"Terima kasih atas segala kebaikan Mas kepada suami saya, semoga Allah membalasnya dengan rahmat yang lebih besar," ucapku seraya membangkitkan tubuh dari atas bed."Eh, Mbak mau kemana?""Saya mau pulang, Mas."Dia mencoba menghentikan gerakanku. "Bentar Mbak, tadi sesuai hasil pemeriksaan-"Aku tidak menggubris ucapannya, bahkan saat beberapa suster datang kuabaikan mereka untuk kemudian berlari keluar dari ruangan itu.Hati masih tak bisa berdamai dengan kenyataan yang baru saja kudengar. Teganya mama mertua mengatakan tak punya biaya, sementara ia sudah menerima bantuan dana sebesar seratus juta untuk pengobatan Mas Bima. Bukankah seharusnya itu cukup tanpa perlu meminta bantuan pada keluarganya Mala. Apa memang biaya yang diperlukan begitu besar? Atau mama memang sengaja membuat Mas Bima seolah berhutang budi, dan nantinya apapun keinginan Mala akan dipenuhi termasuk menceraikanku?Rasa sakit dan kecewa semakin kentara terasa. Aku tak boleh menyerah. Dalam gemelut hati yang tak
Lautan luas tak kuasa menenggelamkan Kalimur Rahman (Musa a.s). Itu, tak lain karena suara Agung kala itu telah bertitah, "Sekali-kali tidak akan tersusul. Sesungguhnya, Rabb-ku beserta, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku." (Q.S. Asy-Syuara:62)Ketika bersembunyi dari kejaran kaum kafir dalam sebuah gua, Nabi Muhammad s.a.w yang Ma'shum mengabarkan kepada Abu Bakar bahwa Allah Yang Maha Tunggal dan Maha Tinggi ada bersama mereka. Sehingga rasa aman, tenteram dan tenang pun datang menyelimuti Abu Bakar. Mereka yang terpaku pada waktu yang terbatas dan kondisi yang (mungkin) sangat kelam, umumnya hanya akan merasakan kesusahan, kesengsaraan, dan keputusannya dalam hidup mereka. Itu, karena mereka hanya menatap dinding-dinding kamar dan pintu-pintu rumah mereka. Padahal, mereka seharusnya menembuskan pandangan sampai ke belakang tabir dan berpikir lebih jauh tentang hal-hal yang berada di luar pagar rumahnya.Maka dari itu jangan pernah merasa terhimpit sejengkalpun, karena setia
"Ini udah yang harganya paling miring dan nyaman ditempati Bu, kawasannya juga strategis."Aku mencoba menghubungi salah satu teman Mas Bima yang selama ini beberapa kali pernah kutemui saat ada acara kantor. Lisa namanya."Terima kasih ya, Lis."Kuambil kunci yang diberikan seorang wanita pemilik kost-kostan ini dan menyerahkan uang sebesar 2 juta."Bisa saya tanya padamu tentang apa yang terjadi pada perusahaan Pak Bima?""Sebenarnya saya tidak tahu apapun lagi karena sudah tiga bulan yang lalu di PHK, Bu.""Di PHK? Jadi perusahaan Pak Bima sudah lama bermasalah?""Belum lama sih Bu, sekitar enam bulanan yang lalu. Jadi perusahaan Pak Bima dua kali kalah tender, sedangkan beliau sudah mengerahkan banyak uang untuk bisa lolos. Alhasil, perusahaan mengalami kerugian besar. Untuk menaikkan kembali pemasukan, Pak Bima akhirnya kembali memakai uang pinjaman bank yang bunganya sangat besar. Bertepatan dengan kenaikan BBM dua bulan lalu, justru pemasukan perusahaan semakin anjlok. Sedikit
Aku mendekatinya perlahan, ingin kupeluk erat tubuh itu lalu menumpahkan sekian banyak rindu yang sudah begitu menyesakkan dada. Tapi semua terpaksa kutahan, sebab Mas Bima terlihat begitu dingin. "Mas sudah pulang?" ucapku lirih seraya menyentuh jemari tangannya, tapi ternyata dia justru menarik tangannya itu. Apa yang terjadi? Kenapa Mas Bima seperti ini?"Minum obatnya dulu, Mas."Tiba-tiba Mala muncul dari arah dapur, dua netra kami saling beradu. Dia hanya tersenyum sekilas padaku."Ini obatnya, Mas."Mas Bima meraih obat tersebut dan meneguknya."Mau aku antar ke kamar?" tanya Mala lagi, aku hanya terdiam."Boleh," jawab Mas Bima seraya kembali menatapku dan kemudian kursi roda yang dia duduki didorong memasuki kamar, bukan kamarku tentunya. Karena Mala membawa Mas Bima kembali ke kamarnya.Lagi-lagi aku terpaksa menerima kekecewaan, rasanya ingin marah pada Mas Bima. Kenapa dia tega bersikap begitu dingin. Padahal kita sudah tak bertemu lebih dari satu bulan. Harusnya saat in
