Share

7. Kenapa Kamu Berubah, Mas?

"Mbak Nisa?"

Kusapu air mata yang mengalir lalu menatap siapa yang kini menyapa.

"Dokter Siska?"

"Ngapain di sini, siapa yang sakit?" tanyanya ramah.

"Suami dok, Mas Bima kecelakaan."

"Kecelakaan?"

Dokter Siska tampak begitu terkejut. 

"Iya Dok, kejadiannya tadi siang dan sekarang Mas Bima sudah selesai dioperasi tapi masih dalam keadaan koma."

"Innalillahi, boleh saya jenguk?"

Aku menarik napas sejenak.

"Mama Mas Bima ada di dalam, beliau juga melarang saya untuk masuk karena menganggap kecelakaan ini terjadi karena ulah saya, Dok."

Dokter Siska tampak terperanjat. 

"Bagaimana bisa dia beranggapan seperti itu?"

Sekilas aku menceritakan kejadian tadi siang pada Dokter Siska, termasuk ketika aku menceritakannya pada Mala.

"Barangkali Mala yang memberitahu ibu mertua Mbak Nisa akan hal ini."

"Saya tidak tahu, Dok."

"Yasudah jangan bersedih, aku yakin nanti ketika Mas Bima sudah sadar. Dia akan menjelaskan semuanya. Tetap semangat Mbak Nisa, jangan berputus asa dan terus langitkan doa agar hati Ibu mertua bisa dibukakan Allah."

Aku mengangguk perlahan, selama ini sedikit banyak Dokter Siska tahu apa yang terjadi dalam hidupku. Karena ketika stres, aku kerap mengungkapkan padanya dan minta solusi. Satu solusi yang yang tidak kujalankan yaitu berterus terang terang tentang ketidaksukaan ibu mertua padaku selama ini.

Kupikir semua akan berubah seiring berjalannya waktu, tapi sayang kekuranganku yang tidak bisa memberinya cucu ternyata semakin membuat nilai diri ini buruk di matanya.

*

Sudah dua hari Mas Bima dirawat, kondisinya masih koma tapi sudah dipindahkan ke ruang rawatan. Setiap hari, Mama dan Mala bergantian untuk menjaga. Jangan tanya bagaimana aura wajah mereka jika bertemu denganku, seperti bertemu musuh.

Hari ini untuk pertama kali kulihat Mala pulang, padahal mama mertua belum sampai ke rumah sakit. Mendapati ruangan Mas Bima kosong, aku yang lebih banyak menghabiskan waktu di mushalla langsung masuk ke kamar itu. Hampir tiga hari tidak melihat wajahnya, rasa rindu sudah seumpama hujan yang menunggu waktunya tumpah ke dunia ini.

Perlahan aku membuka pintu, Masya Allah suamiku ...

Terpapah aku mendekatinya.

"Mas, aku datang. Aku sangat merindukanmu, Sayang."

Kupeluk tubuhnya perlahan lalu mencium kening. Setetes air mata luruh membasahi pipi Mas Bima.

"Mas, kamu apa kabar? Maaf bukan aku tidak menjengukmu, tapi ... Mama yang memintaku untuk tidak menemuimu. Bangunlah Sayang, aku sangat rindu, aku sungguh-sungguh membutuhkanmu."

Tiba-tiba aku merasa tubuh Mas Bima bergerak. 

"Nisa ...."

Aku terkesiap saat dia menyebut lirih nama ini.

"Mas, kamu sudah sadar?"

Dengan lemah dia menyunggingkan selarik senyum.

"Masya Allah Mas, kamu sudah sadarkan diri. Dua hari kamu koma, aku sangat khawatir Mas."

Mas Bima mengangkat tangannya lalu mengusap pipi ini lembut. Ribuan syukur menggema begitu saja di dalam batin.

"Maaf ya, Mas tidak jadi menepati janji padamu."

Aku tersenyum menahan tangis, dalam keadaannya yang seperti ini dia masih saja mengingat janji itu.

"Tidak apa sayang, kamu bangun dari tidur panjang ini saja aku sudah sangat bahagia. Tidak ada yang lebih kuharapkan saat ini selain kesadaranmu, Mas."

Dia memelukku. Air mata kami menyatu saat aku mendekatkan wajah dan kembali mencium keningnya. Kesedihan dan ketakutanku selama ini terbakar sudah dengan terbukanya kedua netra Mas Bima. Aku sangat bersyukur atas rahmat yang diberikan Allah ini dan didetik ini aku semakin paham bahwa tidak ada satupun doa yang tak sampai kepada Allah. Semua diterima hanya masalah waktu, kapan Dia kabulkan tentunya menunggu waktu terbaik menurut-Nya pula.

Hingga terdengar pintu terbuka, Mas Bima melerai pelukan. Membuat diri ini bisa memandang siapa yang kini memasuki ruangan.

