Share

Bab 6

Pak Satria turun dari mobilnya, ia melangkah ke arah kami, lalu setelah sudah di depanku persis ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

"Boleh kami masuk dulu? Ada yang ingin kami bicarakan," ucap Pak Satria.

Dikarenakan terkejut melihat kedatangannya, aku pun sampai lupa mempersilakannya masuk. Kemudian, kami bicara di ruangan tamu. Mata mereka menyorot ke arah tas yang ada di lantai.

"Kalian mau pulang ke Jakarta sekarang?" tanya Pak Pram.

"Niatnya iya," jawabku singkat.

"Bu Anis juga ikut?" susul Pak Satria.

"Iya, Pak. Saya sudah tidak ada tempat lagi untuk tinggal, jadi mau tidak mau ikut bersama Inggit dan juga keluarga suaminya." Ibuku menjelaskan alasan ikut ke Jakarta.

"Apa tidak ada pilihan lain? Pram sudah ceritakan semua yang dia dengar kemarin," sambung Pak Satria membuatku dan ibu saling bertumbuk pandangan.

"Maaf, kalau saya menceritakan pada Papa, soalnya ada yang harus diluruskan," ungkap Pak Pram.

"Iya, kami dengar kamu itu hanya dijadikan pembantu oleh suami, apa betul?" tanya Pak Satria.

Aku pun mengangguk, tapi tidak berani menatap keduanya.

"Kalian tahu, kalau Dimas itu karyawan di perusahaan kami? Jadi, bisa dibilang saya punya hak untuk ikut campur," papar Pak Satria lagi.

Kini aku memberanikan diri untuk menoleh ke arahnya.

"Maksud Pak Satria bagaimana?" tanyaku padanya.

"Saya bisa memecat Dimas," ucap Pak Satria.

"Jangan, Pak. Nanti saya yang akan terus disalahkan." Aku menolak saran darinya.

Mereka berdua saling berhadu pandang, kemudian salah satunya mengeluarkan kertas.

"Jangan takut jika kamu cerai, kami akan jamin semua kehidupan kalian," terang Pak Satria sambil meraih pulpen. "Mau satu milyar, dua milyar? Sebutkan saja," sambungnya lagi.

Aku menelan ludah bukan karena mendengar nominal yang ia sebutkan, tapi apa yang ditawarkan olehnya justru akan mempersulit proses perceraianku.

Aku menghela napas, sambil memikirkan bagaimana bisa bicara kepadanya tapi tidak menyinggung perasaan Pak Satria karena sudah menolak pemberian.

"Kalau bapak mengusulkan seperti itu, saya malah semakin sulit mengajukan cerai, Bapak ngerti kan maksud saya?" Aku bicara dengan penuh lembut sambil menatap kedua lelaki tersebut.

"Kan bisa kalian menggugat cerai dengan alasan tidak diberikan nafkah lagi," pungkas Pak Satria.

"Lalu suamiku berubah menjadi baik karena tahu aku diberikan uang dua miliar oleh Pak Satria," ucapku sambil tersenyum.

Kali ini keduanya mengangguk secara bersamaan. Sepertinya mereka paham dengan maksud yang aku bicarakan tadi.

"Ternyata Inggit cerdas juga, kamu itu tidak memikirkan hari ini saja, tapi memikirkan juga konsekuensi dari keputusan yang diambil, ini hebat," ungkap Pak Satria seraya memujiku. Bahkan iya memberikan tepuk tangan atas apa yang aku ucapkan tadi.

Aku tersenyum, dan berharap dipuji tidak membuatku terbang tinggi ke langit, dan terbuai dari pujian tersebut.

"Kami memutuskan pulang untuk mengumpulkan bukti supaya bisa menggugat cerai Mas Dimas, Pak, Maaf kalau saya menolak segala tawaran dari Pak Satria, terlebih lagi alasan untuk balas budi terhadap Bapak saya, biarkan kebaikan yang sudah ia lakukan untuk Pak Satria, menjadi ladang pahala untuk almarhum bapak saya, Pak," paparku mengutarakan semua isi hati yang menjadi alasan kenapa menolak pemberiannya.

Ibu bangkit dari duduknya, ia pamit untuk menyuguhkan minum, sebab sudah cukup lama tamu didiamkan tanpa suguhan. Setelah beberapa saat kemudian, ibu datang membawa dua cangkir teh, Lalu iya memberikannya pada Pak Pram dan Pak Satria.

