"Heh, kamu telepon siapa itu?"
Seketika mataku membuka lebar saat Mas Dimas memergoki.Aku sontak meletakkan ponsel, lalu bicara sebentar dengan Mas Dimas. Telepon genggam sengaja tidak aku matikan supaya ibu mendengar bahwa ada Mas Dimas di sini."Siapa yang telepon?" Mas Dimas mendongakkan dagunya seraya orang curiga."Bukan siapa-siapa," jawabku bohong.Mata Mas Dimas menyipit, ia melirik ke arah ponsel yang aku letakkan di atas ranjang. Sungguh dadaku bergetar hebat ketika matanya menyorot penuh.Kakinya mulai melangkah, aku benar-benar tak tenang sekarang, ia meraih ponsel itu dan mengambilnya."Siapa ini? Kok belum dimatikan?" tanya Mas Dimas.Aku terdiam, masih takut ingin bicara jujur padanya."Halo, Dimas, jangan marahi Inggit!" Ibu, suara itu suara ibu dari ujung telepon membujuk Mas Dimas, itu artinya aku tidak bisa berbohong lagi padanya.Kemudian, Mas Dimas mengaktifkan speakernya di hadapanku. Tatapannya itu sangat sinis, aku tahu bahwa Mas Dimas tengah marah karena tadi aku sempat merahasiakannya."Siapa ini? Bukan siapa-siapa?" Mas Dimas menyindir sambil menunjuk ke arah ponsel dengan bibirnya."Maaf, Mas," timpalku menunduk. "Itu, ibuku mau bicara," sambungku lagi.Mas Dimas berdecak kesal, kemudian mengepalkan tangannya ke arahku. "Bicara aja, Bu, mau apa telepon? Mau minta duit?" tukas Mas Dimas.Aku gemetar sambil terus menyimak apa yang akan ibu katakan. Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya suara Ibu kembali terdengar."Dimas, Ibu nggak minta duit, cuma minta tolong pada Inggit, segera temui bapaknya yang kecelakaan."Hatiku sakit ketika mendengar ucapan Ibu, tetapi tidak dengan Mas Dimas. Ia malah mematikan sambungan teleponnya.“Mas!”Sekarang aku sangat gemetar, satu sisi karena dengar berita buruk yang Ibu katakan dan ketakutan karena Mas Dimas tampak emosi. Ia bahkan melempar ponselku ke tempat tidur."Kamu dengar, kan? Ibumu itu kasih tahu Bapak kecelakaan,” ucap Mas Dimas dengan suara cukup keras. "Pasti ujung-ujungnya mau minta duit!"Sungguh aku tidak menyangka Mas Dimas bisa berpikir demikian, padahal ibu hanya menyuruhku menemui bapak, tidak ada kata-kata meminta uang saat di telepon tadi. Bagaimana bisa ia menuduh ibuku seperti itu?"Mas, Ibu cuma minta aku temui bapak. Nggak lebih," sanggahku."Yakin? Terus ongkos dari sini ke rumah orang tuamu, bagaimana?"Pertanyaan itu, membuatku menautkan kedua alis. Tetap saja, semua ujung-ujungnya uang, kan?"Mas, aku nggak akan min--"Belum sempat aku menjawabnya, dari luar kamar terdengar suara teriakan ibu mertuaku memanggil Mas Dimas. Terdengar panik. Berkat itu, suamiku buru-buru keluar untuk memenuhi panggilan mama mertuaku.Aku langsung meraih ponselku lagi untuk menghubunginya. Sikap Mas Dimas membuatku waspada, tapi aku harus mencari tahu informasi lebih tentang Ibu dan Bapak.Telinga aku pasang baik-baik untuk mendengarkan suara langkah kaki dari luar, khawatir Mas Dimas datang."Bu, tadi beneran beritanya? Bapak kecelakaan?" cecarku."Iya, Nak, bapakmu kecelakaan kerja," jawab ibu.Deg!Aku nyaris tak percaya mendengar ucapannya, kakiku lemas tiba-tiba, tangan yang memegang telepon sudah tidak fokus lagi menggenggamnya."Kamu bisa nggak ke Kalimantan?" tanya Ibu tiba-tiba.Kalimantan katanya?Aku terdiam, ibu pun terdiam di sana."Ibu dan Bapak sekarang di Kalimantan?" tanyaku lagi. Lima tahun lalu, orang tuaku masih di Karawang."Udah, nggak ada waktu lagi, Inggit. Pokoknya kamu ke sini segera!" Kelihatannya kecelakaan yang bapak alami sangat parah. Aku jadi semakin cemas."Aku ke sana naik apa, Bu? Bagaimana izinnya dengan Mas Dimas? Selama lima tahun aku menghilang itu karena tekanan dari Mas Dimas dan juga keluarganya.""Nanti ibu kabari lagi melalui pesan!" Kemudian, sambungan