Sepeda motor berwarna dominan hitam ini kembali melaju meninggalkan area perumahan di mana kakak ipar dan dua keponakanku tinggal."Mas, kita cari popok sekalian, ya, yang di rumah tinggal sedikit," usulku setelah motor yang dinaiki meninggalkan pintu gerbang perumahan.Mas Yudha mengangguk setuju, lalu mempercepat laju kendaraan, lantas berbelok di area parkir Saudari mall. Hanya butuh waktu sepuluh menit ke sini, kenapa Mbak Andin tak pernah ke sini? Itulah yang terlintas pertama kali saat kembali menginjakkan kaki di area mall ini. Mas Yudha menggenggam tanganku sepanjang perjalanan mencari apa yang akan kami beli.Setelah puas melihat-lihat, barulah kami meninggalkan mall ini dengan membawa popok sebesar bantal.Kedua mataku memindai sekeliling. Siapa tau aja ada sesuatu yang bisa dibeli untuk dijual lagi dari mall ini. Lalu pandanganku terhenti di tumpukan handuk di teras mall.Promo cuci gudang, handuk yang
Semalaman aku tak bisa tidur, teringat bagaimana suamiku berbicara banyak hal mengenai kakak iparku. Detail pula yang disampaikan, bikin hati kebat-kebit memikirkan kemungkinan terburuk.Entah kenapa aku merasa suamiku punya perhatian lebih, atau mungkin ini hanya perasaanku saja?Tiba-tiba saja aku teringat kalau beberapa waktu ke belakang aku jadi lebih sering berpikir mengenai saudara suamiku satu-satunya, yaitu Mas Angga. Apa ini semacam sebab akibat, aku memperhatikan Mas Angga, lalu Mas Yudha memperhatikan Mbak Andin?Ah, kenapa jadi begini. Bukannya wajar ya, kalau Mas Yudha tau banyak, soalnya kan mereka sudah jadi satu keluar, pasti lah Mas Yudha tau soal keluarga dan asal usul kakak iparnya itu, sama sepertiku yang dulu diinterogasi oleh ibu sebelum jadi menantu.Aku jadi berprasangka pada suamiku, buang-buang energi saja. Tak mungkin juga lah Mas Yudha punya rasa sama Mbak Andin. Sudah jelas aku yang jadi istri dan diperjuangkan di hada
"Kalau kamu, kan, anak kuliahan. Sudah pasti bisa mendidik anak dengan baik nantinya. Ibu masih berharap kamu bisa jadi menantu ibu, meski ibu sudah tak lagi punya anak laki-laki."Deg … deg … deg … .Astaghfirullah … astaghfirullah … apa yang terjadi dengan ibu mertua hamba ya, Rabb … Apakah ibu sedang berniat meminta salah satu anak lelakinya untuk berpoligami?"Bu Elis … ."Kudengar suara perempuan yang menemani ibu mulai terdengar. Aku ingin tau, ia menanggapi seperti apa ungkapan ibu mertuaku yang baru saja ia dengar barusan."Tidak apa-apa, Mir. Nanti biar ibu bujuk lagi si Yudha."Ya Allah!Aku menekap mulut. Membayangkan suamiku akan menikah lagi seperti pinta ibu. Mengingat selama ini Mas Yudha lebih banyak patuh pada beliau, bukan tak mungkin nanti ia akan mengabulkan jika memang sang ibu memohon.Apa yang harus kulakukan sekarang, ya Rabb … .Tiba-tiba saja terdengar suara ponsel ya
Enam bulan berlalu. Tak ada yang mencurigakan dari suamiku. Ia tetap menjadi suami dan ayah yang baik untuk Dinar. Masih sering berbicara dengan anakku yang satu lagi melalui telepon. Pun dengan bapak dan ibu, ia selalu berusaha menjaga silaturahmi dengan mereka meski tak bertatap muka.Aku tak lagi melihat Mira datang ke rumah ibu. Setidaknya begitu yang kulihat saat aku diajak berkunjung. Entah di waktu lain.Perasaan curiga pun berusaha kutepis. Aku tak mau digerogoti oleh rasa penasaran dan penuh curiga, yang nantinya akan merusak moodku. Fokusku kini pada anakku, serta toko online yang kini mulai merangkak naik. Kondisi ekonomi kian stabil. Aku bisa membeli beberapa lembar baju yang kuinginkan. Kiriman untuk anakku juga kulebihkan, meski ibu dan ayah tak pernah meminta..Aku menatap heran pada isi rumah yang nyaris kosong, kecuali beberapa boks berisi penuh dengan perabotan dan pernak-pernik rumah.Barang-barang telah dimasukkan ke kardu
