~••°••~Selama ini, mungkin aku orang yang terlalu penakut. Aku berpikir berlebihan terhadap sesuatu hal. Terpenjara dalam kecemasan yang terlalu. Entah mungkin karena kurang gaul, jarang keluar daerah pergi bermain seperti kawan-kawan sekolah. Hal itu menjadikan mental kerupuk yang tertanam dalam diri. Membuat pribadi menjadi pemalu dan cenderung ragu-ragu untuk memulai.Seperti aku yang berpikir berlebihan tentang Padang. Beranggapan akan tersesat, hilang, tidak tahu jalan pulang. Tetapi, Kak Raihan dan Kak Fitra membuka mataku lebar-lebar. Padang tidak semenakutkan itu. Tidak ubahnya seperti kota Solok. Hanya dia lebih luas, lebih ramai, jalannya juga banyak persimpangan. Itu saja perbedaannya. Orangnya? Ya tetap sama seperti orang pada umumnya.Begitu pula untuk urusan di bagian kemahasiswaan. Aku terjebak dalam ketakutan besar. Takut bertemu mahasiswa atau mahasiswi di sini. Takut bertemu dengan petugas kemahasiswaan. Aku hanya anak kampung yang lugu dan katrok. Sementara orang l
~••°••~Selasa sudah berjalan setengah hari. Kak Fitra yang mengambil libur kerja dua hari demi aku, kini mengantarkan kembali ke By Pass. Di sinilah bus memuat penumpang sebelum bertolak ke Solok. Aku pulang dengan armada bernama Jasa Malindo lagi."Ingat yang kemarin ya, Rindu. Cukup ketahui saja, jangan gembar-gembor ke sana-sini soal Febi, bisa ya!" Kak Fitra mengingatkan.Di waktu bersamaan Kak Raihan datang. Ia membawa sekantong besar bengkuang sebagai oleh-oleh. Malu-malu aku menerimanya."Titip untuk Emak dan Kak Kasih ya, Rindu. Kapan-kapan kalau Fitra senggang, Kakak mau dong main ke Solok," ujarnya."Banyak banget, Kak. Masya Allah! Alhamdulillah, terima kasih banyak oleh-olehnya. Boleh banget dong, Kak. Rindu tungguin ya, pintu rumah terbuka lebar untuk Kak Raihan juga Kak Fitra."Hingga akhirnya kernek menyuruh segera masuk. Mobil akan bergerak menuju Solok. Aku pamit pada keduanya. Terbersit doa sebelum aku melangkah naik ke bus, Semoga orang-orang baik ini panjang umurn
~••°••~"Jangan semua, Bang. Cukup satu!""Semua aja, Rindu. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih seperti kata Bang Wahyu. Kalau enggak ada kamu, entah bagaimana ibu kami sekarang."Lidah terasa tergigit, sampai tidak tahu mau bicara apa lagi. Memang bukan aku yang membayar, tapi nominalnya itu ....Setelah turun ke bawah, Bang Farid membeli buah-buahan juga. Baru menuju tempat parkir. Tanpa banyak komentar, aku naik dan duduk diam sampai mobil berjalan."Kuliah di mana?" Bang Farid mulai bicara."Di UNAND, Bang.""Wow, keren dong. UNAND itu kampus elite loh.""Iya, Bang. Tapi saya kuliahnya mengandalkan beasiswa. Kami orang biasa-biasa aja. Kalau pakai biaya mandiri, nggak akan tercapai. Boro-boro masuk UNAND, kuliah di sini aja kayaknya mustahil.""Jangan merendah begitulah. Boleh saja tidak kaya harta, asal kaya hati."Hening di antara kami, baru saja terlewati Masjid Agung Al-Muhsinin Kota Solok. Kemudian berhenti sejenak menunggu traffic light berubah hijau di Simpang Rumbio
~••°••~Langkah sore ini agak beruntung. Cukuplah di-bully ibu-ibu di posyandu barusan, jangan sampai ditambah Ceu Nova yang mulutnya pedas level tiga lima. Melihat yang sedang berjaga di warung adalah Koh Agung, seketika rasa lega menyusup ke dada."Eh, Rindu ... beli apa, Rin?" Koh Agung menyambut lebih dulu, beliau memang seramah itu. Berbanding terbalik dengan istrinya yang ahh ... sama pahamlah."Beli minyak goreng setengah kilo ya, Koh. Minyak curah biasa. Gula seperempat, kopi kemasan lima ribu, garam kasar satu, Ajinomot* yang seribuan juga, Koh. Terus telur sepuluh ribu."Koh Agung sigap mengambilkan permintaan. Aku memilih-milih sawi untuk disayur. Lalu beralih ke keranjang wortel, mengambilnya satu. Keduanya ditimbang dan disaksikan oleh Koh Agung selaku pemilik kedai."Ini jadi tiga ribu, Rin." Koh Agung memasukkan ke kresek ukuran sedang."Jadi berapa semua, Koh?""Minyak, 7000. Terus gula, 3500. Kopi, 5000. Garam dan Aji kena 3000, ditambah sawi wortel 3000. Kemudian tel
