Seperti yang disampaikan Mas Yudha semalam, Mas Angga datang bersama keluarga kecilnya sore ini.
Rumah menjadi ramai oleh suara Lusi dan Dani. Mereka segera sibuk bertanya kabar adiknya yang tergolek dengan mata terbuka.Setelah berbicara beberapa saat, Mas Angga dan kedua anaknya ikut ibu ke toko. Mas Yudha sendiri memilih berbaring di kamar.Tak kulihat mereka berbincang layaknya saudara sekandung pada umumnya. Yang kulihat Mas Yudha menarik diri dari kakaknya.Aku tak mengerti apa yang terjadi dengan dua kakak beradik itu selama aku pergi. Sependek pengetahuanku, memang mereka sering berselisih pandang.Mbak Andin masih menemani Dinar, sesekali mengajak bicara.Kesempatan itu kugunakan untuk bicara dengan kakak iparku yang sejak datang lebih banyak diam.Ia hanya bertanya kapan aku datang, lalu menjauh dari ibu yang sibuk mengobrol dengan kedua cucunya.Dalam hati aku meyakini kalau ada banyak pertanyaan yang ingDerap langkah kaki bergerak mendekat, membuat pandangan teralihkan. Senyum tersungging di bibir, melihat Mbak Andin kembali memasuki rumah ini. Dani berada dalam gendongannya."Kenapa dia, Mbak?" tegurku, lalu mendekat hendak mencium keponakanku. Ia malam menyembunyikan wajah, membuat diri ini tergelak."Mau pipis katanya, bentar ya, Te," jawab Mbak Andin, lantas berlalu ke belakang.Melihat mereka berdua menghilang di ujung pintu dapur, membuat aku membayangkan jika ibu punya kamar mandi sendiri di belakang toko.Beliau tentu tak akan sering di rumah ini, sebab sudah punya kamar mandi dan kamar tidur sendiri. Aku juga lebih bisa punya privasi. Pun bisa menata isi rumah ini sesuai mauku. Tak seperti sekarang, benda besar tersebar di seluruh penjuru rumah. Menggelengkan kepala, membulatkan tekad bahwa lebih baik tinggal terpisah dan tak saling terlihat dengan ibu dari suamiku.Sebaiknya kubujuk saja Mbak Andin
Suara lalu lalang kendaraan masih ramai terdengar. Mas Angga muncul di depan pintu."Bu, ayo siap-siap," titahnya."Sekarang?" tanya Mbak Andin.Mas Angga mengangguk, lalu kembali ke depan."Mbak harus pulang," ujar Mbak Andin, beralih padaku. "Kamu yang sabar, ya. Mbak do'akan semoga semua lancar. Banyak berdo'a semoga ibu sama Masmu dilembutkan hatinya. Percayalah, Allah Maha membolak-balikkan hati hambaNya."Kuaminkan ucapannya. Kadang aku berpikir kalau kakak iparku ini sok alim, sebab kalau pakai jilbab pasti kebesaran, menyerupai mukena. Namun, kadang bener juga yang diomongin. Ingin kubalikkan kata-kata barusan, supaya ia mau tinggal di sini,tapi, apa sopan berbuat demikian?Mengambil sebungkus makanan khas daerahku yang kusiapkan untuknya."Mbak, ini, maaf cuma sedikit. Kemarin mendadak soalnya, jadi nggak sempat buat apa-apa," ujarku penuh sesal."Nggak apa-apa. Terima kasih, Dek," ujarnya, la
Langkah panjang segera kuambil, ingin segera tau, apa sebab suara ibu terdengar hingga ke rumah Budhe Harti.Mendapati ibu berusaha bangun dari duduk saat aku kembali. Air telah membanjir di depan pintu dapur, dimana beliau berada. Telapak tangan beliau penuh tanah, sedangkan wajah ibu meringis menahan sakit.Dahiku mengernyit melihat pemandangan di depanku. "Ibu, kenapa? Habis jatuh?" tanyaku ingin tau.Meski beliau tak mau menyapa semenjak aku kembali, tapi tak tega juga hati ini melihat beliau terlihat kesakitan seperti sekarang."Bukan urusanmu!" cetus ibu setelah melirikku sekilas.Oke, baiklah ... sabar, Karin. Sebentar lagi akan pergi dari sini, ini hanya sebentar, gumamku dalam hati.Beliau berusaha bangkit, meski terlihat sulit. Roknya telah penuh dengan tanah basah. Tetesan air masih turun satu-satu dari bak penampung air. Rupanya dari sana banjir ini berasal. Ibu pasti lupa mematikan sakla
"Habis ini kita cari isi dapur. Apa kamu setuju?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya.Aku menjawab dengan anggukan. Kuhirup napas dalam. Lega sekali rasanya, setelah banyak drama, akhirnya hati Mas Yudha terketuk juga untuk secepatnya menempati rumah ini.Tak sia-sia semalaman aku meratap di atas sajadah sesuai saran Kakak iparku. Aku harus mengucapkan terima kasih padanya setelah ini.Kalimat hamdalah terucap dari bibir ini. Semoga saja suamiku tak berubah pikiran, juga hati ibu, semoga meloloskan keinginan kami untuk belajar hidup mandiri."Mau di sini dulu, apa mau belanja sekarang?" tanya Mas Yudha menyadarkanku."Boleh di sini dulu, Mas?" pintaku penuh harap. Biar anakku juga beradaptasi pada rumah ini. Aku pun telah nyaman di sini. Tenang sekali rasanya, tak lagi melihat tatapan tajam dari ibu mertua. Tak ada lengking suara yang mengagetkan telinga."Tunggu di sini, Mas ke depan sebentar," pamitnya, lalu bera