telepon pun terputus.Beberapa menit setelah ibu menutup telepon secara sepihak, suara langkah kaki terdengar, aku yakin itu Mas Dimas. Aku segera duduk manis dan pasang wajah melas.Mas Dimas masuk, lalu merebahkan tubuhnya. "Lanjutin ngomong yang tadi," suruhnya membuatku menelan ludah dengan susah payah."Bapak kecelakaan, Mas, tadi kamu dengar sendiri, kan?" tanyaku."Iya, terus minta duit?" Lagi-lagi tuduhannya membuatku sakit. "Kenapa narik napas gitu?""Maaf, Mas, tapi ibu cuma minta aku datang, karena bapak kecelakaan parah," jawabku sambil memohon. Kedua telapak tangan ini kutautkan supaya ada iba di hatinya."Ibu tahu nomor telepon kamu dari siapa?" tanyanya membuat mataku membuka lebar. Kemudian, aku membasahi bibir untuk mencari jawaban."Ibu cari-cari, Mas. Yang namanya orang tua kepingin ketemu anaknya. Apalagi kondisi mendesak gini," jawabku. Kini tangan Mas Dimas aku ambil dan bertumpuk dengan tanganku. "Boleh ya, Mas," lirihku.Namun, Mas Dimas mengalihkan pandangannya. Genggaman tanganku pun dilepas olehnya."Nggak boleh, nanti orang tuamu minta biaya rumah sakit, inilah, itulah," timpal Mas Dimas.Aku menghela napas sambil memejamkan mata. Orang pelit seperti Mas Dimas pasti akan berprasangka buruk terus. Akhirnya aku mencari cara untuk membujuknya. Kebetulan ide itu muncul dengan sendirinya."Mas, aku takut Bapak keburu nggak ada, kan kamu pernah ngalamin ditinggal mati papamu, Mas, masa nggak ada rasa simpatinya sama sekali," bujukku. Ini ide brilian supaya Mas Dimas luluh.Mas Dimas tiba-tiba terdiam, kemudian menoleh lagi ke arahku."Ya udah sana pergi!" Aku menurunkan bahu ketika mendengar penuturannya barusan.Akhirnya Mas Dimas mengizinkan aku untuk bertemu dengan orang tuaku karena alasan yang tentu membuatnya iba."Ingat satu hal lagi ya, jangan minta ongkos!"Mas Dimas memberikan kecaman padaku. Aku pun tersenyum dan menyetujuinya dengan menganggukkan kepala.Beruntungnya aku sering menyisihkan uang belanja yang Mas Dimas berikan setiap bulan. Walaupun hanya kebagian lima puluh ribu sebulan yang kusisihkan, saat ini sudah terkumpul tiga juta rupiah di dompet simpananku.***Matahari sudah mulai menampakkan sinarnya. Tepat jam tujuh pagi, Mas Dimas bergegas ke kantor. Aku yang sudah izin sejak malam pun sudah bersiap untuk pergi."Rumah Ibu kamu masih di Karawang 'kan? Dekat rumah kita dulu?" tanya Mas Dimas.Aku terkesiap dibuatnya."I-ya, Mas," jawabku bohong. Sebab, kalau aku sebut Kalimantan, pasti ia berubah pikiran.Ia mengangguk, kemudian pamit pada ibunya. Aku pun juga begitu, mencium punggung tangan mertua tunggalku."Kamu nggak kasih Inggit duit, kan? Takutnya dia yang biayai rumah sakit," cetus ibu."Nggak, Mama, aku sudah bilang dari semalam," jawab Mas Dimas.Mama pun mengangguk. Kemudian kami naik ke mobil. Ya, aku cukup bahagia karena Mas Dimas mengantarkan aku sampai ke terminal, meskipun ia hanya antar di pinggir jalan.Setelah memastikan Mas Dimas pergi, aku pun langsung tancap gas masuk ke area terminal."Bu, aku udah di terminal. Terus aku ke Kalimantan naik apa ya, Bu?" tanyaku penasaran.Baru saja aku bertanya begitu, ada yang memanggilku dari belakang. Suaranya berat.“Inggit?”Bersambung"Kamu Inggit?"Aku menatap sesosok pria di hadapanku dengan curiga.“Saya yang dimintai tolong oleh Bu Anis untuk menjemput kamu.”Baru setelah mendengar itu, aku mengangguk dan tersenyum. Pria itu langsung membuka pintu mobil dengan cepat, tapi aku masih terdiam melihat sosok laki-laki tampan bertubuh tinggi, hidungnya yang bangir dan rambut hitam legam membuatku seketika tak berkedip."Masuk kamu, jangan berdiri di situ!" perintah laki-laki itu.Aku terkesiap dan mengedarkan pandangan ke sembarang tempat."Ya, saya masuk."Buru-buru aku menyudahi panggilan dengan ibuku dan masuk ke dalam mobil."Tante," sapa suara anak kecil. Aku terkejut, ternyata ada seorang gadis mungil yang tengah duduk di belakang bersamaku.Ini efek dari memandang laki-laki lain selain suami sendiri, jadi gagal fokus pada apa pun yang ada di sekitar."Eh, kamu lucu dan cantik, kok ada di sini?" "Iya, Tante, aku ikut Papa," jawabnya membuatku menelan ludah. Ternyata laki-laki itu sudah berkeluarga, bahkan memi