"Mama?"

Aura wajah Mama seperti memendam amarah tapi seketika berubah ketika melihat Mas Bima sudah membuka matanya.

"Bima? Kamu sudah sadar, Nak?"

Mama mertua berlari memeluk suamiku.

"Kenapa kamu tidak memberitahu Mama, Nisa?" bentak mama ke arahku.

"Ma, Bima baru aja sadar. Jadi Nisa belum sempat beritahu Mama."

Mas Bima membelaku. 

"Cepat kamu panggil Dokter. Nanti ada apa-apa lagi sama Bima, gimana?" perintah mama mertua dengan suara lantang, tanganku yang menggenggam Mas Bima perlahan kulepas. Sejenak menatap matanya, entah kenapa aku merasa setelah ini akan semakin jauh darinya. Jujur aku sangat takut. 

"Cepat Nisa, jangan bengong begitu."

"Iya, Ma."

Meski berat meninggalkan Mas Bima karena memang masih sangat merindukannya, tapi kujalankan jua permintaan Mama. Setelah melapor pada dokter akan kesadaran Mas Bima, tim medis pun mendatangi ruangan itu.

"Alhamdulillah, Pak Bima sudah sadarkan diri. In Syaa Allah semoga keadaannya semakin membaik dan segera sehat seperti sedia kala."

"Aammiinn, bekas operasinya gimana, Dok?" tanya mama mertua.

"Tidak ada masalah berarti, nanti tinggal kita chevk up aja. Secara umum keadaan Pak Bima saat ini sudah sangat baik."

"Syukurlah, kalau begitu kapan kami diperbolehkan pulang, Dok?"

"Sesegera mungkin, saya akan memantau beberapa waktu? Jika memang benar tidak lagi ditemukan kendala, Pak Bima akan diizinkan pulang."

"Terima kasih banyak, Dok."

Meski tak mengatakan apapun, tapi dalam hati aku berucap ribuan syukur. Dokter dan beberapa suster itupun keluar, tak lama kemudian semua ipar termasuk Mala kembali sampai ke ruangan ini. Tiba-tiba mama menyuruhku memberikan beberapa cemilan. Lagi-lagi dengan rasa terpaksa aku pergi.

Langkah ini tergerak seperti berlari, karena hati masih berkata rindu pada Mas Bima. Sekitar sepuluh langkah lagi sampai kembali di ruangan, adik ipar terlihat keluar. Dia langsung mendekatiku.

"Mbak Nisa langsung pulang aja ya, disuruh Mama siapin rumah. Maksudnya beres-beres rumah karena sebentar lagi Mas Bima udah boleh pulang."

"Secepat ini? Bukannya tadi dokter bilang nunggu beberapa waktu untuk pemantauan?"

"Tapi barusan aja kita dapat informasi baru, jadi Mas Bima udah boleh pulang."

Entah kenapa aku mencium bau dusta disini. Apa mereka mau menjauhkanku dari Mas Bima?

"Mbak masuk dulu deh, minta ijin sama Mas Bima."

"Nggak usah lagi, Mbak. Entar biar aku bilangin aja."

"Sarah, Mbak nggak biasa begini. Kalau mau pulang, Mbak pamit dulu sama Mas Bima."

Ditengah penolakanku, Mama mertua keluar. Dia juga ikut menyuruhku pulang. Di detik itu aku ingin menjerit kencang, mengadukan pada Mas Bima jika ibu dan adiknya menyuruhku pulang bahkan mama sampai mendorong tubuh ini hingga hampir jatuh ke lantai. Mereka sudah tidak punya belas kasihan.

"Cepat Nisa, ini perintah."

Aku terdiam sembari mengepalkan tangan, kecewa dan kesal pada sikap kedua manusia yang sejujurnya sangat kuhargai itu. Akhirnya dengan terpaksa aku kembali mengangkat langkah. Meninggalkan rindu yang masih menari-nari di dalam dada.

Mama, engkau sudah sangat keterlaluan. Kau sudah menyakiti perasaanku begitu dalam, Ma.

Di rumah, aku melakukan semua perintah mama. Kumintakan bantuan si Mbok untuk membereskan seluruh ruangan. Setelah semua rapi dan mengilap, kududukkan diri di atas kursi. Jam terus berputar, azan magribpun mengumandang. Dan yang kutunggu tak jua pulang. Ternyata benar, nama mertua dan adik ipar menipu.

Hingga keesokan harinya, aku kembali ke rumah sakit. Dengan rasa yang sama seperti kemarin aku memasuki kamar rawatan Mas Bima. Tapi sambutan suamiku tak seperti kemarin, wajahnya terlihat pias.

"Assalamualaikum Mas."

Kebetulan saat itu dia sedang sendiri, saat aku pergi tadi Mala dan mama baru sampai di rumah.

"Waalaikum salam."

