Mag-log in"Aku juga bingung, gimana nolaknya tanpa bikin dia tersinggung, Mas. Gimana kalau maksudnya hanya ngasih saja. Tanpa pamrih apapun. Mungkin Zahra mengingatkannya pada seseorang atau gimana aku nggak tahu. Aku ingat Dewa pernah cerita tentang anak kecil yang ternyata bukan anaknya. Entah bagaimana kisahnya aku nggak tahu. Dia hanya cerita sepenggal saja.""Kapan dia cerita?""Hari itu, Mas. Aku lupa.""Dia tahu Zahra anak yatim?" "Nggak, Mas."Emir memijat pelipisnya. "Kalau begitu dia memang ada rasa sama kamu, Nai. Dikiranya kamu janda mungkin. Mas tahu gimana cara laki-laki memperhatikan seseorang. Apalagi kalau yang diperhatikan itu perempuan yang cantik, lembut, dan terlihat sendiri seperti kamu. Mas jadi nggak tenang, Nai. Pengen bawa kalian pergi dari sana."Terdengar Naima menghela napas berat. "Jangan terlalu curiga, Mas. Apa aku harus menolak niat baiknya? Maaf, jangan kasih apapun lagi ke anak saya, karena suami saya bisa cemburu, Mas Dewa? Begitukah, Mas? Nggak etis, kan?
Selesai salat, ia ingin menelepon Naima lagi. Tapi Aurel keburu masuk kamarnya dan mengajak makan malam. Akhirnya mereka makan malam bertiga.Meski Aurel mengisi ruangan itu dengan cerita-ceritanya, tapi Emir masih tetap merasakan kesepian. Ada yang hilang dalam beberapa bulan ini. Semenjak Naima pergi, semuanya terasa kaku dan hampa."Maaf, Pak. Guru lesnya Mbak Aurel sudah datang." Dengan sopan Mak Tam bicara pada Emir."Iya, Mak. Suruh nunggu sebentar."Mak Tam kembali ke depan, sedangkan Emir memandang putrinya. "Aurel, segera habiskan nasinya. Mbak sudah menunggu di depan.""Iya, Pa."Guru les privatnya Aurel datang setiap hari sehabis salat maghrib. Kecuali hari Minggu. Semenjak Naima pergi, Emir memang mencari guru les yang bisa datang ke rumah. Kalau dulu semuanya di handle Naima sendiri. Anak-anak diajak belajar bersama kalau habis makan malam.Setelah mengantar Aurel ke depan. Emir kembali duduk bersama mamanya. Ia sudah tidak tahan dan ingin bicara. "Kenapa Mama melibatkan
SETELAH AKU KAU MILIKI- 27 Jangan Khawatir "Coba Mama lihat!" Naima membuka isinya. Sebuah gamis anak-anak terlipat rapi di dalam kotak warna biru muda dengan renda putih di bagian kerah dan ujung lengan. Bahan satin lembutnya langsung terasa mewah di jari Naima. Ia tahu merek itu, tahu harganya. Bukan sembarang gamis, melainkan yang biasa dijual di butik anak-anak ternama di kota besar."Bagus nggak, Ma?" Zahra menatapnya dengan mata berbinar."Bagus," jawab Naima pelan. "Om Dewa baik ya, Ma." Begitu polosnya Zahra. Naima terdiam. Ia tidak tahu harus merasa apa. Haru karena anaknya diperhatikan, atau justru canggung. Sampai sekarang ia belum tahu tentang Dewa. Sepertinya dia memang punya kenangan tentang anak yang pernah disebut beberapa waktu lalu. Mungkin karena itu, dia terlihat begitu perhatian pada anak-anak, terutama Zahra.Namun tetap saja ada perasaan tak enak yang menggantung di dadanya.Naima menatap anaknya lembut. "Zahra, jangan sering main di halaman rumah Om Dewa. A
