"Kamu Inggit?"
Aku menatap sesosok pria di hadapanku dengan curiga.“Saya yang dimintai tolong oleh Bu Anis untuk menjemput kamu.”Baru setelah mendengar itu, aku mengangguk dan tersenyum. Pria itu langsung membuka pintu mobil dengan cepat, tapi aku masih terdiam melihat sosok laki-laki tampan bertubuh tinggi, hidungnya yang bangir dan rambut hitam legam membuatku seketika tak berkedip."Masuk kamu, jangan berdiri di situ!" perintah laki-laki itu.Aku terkesiap dan mengedarkan pandangan ke sembarang tempat."Ya, saya masuk."Buru-buru aku menyudahi panggilan dengan ibuku dan masuk ke dalam mobil."Tante," sapa suara anak kecil. Aku terkejut, ternyata ada seorang gadis mungil yang tengah duduk di belakang bersamaku.Ini efek dari memandang laki-laki lain selain suami sendiri, jadi gagal fokus pada apa pun yang ada di sekitar."Eh, kamu lucu dan cantik, kok ada di sini?""Iya, Tante, aku ikut Papa," jawabnya membuatku menelan ludah. Ternyata laki-laki itu sudah berkeluarga, bahkan memiliki seorang anak kecil"Oh, kamu pintar sekali, namanya siapa?" Aku mencubit kecil pipinya."Namanya, Jingga," jawab laki-laki yang ada di hadapanku membuatku merasa ini adalah kesempatan untuk bertanya banyak padanya."Bapak ini majikan ibuku, ya? Boleh tahu nggak kenapa Ibu dan Bapakku ada di Kalimantan?" tanyaku menyelidik.Ia menoleh ke arahku."Aku sendiri hanya disuruh papa untuk mengantarkan kamu ke Kalimantan. Katanya bapak kamu telah menyelamatkan nyawa papa saat ada proyek," terang laki-laki tersebut."Proyek? Bapakku kerja jadi tukang bangunan maksudnya? Lalu papa kamu si pemiliknya?" Pertanyaanku mungkin cukup banyak, sebab matanya langsung membulat ketika aku mengajukan pertanyaan.Kemudian, ia berdecak sambil mengusap keningnya."Yang penting bapak kamu sudah menyelamatkan nyawa papaku, itu saja intinya," timpal laki-laki bermata coklat itu. "Oh ya, aku ucapkan banyak terima kasih, ya," tambahnya lagi.Aku terdiam, bingung mau senyum atau sedih. Sebab, aku merasa senang mendengar bahwa ternyata bapak tidak lagi menjadi tukang becak. Sedihnya, saat mendengar kabar pertama kalinya, orang tuaku kecelakaan."Tapi papa kamu baik-baik aja?" Aku memberanikan diri banyak tanya padanya."Iya, alhamdulilah Papa baik, tidak celaka sedikitpun, bapakmu baik banget ya, rela celaka demi menyelamatkan papaku," jawabnya dengan disertai senyuman.Belum pernah ada yang memuji orang tuaku seperti ini. Bahkan mertuaku saja, selalu menghardiknya dengan ucapan tukang becak miskin, mau morotin orang saja. Selalu kata itu ya aku dengar sepanjang hari ketika aku merengek minta menghubungi kedua orang tua.Aku menundukkan kepala. Tiba-tiba saja aku merasa sedih, khawatir dengan bapakku di sana."Kira-kira bapakku gimana kondisinya, Pak?" Aku memanggilnya dengan sebutan Pak, padahal dia masih muda, hanya saja aku merasa harus tetap hormat pada orang kaya, terlebih pria berparas tampan itu anak dari pemilik perusahaan tempat bapak bekerja."Semoga baik-baik saja ya, informasi terakhir yang aku tahu, bapakmu dah siuman," jawabnya.Ternyata seperih ini tak pernah bertemu tapi sekalinya ada kabar, bapak tengah berbaring. Cemas, khawatir sudah tentu aku