SETELAH AKU KAU MILIKI
- Pergi "Ma, kita mau ke mana?" tanya Zahra tampak kebingungan. "Kita pergi jauh. Biar Zahra nggak ketakutan lagi kalau Nenek Anjar marah-marah. Biar Zahra nggak selalu disalahkan sama nenek. Zahra nanti tinggal bersama Mama saja," jawab Naima terus melangkah sambil menyeret kopernya. Dia agak kesulitan karena sambil menggendong Zahra. "Zahra, jalan sendiri ya. Sampai depan sana. Nanti kita naik taksi," kata Naima. "Iya," jawab Zahra lantas minta turun. Tangan kiri Naima mengandeng anaknya, sedangkan tangan kanan menarik koper. Saat itu matahari tepat berada di atas kepala. Panas musim kemarau membakar bumi. Dan mereka terus saja melangkah keluar perumahan. Suasana saat itu juga sepi. Cuaca panas membuat orang-orang malas keluar rumah. "Ma, kita nanti nggak bisa ketemu Papa lagi?" tanya Zahra di tengah terik matahari. Naima menatap anaknya lalu tersenyum. "Yang penting Zahra nggak dimarahi nenek dan Aurel lagi." Zahra lalu diam sambil menatap lurus ke depan. Naima tidak bisa mengajaknya berjalan cepat. Anak itu terlihat bingung dan keberatan berpisah dengan Emir. Ah, Zahra tidak tahu kalau lelaki itu bukan papa kandungnya. Naima beberapa kali mengajak Zahra untuk menziarahi makam ayahnya. Namun ia tidak tahu, kalau yang di dalam itu adalah jazad ayah kandungnya. "Zahra, andai dia masih ada. Dia adalah sosok yang sangat mencintaimu," ucap Naima dalam hati mengenang kebaikan almarhum suaminya. Sosok yang menerima Naima tanpa memandang siapa orang tuanya. "Ma, nanti Papa nyusul kita, nggak?" Sambil berjalan Zahra terus bertanya. Bagaimana Naima harus menjawab. "Nanti Papa nyariin kita, Ma. Telepon Papa dulu, Ma." Zahra tidak paham kalau mereka pergi karena diusir Bu Anjar. "Jangan khawatir. Kita akan hidup baik-baik, Zahra," jawab Naima nyaris tak terdengar karena menahan tangis yang mengendap dalam dada. Zahra terus melangkah dengan kaki kecilnya dan Naima benar-benar menangis. Pedih sangat menyayat hati. 🖤LS🖤 Jam empat sore Emir sampai di rumah. Setelah memarkir mobil di garasi, ia masuk lewat pintu utama. Namun suasana sepi. Biasanya dua anak perempuan itu menunggunya pulang dan akan menyambutnya dengan senyum bahagia. Tapi sore ini terasa hening. "Zahra, Aurel," panggilnya sambil melepaskan sepatu. Tak ada jawaban. Naima juga tidak tampak. Apa anak-anak belum pulang mengaji. Dan Naima pergi untuk menjemputnya seperti biasa. Sebab di garasi tadi ia sempat melihat dua sepeda kecil milik mereka ada di pojokan. "Nai," panggilnya. Kali ini sambil berjalan menuju ke belakang. Sunyi. Jantung Emir mulai berdetak lebih cepat. Biasanya Naima akan menyahut, keluar dari kamar sambil tersenyum hangat atau sekadar menegurnya dengan nada lembut. Tapi tidak ada suara apa pun. Ketika hendak mengetuk pintu kamar mamanya, ia mendengar suara air dari dalam. Sang mama ternyata masih mandi. Emir masuk ke kamar tidurnya sendiri. Begitu membuka pintu, perasaan asing langsung menyergap. Tidak biasanya begini. Kamar itu terasa berbeda. Matanya menyapu sekeliling ruangan. Di atas tempat tidur biasanya sudah ada baju ganti yang disiapkan Naima. Tapi tempat itu rapi dan kosong. Pikiran Emir sudah tak