"Papa dan Mama Yesi sudah berpisah. Jadi kami nggak boleh lagi tinggal sama-sama. Sekarang Mama Naima yang menjadi istri papa. Makanya Mama Naima boleh tinggal bersama papa."Suatu hari nanti kamu akan mengerti, Sayang. Tapi kami semua menyayangimu. Mama Naima juga sayang sama kamu. Pernah nggak, Mama Naima marah pada Aurel?"Bocah itu menggeleng sambil terus makan es krimnya. Dan Emir merasa kalau sudah cukup penjelasannya. Lain hari kalau ada kesempatan, ia akan kembali bicara pada anaknya. Entah beberapa kali ia menekankan dengan kalimat bahwa ia dan Yesi tidak boleh tinggal bersama lagi. Semoga ini akan diingat oleh Aurel."Pa, Nenek bilang Zahra bukan anaknya Papa."Emir terkejut. Ini kali kedua dia mendengar Aurel bilang demikian. Memang itu benar, tapi tidak untuk diungkap sekarang. Kasihan Zahra. Kali ini Emir memang harus menegur mamanya."Aurel, sayang sama papa, nggak?""Sayang, Pa.""Kalau sayang, Aurel harus lebih percaya sama papa."Gadis kecil itu mengangguk."Aurel dan
Minggu pagi ....Jam delapan Aurel sudah berdandan cantik dan duduk menunggu di sofa depan televisi. Emir keluar kamar dengan kaos polo hitam dan celana warna senada. "Let's go, Sayang. Kita berangkat," ajak Emir sambil tersenyum pada putrinya.Aurel mengangguk sangat bersemangat. "Sama Mama juga, ya?""Nggak, Sayang. Kita hanya berdua saja.""Oh, Mama nggak boleh ikut, Pa?"Emir menatap wajah putrinya. "Hanya papa dan Aurel. Oke."Dengan wajah kecewa, Aurel akhirnya mengangguk. Pada saat yang bersamaan muncul Bu Anjar dari dalam kamar. "Kalian berangkat sekarang?""Ya, Ma. Aurel, pamit dulu sama Nenek."Aurel turun, lalu menghampiri Bu Anjar. Wanita itu menciumi pipi cucunya. "Jangan capek-capek. Kamu baru sembuh," pesannnya. Dijawab anggukan kepala oleh Aurel."Kamu pulang jam berapa nanti? Adikmu sama April mau ke sini." Bu Anjar memandang putranya."Belum tahu, Ma. Lagian Ezar sudah tahu kalau aku mau ngajak Aurel jalan-jalan. Kami pergi dulu!" pamit Emir pada sang mama. Dia kelu
SETELAH AKU KAU MILIKI- 26 Kecewa Naima tersenyum samar melihat postingan itu. Kemudian memblokir akun Yesinta dari pertemanannya. Ia menghela napas panjang, lantas memeluk Zahra. Melihat anaknya yang tidur nyenyak, air matanya menetes. Betapa anak itu mencintai Emir. Padahal bukan ayah kandungnya. Untuk itu Naima selalu mengajari anaknya mengalah ketika masih tinggal serumah dengan Aurel. Biar suatu hari nanti kalau Zahra tahu kebenarannya, ia tidak akan terlalu terluka."Zahra, mamalah yang paling mencintaimu, Nak." Naima mengecup kening putrinya. "Mama juga yang akan selalu ada untukmu."Ia menarik napas panjang, lalu memejamkan mata. Tapi semakin dipaksa untuk tidur, rasa kantuk semakin menjauh. Bayangan tentang sang suami berkeliaran di kepala."Bagaimana rasanya kalau pria yang menjadi suamimu masih dicintai mantannya?"Naima tahu Emir tidak mungkin sepenuhnya terlepas dari masa lalu. Bagaimanapun di antara mereka ada Aurel. Kenapa hubungan ini tidak bisa seperti orang-orang d