rasakan. Hingga di perjalanan pun aku tak bisa merasakan keindahan alam di luar.Namun, tiba-tiba sosok gadis mungil yang duduk di sebelahku menarik pergelangan tangan ini. Hingga pikiran pun buyar seketika. "Tante, aku sering ke situ, kalau nanti aku punya Mama baru, pingin ke situ bareng Mama," ucapnya dengan polos.'Ternyata ia sudah tidak memiliki nama? Apa papanya cerai?' Aku jadi penasaran dan bergumam dalam hati.Laki-laki yang duduk di depan sontak menyebut nama anaknya seketika, karena kaget dengan ucapannya."Jingga, kamu lucu, ya," ucapku sambil memegang dagunya. Seketika rasa khawatir pada bapak hilang karena melihat kepolosannya Jingga.***Aku menginjakkan kaki di Kalimantan. Tak pernah sebelumnya membayangkan singgah ke sini, tapi sekarang aku nyata berada di kota yang jauh dari Jakarta.Sebelumnya Pak Pram menitipkan anaknya dulu pada sopir yang membawanya. Sebab anak-anak tidak boleh masuk ke ruang rawat inap."Ini kamarnya, aku turun ke bawah lagi ya, kasihan Jingga di bawah sama Pak Rano," ucap laki-laki yang bernama Pram."Terima kasih, Pak. Lantas saya nanti di dalam bertemu dengan siapa selain Bapak dan Ibu?" tanyaku penasaran."Papaku namanya Satria, ada beliau di dalam," timpal Pak Pram yang sangat baik meskipun agak dingin.Kemudian aku membuka handle pintu, lalu masuk setelah membuka pintunya lebar-lebar."Inggit," sapa ibu ketika melihat kedatanganku."Bu," lirihku langsung menyergap tubuhnya.Lima tahun sudah kami tidak bertemu, akhirnya aku dan ibu dipertemukan kembali."Kamu nggak gemuk-gemuk," ucap ibu sambil menangis. "Pasti tekanan batin ya, Nak," tambah ibu lagi.Isak tangis pun pecah saat pertemuan itu terjadi. Ditambah lagi ketika aku menoleh ke arah bapak yang tengah berbaring lemah.Aku melepaskan pelukan ibu. Kemudian menghampiri bapak yang tengah menangis menatapku lirih."Pak, ya Allah, maafin Inggit, Pak. Sudah lama kita nggak ketemu, boro-boro Inggit bisa ngabarin bapak, nyari informasi tentang Bapak pun nggak boleh, lagian aku takut Jadi beban pikiran kalian," ungkapku sepenuh hati."Nak, sudah, jangan nangis," sahut bapak meskipun pelan.Kemudian pria yang mengenakan jas hitam, celana hitam itu menghampiriku. Ia mendekat dengan melayangkan senyuman di hadapanku."Maafkan saya, gara-gara menyelamatkan nyawa saya, bapak kamu jadi berbaring lemah di sini," timpal laki-laki itu. "Kenalkan, saya adalah Satria, papanya Pram."Ia menyodorkan tangannya padaku. Dengan senang hati pun aku menyambutnya. "Inggit," jawabku singkat.Kemudian laki-laki yang bernama Satria itu mendekati Bapak."Pak Rudi, adakah permintaan yang ingin kau sampaikan padaku? Sebagai penebus rasa bersalah saya." Laki-laki yang seumuran orang tuaku itu bertanya pada bapak."Pak, saya tidak ingin meminta apapun. Saya hanya ingin membahagiakan istri dan anak saya, dan sepertinya itu tidak akan mampu saya lakukan sendiri. Batas waktu saya sudah hampir habis," ungkap bapak dengan suara yang samar-samar."Jangan bicara seperti itu, Pak. Saya akan bantu Pak Rudi untuk membahagiakan anak dan istri bapak," timpalnya.Aku menatap bapak. Pandangannya sudah sangat beda sekali. Terakhir kalinya aku memandang bapak lima tahun