karuan. Dengan gerakan cepat, tangannya membuka lemari. Dan di situlah dunia Emir seakan runtuh. Bagian lemari yang biasanya penuh dengan baju-baju Naima kini kosong. Hanya ada gantungan yang tersisa. Degup jantungnya berpacu hebat. Ia buru-buru ke kamar anak-anak. Membuka pintu dengan kasar, matanya mencari-cari. Baju-baju Zahra, mainan, dan barang lainnya tidak ada. Justru tempat itu seperti baru dibersihkan. Emir mengeluarkan ponselnya. Namun suara operator yang menjawab. Berkali-kali dicoba, hasilnya tetap sama. Ia semakin panik. Dengan langkah terburu keluar dan tepat saat itu ibunya keluar dari kamarnya. "Mana Nai dan Zahra, Ma? Aurel juga?" Sang ibu menoleh sebentar, ekspresi wajahnya tenang. Seolah tidak ada hal besar yang terjadi. "Naima pergi," jawab ibunya singkat. "Pergi?" Emir kaget. "Pergi ke mana?" "Mana mama tahu. Pergi atas kemauannya sendiri," lanjut Bu Anjar. Emir tidak percaya. Kemarin Naima memang bilang tidak kuat lagi dan ingin berpisah. Namun bukankah mereka sudah membahasnya dan keadaan membaik. Bahkan Emir sedang mengusahakan tempat tinggal lain untuk mereka. "Ada apa, Ma? Pasti terjadi sesuatu." Emir memandang mamanya penuh selidik. Tidak mungkin mamanya tidak tahu. "Nggak ada apa-apa," jawab Bu Anjar kemudian melangkah ke depan. "Mama mau nungguin Aurel pulang ngaji." Emir kembali ke kamar. Ia membuka setiap laci, mencari apapun yang mungkin ditinggalkan Naima. Tapi nihil. Hanya kekosongan yang menyakitkan. Disambarnya kunci mobil di meja rias. Dengan langkah lebar ia keluar kamar. "Kamu mau ke mana?" tanya Bu Anjar di teras. "Cari Nai dan Zahra, Ma." "Kamu ini nggak mikirin anak sendiri. Malah sibuk nyari mereka. Untuk apa? Dia yang memilih minggat kok kamu yang repot. Siang tadi Zahra yang menyebabkan Aural jatuh dari tempat tidur. Makanya mereka ketakutan lalu pergi. Biar saja, nggak usah dicari." Emir mematung. Benarkah itu? Tapi ia akan tetap mencari mereka. Namun ketika hendak mencapai garasi, ada panggilan dari pintu pagar yang masih terbuka. "Yeay, Papa sudah pulang." Aurel berlari sambil tersenyum riang. "Aurel, pulang bareng siapa?" tanya Emir setelah menyambut pelukan putrinya. "Sendiri, Pa." Emir mendengkus lirih. Kalau ada Naima, anak-anak selalu dijemput saat waktunya jam pulang mengaji. Walaupun mereka naik sepedanya, tapi Naima tetap menjemput untuk memastikan mereka sampai di rumah dengan aman. "Papa, mau ke mana?" tanya Aurel penasaran. "Papa mau keluar sebentar. Aurel, sama nenek di rumah. Oh ya, katanya kamu tadi terjatuh? Mana yang luka?" Emir memperhatikan setiap inci tubuh anaknya. Dan Aurel menarik sedikit roknya ke atas. Ada lebam di pahanya. "Sakit?" Emir mengusapnya pelan. "Hu um." "Beneran kamu di dorong Zahra?" Aurel terdiam. Ekor matanya melirik sang nenek. Kemudian gadis kecil itu mengangguk. Emir menghela napas pelan. Apa mungkin Zahra yang melakukannya? Namun sisi hati kecilnya yang lain tak percaya. "Kamu masuk rumah sama nenek. Papa hendak keluar sebentar." "Mau ke mana, Pa? Aurel ikut," rengek Aurel. "Jangan. Aurel sama nenek saja di rumah." Akhirnya Aurel mengangguk, lalu berlari ke arah sang nenek. Wanita tua itu tidak bisa