Share

Bab 7

"Ada di balik tas kamu, Inggit, sewaktu kamu ke toilet di bandara, saya tempel," jelas Pak Pram.

Aku langsung mencari tas tersebut, lalu memeriksanya. Ternyata benar ada benda kecil yang menempel di balik tas milikku.

"Pak, boleh saya letakkan benda ini di dapur? Biasanya mereka sering mencaci maki saya di dapur," ucapku.

"Iya, bisa buat tambahan bukti supaya kamu bisa menggugat cerai," timpalnya lagi.

Kemudian sambungan telepon diputus oleh Pak Pram secara sepihak.

Aku segera memindahkan benda pipih yang menempel di tas ke dapur. Ternyata fungsinya adalah untuk menyadap suara, aku baru tahu akan hal ini.

Sebelum memindahkan penyadap suara tersebut, aku memastikan tidak ada mertua di dapur. Sambil celingukan aku pun menempelkan penyadap suara tersebut.

Kemudian, aku pun membantu ibu yang tengah duduk merapikan cucian yang akan dicuci.

"Bu, biar aku aja yang nyuci semuanya," ucapku padanya.

Ibu terdiam, ia hanya memandang anaknya dengan mata mengembun.

"Ini banyak banget, Inggit, kalau kamu nyuci sendiri, pasti capek, nggak pakai mesin pula," timpal ibu.

Aku tersenyum, kemudian mengambil alih pakaian yang tadi disiram oleh ibu. "Sudah biasa Bu, aku mencuci pakaian sebanyak ini," jawabku sambil mulai menuangkan sabun pencuci pakaian.

"Ibu nggak nyangka, memang tugas seorang istri sih, tapi caranya itu yang sangat kasar," ungkap ibu.

Aku menghela napas panjang, kemudian menarik pergelangan tangan ibu untuk duduk di meja makan. Aku menyuruhnya untuk diam saja dan mencicipi makanan yang ada di meja makan.

"Makan aja kalau Ibu lapar ya, itu masih ada lauk kayaknya bekas mereka makan," suruhku. Sebab aku tahu ibu belum makan sejak menginjakkan kaki di Jakarta.

"Boleh Ibu makan makanan yang ada di sini, Nggit?" tanya ibuku memastikan.

Namun, baru saja ibu membuka tutup saji yang menutup makanan di meja, Mama Dewi datang. Aku yang tengah memegang cucian pun ikut berdiri karena melihatnya berkacak pinggang.

"Bagus ya, mau makan tapi nggak modal?" Aku menelan ludah ketika mertuaku mengucapkan masalah uang lagi. Apalagi ibuku, ya sangat terkejut melihat kedatangan Mama dengan wajah marahnya. Ibuku seperti ketakutan ia langsung berdiri dan melempar tutup sajinya.

"Maaf, tadi cuma mau lihat lauknya aja," kata ibu sambil menundukkan kepalanya.

"Kalau mau makan bayar, atau kerja kek di sini biar saya nggak rugi," cetus mama mertuaku sangat menyayat hati. Sungguh sangat perhitungan sekali semua iya takar dengan uang.

"Mah, ibu kan baru aja sampai, khawatir kelelahan kalau langsung ngerjain pekerjaan rumah, biarin aku aja dulu yang nyuci, Ibu besok pagi akan mencuci piring atau masak kok," sanggahku.

"Nggak bisa begitu, kalau kalian ngontrak di rumah orang, apa langsung nempatin gitu tanpa bayar? Kan harus bayar dulu, barulah kalian bisa tidur nyenyak!" teriak mama mertuaku.

Sungguh terlalu, mama mertuaku menyamakan kami dengan orang ngontrak. Padahal ibu adalah besannya, dan aku adalah menantunya. Sebelum ke sini aku juga izin terlebih dahulu terhadap Mas Dimas.

Aku menghalangi nafas kemudian mencuci tangan terlebih dahulu. Setelah itu barulah menghampiri Mama mertuaku.

"Mah, Mama boleh menyuruhku apa aja, bahkan menganggapku budak sekalipun, tapi tolong hormati ibuku, jangan perlakukan iya seperti sampah!" Aku meluapkan amarah yang sedari tadi kubendung di dalam dada.

"Wah, kamu udah berani kurang ajar sama Mama, sebentar lagi Dimas akan mama kasih tahu, bahwa istrinya sudah mulai membangkang," ancam mama mertuaku.

Aku terdiam, lalu melihat ibu menghampiri Mama mertuaku. Kini mereka berdiri saling beradu pandang, ibu dan mama hanya berjarak setengah meter saja.

