Share

Bab 4

"Are you oke, Inggit? Kenapa jadi melamun?" tanya Pak Pram membuyarkan lamunanku yang mengingat Mas Dimas.

Aku memilih diam, tidak menjawab pertanyaan darinya, sebab memang saat ini aku teringat suami yang telah melarang untuk bertemu dengan kedua orang tuaku. Kini, semua itu menjadi penyesalan tersendiri. Andai saja Mas Dimas tidak melakukan hal itu lima tahun lalu, mungkin bapak masih bersama ibu, dan aku bisa memeluk raganya. Sekarang? Aku hanya bisa menyaksikan jasadnya di pembaringan.

"Kamu kan punya suami, apa aku hubungi suamimu untuk menenangkan istrinya di sini?" Pak Pram menawarkan hal yang menurutku sangat rawan.

"Ja-jangan, Pak. Nggak usah, terima kasih, aku ingin fokus menenangkan Ibu, justru beliau yang lebih kehilangan," ucapku.

Kalau Mas Dimas sampai tahu keberadaanku di Kalimantan, ia pasti ngamuk besar, karena sepengetahuannya aku itu ke Karawang.

"Oh begitu, ya sudah, kalau begitu, aku keluar dulu, jika butuh sesuatu, panggil aja," pesan Pak Pram, aku pun mengangguk, tak banyak bicara, hanya senyum terpaksa saja yang aku sematkan untuk orang lain yang berusaha menguatkan.

Aku menutup mata sejenak, seandainya suami sendiri seperhatian itu, mungkin aku tak sesedih ini. Namun, nasibku berbeda, bertemu dengan pria yang justru selalu menghinaku. Ia tidak pernah menjaga marwah seorang istri, Mas Dimas justru selalu menjadikan aku luapan segala nafsunya, baik amarah maupun batinnya.

Aku tidak boleh terus berlarut seperti ini, meskipun sangat menyesal dengan kejadian yang aku alami, tapi ada yang aku lupakan, yaitu kondisi mental ibuku yang ditinggal pergi bapak untuk selama-lamanya. Aku pun menghampiri ibu yang tengah memeluk jasad bapak.

"Proses pemakamannya kapan, Bu?" tanyaku saat memegang bahunya. Aku sengaja bertanya mengenai hal ini dengan cara bisik-bisik, supaya ibu segera mengatur proses pemakaman.

Ibu menoleh dengan wajah sembab, ia menghela napas sambil sesegukan.

"Ibu nggak tahu harus bagaimana menjalani hidup ke depannya tanpa bapakmu, Nak," ucap ibuku dengan disertai Isak tangis. Ia memelukku erat-erat. Ternyata sesakit ini kehilangan, ini semua karena Mas Dimas yang tega memisahkan kami. Jika tidak menikah dengannya, seharusnya aku dan keluargaku hidup bahagia di Karawang meskipun makan dengan lauk seadanya.

"Bu, kita harus kuat dan ikhlas melepas bapak, jangan sampai almarhum berat meninggalkan dunia," ungkapku terkesan kuat, padahal sebenarnya aku pun rapuh.

Ibu menghela napas, kemudian ia menyeka air matanya.

"Baiklah, Ibu akan berusaha ikhlas," timpalnya.

"Kita harus cepat melakukan prosesi pemakaman, Bu," usulku.

Ibu pun mengangguk seraya menyetujui usulanku

Kemudian, kami menemui Pak Pram dan keluarganya supaya dengan cepat mengurus jenazah bapak.

"Baiklah, kalian sudah tenang ya sekarang? Saya akan segera urus semuanya," ucap Pak Pram mewakili keluarganya.

Ibu dan aku mengangguk seraya setuju dengan segala ucapannya. Kami pun menunggu hingga jenazah bisa dibawa ke pemakaman, bahkan sampai proses menyalatkan jenazah saja, Pak Pram dan Pak Satria ikut andil.

Sekitar dua jam, akhirnya semua selesai, kini kami bergegas membawa jenazah bapak ke liang lahat.

Kalimantan ini bukan tempat bapak dilahirkan, aku tidak pernah mengira bahwa peristirahatan terakhir bapak berada di pulau ini.

Proses pemakaman berlangsung cukup lama, dari memandikan, menyalatkan saja sudah mamakan waktu dua jam lamanya. Kini untuk pemakaman, kami harus mempercepat karena matahari nyaris terbenam saat ini.

