"Ada di balik tas kamu, Inggit, sewaktu kamu ke toilet di bandara, saya tempel," jelas Pak Pram.Aku langsung mencari tas tersebut, lalu memeriksanya. Ternyata benar ada benda kecil yang menempel di balik tas milikku."Pak, boleh saya letakkan benda ini di dapur? Biasanya mereka sering mencaci maki saya di dapur," ucapku."Iya, bisa buat tambahan bukti supaya kamu bisa menggugat cerai," timpalnya lagi.Kemudian sambungan telepon diputus oleh Pak Pram secara sepihak. Aku segera memindahkan benda pipih yang menempel di tas ke dapur. Ternyata fungsinya adalah untuk menyadap suara, aku baru tahu akan hal ini.Sebelum memindahkan penyadap suara tersebut, aku memastikan tidak ada mertua di dapur. Sambil celingukan aku pun menempelkan penyadap suara tersebut.Kemudian, aku pun membantu ibu yang tengah duduk merapikan cucian yang akan dicuci. "Bu, biar aku aja yang nyuci semuanya," ucapku padanya.Ibu terdiam, ia hanya memandang anaknya dengan mata mengembun."Ini banyak banget, Inggit, kal
"Terus, kita diam di sini?" Aku ditanya oleh ibu yang sepertinya muak tinggal di sini. Padahal baru hitungan menit, belum ada satu hari, bagaimana aku yang sudah lima tahun?"Menurut Ibu gimana? Ini udah malam, cucian juga masih numpuk di rumah," jawabku.Ibu terdiam sebentar. Kemudian ia menghampiri sambil menarik pergelangan tanganku. Lalu ibu membisikkan sesuatu di telingaku."Ibu nggak mau kita nyuci, lebih baik tinggalkan aja rumah ini, toh kita sudah bisa gugat cerai dengan bukti yang Pak Pram pegang, betul nggak?" usul ibu."Tapi, Bu, cucian sudah terlanjur aku rendam, pasti besok bau," sanggahku lagi."Biarin aja, biar Dewi marah-marah saat ia melek mata, darah tinggi terus terserang stroke, ibu tuh geregetan sama mertuamu, heran aja kok kamu betah?" tanya ibu. Aku bergeming karena pertanyaan ibu membuatku malu sendiri.Alasanku cuma satu, ingin Mas Dimas sadar dan insyaf, tapi sepertinya percuma."Ya udah, Bu. Aku setuju dengan usulan Ibu," timpalku.Akhirnya kami pun beranja
Aku menoleh pelan-pelan tapi dengan mata terpejam. Sebab masih belum siap ketahuan oleh Mas Dimas, aku bingung harus menjawab apa. Dengan menghela napas panjang, aku pun mulai membuka mata perlahan. Ternyata Mas Dimas masih dalam kondisi tidur, tapi dia tengah mengigau. Ini hal biasa yang sering terjadi ketika ia hendak tidur sangat lelap sekali.Aku menurunkan bahu ketika ia memiringkan tubuhnya dan membelakangi pintu. "Syukurlah, akh pikir Mas Dimas memang sadar dengan kepergianku," bisikku bermonolog.Daun pintu aku buka kembali dan menutupnya pelan. Kemudian aku keluar dari kamar untuk menemui ibu yang ternyata sudah menunggu di sofa. "Sudah bawa berkas-berkasnya?" tanya ibu dengan suara pelan."Sudah, ayo kita pergi dari neraka ini," ajakku sambil menggandeng tangannya.Akhirnya kami bisa memutuskan untuk pergi dari rumah yang penuh dengan cacian, umpatan bahkan bully. Mereka tidak menyaring lagi tiap kali melontarkan kata-kata untuk kami. Mama dan Mas Dimas hanya memikirkan dir
Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya aku putuskan untuk angkat saja teleponnya. Daripada berisik kalau tidak diangkat, ia pasti terus-menerus menghubungiku."Halo," ucapku."Halo, halo, nggak tahu diri kamu kabur? Cucian masih banyak. Sialan kamu!" hardik Mas Dimas.Aku membiarkannya bicara sendirian sampai ia puas dan tidak bicara lagi."Inggit! Dengar suami ngomong nggak sih? Hah! Kamu kabur? Tas ibumu nggak ada di rumah, sialan kalian!" Dia mengatakan itu lagi, ucapan yang sangat tidak pantas untuk dilontarkan terhadap mertuanya."Maaf, Mas. Aku ini seorang wanita, memang harus taat pada laki-laki, tapi suami yang bagaimana dulu, kalau suaminya baik dan Soleh tentu aku akan tetap bertahan di rumah. Tahukah kamu, Mas, lima tahun itu bukan waktu yang singkat," paparku cukup puas. Baru kali ini aku membalikkan kata-katanya dengan penuh nasihat."Tetap aja kamu salah, datang baik-baik ya keluar baik-baik dong! Jangan seperti maling kayak gitu, apa jangan-jangan kamu mencuri? Aku ak