"Saya nggak nyangka, anak saya diperlakukan seperti ini selama 5 tahun. Saya mengandungnya 9 bulan, lalu membesarkan dengan penuh kasih sayang, setelah menikah ia diperlakukan seenaknya oleh mertua dan suaminya sendiri, sungguh hati ini sangat hancur, Bu Dewi. Kamu tidak memiliki anak wanita, jadi tidak merasakan apa yang saya rasakan!" tekan ibu.

Mama mertuaku menertawakan ibu yang tengah mencurahkan isi hatinya.

"Saya menikahkan Dimas dengan anakmu, supaya cepat memiliki cucu, tapi sepertinya putrimu itu mandul, nggak guna jadi seorang istri, pantasnya hanya jadi pembantu di sini!" Mama mertuaku tambah menghardikku, Bahkan ia sampai menunjuk ke arahku saat bicara tentang anak pada ibuku.

"Kalau tujuan kalian seperti itu, kenapa nikahi anak saya? Kenapa kalian tidak menyewa pembantu saja! Hah!" Kini ibuku meninggikan suaranya. Orang tua yang telah menyusuiku sejak lahir itu kini meluapkan emosinya.

"Kamu budek atau nggak denger? Awal saya menikahkan putrimu dengan putra saya, karena ingin punya cucu, tapi kenyataannya tidak, ngerti bahasa saya nggak?" Mama mertuaku semakin marah.

Padahal dari awal aku memang sudah diperlakukan seperti ini, ada ataupun tidak ada yang namanya anak dalam keluarga kami. Aku yakin Mas Dimas dan mertuaku memang hanya memanfaatkan tenagaku saja.

"Cukup, Bu Dewi. Kalau memang tujuan kamu seperti itu. Tolong suruh Dimas ceraikan anak saya!" Ibu menyanggah ucapannya lagi.

Namun tiba-tiba saja, Mas Dimas datang. Matanya langsung memerah ketika tiba di belakang ibuku.

"Jadi kalian sekarang berani ya? Kalau cerai, pasti kalian akan jadi gelandangan, apa itu keinginan kalian?" Mas Dimas membela mamanya.

"Yang dikatakan ibuku benar Mas, kenapa masih mempertahankan pernikahan kita? Ceraikan aku, Mas!" teriakku sambil menggoyangkan tubuh Mas Dimas.

"Aku akan menceraikan kamu, tapi setelah aku berhasil mendapatkan wanita yang mapan, jadi aku memang sudah tidak perlu lagi tenagamu, Soalnya kalau menikah dengan wanita kaya pasti akan disewakan pembantu," ungkap Mas Dimas.

Dadaku nyeri ketika mendengarnya, kenapa ia mempertahankan pernikahan, jika aku sudah tidak dianggap seorang istri lagi. Kasarnya aku adalah pembantunya bukan istrinya.

Akhirnya ibu tidak jadi makan, ia malah beranjak menuju kamarnya dengan uraian air mata yang menetes di pipinya.

Aku pun menyusul ibu dan meninggalkan cucian yang baru aku rendam saja. Terdengar suara gelak tawa saat kami meninggalkan dapur secara bergantian. Mas Dimas dan Mama Dewi sungguh sangat tega terhadap kami berdua. Mereka tidak memiliki rasa perikemanusiaan sama sekali.

Setelah masuk ke kamar ibu, aku mengunci pintu kamar. Lalu mencoba menenangkannya. Aku yakin hati ibu manapun akan tersayat jika mendengar anaknya disakiti oleh orang lain yang bergelar suami dan juga mertua.

"Sabar ya, Bu. Ucapan Mas Dimas tadi bisa menjadi bukti untuk gugat cerai secepatnya, Pak Pram sudah menyadap perdebatan kita tadi." Ibu menoleh sambil memicingkan matanya.

"Benarkah itu, Inggit? Melihat kamu disakiti seperti ini, Ibu jadi ingin menerima tawaran dari Pak Satria yang kemarin, kita balas perlakuan mereka yang sangat keterlaluan itu!" kecam ibu.

Aku terdiam sambil menatap wajah Ibu yang sendu.

"Kita balas dendam?" tanyaku.

Ibu pun mengangguk. Lalu menyeka air matanya sambil menghela napas.

"Baiklah, aku akan hubungi Pak Pram besok, untuk menerima penawaran yang kemarin diberikan oleh keluarganya," ucapku sambil membantu ibu menyeka air matanya.

Bersambung

Comments (11)
goodnovel comment avatar
Edi Ismanto
mau baca novel aja harus bayar,udh pake kuota pake bayar pula....ga sudi lha yaw
goodnovel comment avatar
Bocah Ingusan
tokohnya tolol tapi kok kayak pinter. apa sok pinter...
goodnovel comment avatar
Sadini Ar
bagus sekali ceritanya pengen baca lanjutannya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status