Dua netranya masih menatap televisi, padahal aku sudah berada di sisinya.

"Mas apa kabar hari ini?" tanyaku lembut.

"Baik," jawabnya cuek. 

"Maaf kemarin aku langsung pulang, Mama yang nyuruh katanya kamu udah diperbolehkan pulang sama dokter. Jadi aku disuruh beresi rumah untuk menyambut kepulanganmu, Mas."

Kuucap kata-kata itu dengan sangat hati-hati mengingat wajah Mas Bima yang terlihat jutek. Tanpa menjawab, dia melempar remote televisi ke sofa dan berbaring kembali ke atas ranjang. Sakit terasa di dada, tapi aku penasaran kenapa dia seperti sangat marah.

"Mas marah?"

"Nggak."

Kutelan saliva lalu jemari ini menyentuh lengannya. Betapa terkejut saat Mas Bima justru menepis tanganku.

"Ada apa, Mas?"

"Pulanglah. Mas mau istirahat."

"Kenapa pulang? Aku masih rindu sama kamu, aku kemari karena ingin ketemu sama kamu, Mas. Jangan suruh aku pulang."

Dia terdiam.

"Ada apa denganmu, Mas? Apa aku melakukan kesalahan yang membuatmu marah?"

Dia tetap bergeming. Kuputuskan untuk berjalan ke sisi kanan, arah wajahnya saat ini. Ternyata dia malah memejamkan mata.

"Kamu tidak ingin bertemu denganku?"

Meski terasa bagai tersayat-sayat dengan pisau tertajam, tapi aku sukses menanyakan hal itu. Dia masih bergeming.

"Jika kamu tidak ingin bertemu denganku, baik aku akan pulang."

Mas Bima tetap tak bereaksi.

"Pulanglah," ucapnya kemudian setelah beberapa menit terdiam.

"Mas sungguh-sungguh tak ingin bertemu denganku?"

"Kita udah bertemu, jadi sekarang pulanglah."

Aneh sekali sikap Mas Bima, entah apa yang sebenarnya sudah terjadi. Apa Mama mertua memfitnahku? Pikiran buruk datang menerpa.

"Mas tidak ingin mengatakan apapun lagi padaku?"

Rasanya masih tak ingin pergi, aku ingin dia mengatakan sesuatu untuk memperjelas kenapa dia tiba-tiba berubah. Tapi sayang, Mas Bima hanya menggeleng.

"Sebenarnya aku masih sangat rindu, Mas. Semalam aku bahkan tidak bisa tidur karena mengingatmu. Tapi saat kita bertemu, Mas justru memintaku pulang."

Kali ini aku sudah tidak mampu menahan air mata, dari kecil aku memang kerap tersakiti. Kedua orang tua telah tiada semenjak berusia sepuluh tahun. Aku hidup di rumah bibi, keluarganya terutama anak bibi tidak pernah menyukaiku.

Aku sering disakiti secara verbal, tapi ketika mengenal Mas Bima. Hidupku berubah, bahagia seumpama disirami ke seluruh jiwa dan raga. Aku bahagia lahir batin dalam rengkuhannya. Dan kini saat dia pun menjadi alasan terluka, aku berharap diriku tak ada lagi di dunia ini.

Mas Bima tak menjawab pertanyaanku, dia justru memilih membalikkan lagi tubuhnya ke sisi lain. Sakit, aku merasa raga ini seperti terhempas dari gedung tertinggi. Marahi aku, jika perlu kau pukul saja jika memang kau membenciku Mas. Tapi jangan diam.

Kugerakkan langkah mendekati Mas Bima, lalu mencium kepalanya dari belakang. Jika dia peka, tentu bisa mendengar isakanku. Tapi sayang, dia tetap tak mau berbalik.

"Jika kamu mau aku pulang, aku akan pulang, Mas."

Aku menarik napas panjang lalu mengusap kedua sudut mata.

"Assalamualaikum."

"Waalaikum salam."

Ya Allah, cobaan apalagi yang Kau timpakan padaku ini?

*

Sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar. Lelah jiwa raga tak terkira dengan perlakuan Mas Bima tadi. Menaiki tangga aku mendengar suara mama dan Mala tengah berbicara. Sepertinya di kamar adik maduku yang juga ada di lantai atas.

"Semoga setelah ini Bima benar-benar menceraikan Nisa."

Deg.

Mama dan Mala sedang membicarakan apa?

"Iya, Ma. Aku udah nggak sabar ingin merasakan menjadi satu-satunya wanita di hati Mas Bima."

Aku merasa sesuatu menusuk dada dengan kuat. Mereka benar-benar keterlaluan!

***

Bersambung

Terima kasih sudah membaca, jangan lupa subscribe, like dan koment ya..

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Makandolu Effy
heh apa ku bilang makanya jangan jadi perempuan lemah
goodnovel comment avatar
datik widayanti
bagus . sedih banget ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status