Share

Bab 2

Author: Rania
Mendengar percakapan di luar ruang kerja, Shania pun menunduk. Selama bertahun-tahun sejak dia menikah dengan Charles, dia menganggap dirinya sudah sangat baik terhadap ibu mertua dan adik Charles itu.

Ketika Yasmin menjalani operasi setelah kecelakaan mobil, Shania yang menjaganya di rumah sakit selama berhari-hari. Shania juga sangat hormat dan penuh perhatian kepada Fenny.

Ternyata, sekeras apa pun dia berusaha, dia tetap tidak mampu mengubah sikap anggota Keluarga Fariz terhadapnya.

Tidak lama kemudian, Lucy Lestari menelepon. Suaranya terdengar agak lelah saat berkata, "Nia, kamu benar-benar nggak mau pergi? Seingatku, dulu kamu paling suka berburu, apalagi kalau juga bisa cari kesempatan untuk balapan."

Shania pun tertegun. Beberapa kenangan muncul kembali tanpa sadar.

Sebelum menikah dengan Charles, Shania memang suka berburu, balapan mobil, dan menikmati alkohol berkualitas. Setelahnya, dia bertemu Charles di rumah Keluarga Lestari dan jatuh cinta pada pandangan pertama.

Setelah jatuh cinta pada Charles, Shania berangsur-angsur mengetahui dari orang lain bahwa Charles lebih menyukai wanita lembut dan berkelas. Oleh karena itu, dia baru mengubah semua kebiasaannya itu secara perlahan.

Tiga tahun telah berlalu dan dia hampir lupa seperti apa ... dirinya yang sebenarnya.

Di ujung telepon, Lucy masih lanjut mengomel, "Nia, kalau kamu benar-benar nggak mau ketahuan Charles, kamu bisa merahasiakannya. Kamu nggak perlu berhenti lakukan apa yang kamu suka cuma demi seorang pria. Lagian, Charles ...."

"Kami sudah cerai," sela Shania dengan pelan.

Lucy pun terdiam karena terkejut, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum bertanya, "Pikiranmu yang sudah terbuka atau Charles menggila?"

Shania tersenyum dan menjawab, "Dia yang ungkit dan aku setuju."

Lucy tertegun, tetapi mau tak mau merasa bahwa Charles benar-benar buta. Keluarga Fariz seharusnya merasa sangat beruntung karena Charles bisa menikahi wanita seperti Shania. Sekarang, mereka malah bercerai?

"Selamat, Sayang!" Nada bicara Lucy bahkan mengandung sedikit keriangan. "Aku akan segera jemput kamu. Nanti, kita sekalian rayain 'penglihatan'-mu yang akhirnya pulih juga."

Shania tertawa dan menutup telepon. Dia melihat ke arah kamar tidur utama yang sama sekali tidak memiliki jejak pernah ditinggali oleh dua orang. Setelah tiga tahun menikah, pemilik kamar tidur utama itu terlihat seperti masih lajang. Sudah waktunya untuk mengakhiri semuanya.

Shania pergi ke kamar tamu untuk mengemasi barang-barangnya. Dia tidak punya banyak pakaian karena setelah menikah, dia tidak punya banyak waktu untuk berdandan. Jadi, barang-barangnya pun selesai dikemas dengan cepat.

Shania melepas cincin kawinnya dan meletakkannya di meja samping tempat tidur. Matanya dipenuhi penyesalan sekaligus kelegaan.

Ketika berjalan keluar dengan menyeret kopernya dan melewati ruang tamu, Shania berpikir sejenak dan merasa dirinya perlu berpamitan dengan mantan ibu mertuanya. Tak disangka, Yasmin akan terlebih dahulu menyindirnya.

"Akhirnya dia sadar juga dan mau pergi. Bukannya ngaca dulu dia itu orang seperti apa! Selama ini, dia mati-matian bertahan di rumah kita bukannya demi uang? Dia jelas-jelas cuma seekor burung pipit, tapi masih berharap bisa hinggap di dahan yang tinggi ...."

Shania menghentikan langkahnya, lalu mengambil segelas air dari atas meja dan menyiramkannya ke arah Yasmin tanpa ragu.

Yasmin yang disiram dengan air dingin hingga basah kuyup pun murka dan berseru, "Shania, apa kamu sudah gila? Beraninya kamu ...."

Shania menyeka tetesan air dari ujung jarinya secara perlahan, lalu menatap Yasmin dan berkata dengan tenang, "Apa yang perlu kutakutkan? Bahkan burung pipit terkecil pun bisa mematuk orang."

