, namun harapannya sirna begitu saja kala sang Ustadz mengangukkan kepala tanda mengiyakan. "KALIAN PARA MANUSIA, SERAKAH! TIDAK PERNAH BERSYUKUR DENGAN APA YANG KALIAN MILIKI. ANAK INI MEMILIKI SUATU KEISTIMEWAAN. TAPI SAYANG, KARENA SIKAPNYA YANG SALAH, DIA BAHKAN MENANAMKAN KEDENGKIAN DI HATI SESEORANG, DAN ITU AKAN MENJADI CAMBUK DALAM BIDUK RUMAH TANGGANYA. HAHAHA.." "Tidak. Kami tidak percaya dengan kalian para jin! Terutama kau yang Siluman!" Tunjuk Ustadz Syafi ke arah Bagas. "A-apa, S-siluman?" Terkejut. Ya, tentu saja Andira s
Pyaarrr.Semua kaca jendela hancur berkeping-keping bersamaan dengan suara teriakan Bagas, bahkan semua orang histeris saat melihat tubuh bagas yang melayang ke atas. "AAAAAAARRRRRRRRGGGGHHH..." Bagas mengerang panjang, tubuhnya bahkan terlihat mengejang hingga kepalanya tertarik ke belakang. Kedua matanya yang memerah, melotot serta mulutnya pun menganga sangat lebar. Dia berteriak sangat keras, seolah mendorong sesuatu yang sangat besar yang akan keluar dari sana. Buugh, tubuh Bagas terhempas dengan sangat keras ke atas lantai, bersamaan dengan darah segar yang menyembur keluar dari mulutnya. "Sayang, kamu tidak apa-apa?" Andira berhambur memeluk tubuh Bagas yang terkulai lemas. Bahkan rasa paniknya tak terbendung kala melihat darah yang bercucuran dari mulut suaminya. "Buka matamu sayang." *** "Sepertinya ini akan sagat sulit." Seru seorang pria tua yang sedang duduk di sebuah kursi rotan di ruang tamunya. Kepalanya mang
Kedua mata Tari melebar kala merasakan sentuhan itu kian menjalar ke atas pundaknya, bahkan sentuhan itu terasa semakin panas seolah membakar punggungnya. Namun, karena rasa ingin tahunya yang lebih besar dari rasa takutnya, hingga hatinya terus saja mendorong pikirannya untuk selalu memastikan apa yang membuatnya penasaran. Meski kini jantungnya tengah berdegup sangat cepat, Tari mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk melihat apa yang bergerak di balik punggungnya saat ini. "Aarrgh." Dengan cepat Tari beringsut menjauh menutupi wajahnya dangan kedua tangannya. Dia sangat terkejut saat ekor matanya menangkap sebuah tangangan yang memiliki kuku hitam yang sangat panjang, merayap di balik punggungnya. Tangan tersebut bahkan terlihat mengitam dengan banyak belatung yang menggeliat di balik dagingnya yang mengering. "T-tangan s-siapa itu Mbah?" Tanyanya dengan suara yang bergetar, wajahnya pun kini memucat karena ketakutan. Kedua matanya kembali menelisik seluruh ruang
Rasa sakit hati Tari yang sudah mendarah daging, membuatnya bertekat untuk mengahancurkan rumah tangga seseorang meski hal itu akan sangat beresiko dalam hidupnya. "Kalau begitu, tunggu sampai hari Selasa Wegi dan carilah mayat yang baru saja di makamkan pada hari itu." "Untuk apa aku mencari mayat Mbah?" Tanyanya dengan menautkan kedua alisnya. "Ambillah satu tali pocong yang berada di kakinya." "T-tali p-pocong Mbah?" Tari membulatkan kedua matanya, saat pria tua yang sedang bersila di hadapannya ini memberinya tugas untuk mengambil sebuah tali. Namun bukan tali biasa, melainkan tali dari pocong. *** Satu minggu berlalu dan Bagas pun tidak mengalami hal serupa lagi. Meski begitu, Leni tetap tidak mengijinkan mereka untuk kembali tinggal berdua saja di rumah mereka untuk menghindari sesuatu hal yang tidak diinginkan kembali terjadi. Hari ini adalah hari di mana Andira dan Bagas kembali ke aktifitasnya
*** "Kalau bukan karena balas dendam. Ogah aku main ke kuburan tengah malam begini." Keluh Tari, kesal. Dengan berbekal pencahayaan yang berasal dari ponselnya, kedua kakinya melangkah pelan menerobos semak belukar yang mengarah ke suatu tempat. Sesekali tangannya terlihat mengibas, mengusir para nyamuk yang akan hinggap di kulit tubuhnya. "Lagian, kakek tua itu kenapa harus tahu segala sih, kalau waktu itu aku mengubur buntalan kain itu bersama temanku!" Rutuknya lagi. "INGAT! KAMU HARUS MENGAMBILNYA DENGAN KEDUA TANGANMU SENDIRI DAN TIDAK ADA YANG BOLEH TAHU TENTANG HAL INI, APA LAGI JIKA KAMU SAMPAI MINTA BANTUAN PADA ORANG LAIN." Perkataan mbah Kaji itu, terus saja mengiang-ngiang di kepala Tari. Pletak. "Aaarrgh." Ocehan Tari terhenti saat tiba-tiba ia merasa ada yg menimpuk kepalanya. "Siap-pa i-tu?" Dengan cepat Tari segera mengecilkan volume suaranya, saat ia tersadar jika saat ini dia tengah berada di tenga-tengah semak belukar.