Share

Bab 2

"Heh, kamu telepon siapa itu?"

Seketika mataku membuka lebar saat Mas Dimas memergoki.

Aku sontak meletakkan ponsel, lalu bicara sebentar dengan Mas Dimas. Telepon genggam sengaja tidak aku matikan supaya ibu mendengar bahwa ada Mas Dimas di sini.

"Siapa yang telepon?" Mas Dimas mendongakkan dagunya seraya orang curiga.

"Bukan siapa-siapa," jawabku bohong.

Mata Mas Dimas menyipit, ia melirik ke arah ponsel yang aku letakkan di atas ranjang. Sungguh dadaku bergetar hebat ketika matanya menyorot penuh.

Kakinya mulai melangkah, aku benar-benar tak tenang sekarang, ia meraih ponsel itu dan mengambilnya.

"Siapa ini? Kok belum dimatikan?" tanya Mas Dimas.

Aku terdiam, masih takut ingin bicara jujur padanya.

"Halo, Dimas, jangan marahi Inggit!" Ibu, suara itu suara ibu dari ujung telepon membujuk Mas Dimas, itu artinya aku tidak bisa berbohong lagi padanya.

Kemudian, Mas Dimas mengaktifkan speakernya di hadapanku. Tatapannya itu sangat sinis, aku tahu bahwa Mas Dimas tengah marah karena tadi aku sempat merahasiakannya.

"Siapa ini? Bukan siapa-siapa?" Mas Dimas menyindir sambil menunjuk ke arah ponsel dengan bibirnya.

"Maaf, Mas," timpalku menunduk. "Itu, ibuku mau bicara," sambungku lagi.

Mas Dimas berdecak kesal, kemudian mengepalkan tangannya ke arahku. "Bicara aja, Bu, mau apa telepon? Mau minta duit?" tukas Mas Dimas.

Aku gemetar sambil terus menyimak apa yang akan ibu katakan. Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya suara Ibu kembali terdengar.

"Dimas, Ibu nggak minta duit, cuma minta tolong pada Inggit, segera temui bapaknya yang kecelakaan."

Hatiku sakit ketika mendengar ucapan Ibu, tetapi tidak dengan Mas Dimas. Ia malah mematikan sambungan teleponnya.

“Mas!”

Sekarang aku sangat gemetar, satu sisi karena dengar berita buruk yang Ibu katakan dan ketakutan karena Mas Dimas tampak emosi. Ia bahkan melempar ponselku ke tempat tidur.

"Kamu dengar, kan? Ibumu itu kasih tahu Bapak kecelakaan,” ucap Mas Dimas dengan suara cukup keras. "Pasti ujung-ujungnya mau minta duit!"

Sungguh aku tidak menyangka Mas Dimas bisa berpikir demikian, padahal ibu hanya menyuruhku menemui bapak, tidak ada kata-kata meminta uang saat di telepon tadi. Bagaimana bisa ia menuduh ibuku seperti itu?

"Mas, Ibu cuma minta aku temui bapak. Nggak lebih," sanggahku.

"Yakin? Terus ongkos dari sini ke rumah orang tuamu, bagaimana?"

Pertanyaan itu, membuatku menautkan kedua alis. Tetap saja, semua ujung-ujungnya uang, kan?

"Mas, aku nggak akan min--"

Belum sempat aku menjawabnya, dari luar kamar terdengar suara teriakan ibu mertuaku memanggil Mas Dimas. Terdengar panik. Berkat itu, suamiku buru-buru keluar untuk memenuhi panggilan mama mertuaku.

Aku langsung meraih ponselku lagi untuk menghubunginya. Sikap Mas Dimas membuatku waspada, tapi aku harus mencari tahu informasi lebih tentang Ibu dan Bapak.

Telinga aku pasang baik-baik untuk mendengarkan suara langkah kaki dari luar, khawatir Mas Dimas datang.

"Bu, tadi beneran beritanya? Bapak kecelakaan?" cecarku.

"Iya, Nak, bapakmu kecelakaan kerja," jawab ibu.

Deg!

Aku nyaris tak percaya mendengar ucapannya, kakiku lemas tiba-tiba, tangan yang memegang telepon sudah tidak fokus lagi menggenggamnya.

"Kamu bisa nggak ke Kalimantan?" tanya Ibu tiba-tiba.

Kalimantan katanya?

Aku terdiam, ibu pun terdiam di sana.

"Ibu dan Bapak sekarang di Kalimantan?" tanyaku lagi. Lima tahun lalu, orang tuaku masih di Karawang.