Setelah gundukan tanah telah menutup raga bapak, kami menengadahkan tangan. Semua memohon doa dan ampunan dari Tuhan untuk bapak. "Semoga Bapak tenang di alam sana, Inggit biar aku yang urus, Pak," ucap ibu ketika menaburkan bunga.

Kemudian kami bangkit dan hendak pulang ke rumah ibu yang berada di Kalimantan ini. Namun, keluarga Satria menahan lebih dulu.

"Kalian bisa tinggal di rumah kami," ucap Pak Satria.

"Tidak, Pak," jawab ibu singkat.

"Saya mau membalas budi Pak Rudi, bagaimana caranya? Kalian harus bahagia dan hidup berkecukupan, nyawa Pak Rudi melayang gara-gara menyelamatkan saya," ungkap Pak Satria.

"Ini sudah suratan takdir, mungkin ini jalannya kami bisa berjumpa lagi." Ibu menjawab sambil merangkulku.

Aku menatapnya sedih, terharu karena ia mampu menyimpan duka di matanya.

"Kalian sudah lama tidak bertemu? Kenapa bisa seperti itu?" tanya Pak Satria.

Ibu menoleh ke arahku. Ia tersenyum manis, "Inggit anak berbakti, ia juga sangat berbakti pada suaminya," timpal ibu.

Aku menyunggingkan senyuman. Andai ibu tahu kalau aku tersiksa, ia pasti akan ikut merasakan sakitnya.

"Kalau begitu, tolong beritahu kami jika ada yang harus kami lakukan lagi untuk kalian, saya benar-benar merasa bersalah atau meninggalnya Pak Rudi," papar Pak Satria.

"Untuk saat ini, kami rasa cukup, Pak. Saya sangat merasa terbantu karena sudah dibantu segala proses pemakaman," timpal ibu.

"Kalau begitu, saya pamit, kalian diantar Pram, ya," suruh Pak Satria.

Ibu pun mengangguk seraya setuju.

"Salam untuk Ibu, Pak," timpal ibuku pada Pak Satria. Kemudian, laki-laki ramah itu bergegas menaiki mobil sedannya.

Sementara kami, akan diantar pulang oleh Pak Pram yang sudah menyiapkan mobilnya di ujung parkiran.

Sepanjang jalan kami hanya saling diam, tidak ada topik pembicaraan sedikitpun, sebab suasana masih sangat berduka. Mungkin Pak Pram ingin banyak tanya pun jadi sungkan.

Sekitar satu jam kemudian, akhirnya aku tiba di rumah tempat ibu dan bapak tinggal di Kalimantan. Rumahnya cukup sederhana, tapi lebih besar ketimbang rumah kami yang dulu hanya satu petak saja.

Kami langsung pamit pada Pak Pram, aku dan ibu pun turun dari mobilnya.

"Terima kasih banyak, Pak Pram," ucap ibu.

"Kalian yang sabar ya, kalau butuh sesuatu telepon aku saja, Bu Anis kan tahu nomornya," ucap Pak Pram.

"Terima kasih juga, Pak. Sudah susah payah mencari nomor telepon Inggit," ucap ibu menambahkan rasa syukurnya.

"Nggak susah kok, saat saya memerintahkan detektif untuk mencari nomor telepon, justru ditemukan di kantor saya sendiri," jawab Pak Pram.

Aku mengangguk seraya ikut menyimak apa yang menjadi obrolan mereka, ternyata Mas Dimas kerja di kantor Pak Pram.

"Baik, Pak. Kami ucapkan terima kasih sekali lagi," sahut ibu lagi.

Kemudian, mobil itu pergi dan kami bergegas masuk ke dalam. Langkah kakiku sangat pelan karena mengamati ruangan demi ruangan.

"Ini rumah dikasih atau ngontrak, Bu?" tanyaku padanya ketika menginjakkan kaki di rumahnya. Mata ini tak lepas memandang seisi ruangan, ternyata ibuku sudah lebih baik ketika mengadu nasib ke Kalimantan.

"Iya, ini kontrakan yang disediakan oleh Pak Satria, baik orangnya," jawab ibu. Kemudian, aku keheranan karena Ibu tidak langsung menutup pintunya.

"Kok dibuka pintunya, Bu?" tanyaku.

"Dibuka sedikit karena mencari sirkulasi angin untuk keluar masuk." Kami pun duduk bersebelahan di sofa berwarna hitam pekat. Namun mataku memandang sekeliling ruangan. Rumahnya cukup nyaman meskipun sederhana.

"Bu, aku mau cerita, kira-kira Ibu sudah tenang belum ya?" tanyaku padanya.