mencegah Emir. Namun ia yakin, kalau putranya tidak akan menemukan Naima dan anaknya. Terlebih mereka sudah pergi sejak siang tadi. Mobil melaju ke rumah Mak Tam. ART-nya. Hari ini wanita itu datang untuk bersih-bersih di rumahnya. Pasti ia tahu ke mana Naima pergi. Emir memarkir mobil di pinggir jalan, lantas masuk gang untuk menuju rumah Mak Tam. Next ....SETELAH AKU KAU MILIKI - Sesal"Bu Nai pergi jam dua belas tadi, Pak," jawab Mak Tam dengan tubuh gemetar saat menerima bosnya duduk di ruang tamu, di rumahnya yang sangat sederhana.Saat melihat Emir berbelok menuju rumahnya tadi, Mak Tam sudah panas dingin."Apa yang terjadi, Mak?"Wanita usia lima puluh tahun itu terlihat kebingungan sekaligus takut. Dia harus jujur atau menutupi karena sudah diancam oleh Bu Anjar. "Kalau sampai kamu buka mulut, jangan harap bisa bekerja di sini lagi." Wanita itu takut karena pekerjaan itu penting baginya."Mak, kenapa diam?" tanya Emir semakin gusar."Maaf, Pak. Saya sebenarnya kurang tahu apa yang terjadi tadi.""Apa benar, Naima memang sengaja pergi meninggalkan rumah? Atau ada sesuatu yang membuatnya pergi?" Emir terus mendesak. Menyebabkan Mak Tam kian terpojok. Wajah wanita itu pias dan pucat. Membuat Emir semakin yakin kalau telah terjadi sesuatu. Jika memang tak ada apapun, Mak Tam pasti sudah bicara."Jujur saja, Mak.""Nanti Pak Emir mem
SETELAH AKU KAU MILIKI- Pergi"Ma, kita mau ke mana?" tanya Zahra tampak kebingungan. "Kita pergi jauh. Biar Zahra nggak ketakutan lagi kalau Nenek Anjar marah-marah. Biar Zahra nggak selalu disalahkan sama nenek. Zahra nanti tinggal bersama Mama saja," jawab Naima terus melangkah sambil menyeret kopernya. Dia agak kesulitan karena sambil menggendong Zahra."Zahra, jalan sendiri ya. Sampai depan sana. Nanti kita naik taksi," kata Naima."Iya," jawab Zahra lantas minta turun.Tangan kiri Naima mengandeng anaknya, sedangkan tangan kanan menarik koper. Saat itu matahari tepat berada di atas kepala. Panas musim kemarau membakar bumi. Dan mereka terus saja melangkah keluar perumahan. Suasana saat itu juga sepi. Cuaca panas membuat orang-orang malas keluar rumah. "Ma, kita nanti nggak bisa ketemu Papa lagi?" tanya Zahra di tengah terik matahari.Naima menatap anaknya lalu tersenyum. "Yang penting Zahra nggak dimarahi nenek dan Aurel lagi."Zahra lalu diam sambil menatap lurus ke depan. N
SETELAH AKU KAU MILIKIPart 4 Kita Pernah Saling Kehilangan "Aku sudah bersabar, Mas. Tapi lama-lama aku bisa gila di sini." Air mata Naima luruh. "Aku kasihan anakku. Dia nggak punya siapa-siapa selain aku. Zahra sejak kecil nggak mengenal ayah kandungnya. Yang dia tahu, Mas Emirlah ayahnya. Namun dalam pernikahan ini, yang kupertaruhkan adalah mental anakku." Naima menatap lekat wajah suaminya. "Mari kita berpisah secara baik-baik."Emir menahan napas. Mengendalikan gejolak tak terima dalam dadanya yang terasa sesak. Satu kata itu tidak ingin didengarnya dari mulut Naima. "Nai, setelah Zahra tidur nanti. Kita bahas ini di kamar," ucap Emir dengan nada pelan. Dengan kasar Naima menghapus air matanya. Kemudian berbalik dan melangkah ke kamarnya anak-anak. Bocah itu terdiam di tepi tempat tidurnya. Naima menghampiri. "Zahra, gosok gigi dulu. Setelah itu bobok, ya.""Mama, temani Zahra, ya?"Naima merangkul anaknya. "Ya, Mama temani, Sayang. Yuk, kita gosok gigi dulu.""Hu um." Zahr