Yasmin begitu tercengang hingga mulutnya ternganga. Dia mungkin tidak percaya bahwa wanita di hadapannya adalah Shania yang selalu direndahkan semua orang.

Shania mengamati keterkejutan Yasmin dan merasa agak terhibur. Selama tiga tahun pernikahannya, tidak peduli seberapa kejam pun Yasmin dan Fenny, dia selalu berusaha sebaik mungkin untuk memuaskan mereka tanpa mengeluh.

Shania selalu berbicara dengan lembut dan menunjukkan watak baik, juga dengan sabar menerima hardikan dan makian pedas mereka. Setelah begitu lama, semua orang mungkin sudah lupa bahwa dia dulunya adalah wanita yang pintar berkelahi, minum alkohol, dan mengumpat sesuka hatinya.

Berhubung sudah bersabar cukup lama, Shania tidak ingin bersabar lagi. Dia pun terkekeh pelan.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Cerai, Aku Bangkit dan Bersinar   Bab 100

    “Aku nggak ingin ke rumah sakit. Cukup makan obat pereda rasa sakit saja,” gumam Shania.Tangan Rayden yang sedang memegang setir mobil semakin erat lagi. “Biasanya sesakit ini?”“Biasanya nggak. Tadi aku minum sebotol bir dingin.”“Apa kamu lupa?” Suara Rayden terdengar berat.Shania terbengong sejenak. “Ingat, hanya saja aku melupakannya karena terlalu gembira.”Mobil telah berhenti di depan pintu rumah sakit. Tidak ada lagi yang mengantre di tengah malam. Hanya ada dokter UGD dan dokter jaga saja.Untung saja dokter jaga hari ini adalah dokter kandungan. Dokter membukakan resep obat dan juga membuka obat pereda sakit.“Ingat, obat herbalnya diminum sehari sekali. Jangan lupa.”Shania mengangguk. “Aku mengerti.”Sebenarnya Shania ingin mengatakan bahwa tidak perlu membesarkan masalah. Biasanya dia tidak akan sesakit ini, hanya saja tadi dia lupa, malah meminum bir.Setelah kembali ke mobil, raut wajah Rayden kelihatan muram. Dia menghentikan mobil di bawah apartemen, kemudian membawa

  • Setelah Cerai, Aku Bangkit dan Bersinar   Bab 99

    Satu hari sebelum kompetisi dimulai, Shania sedang sibuk di sekolah. Dia bersama anggota departemen acara dan perencanaan sedang sibuk untuk menyusun dekorasi. Bahkan, Wisnu juga merasa tidak tenang hingga ikut memantau hingga larut malam.“Apa soal kompetisi sudah disimpan dengan baik?” tanya Wisnu.Shania mengangguk. “Sudah diletakkan di dalam brankas ruangan konseling. Hanya aku saja yang punya kunci brankasnya.”Wisnu mengangguk. “Baguslah kalau begitu.”Setelah Wisnu pergi, Shania masih merasa tidak tenang. Dia pun mengecek seluruh peralatan di dalam aula.Setelah semuanya sudah diurus dengan baik, waktu sudah menunjukkan pukul 23.30. Shania yang merasa lelah itu menghela napas lega. Apa pun ceritanya, asalkan kompetisi besok bisa berjalan lancar, semua rasa letih itu juga pantas dirasakannya.Shania kembali ke ruangan konseling untuk membereskan barang-barang. Saat belum keluar, dia menerima panggilan dari Yurika. “Yuri?”Terdengar suara perhatian Yurika. “Kak Shania, kenapa kamu

  • Setelah Cerai, Aku Bangkit dan Bersinar   Bab 98

    “Kata siapa aku nggak akan menghadiri kompetisi pengetahuan psikologi kampus ini?” Terdengar suara yang familier.Mata Shania terbelalak. Dia memalingkan kepalanya dengan syok.Pintu ruangan rektor dibuka. Sandra bersama asistennya berjalan ke dalam.Yasmin menatap kehadiran orang itu dengan tatapan tidak percaya. “San … Sandra!”Sandra langsung mengabaikan mereka, lalu berjabat tangan dengan Latif. “Salam kenal, aku Sandra.”“Bu Sandra, kenapa kamu bisa kemari?” Shania menatapnya dengan terbengong.“Nanti aku akan jelaskan kepadamu.” Sandra menatap Fenny. “Bu, sekarang aku sudah pasti akan menjadi juri dari kompetisi kali ini. Seharusnya nggak tergolong kesalahan?”Raut wajah Fenny kelihatan muram. Dia saling bertukar pandang dengan Yasmin. Kenapa Sandra bisa setuju? Jangan-jangan Rayden diam-diam telah membantu Shania?“Bu Sandra, apa kamu benar-benar setuju untuk menjadi juri kompetisi?” tanya rektor.Sandra mengangguk. “Emm, aku sudah bisa memastikan.”“Mana mungkin? Bukannya kamu