Kedua lelaki itu langsung meminum suguhan yang disediakan ibu. Kemudian kembali meletakkan di atas meja.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kamu bekerja di kantor saya aja? Mau nggak?" tanya Pak Pram tiba-tiba saja ia bicara.

Aku rasa Mas Dimas tidak akan menyetujui aku bekerja, kecuali ada sesuatu hal yang membuatnya terpaksa mengizinkanku bekerja.

"Gini, kamu itu wanita yang sudah bersuami, memang keputusan apapun harus di tangannya, tapi suami yang bagaimana dulu. Saya begini karena sudah terlanjur mendengar perlakuan Dimas terhadap kamu," jelas Pak Pram.

Ibu menoleh ke arahku, tiba-tiba saja ia menganggukkan kepala. Kemudian gantian ia yang bicara.

"Jadi kami ini sengaja pulang karena memang ingin menyelesaikan masalah Inggit, untuk itu masalah lainnya kita pikirkan nanti. Saya sangat menghargai kebaikan kalian, tapi mohon maaf, bukan kami menolak, tapi ada waktunya nanti kami akan terima tawaran tersebut," jelas ibu.

Pak Pram dan Pak Satria mengangguk secara bersamaan, kemudian Pak Pram mengeluarkan kartu namanya.

"Ini nomor handphone saya, kalian bisa hubungi saya jika sudah selesai dan butuh bantuan," ucap Pak Pram. "Lalu kepulangan kalian ke Jakarta, biar berangkat bareng saya sore ini," tambah Pak Pram.

"Kan kontak Pak Pram sudah ada di ponsel saya, Pak," sahutku.

Ia pun tersenyum sambil mengangguk malu.

***

Sore pun tiba, mobil Pak Pram sudah terparkir di halaman rumah. Aku dan ibu bersiap untuk ke bandara bersama dengannya.

Namun, ternyata, anak Pak Pram ikut dan berada di kursi belakang tengah duduk sendirian.

"Tante," sapanya sambil melambaikan tangan.

"Eh Jingga, apa kabar?" tanyaku saat duduk di sebelahnya.

"Baik, Tante," jawabnya singkat.

Ibu yang baru melihat sosok wanita mungkin di mobil pun tersenyum sambil memperkenalkan diri. Kemudian, kami bersenda gurau bersama di mobil.

Sepanjang perjalanan, aku dan ibu cukup terhibur dengan gelak tawa bocah kecil yang bernama Jingga, rasanya ini semua cukup mengobati luka kehilangan sosok seorang bapak.

Perjalanan kami nikmati tanpa membicarakan persoalan Mas Dimas, sampai akhirnya kami sudah mendarat di kota Jakarta.

"Terima kasih banyak, Pak Pram. Sepertinya sampai sini aja. Selanjutnya biar kami naik taksi," ucapku.

"Baiklah, kalau masalah kalian sudah selesai, bisa hubungi saya ya," ucapnya padaku.

Aku pun mengangguk seraya paham dengan ucapannya. Kami berpisah di bandara, dan kami melanjutkan pulang ke rumah Mas Dimas yang sudah menunggu kedatangan kami berdua.

***

Setibanya di rumah, Mas Dimas belum pulang dari kantornya. Hanya ada Mama Dewi yang membukakan pintu sambil berkacak pinggang.

"Kalian, akhirnya sampai juga, cucian sudah melambai-lambai di kamar mandi, langsung nyuci ya!" Mama mertuaku tak basa-basi lagi, ia langsung memerintahkan kami bekerja layaknya pembantu rumah tangga.

"Kami mau taro tas dulu, Mah," sahutku.

"Cepat, udah bau banget cucian basah di kamar mandi!" ketus mama mertuaku membuat ibu melirik ke arahku.

Aku langsung masuk ke kamar, sementara ibu menunggu di kamar mandi lebih dulu, aku hanya disuruh meletakkan tas di kamar.

Namun saat bangkit dan hendak melaksanakan tugas, Pak Pram menghubungiku.

"Halo, Pak." Aku menjawabnya dengan suara pelan.

"Tadi saya mendengar perintah mertua kamu dari penyadap suara, bukti pertama sudah ada pada saya, bisa kamu gunakan untuk menggugat cerai Dimas nantinya."

Seketika aku mengedarkan pandangan ke semua tempat. "Penyadap suara? Dimana Pak Pram meletakkan benda itu?" tanyaku.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status