lalu, di mana saat meminta izin menikah dengan Mas Dimas."Bukan itu, Pak. Dada Saya sangat sakit seperti tertusuk, terlebih saat mengingat anak saya dihina oleh mertuanya," tambah bapak. "Pak, saya nitip mereka," sambungnya lagi.Ibu yang berada di sebelahku pun menyandarkan kepalanya di bahu ini. Isak tangis sudah mulai terdengar dari mulut ibu. Aku pun jadi tak tahan menyaksikan bapak yang terlihat kesakitan.Tiba-tiba saja Bapak memegang dadanya. Kemudian Pak Satria pun menekan tombol untuk memanggil dokter."Pak, Bapak!" Ibu berteriak histeris.Aku hanya mampu memejamkan mata, sambil mengelus-ngelus bahu ibuku.Dokter pun berdatangan bersama suster. Kemudian meminta kami untuk keluar. Sebab, Bapak musti diperiksa oleh mereka.Kami bertiga menunggu di luar. Aku berdiri sambil melipat kedua tangan. Sesekali kaki ini mondar-mandir menengok ke arah ruangan. Setelah beberapa saat kemudian, dokter pun keluar sambil melepaskan stetoskopnya."Bagaimana keadaan pasien, Dok?" tanya Pak Satria.Dokter bergeming sebentar, kemudian ia mengedarkan pandangannya ke arah kami satu persatu."Maaf, Pak. Kami sudah berusaha keras, tapi kenyataannya berbeda, pasien telah mengembuskan napas terakhirnya," ungkap dokter membuat ibu spontan menjatuhkan tubuhnya.Aku pun sama, tiba-tiba saja lutut tak kuat menopang kedua kaki ini. Bagaimana tidak? Aku baru saja ketemu setelah lima tahun berpisah dari keluarga. Kini berjumpa kembali tapi dengan membawa kabar yang sangat buruk.Ibu menangis sejadinya. Begitu juga denganku, hanya bisa menguraikan air mata. "Ibu nggak kuat, Pak, hidup tanpa Bapak," lirihnya begitu amat tersiksa.Aku pun berusaha menyandarkan kepala ibu ke bahu ini. Ia membalas dengan memelukku erat."Nak, Bapak udah nggak ada," lirihnya lagi. Aku semakin keras dan berteriak."Pak, dulu Bapak mengayuh becak untuk menghidupi kami, sekuat tenaga Bapak. Tapi sekarang kayuhan itu berhenti, bukan karena Bapak pindah profesi, tapi karena kaki Bapak sudah terbujur kaku, bagaimana kami bisa hidup tanpa ayunan semangat dari Bapak?" Aku berteriak seakan tak mengikhlaskan beliau pergi.Sementara itu, dokter yang masih menyaksikan pun meminta maaf karena tidak bisa memperjuangkan bapak. Begitu juga dengan Pak Satria, ia mengangkat tubuhku yang lemah.Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara hentakan sepatu berlarian menuju tempatku berada bersama ibu. Ia Pak Pram, anak dari orang yang katanya diselamatkan oleh bapakku."Ini ada apa?" Laki-laki yang kelihatannya dingin itu kebingungan."Pak Rudi meninggal dunia," jawab Pak Satria."Inalilahi wa innailaihi rojiun," ucap Pak Pram menanggapi.Kemudian, Pak Pram mengajakku untuk masuk ke dalam, lalu menyuruhku bicara meskipun bapak sudah terbujur kaku. Dengan isak tangis, aku pun memeluk raga bapak yang sudah tak bernyawa itu."Pak, Inggit nyesel banget sudah patuh sama suami macam Mas Dimas, seandainya aku nggak nikah, mungkin Bapak masih tinggal di Karawang dan tidak mengalami kecelakaan seperti ini," lirihku sambil memeluk tubuhnya."Semua yang terjadi tentu sudah takdir, apalagi kematian, itu sudah menjadi ketetapan Tuhan," timpal laki-laki yang bernama Pram.Aku menoleh