~••°••~Waktu akan terus berjalan. Hari demi hari sebelum perkuliahan di mulai masih kuisi dengan menjadi buruh harian. Membersihkan bawang milik orang, untuk menerima upah yang dihitung perkilo setiap hari.Aku menyadari Emak yang mulai pusing memikirkan nasibku. Beberapa hari lalu, aku tidak sengaja mendapati Emak sedang menangis di kamar. Beliau mendekap figura foto Bapak. Air mata Emak berhujanan menuruni pipinya yang mulai keriput.Belum ada bayangan untuk memulai hidup sebagai anak kos di Padang. Entah nanti akan mengekos di mana, juga belum tahu. Sementara tanggal untuk mulai pengenalan kampus, sudah di depan mata. Aku juga tidak berani bertanya pada Emak.Hari ini berkarung-karung bawang diturunkan Pak Mus untuk dikerjakan. Beruntunglah kali ini hasil panennya sangat baik. Bawangnya besar-besar, kering dengan sempurna. Sangat memudahkan dalam pembersihan uratnya. Seharian kami berkutat, menyelesaikan puluhan kilo. Ketika sore tiba nanti, sejumlah rupiah akan diterima Emak. Seb
~••°••~Sahabat baruku, Fuji Nagita berasal dari Batu Sangkar. Setelah berbincang lewat pesan WhatsApp, akhirnya rencana ke Padang dimajukan sehari dari rencana awal. Selasa hari yang dipilih, semoga Allah memudahkan urusanku dan Fuji.Oh iya, setelah menggadaikan emas di toko Queen, aku dan Emak membeli piring dan gelas plastik, serta sendok sekalian garpu. Selimut tipis yang murah meriah, handuk, alas kasur, magic com yang kecil, ember kecil untuk peralatan mandi, dan printilan-printilan kecil lain. Emak se-detail itu, bahkan hal yang tidak terpikirkan olehku, dibeli juga oleh Emak. Misalnya, spon cuci piring.Ketika kami sampai di rumah, lampu-lampu sudah menyala. Sepertinya Kak Kasih masih di sini. Pintu juga terbuka sangat lebar. Kadang-kadang, dia seteledor itu. Sudah mau Magrib seperti ini. Pintu masih terkangkang selebar-lebarnya.Aku berjalan dulu, baru menyadari ada motor Uda Revan terparkir di tepi halaman. Apa gerangan yang membawanya bertamu senja raya begini. Oh, mungkin
~••°••~Malam itu, tangisku agak lama di atas sajadah. Tangan tertengadah lebih tinggi. Tidak rumit permintaan yang kuajukan pada Allah. Berikan aku kesehatan, umur panjang yang berkah, kesabaran yang berlimpah, itu saja. Pada-Nya ... kuadukan luka-luka yang dijejalkan oleh Etek Yarni. Tidak akan membalaskan dendam apa pun, kelak nanti yang kulakukan hanyalah pembuktian.Pembuktian kalau aku bisa, akan kubangkit batang terendam. Akan kunaikkan harkat dan martabat keluarga. Akan kubayar kontan semua cemoohan.Iya, aku ... Harmoni Rindu Umayyah. Anak bungsu kesayangan Bapak. Anak kampung yang lugu dan dibilang kampungan. Itu aku ... aku yang akan membungkam mulut-mulut jahil mereka, selama ini mereka begitu lancang meremehkan kemampuan kami.Tak terukur banyaknya air mata yang berhamburan di atas sajadah lusuh ini. Muhasabah sedalam-dalamnya aku munajatkan pada Sang Maha Adil. Aku percaya, Allah maha pengasih, maha penyayang ... tidak akan mungkin Dia menyia-nyiakan hamba-Nya yang bersa
~••°••~Sekuat tenaga aku tahan air mata. Apa yang ditanyakan oleh Bang Heru sepanjang jalan, kujawab sekenanya. Tak sabar untuk sampai di rumah, tak tahan ingin mengadu pada Emak. Kata-kata Uda Revan keterlaluan. Apa yang dia maksud? Aku menjajakan diri di tenda ceper, begitu? Sepupu macam apa itu? Ingin kumaki rasanya ....Sampai di pinggir jalan tepat di depan rumah, kuminta Bang Heru stop. Bergegas aku turun dan setengah berlari ke rumah. Tak terbendung lagi tangisku, menghambur ke dalam pelukan Emak yang sedang mengaji."Mak ...." Aku meratap, sakit di hati tak terungkap lagi lewat kata-kata.Berkali-kali kudengar Emak istighfar. Tak bisa kutahan, aku menangis terus. Emak memukul-mukul punggungku agar berhenti. Pastilah beliau sangat bingung melihat aku datang tiba-tiba menangis sekeras-kerasnya.Barangkali setengah jam aku menangkup pada lutut Emak. Sampai terasa lelah, tidak lagi ada air mata yang keluar. Perlahan kutata emosi, menenangkan diri. Mulai bercerita pada Emak.Gilir