Pov Bima"Terima kasih, Mbak," ucapku pada mbak-mbak resepsionis yang sudah menyiapkan sebuah kamar indah di sebuah hotel yang ada di kawasan Cisarua.Sudah lama aku dan Nisa tak punya waktu untuk berlibur, punya dua istri dan ditempatkan dalam satu rumah. Menurutku ini adalah pilihan terberat. Jika saja mama tidak memberi pilihan ini, sudah tentu kehidupan poligami yang kujalani akan berjalan lebih mudah.Teringat akan sebuah ceramah yang pernah kudengar,Poligami itu memang ada, tapi hukumnya bagi setiap orang berbeda. Hati-hati bagi orang-orang yang suka mendorong orang lain untuk berpoligami dengan mengatakan bahwa poligami adalah sunnah. Karena bagi sebagian yang berkeinginan untuk melakukan sunnah itu tapi ternyata dia belum mampu, artinya anda akan mendorong orang berbuat kedzaliman.Menikah itu bukan sekedar untuk pemenuhan syahwat, melainkan ada tanggung jawab di dalamnya yang harus dipenuhi. Nikah saja, menurut fiqih memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calo
Aku mencoba mengingat-ingat dimana pernah bertemu dengan lelaki yang kini sudah duduk di teras kosan Nisa.Dia? Lelaki yang sudah menyerahkan uang pada mama sebagai wujud simpati atas kecelakaan yang menimpaku? Ya, benar. Dia orangnya, tapi sejak kapan Nisa dan lelaki itu berkenalan? Apa saat aku koma? Jangan-jangan dia juga yang dikatakan Sarah sebagai selingkuhan Nisa?Aku tidak bisa tinggal diam, kuminta bantuan pada driver yang membawa ke tempat ini untuk menurunkan kursi roda. Lalu setelahnya, driver itu membantuku turun. Kursi roda di dorong semakin jauh memasuki halaman rumah. Lebih parah, sampai di teras rumah aku sudah tidak lagi menemukan lelaki tadi. Kemana dia, apa masuk ke dalam rumah. Tak sabar aku ingin memergoki Nisa, meski hancur berantakan hati ini tapi itu lebih baik dari pada Nisa terus menyembunyikan perselingkuhannya dariku.Kursi roda sudah di depan pintu, tak ragu aku masuk tanpa memberi salam. Langkah ini terhenti saat aku mendapati Nisa hendak berjalan kel
Aku terduduk meratapi kepergian Mas Bima. Anggapannya bahwa aku telah berselingkuh terlalu menyakitkan terasa, tapi lebih sakit lagi ketika dia mengucapkan kata-kata seolah ingin mengakhiri pernikahan kami. Seburuk itukah sudah pandangannya untukku?Kenapa kamu begitu cepat berubah Mas? Padahal kita baru tiga bulan membina rumah tangga bersama ini?"Mbak Nisa nggak papa?"Fatma sekretaris Pak Brian turun dari mobil dan merangkulku. Kurasa diapun mendengar pertengkaran tadi dengan Mas Bima. Malu, entah dimana aku harus meletakkan wajah ini. Merasa tidak berharga sama sekali sebagai seorang istri."Maafkan saya jika karena saya, suami Mbak Nisa jadi salah paham."Pak Brian pun ikut mendekat dan mencoba menenangkanku. "Tidak apa, Pak.""Harusnya tadi saya tidak masuk.""Semua sudah terjadi Pak, tidak apa saya akan mencoba berbicara lagi dengan suami saya."Di tanganku ada dua map, satu berisi surat kepemilikan bangunan dan satunya lagi berisi desain baju. Kuserahkan yang seharusnya kube
Aku tak percaya Mas Bima bisa mengucapkan kata talak itu, padahal semenjak pertama menikah aku pernah bertanya padanya.Apa yang paling pantang Mas lakukan dalam hidup. Lalu ia menjawab, mengucap kata cerai.Tapi hari ini, dia melanggar hal itu. Dan ini membuktikan bahwa aku sudah tak berarti apapun lagi di hatinya."Baiklah Mas, jika itu yang kamu mau aku akan pergi. Terima kasih sudah mencampakkan aku seperti ini," ucapku seraya menyapu air mata yang merembes di kedua pelupuk, langkah dengan berat kutarik keluar ruangan. Bohong jika aku tidak berharap dia mengejar, nyatanya pandangan ini beberapa kali berbalik ke belakang hanya untuk memastikan bahwa dia ada di sana atau tidak. Sampai di lobi, aku terduduk di ruang tunggu. Kuusap perut yang terasa berdenyut, mungkin karena titik kekecewaan yang kualami sudah sampai pada batasnya. Aku menangis perlahan dan berjanji setelah ini tidak boleh ada lagi air mata. Kesedihan hari ini adalah kekuatan untukku melangkah esok hari.Maafkan aku