ke arahnya, kemudian aku menelan ludah dengan susah payah."Kamu bicara seperti itu karena nggak ada di posisi aku yang sekarang," celetukku padanya kemudian memalingkan wajah.Ia tersenyum padaku kemudian berdiri sejajar denganku."Aku pernah berada di posisi kalian, kehilangan sosok seorang yang amat kusayangi, dia meninggal karena melahirkan anak kami, apa aku tidak merasa bersalah? Jelas iya, karena demi anak yang tidak lain adalah benihku, ia harus mengorbankan nyawanya," terang Pak Pram. "Aku menyalahkan takdir, sama seperti kamu saat ini, tapi ternyata dunia terus berputar, anakku semakin tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tuanya. Akhirnya aku bangkit demi anakku," sambungnya lagi.Aku mulai menyeka air mata, kemudian menghela napas panjang. "Mungkin karena kamu laki-laki jadi lebih mudah ikhlas dan melupakan apa yang terjadi,," ucapku tetap merasa benar."Aku hanya ingin menguatkan kamu, memang tidak mudah, tapi bisa belajar," timpalnya lagi.Aku hanya terdiam menanggapinya, sebab masih sangat tidak percaya, bahwa yang menguatkanku justru orang lain, bukan suami sendiri.Sementara itu, ibu datang dengan membuka pintu pelan-pelan.Pak Pram pun membisikkan sesuatu di telinga ini. "Kamu harus kuat, supaya bisa menguatkan ibumu," bisiknya sambil berlalu pergi.Aku bergeming sambil memejamkan mata. 'Ternyata ada orang lain yang sepeduli itu terhadapku, sementara suamiku sendiri, malah memperlakukan aku seperti pembantu,' gumamku dalam hati.Bersambung"Are you oke, Inggit? Kenapa jadi melamun?" tanya Pak Pram membuyarkan lamunanku yang mengingat Mas Dimas.Aku memilih diam, tidak menjawab pertanyaan darinya, sebab memang saat ini aku teringat suami yang telah melarang untuk bertemu dengan kedua orang tuaku. Kini, semua itu menjadi penyesalan tersendiri. Andai saja Mas Dimas tidak melakukan hal itu lima tahun lalu, mungkin bapak masih bersama ibu, dan aku bisa memeluk raganya. Sekarang? Aku hanya bisa menyaksikan jasadnya di pembaringan."Kamu kan punya suami, apa aku hubungi suamimu untuk menenangkan istrinya di sini?" Pak Pram menawarkan hal yang menurutku sangat rawan."Ja-jangan, Pak. Nggak usah, terima kasih, aku ingin fokus menenangkan Ibu, justru beliau yang lebih kehilangan," ucapku.Kalau Mas Dimas sampai tahu keberadaanku di Kalimantan, ia pasti ngamuk besar, karena sepengetahuannya aku itu ke Karawang."Oh begitu, ya sudah, kalau begitu, aku keluar dulu, jika butuh sesuatu, panggil aja," pesan Pak Pram, aku pun mengangguk
Aku dikejutkan dengan lambaian tangan Pak Pram, ia membuyarkan lamunanku yang seketika membayangkan wajah sangar suamiku ketika ia marah. Gigi gingsul dari senyum Pak Pram terlihat ketika menatapku yang gelagapan saat ia mengejutkanku."Maaf, kalau bikin kaget, abis wajahmu kelihatan kaku gitu," celetuk Pak Pram.Bagaimana tidak kaku, setelah membaca ancaman Mas Dimas, dapat dipastikan aku pulang takkan selamat dari cengkraman laki-laki yang hanya memanfaatkan ragaku ini."Masih bengong juga?" tanya Pak Pram memastikan sekali lagi."Hm, maaf, Pak. Saya hanya kepikiran---" Aku tak melanjutkan ucapanku."Kepikiran apa? Dimas kah yang kau maksud?" cecarnya membuatku tambah gugup."I-iya, Pak. Suami saya galak," jawabku.Aku menghela napas sambil memejamkan mata. Entah ini pilihan baik atau buruk menceritakan aib rumah tangga terhadap orang lain. Terlebih lagi yang aku dengar dari ibu, kalau Pak Pram ini adalah pemilik perusahaan di mana tempat Mas Dimas bekerja."Nanti kita bicarakan lag