"Udah, nggak ada waktu lagi, Inggit. Pokoknya kamu ke sini segera!" Kelihatannya kecelakaan yang bapak alami sangat parah. Aku jadi semakin cemas.

"Aku ke sana naik apa, Bu? Bagaimana izinnya dengan Mas Dimas? Selama lima tahun aku menghilang itu karena tekanan dari Mas Dimas dan juga keluarganya."

"Nanti ibu kabari lagi melalui pesan!" Kemudian, sambungan telepon pun terputus.

Beberapa menit setelah ibu menutup telepon secara sepihak, suara langkah kaki terdengar, aku yakin itu Mas Dimas. Aku segera duduk manis dan pasang wajah melas.

Mas Dimas masuk, lalu merebahkan tubuhnya. "Lanjutin ngomong yang tadi," suruhnya membuatku menelan ludah dengan susah payah.

"Bapak kecelakaan, Mas, tadi kamu dengar sendiri, kan?" tanyaku.

"Iya, terus minta duit?" Lagi-lagi tuduhannya membuatku sakit. "Kenapa narik napas gitu?"

"Maaf, Mas, tapi ibu cuma minta aku datang, karena bapak kecelakaan parah," jawabku sambil memohon. Kedua telapak tangan ini kutautkan supaya ada iba di hatinya.

"Ibu tahu nomor telepon kamu dari siapa?" tanyanya membuat mataku membuka lebar. Kemudian, aku membasahi bibir untuk mencari jawaban.

"Ibu cari-cari, Mas. Yang namanya orang tua kepingin ketemu anaknya. Apalagi kondisi mendesak gini," jawabku. Kini tangan Mas Dimas aku ambil dan bertumpuk dengan tanganku. "Boleh ya, Mas," lirihku.

Namun, Mas Dimas mengalihkan pandangannya. Genggaman tanganku pun dilepas olehnya.

"Nggak boleh, nanti orang tuamu minta biaya rumah sakit, inilah, itulah," timpal Mas Dimas.

Aku menghela napas sambil memejamkan mata. Orang pelit seperti Mas Dimas pasti akan berprasangka buruk terus. Akhirnya aku mencari cara untuk membujuknya. Kebetulan ide itu muncul dengan sendirinya.

"Mas, aku takut Bapak keburu nggak ada, kan kamu pernah ngalamin ditinggal mati papamu, Mas, masa nggak ada rasa simpatinya sama sekali," bujukku. Ini ide brilian supaya Mas Dimas luluh.

Mas Dimas tiba-tiba terdiam, kemudian menoleh lagi ke arahku.

"Ya udah sana pergi!" Aku menurunkan bahu ketika mendengar penuturannya barusan.

Akhirnya Mas Dimas mengizinkan aku untuk bertemu dengan orang tuaku karena alasan yang tentu membuatnya iba.

"Ingat satu hal lagi ya, jangan minta ongkos!"

Mas Dimas memberikan kecaman padaku. Aku pun tersenyum dan menyetujuinya dengan menganggukkan kepala.

Beruntungnya aku sering menyisihkan uang belanja yang Mas Dimas berikan setiap bulan. Walaupun hanya kebagian lima puluh ribu sebulan yang kusisihkan, saat ini sudah terkumpul tiga juta rupiah di dompet simpananku.

***

Matahari sudah mulai menampakkan sinarnya. Tepat jam tujuh pagi, Mas Dimas bergegas ke kantor. Aku yang sudah izin sejak malam pun sudah bersiap untuk pergi.

"Rumah Ibu kamu masih di Karawang 'kan? Dekat rumah kita dulu?" tanya Mas Dimas.

Aku terkesiap dibuatnya.

"I-ya, Mas," jawabku bohong. Sebab, kalau aku sebut Kalimantan, pasti ia berubah pikiran.

Ia mengangguk, kemudian pamit pada ibunya. Aku pun juga begitu, mencium punggung tangan mertua tunggalku.

"Kamu nggak kasih Inggit duit, kan? Takutnya dia yang biayai rumah sakit," cetus ibu.

"Nggak, Mama, aku sudah bilang dari semalam," jawab Mas Dimas.

Mama pun mengangguk. Kemudian kami naik ke mobil. Ya, aku cukup bahagia karena Mas Dimas mengantarkan aku sampai ke terminal, meskipun ia hanya antar di pinggir jalan.

Setelah memastikan Mas Dimas pergi, aku pun langsung tancap gas masuk ke area terminal.

"Bu, aku udah di terminal. Terus aku ke Kalimantan naik apa ya, Bu?" tanyaku penasaran.

Baru saja aku bertanya begitu, ada yang memanggilku dari belakang. Suaranya berat.

“Inggit?”

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status