  • Setelah Cerai, Aku Bangkit dan Bersinar   Bab 97

    Seharusnya dia adalah psikolog yang dicari Rayden untuk Yurika, yang mana juga merupakan wanita yang menunggunya di depan resepsionis hotel tadi.Di bagian belakang dokumen ini diletakkan selembar prosedur kompetisi pengetahuan psikologi, termasuk isi pertanyaan.Sandra berpikir mungkin seharusnya dia berhubungan dengan mahasiswa generasi baru. Bisa jadi mahasiswa generasi baru itu mendatangkan kejutan untuknya.Setelah Shania pulang ke rumah, dia pun menghadap jendela sembari termenung. Dia merasa omongan Sandra memang benar. Dia telah menempuh studi lanjutan di luar negeri selama bertahun-tahun dan berpartisipasi dalam banyak proyek penelitian psikologi. Dia memiliki pandangan yang sangat unik dalam bidang tersebut.Kepulangan Sandra kali ini bukan hanya untuk membantu para pakar dan akademis psikologi di Kota Narkha saja, melainkan juga demi menganalisis dan membedah satu kasus psikologis khusus. Waktunya sangat berharga.Seandainya kontribusi Shania bisa lebih berharga daripada sem

  • Setelah Cerai, Aku Bangkit dan Bersinar   Bab 96

    Sandra berkata dengan tersenyum tidak berdaya, “Shania, aku rasa aku sudah bicara dengan sangat jelas. Aku nggak ada waktu dan juga nggak akan menghadiri kegiatan kompetisi.”Asisten menghalangi Shania, lalu berkata dengan raut serius, “Bu, kali ini waktu kepulangan Bu Sandra ke dalam negeri terbatas. Semua kegiatannya sudah diatur sebelumnya. Jadi, kami nggak bisa mengubah jadwal dan mengikuti kompetisi yang kamu katakan.”“Bu Sandra, apa kamu sudah baca dokumen yang aku berikan kepadamu?” tanya Shania dengan harapan.Sandra juga tidak menyangka Shania akan begitu keras kepala. Dia mengangguk. “Aku sudah baca dokumen itu. Nggak dipungkiri, mahasiswa Universitas Arinda memang sangat hebat. Aku merasa ada banyak gagasan mereka yang sangat bagus.”Sandra mengedipkan matanya. “Begini, Shania, aku nggak merasa dokumen-dokumen itu bisa membuatku mengubah jadwalku.”“Kepulanganku kali ini demi mengikuti diskusi dengan para ahli psikologi di Kota Narkha untuk membahas berbagai permasalahan ps

  • Setelah Cerai, Aku Bangkit dan Bersinar   Bab 95

    “Bu Shania, masalah ini sangat penting. Lebih baik kamu pergi cari kabar dulu, bagaimanapun kompetisi masih tersisa beberapa hari lagi.” Latif merasa ragu.Latif memang adalah rektor, tetapi masih ada para direksi di atasnya.“Aku mengerti, Pak Latif.” Shania kelihatan serius. Perbuatan Keluarga Fariz telah mendorongnya menjadi buah bibir orang-orang. Setelah keluar dari kantor rektor, Shania kembali ke ruangan konselingnya. Yurika pun sedang menunggunya di sana.“Kak Shania, aku sudah tahu semuanya. Apa yang harus kita lakukan sekarang?”Shania berkata dengan tersenyum getir, “Cuma bisa menghubungi Bu Sandra lagi.”Di antara dokumen yang Shania berikan kepada Sandra, dia juga menyelipkan tesis miliknya sendiri, yang berkaitan dengan arah penelitian terbaru Sandra. Namun, bagaimana kalau Sandra tidak sempat melihatnya?Pada jam tiga sore, Yasmin membaca perbincangan sengit di forum dengan puas. Dia mengganti beberapa akunnya untuk membawakan suasana, supaya semua orang percaya Sandra

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status