Pak Satria turun dari mobilnya, ia melangkah ke arah kami, lalu setelah sudah di depanku persis ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan."Boleh kami masuk dulu? Ada yang ingin kami bicarakan," ucap Pak Satria.Dikarenakan terkejut melihat kedatangannya, aku pun sampai lupa mempersilakannya masuk. Kemudian, kami bicara di ruangan tamu. Mata mereka menyorot ke arah tas yang ada di lantai."Kalian mau pulang ke Jakarta sekarang?" tanya Pak Pram."Niatnya iya," jawabku singkat."Bu Anis juga ikut?" susul Pak Satria."Iya, Pak. Saya sudah tidak ada tempat lagi untuk tinggal, jadi mau tidak mau ikut bersama Inggit dan juga keluarga suaminya." Ibuku menjelaskan alasan ikut ke Jakarta."Apa tidak ada pilihan lain? Pram sudah ceritakan semua yang dia dengar kemarin," sambung Pak Satria membuatku dan ibu saling bertumbuk pandangan."Maaf, kalau saya menceritakan pada Papa, soalnya ada yang harus diluruskan," ungkap Pak Pram."Iya, kami dengar kamu itu hanya dijadikan pembantu oleh suami,
"Ada di balik tas kamu, Inggit, sewaktu kamu ke toilet di bandara, saya tempel," jelas Pak Pram.Aku langsung mencari tas tersebut, lalu memeriksanya. Ternyata benar ada benda kecil yang menempel di balik tas milikku."Pak, boleh saya letakkan benda ini di dapur? Biasanya mereka sering mencaci maki saya di dapur," ucapku."Iya, bisa buat tambahan bukti supaya kamu bisa menggugat cerai," timpalnya lagi.Kemudian sambungan telepon diputus oleh Pak Pram secara sepihak. Aku segera memindahkan benda pipih yang menempel di tas ke dapur. Ternyata fungsinya adalah untuk menyadap suara, aku baru tahu akan hal ini.Sebelum memindahkan penyadap suara tersebut, aku memastikan tidak ada mertua di dapur. Sambil celingukan aku pun menempelkan penyadap suara tersebut.Kemudian, aku pun membantu ibu yang tengah duduk merapikan cucian yang akan dicuci. "Bu, biar aku aja yang nyuci semuanya," ucapku padanya.Ibu terdiam, ia hanya memandang anaknya dengan mata mengembun."Ini banyak banget, Inggit, kal
"Terus, kita diam di sini?" Aku ditanya oleh ibu yang sepertinya muak tinggal di sini. Padahal baru hitungan menit, belum ada satu hari, bagaimana aku yang sudah lima tahun?"Menurut Ibu gimana? Ini udah malam, cucian juga masih numpuk di rumah," jawabku.Ibu terdiam sebentar. Kemudian ia menghampiri sambil menarik pergelangan tanganku. Lalu ibu membisikkan sesuatu di telingaku."Ibu nggak mau kita nyuci, lebih baik tinggalkan aja rumah ini, toh kita sudah bisa gugat cerai dengan bukti yang Pak Pram pegang, betul nggak?" usul ibu."Tapi, Bu, cucian sudah terlanjur aku rendam, pasti besok bau," sanggahku lagi."Biarin aja, biar Dewi marah-marah saat ia melek mata, darah tinggi terus terserang stroke, ibu tuh geregetan sama mertuamu, heran aja kok kamu betah?" tanya ibu. Aku bergeming karena pertanyaan ibu membuatku malu sendiri.Alasanku cuma satu, ingin Mas Dimas sadar dan insyaf, tapi sepertinya percuma."Ya udah, Bu. Aku setuju dengan usulan Ibu," timpalku.Akhirnya kami pun beranja