"Are you oke, Inggit? Kenapa jadi melamun?" tanya Pak Pram membuyarkan lamunanku yang mengingat Mas Dimas.Aku memilih diam, tidak menjawab pertanyaan darinya, sebab memang saat ini aku teringat suami yang telah melarang untuk bertemu dengan kedua orang tuaku. Kini, semua itu menjadi penyesalan tersendiri. Andai saja Mas Dimas tidak melakukan hal itu lima tahun lalu, mungkin bapak masih bersama ibu, dan aku bisa memeluk raganya. Sekarang? Aku hanya bisa menyaksikan jasadnya di pembaringan."Kamu kan punya suami, apa aku hubungi suamimu untuk menenangkan istrinya di sini?" Pak Pram menawarkan hal yang menurutku sangat rawan."Ja-jangan, Pak. Nggak usah, terima kasih, aku ingin fokus menenangkan Ibu, justru beliau yang lebih kehilangan," ucapku.Kalau Mas Dimas sampai tahu keberadaanku di Kalimantan, ia pasti ngamuk besar, karena sepengetahuannya aku itu ke Karawang."Oh begitu, ya sudah, kalau begitu, aku keluar dulu, jika butuh sesuatu, panggil aja," pesan Pak Pram, aku pun mengangguk
Aku dikejutkan dengan lambaian tangan Pak Pram, ia membuyarkan lamunanku yang seketika membayangkan wajah sangar suamiku ketika ia marah. Gigi gingsul dari senyum Pak Pram terlihat ketika menatapku yang gelagapan saat ia mengejutkanku."Maaf, kalau bikin kaget, abis wajahmu kelihatan kaku gitu," celetuk Pak Pram.Bagaimana tidak kaku, setelah membaca ancaman Mas Dimas, dapat dipastikan aku pulang takkan selamat dari cengkraman laki-laki yang hanya memanfaatkan ragaku ini."Masih bengong juga?" tanya Pak Pram memastikan sekali lagi."Hm, maaf, Pak. Saya hanya kepikiran---" Aku tak melanjutkan ucapanku."Kepikiran apa? Dimas kah yang kau maksud?" cecarnya membuatku tambah gugup."I-iya, Pak. Suami saya galak," jawabku.Aku menghela napas sambil memejamkan mata. Entah ini pilihan baik atau buruk menceritakan aib rumah tangga terhadap orang lain. Terlebih lagi yang aku dengar dari ibu, kalau Pak Pram ini adalah pemilik perusahaan di mana tempat Mas Dimas bekerja."Nanti kita bicarakan lag
Pak Satria turun dari mobilnya, ia melangkah ke arah kami, lalu setelah sudah di depanku persis ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan."Boleh kami masuk dulu? Ada yang ingin kami bicarakan," ucap Pak Satria.Dikarenakan terkejut melihat kedatangannya, aku pun sampai lupa mempersilakannya masuk. Kemudian, kami bicara di ruangan tamu. Mata mereka menyorot ke arah tas yang ada di lantai."Kalian mau pulang ke Jakarta sekarang?" tanya Pak Pram."Niatnya iya," jawabku singkat."Bu Anis juga ikut?" susul Pak Satria."Iya, Pak. Saya sudah tidak ada tempat lagi untuk tinggal, jadi mau tidak mau ikut bersama Inggit dan juga keluarga suaminya." Ibuku menjelaskan alasan ikut ke Jakarta."Apa tidak ada pilihan lain? Pram sudah ceritakan semua yang dia dengar kemarin," sambung Pak Satria membuatku dan ibu saling bertumbuk pandangan."Maaf, kalau saya menceritakan pada Papa, soalnya ada yang harus diluruskan," ungkap Pak Pram."Iya, kami dengar kamu itu hanya dijadikan pembantu oleh suami,