"Cerita aja, tentang Dimas ya?" tanya Ibu.

Aku pun mengangguk, agak sedikit takut ingin cerita padanya. Namun, aku harus menceritakan semuanya pada orang tua tunggal yang tersisa.

"Bu, setelah ini aku akan minta cerai aja dari Mas Dimas," celetukku membuat mata ibu membuka lebar.

"Apa kamu disakiti oleh Dimas dan Bu Dewi?" tanya ibu.

Aku menggigit bibir ini seraya takut bercerita padanya.

"Iya, Bu," ucapku. "Aku sangat tersakiti," tambahku.

Ibuku menurunkan bahunya. Kemudian ia meraih punggung tanganku.

"Sebenarnya Ibu dan bapakmu juga dulu tidak berani nyusul ke Jakarta karena sesuatu hal," ucapnya membuatku menautkan kedua alis. "Tapi, kamu ceritakan saja dulu keluh kesahmu, Nak. Ibu siap mendengarkannya," sambung ibu lagi.

Aku pun menelan ludah dengan susah payah, kemudian mulai menceritakan perlakuan suami dan ibu mertuaku yang membuat penyesalan tak berujung ini. Sebab, karena mereka lah aku jadi terpisah dari orang tuaku hingga lima tahun lamanya.

"Ibu mertuaku selalu membatasi ruang lingkup pertemananku, Bu. Jadi, semenjak menikah dengan Mas Dimas, aku benar-benar seperti pembantu, terlebih lagi sosok anak yang tak kunjung hadir dalam pernikahan kami," ungkapku menceritakan semuanya satu persatu.

Ibu mengelus dada dengan tangan kirinya. Namun, tangan kanan berada di mulutnya yang menganga karena terkejut mendengar pengakuanku.

"Kami pikir kamu bahagia, Nak. Memang semenjak kami dilarang menemui kamu tuh bapakmu selalu bertekad untuk menjadi orang sukses," papar ibu gantian membuatku shock.

"Aku kangen banget sama Ibu dan almarhum bapak, sekalinya ketemu, kini bapak sudah nggak ada lagi di dunia ini, aku jadi nyesel, Bu, kenapa nurut dengan laki-laki macam Mas Dimas?" Aku mengelus kening sambil menghela napas kasar. "Mas Dimas dan Mama Dewi itu sering mencaci makiku jika tidak melakukan pekerjaan rumah. Terakhir kalinya aku bertengkar saat mereka ingin makan tapi belum ada lauk, aku bagai pembantu, Bu," sambungku lagi.

Tak tertahankan keluhanku itu akhirnya terluapkan juga di hadapan ibuku.

"Ya Allah, Nak. Kenapa kamu tidak bicara dari awal? Ibu juga nyesel telah mengikuti keinginan mertuamu, Nak, dalam surat itu ia me__"

Tiba-tiba saja ada suara ketukan pintu, kami lihat jelas wajah Pak Pram ada di ambang pintu yang masih terbuka sedikit.

"Pak Pram, sudah lama Bapak di situ?" tanyaku padanya.

"Ma-af, tadi aku dengar pembicaraan kalian, ini handphone Inggit ketinggalan di kursi belakang, aku baru sadar pas ada suara dering telepon, dikarenakan kontaknya tertulis Suami, jadi aku antar buru-buru, takutnya penting," ucap Pak Pram, justru membuatku terkejut.

Aku sontak meraih ponsel yang diberikan Pak Pram barusan, lalu mengusap lembut layarnya. Kemudian, aku buka panggilan tak terjawab, ada lima kali panggilan dari Mas Dimas.

'Mas Dimas? Ngapain dia nelpon aku sampai berkali-kali?' batinku.

"Banyak pesan juga darinya. Mohon maaf tadi terbaca sebagian saat mengambil ponsel di kursi belakang," terang Pak Pram membuatku malu.

Apa kira-kira pesan yang dikirim Mas Dimas? Aku segera membukanya dengan cepat.

[Sialan, kamu pergi dengan laki-laki siapa tadi, Hah? Ada yang laporan nih!]

Aku menelan ludah dengan susah payah. Rutukan dan penyesalan pun semakin menyelimuti. Kenapa aku menikah dengan pria arogan seperti Mas Dimas?

Pesan berikutnya pun ia kirim sebanyak tiga kali dengan isi yang sama.

[Pulang hari ini. Awas kalau nggak! Aku akan seret kamu!] ancam Mas Dimas lagi.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status