Aku menoleh pelan-pelan tapi dengan mata terpejam. Sebab masih belum siap ketahuan oleh Mas Dimas, aku bingung harus menjawab apa. Dengan menghela napas panjang, aku pun mulai membuka mata perlahan. Ternyata Mas Dimas masih dalam kondisi tidur, tapi dia tengah mengigau. Ini hal biasa yang sering terjadi ketika ia hendak tidur sangat lelap sekali.Aku menurunkan bahu ketika ia memiringkan tubuhnya dan membelakangi pintu. "Syukurlah, akh pikir Mas Dimas memang sadar dengan kepergianku," bisikku bermonolog.Daun pintu aku buka kembali dan menutupnya pelan. Kemudian aku keluar dari kamar untuk menemui ibu yang ternyata sudah menunggu di sofa. "Sudah bawa berkas-berkasnya?" tanya ibu dengan suara pelan."Sudah, ayo kita pergi dari neraka ini," ajakku sambil menggandeng tangannya.Akhirnya kami bisa memutuskan untuk pergi dari rumah yang penuh dengan cacian, umpatan bahkan bully. Mereka tidak menyaring lagi tiap kali melontarkan kata-kata untuk kami. Mama dan Mas Dimas hanya memikirkan dir
Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya aku putuskan untuk angkat saja teleponnya. Daripada berisik kalau tidak diangkat, ia pasti terus-menerus menghubungiku."Halo," ucapku."Halo, halo, nggak tahu diri kamu kabur? Cucian masih banyak. Sialan kamu!" hardik Mas Dimas.Aku membiarkannya bicara sendirian sampai ia puas dan tidak bicara lagi."Inggit! Dengar suami ngomong nggak sih? Hah! Kamu kabur? Tas ibumu nggak ada di rumah, sialan kalian!" Dia mengatakan itu lagi, ucapan yang sangat tidak pantas untuk dilontarkan terhadap mertuanya."Maaf, Mas. Aku ini seorang wanita, memang harus taat pada laki-laki, tapi suami yang bagaimana dulu, kalau suaminya baik dan Soleh tentu aku akan tetap bertahan di rumah. Tahukah kamu, Mas, lima tahun itu bukan waktu yang singkat," paparku cukup puas. Baru kali ini aku membalikkan kata-katanya dengan penuh nasihat."Tetap aja kamu salah, datang baik-baik ya keluar baik-baik dong! Jangan seperti maling kayak gitu, apa jangan-jangan kamu mencuri? Aku ak
'Mas Dimas?' Aku bertanya di dalam hati sambil menarik pergelangan tangan ibu untuk bersembunyi.Aku mengerucutkan bibir sambil menutupnya dengan jari telunjuk."Ada Dimas?" tanya ibu berbisik.Aku pun mengangguk sambil terus menatap dari kejauhan."Restoran di lantai dua, kan ya?" Wanita itu bicara pada Mas Dimas. Aku dapat mendengarnya dengan jelas."Kita ikuti mereka, Bu. Aku mau rekam atau fotoin sebagai bukti," ucapku pada ibu.Sekarang kami menunggu Mas Dimas naik lebih dulu ke lantai dua, sementara kami akan menyusulnya. Yang terpenting sudah tahu tujuan mereka hendak ke restoran yang ada di hotel ini.Namun, tiba-tiba ponselku berdering, ada panggilan masuk dari Pak Pram. Aku pun langsung menerima panggilan tersebut."Halo, Pak." ucapku lebih dulu."Halo, Tante." Suara mungil itu terdengar nyaring dan sangat menghiburku seketika."Eh, ternyata Jingga, kirain papanya Jingga," sahutku. "Hm, ada apa nih?" tanyaku lagi."Tante, aku mau ketemu Tante Inggit, boleh nggak?" tanyanya m