Inikah akhirnya?Setelah menikmati kurang dari setahun hidup bebas, aku harus kembali ke rumah itu, dimana aku pernah diminta pergi tanpa membawa anakku oleh orang tua suamiku?Aku sudah bahagia tinggal di sini. Merdeka, bebas melakukan apa saja, bebas bangun jam berapa saja, bebas mau beli apa dan akan ke mana, tak ada yang mengabsen dan bertanya-tanya.Tapi sekarang apa? Aku dipaksa kembali ke sana tanpa kompromi. Inikah arti dari tenangnya Mas Yudha menghadapi aku selama setahun terakhir ini?Berakhir di sini kah, 'pestaku'? Oh, aku sungguh ingin membantah, tapi lidahku kelu. Kata-kata yang siap meluncur, kutelan kembali tanpa sempat terucap."Ibu, beliau hampir dilecehkan oleh salah satu pelanggan, Dek. Aku tak bisa membiarkan orang tuaku seperti itu. Ibu memang sudah sepuh, tapi beliau beberapa kali menghadapi lelaki hidung belang sendirian.""Ibu, dilecehkan?" Aku bertanya dengan kening mengernyit. Hatiku mencelos saat
"Ini nanti kalau ditanya Pak Yai bilang acara apa, Bu?"Mas Yudha bertanya, bersiap menyambut kedatangan Pak ustadz yang akan memimpin doa."Acaranya itu, menyambut kepulangan kamu sama cucuku untuk tinggal kembali ke rumah ini.""Heh? Acara apa itu? Kamu mau masalah keluargamu diketahui orang sekampung?" Bulek Ratih membantah ucapan ibu.Aku tak peduli. Bahkan yang disebut kepulangan Mas Yudha dan sang cucu. Aku? Ah, mungkin beliau lupa, kalau aku ini ibu dari cucu yang diminta tinggal di sini. Kubiarkan saja mereka berdebat. Nanti kalau beruntung biasanya bakal nemu adegan lucu.Mbak Andin masih sibuk memasukkan kotak nasi ke dalam kantong plastik. Banyaknya kegiatan, membuatku tak busa leluasa berbicara dengannya. Mungkin nanti, kalau rumah sudah sepi."Bilang saja ini syukuran, berdoa untuk keselamatan dan kebaikan semua anggota keluarga, nggak usah ngomong kalau penyambutan atau yang lain. Malu, Mbak!"Tuh
Adaptasi lagi. Itulah hal yang kini coba kujalani.Hampir setahun hidup dan tinggal di lingkungan yang tenang tanpa bising kendaraan, dan kini seperti dipaksa harus membiasakan diri lagi dengan ramainya arus lalu lintas jalan raya di depan rumah.Banyaknya pabrik yang baru berdiri lah, menjadikan lonjakan arus lalu lintas sedemikian padat. Kemacetan terus terjadi sepanjang pagi hingga menjelang jam sembilan. Demikian halnya jika sore hari, mulai jam empat sore hingga menjelang Isya', baru terlihat mulai berkurang ramainya kendaraan yang melintas.Aku mencoba berdamai dengan kondisi ini. Menganggap ini takdir yang telah digariskan untukku. Pun anakku, kuharap ia nyaman dan betah tinggal di sini lagi."Bersabarlah, tak ada rumah tangga yang tak diuji." Ucapan Mbak Fatma menenangkan aku. Jika bisa, saat ini juga ingin kubawa anakku ke sini. Bukankah ini sudah satu tahun, batas waktu yang diberi oleh ibu mertua untuk membawa serta anak yang
Aku terjaga saat terdengar suara benda keras beradu dengan aspal. Bayi kecilku ikut terjingkat. Sayup-sayup kudengar ada kecelakaan. Aku menghela napas panjang. Menenangkan degup jantung yang seakan hendak lepas dari tempatnya. Tinggal di tepi jalan raya dan laka lantas, sepertinya ini memang satu paket komplit, dan aku harus bersiap dengan segala kemungkinan..Ridho Allah tergantung ridho orang tua.Aku mengaminkan sepenuhnya. Seiring berjalannya waktu, aku merasa banyak keberkahan yang terjadi di hidupku semenjak tinggal dekat ibu.Usaha online yang sempat terseok-seok, kini mulai menampakkan hasilnya. Jika saat tinggal di kontrakan aku bisa membeli baju untukku dan anak-anak, maka sekarang aku bisa membeli beberapa perhiasan untuk gadis kecilku.Sebuah rak berisi stok pakaian yang dijual online dan offline, kini melengkapi isi rumah. Satu langkah besar, karena sebelumnya, kami–aku dan