SETELAH AKU KAU MILIKI- Tak Kuat Lagi"Ma, bagus kuda poni milik Aurel," bisik lirih Zahra pada mamanya. Gadis kecil itu memegangi tangan Naima."Iya. Kapan-kapan Mama beliin, ya.""Hu um." Zahra mengangguk sambil terus memandangi Aurel yang sedang membongkar tas-tas berisi mainan. Namanya anak-anak, jika saudaranya punya mainan baru, pasti Zahra juga teringin.Emir bangkit dari duduknya, lalu menghampiri Zahra dan mengulurkan tangan. "Ayo, kita main bareng-bareng sama Aurel." Zahra menyambut tangan papa tirinya. Kemudian melangkah pelan ke ruang tengah. Saat bersamaan Bu Anjar keluar kamar. Zahra semakin berpegangan erat pada Emir karena takut.Yesi dan Bu Anjar ngobrol begitu akrab. Terkadang tawa menyelingi percakapan mereka tentang masa lalu, tanpa memikirkan perasaan Naima. Sedangkan Zahra dan Aurel bermain di depan diawasi oleh Emir. Naima sibuk di dapur.Keadaan seperti ini, sudah hampir setahun ia alami. Lalu sampai kapan sanggup bertahan lagi? Aurel ini kalau bermain diawa
SETELAH AKU KAU MILIKI- Apa Aku yang Salah?"Kalian baru dua tahun menikah, belum terlambat untuk membuat keputusan. Lagian kalian juga belum punya anak." Kata-kata itu kembali menghantam dada Naima. Ia mematung dibalik tembok."Mama sejak dulu kan sudah bilang sih, Mir. Ngapain kamu nikahi janda itu. Bikin susah saja anaknya. Nanti lama kelamaan, Aurel yang kalah.""Ma, mereka masih kanak-kanak. Nanti usia bertambah, akan semakin mengerti.""Kamu selalu membelanya, kan? Perempuan itu sudah menghasutmu. Apa yang dikatakannya padamu, hingga kamu begitu tunduk padanya. Sampai nggak mau dengerin Mama. Apa kamu nggak kasihan sama anakmu?"Mama nggak habis pikir. Bisa-bisanya kamu nikahin anak preman itu. Nah sekarang cucunya jadi preman perempuan. Masih kecil dah pinter membully."Pertahanan Naima benar-benar runtuh. Air matanya tumpah tak terbendung mendengar ucapan mertuanya tentang masa lalu ayahnya. Ya, ayahnya dulu memang seorang preman. Tapi itu dulu sekali sebelum menikah. Sudah b
SETELAH AKU KAU MILIKI - Hanya Anak-anak"Hai, Mas. Baru pulang kerja?" Yesi tersenyum ramah pada Emir yang muncul di pintu. Pria itu membalas senyum mantan istrinya sekilas. Lalu menyambut tangan dua anak perempuan usia tujuh tahun yang berebut menyalaminya.Emir mengusap kepala anak kandung dan anak tirinya. Lantas kedua gadis kecil itu kembali duduk di pangkuan mamanya masing-masing."Kenapa lengan Aurel terluka?" Emir yang baru duduk memperhatikan tangan putri kandungnya yang tergores. Masih tampak memerah oleh bekas darah yang mengering."Jatuh katanya, Mas." Yesi menjawab sambil memperhatikan luka itu."Nggak sengaja tadi. Senggolan sama Zahra di halaman, Mas." Naima menjelaskan sambil memandang sang suami. Sementara Yesi ini mantan istrinya Emir yang sudah bercerai tiga tahun lalu."Di dorong sama Zahra tadi," sahut Bu Anjar dengan tatapan sinis pada Zahra. Naima kian erat memeluk putrinya yang selalu ketakutan di depan nenek tirinya. Naima memilih diam untuk menghindari ker