"Ya udah, kalau mau ngontrak ya nggak apa-apa."Ibu menghela napas panjang lalu menyentaknya. Tak dapat disembunyikan raut wajah kecewa.Aku pun merasa lega, sebab berhasil membujuk suamiku supaya minta ijin pada Ibu dan pamit malam ini juga.Rumah juga sudah siap, sudah nyicil bawa pakaian juga sore tadi, mau nunggu apa lagi, kan? Aku dan Mas Yudha masih duduk dan menyimak wejangan ibu yang belum berhenti juga sejak beberapa saat tadi."Ibu pikir mau nambah kamar tidur sama kamar mandi di belakang toko itu, terus nanti ibu tinggal di sana, kalian tetap menempati rumah ini. Eh ... nggak taunya kalian milih ngontrak."Aku saling lirik dengan Mas Yudha. Inginku segera berangkat sebelum udara malam semakin dingin. Tak sabar hendak menempati rumah itu."Saya minta maaf, ya, Bu. Mungkin selama tinggal di sini ada hal yang membuat ibu tak senang," ujarku. Biar bagaimana pun, sedikit banyak aku pernah cek-cok d
"Mas, ini ibu nelpon!"Kuberikan ponsel tersebut. Kebetulan Mas Yudha sudah muncul di pintu kamar. Ia segera keluar, sebab tak mau mengganggu Dinar."Iya, Bu?"Aku tak mendengar lagi obrolan mereka. Lebih baik aku ke dapur lalu menata isinya.Ini semua seperti mimpi bagiku. Bisa keluar dari rumah ibu dengan kerelaan beliau, tanpa harus sembunyi-sembunyi seperti yang kurencanakan sebelumnya. Tak mau membuang waktu, segera saja kuisi ember besar yang dibeli sore tadi. Tak ada bak mandi di sini, jadi mau tak mau harus menampung air.Pun tak ada wastafel seperti di rumah ibu. Semua kegiatan yang bersangkutan dengan air hanya bisa dikerjakan di kamar mandi ini.Perabotan segera kubawa ke kamar mandi untuk dicuci. Tak banyak memang, tapi, setidaknya sudah bersih nanti jika mau memakai.."Mas, airnya nggak ngalir!"Aku berniat memasak air untuk menyeduh kopi, juga untuk mandi Dinar. Namun apa daya, air t
Tawa kami pecah berderai-derai. Dinar terlihat bengong melihat ayahnya yang tertawa-tawa di depannya.Kami memang membeli kompor satu tungku kemarin, tapi tabungnya belum dapat. Sudah kuusulkan supaya beli sama ibu, tapi Mas Yudha nggak mau. Kebiasaan di rumah ibu apa-apa tinggal pakai, nggak mikir beli gas, apalagi masang. Ini pagi-pagi sudah panik nggak ada air, nggak kepikiran ngecek kompor juga."Maaf, Mas. Kenapa bisa lupa, ya?" tanyaku setelah tawaku berkurang."Ya bisa, namanya juga manusia, Dek.""Lagian kamu, Mas, belum ada tabung main pasang aja selang sama regulatornya. Kirain semalam pamit itu udah dapet.""Ya maaf, kirain Mas biar tinggal masang kalau dapat tabung, nggak taunya nggak boleh dibeli, jadi mesti cari ke tempat lain.""Aku juga kenapa nggak ngecek dulu, ya. Duh, kenapa jadi oleng begini, Mas."Mas Yudha menggerak-gerakkan lengan Dinar, yang disambut kekehan berulang. Aku masih menyeracau, tak habis pikir dengan drama pagi pertama di kontrakan ini."Itu kalau m
Setengah jam kemudian ia kembali dengan nasi brekat selamatan dari tetangga. Beberapa kue tradisional melengkapi brekat kali ini. Memang hampir setiap hari ada saja yang mengadakan selamatan. Entah selamatan orang meninggal, syukuran kelahiran, sampai arisan. Aku sendiri pun kadang bingung jika ibu yang mengundang tetangga mengaji di rumah untuk selamatan. Hal ini sebab terlalu seringnya diadakan.Nasi-nasi brekat yang didapat dari tetangga itu biasanya justru terbuang, sebab saking banyaknya. Pun sebab sudah masak terlebih dahulu, jadi memilih menyantap masakan sendiri.Sering merasa bersalah juga saat terpaksa membungkus nasi ke dalam kantong kresek lalu memasukkan ke dalam tong sampah. Mau bagaimana lagi, tak ada tempat menjemur nasi, apalagi ayam yang berkeliaran bebas seperti di rumah orang tua Mas Yudha.Ketika masih di rumah ibu, mudah saja menghabiskan nasi itu, tinggal kasih ayam, beres. Atau taruh di tampah, biarkan kering, maka bisa menjadi nasi aking. .Kondisi keuangan