"Ada di balik tas kamu, Inggit, sewaktu kamu ke toilet di bandara, saya tempel," jelas Pak Pram.Aku langsung mencari tas tersebut, lalu memeriksanya. Ternyata benar ada benda kecil yang menempel di balik tas milikku."Pak, boleh saya letakkan benda ini di dapur? Biasanya mereka sering mencaci maki saya di dapur," ucapku."Iya, bisa buat tambahan bukti supaya kamu bisa menggugat cerai," timpalnya lagi.Kemudian sambungan telepon diputus oleh Pak Pram secara sepihak. Aku segera memindahkan benda pipih yang menempel di tas ke dapur. Ternyata fungsinya adalah untuk menyadap suara, aku baru tahu akan hal ini.Sebelum memindahkan penyadap suara tersebut, aku memastikan tidak ada mertua di dapur. Sambil celingukan aku pun menempelkan penyadap suara tersebut.Kemudian, aku pun membantu ibu yang tengah duduk merapikan cucian yang akan dicuci. "Bu, biar aku aja yang nyuci semuanya," ucapku padanya.Ibu terdiam, ia hanya memandang anaknya dengan mata mengembun."Ini banyak banget, Inggit, kal
"Terus, kita diam di sini?" Aku ditanya oleh ibu yang sepertinya muak tinggal di sini. Padahal baru hitungan menit, belum ada satu hari, bagaimana aku yang sudah lima tahun?"Menurut Ibu gimana? Ini udah malam, cucian juga masih numpuk di rumah," jawabku.Ibu terdiam sebentar. Kemudian ia menghampiri sambil menarik pergelangan tanganku. Lalu ibu membisikkan sesuatu di telingaku."Ibu nggak mau kita nyuci, lebih baik tinggalkan aja rumah ini, toh kita sudah bisa gugat cerai dengan bukti yang Pak Pram pegang, betul nggak?" usul ibu."Tapi, Bu, cucian sudah terlanjur aku rendam, pasti besok bau," sanggahku lagi."Biarin aja, biar Dewi marah-marah saat ia melek mata, darah tinggi terus terserang stroke, ibu tuh geregetan sama mertuamu, heran aja kok kamu betah?" tanya ibu. Aku bergeming karena pertanyaan ibu membuatku malu sendiri.Alasanku cuma satu, ingin Mas Dimas sadar dan insyaf, tapi sepertinya percuma."Ya udah, Bu. Aku setuju dengan usulan Ibu," timpalku.Akhirnya kami pun beranja
Aku menoleh pelan-pelan tapi dengan mata terpejam. Sebab masih belum siap ketahuan oleh Mas Dimas, aku bingung harus menjawab apa. Dengan menghela napas panjang, aku pun mulai membuka mata perlahan. Ternyata Mas Dimas masih dalam kondisi tidur, tapi dia tengah mengigau. Ini hal biasa yang sering terjadi ketika ia hendak tidur sangat lelap sekali.Aku menurunkan bahu ketika ia memiringkan tubuhnya dan membelakangi pintu. "Syukurlah, akh pikir Mas Dimas memang sadar dengan kepergianku," bisikku bermonolog.Daun pintu aku buka kembali dan menutupnya pelan. Kemudian aku keluar dari kamar untuk menemui ibu yang ternyata sudah menunggu di sofa. "Sudah bawa berkas-berkasnya?" tanya ibu dengan suara pelan."Sudah, ayo kita pergi dari neraka ini," ajakku sambil menggandeng tangannya.Akhirnya kami bisa memutuskan untuk pergi dari rumah yang penuh dengan cacian, umpatan bahkan bully. Mereka tidak menyaring lagi tiap kali melontarkan kata-kata untuk kami. Mama dan Mas Dimas hanya memikirkan dir
Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya aku putuskan untuk angkat saja teleponnya. Daripada berisik kalau tidak diangkat, ia pasti terus-menerus menghubungiku."Halo," ucapku."Halo, halo, nggak tahu diri kamu kabur? Cucian masih banyak. Sialan kamu!" hardik Mas Dimas.Aku membiarkannya bicara sendirian sampai ia puas dan tidak bicara lagi."Inggit! Dengar suami ngomong nggak sih? Hah! Kamu kabur? Tas ibumu nggak ada di rumah, sialan kalian!" Dia mengatakan itu lagi, ucapan yang sangat tidak pantas untuk dilontarkan terhadap mertuanya."Maaf, Mas. Aku ini seorang wanita, memang harus taat pada laki-laki, tapi suami yang bagaimana dulu, kalau suaminya baik dan Soleh tentu aku akan tetap bertahan di rumah. Tahukah kamu, Mas, lima tahun itu bukan waktu yang singkat," paparku cukup puas. Baru kali ini aku membalikkan kata-katanya dengan penuh nasihat."Tetap aja kamu salah, datang baik-baik ya keluar baik-baik dong! Jangan seperti maling kayak gitu, apa jangan-jangan kamu mencuri? Aku ak