'Mas Dimas?' Aku bertanya di dalam hati sambil menarik pergelangan tangan ibu untuk bersembunyi.Aku mengerucutkan bibir sambil menutupnya dengan jari telunjuk."Ada Dimas?" tanya ibu berbisik.Aku pun mengangguk sambil terus menatap dari kejauhan."Restoran di lantai dua, kan ya?" Wanita itu bicara pada Mas Dimas. Aku dapat mendengarnya dengan jelas."Kita ikuti mereka, Bu. Aku mau rekam atau fotoin sebagai bukti," ucapku pada ibu.Sekarang kami menunggu Mas Dimas naik lebih dulu ke lantai dua, sementara kami akan menyusulnya. Yang terpenting sudah tahu tujuan mereka hendak ke restoran yang ada di hotel ini.Namun, tiba-tiba ponselku berdering, ada panggilan masuk dari Pak Pram. Aku pun langsung menerima panggilan tersebut."Halo, Pak." ucapku lebih dulu."Halo, Tante." Suara mungil itu terdengar nyaring dan sangat menghiburku seketika."Eh, ternyata Jingga, kirain papanya Jingga," sahutku. "Hm, ada apa nih?" tanyaku lagi."Tante, aku mau ketemu Tante Inggit, boleh nggak?" tanyanya m
Aku berusaha tarik napas dan memutuskan untuk tidak gegabah. Jangan sampai mempermalukan diri sendiri di hadapan umum. Jika aku marah, itu artinya aku menjatuhkan harga diri sendiri. Seharusnya balas saja nanti dengan cara elegan."Aku nggak tahu kalau kamu dan papamu sekarang sesukses ini, aku salut," ucap Mas Dimas lagi."Ya, setelah aku sudah kaya raya kini banyak lelaki yang mendekati, termasuk kamu," celetuk wanita yang itu."Bukan aku orangnya, kita kan ketemu secara tidak sengaja, artinya itu adalah jodoh, bukan aku yang mendekatimu tapi Tuhan langsung," sahut Mas Dimas.Dulu juga Mas Dimas meyakinkan aku seperti itu, bilang bahwa kami adalah jodoh makanya dipertemukan oleh alam. Kenyataannya, setelah menikah, dia terang-terangan mengatakan bahwa aku tidak pantas bersanding dengannya."Ya udah yuk, kita ke kamar! Aku sudah lama nih nggak___" Aku mendengar wanita itu becanda dengan suamiku saat dia memotong pembicaraannya. Gelak tawa seakan memperlihatkan bahwa Mas Dimas memang t
Belum selesai Pak Pram menjawab, tiba-tiba telepon genggam wanita itu berdering."Aduh, aku buru-buru, Pram. Besok ketemu di kantor deh ya. Aku ada perlu setelah ambil kunci yang kutitip ke resepsionis," ucap Safitri. Ya, itu nama wanita yang tadi tidur bersama suamiku."Bye," timpal Pak Pram. Kemudian kami tidak langsung keluar lobi. Sebab dipastikan sudah ada Mas Dimas yang ada di parkiran, jadi kami menunggu mereka pergi terlebih dahulu."Biarkan mereka pergi, biarkan mereka menikmati masa-masa indah. Memang biasanya yang haram lebih enak daripada yang halal, itu untuk orang yang kurang imannya," ungkap Pak Pram membuat dahiku mengkerut."Tante," sapa Jingga mengejutkan."Ya, Sayang," timpalku."Tadi aku temenin Papa salat di mushola, papaku itu rajin salat loh," celetuk bocah itu.Baru saja aku ingin menegurnya yang berkata seperti orang beriman padahal tadi sewaktu aku melakukan ibadah, dia tetap berada di restoran. Namun ternyata itu salah, dia bicara seperti itu karena memang o
"Iya saya sedang di mall, gimana pertemuan dengan klien?" Pak Pram mengalihkan pembicaraan. Kalau atasan memang bebas, mau jawab pertanyaan bawaannya atau tidak Itu terserah. Mas Dimas pun tak akan bisa protes."Sudah beres, Pak. Besok sudah bisa mulai kerjasamanya," jawab Mas Dimas."Oh ya sudah kalau gitu, tolong jangan telepon saya kalau tidak penting ya," timpal Pak Pram.Rasanya aku ingin tertawa saat Mas Dimas diceletuki seperti itu, Sebab Dia tidak bisa berkutik atas apa yang dikatakan Pak Pram."Ma-maaf, Pak." Dia hanya membalas seperti itu, sangat singkat sekali jawabannya. Aku menghela napas seraya menahan tawa. Kemudian Pak Pram menutup sambungan teleponnya. "Kenapa kamu? Kok kelihatan sedang nahan tawa? Pipinya agak tembem," sindir Pak Pram."Hm, selain jadi bos, ternyata bapak seperti dukun, yang bisa baca pikiran dari raut wajah," ejekku juga."Sudahlah ayo kita pulang, kasihan Bu Anis di hotel sendirian," ajak Pak Pram.Kemudian kami bergegas ke parkiran, berhubung Mas